• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

3. Tingkatan Tema

1.1. Latar Belakang

Teeuw (1984:23) menyatakan bahwa sastra berasal dari bahasa Sanskerta, dengan akar kata sas yang berarti mengarahkan, memberi petunjuk atas instruksi, sedang tra berarti alat atau sarana. Pengertian sekarang (bahasa Melayu), sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pengertian ini kemudian ditambah dengan kata “su

yang berarti indah atau baik. Jadilah, susastrayang bermakna tulisan yang indah. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (Wellek dan Warren,

1948:3). Karya sastra merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari abad ke abad dan menjadi warisan kebudayaan yang bernilai tinggi. Oleh sebab itu, karya sastra perlu digali dan diinventarisasi agar isinya dapat dinikmati dan dipedomani dari generasi ke generasi.

Sastra dalam istilah bahasa Arab disebut dengan

بد ا /

al-adabu/. Dalam bahasa Indonesia kata adab berarti kesopanan, kehalusan dan kebaikan budi pekerti: akhlak (Ali, 1994:5) dalam Sutiasumarga (2000:1). Menurut beberapa pendapat dalam bahasa Arab, artinya bermacam-macam, sesuai dengan zamannya. Seperti yang dikemukakan oleh Wahba (1984:34-36) dalam Sutiasumarga (2000:1) bahwa pada zaman permulaan Islam, adab berarti at-tahzibu (pendidikan, pengajaran) dan

al-khulqu (budi pekerti), seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW:

addabaniy rabbiy fa ahsana ta’dībi (Tuhanku telah mendidikku maka baiklah pendidikanku). Pada zaman Bani Umayyah, kata adab mempunyai arti at-ta’limu

(pengajaran).

Ad-Dairy (1999:10) memberikan gambaran tentang adab sebagai berikut :

بد ا

ﻮه

مﻼآ

نﺎﺴﻧ ا

ﻴ ﻟا

ىﺬﻟا

ﺪﺼﻘ

ﻰﻟا

ﺮﻴ ﺄﺘﻟا

اﻮ

ءاﺮﻘﻟا

ﻦﻴ ﺎﺴﻟاو

,

ءاﻮﺳ

نﺎآأ

اﺮ

مأ

اﺮ ﻧ

.

/al-‘adabu huwa kalāmu al-insāni al-balīgi al-lażī yuqşadu bihi ilā al-ta`śīri fi ‘awāţifi al-qurrā`i wa as-sāmi‘īna sawā`un akāna syi‘rān am naśrān/

‘Sastra merupakan ungkapan perasaan yang paling dalam pada diri seseorang yang disampaikan baik dalam bentuk puisi maupun prosa’.

Adab terdiri dari prosa dan puisi, Al-Qişşah termasuk ke dalam prosa. Al-Qişşah dalam bahasa Indonesia disebut novel, yang berasal dari bahasa Italia yakni

novella (yang dalam bahasa Jerman: novelle). Secara harfiah novella atau novel berarti “sebuah barang baru yang kecil”, dan kemudian diartikan sebagai “cerita pendek dalam bentuk prosa” (Abrams, 1981:119) dalam Nurgiyantoro (1995:9). Dewasa ini istilah novella dan novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelet (Inggris : novellette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.

Dalam bahasa Arab novel disebut dengan

ﺔﺼﻘﻟا

/al-qişşah/. Suroyya (1991:41) mendefenisikan novel sebagai berikut :

ثاﺪﺣﻷا ﻚ ﺘ و ﺎﻜﻟا ﺎﻬﻴﻜ ثاﺪﺣﻷا ﻦ ﺔ ﻮﻤ ﻲه ﺔﺼﻘﻟا

ﺔﻴﻧﺎﺴﻧا تﺎﻴﺼ ﺑ

,

ﺔ ﺎ ﺘ ﺔﻔ ﺘ

,

ﺣ ﻴﻟﺎﺳاو ﺎﻬ ﺎ ﺮﺼ ﻰ

ﺎﻬ ﺎﻴ

,

ضرﻷا ﺟو ﻰ سﺎ ﻟا ةﺎﻴﺣ ﻦ ﺎ ﺘ ﺎ ﻮ ﻧ

.

/al-qişşatu hiya majmū‘atun min al-ahdāśi yuhkīhā al-kātibu wa tata‘allaqu tilka al-ahdāśu bi syakhşiyyātin insāniyyatin, mukhtalifatin mutabāyyinatin, fī taşşarrufātiha wa asālībi hayātihā, ‘alā nahwi mā tatabāyyanu hayātun al-nāsi ‘alā wajhi al-ardi/

‘Novel adalah kumpulan peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh penulis dan berhubungan dengan tokoh-tokoh manusia yang berbeda dan berlawanan dalam perilaku dan sistem kehidupannya sesuai dengan perbedaan kehidupan dan kebutuhan’.

Nurgiyantoro (1995:10-11) menyatakan bahwa :

Dari segi panjang cerita, novel jauh lebih panjang dari pada cerpen. Oleh karena itu, novel dapat mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detil, dan lebih banyak melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks. Hal itu mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu. Novel bersifat realistis. Novel berkembang dari bentuk-bentuk naratif nonfiksi, misalnya surat, biografi, kronik atau sejarah. Jadi, novel berkembang dari dokumen-dokumen dan secara stilistik

menekankan pentingnya detil dan bersifat mimesis. Novel lebih mengacu pada realitas yang lebih tinggi dan psikologi yang lebih mendalam.

Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Unsur-unsur pembangun sebuah novel yang kemudian secara bersama membentuk sebuah totalitas itu, di samping unsur formal bahasa, masih banyak lagi macamnya. Namun, secara garis besar berbagai macam unsur itu secara tradisional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pembagian unsur tersebut adalah unsur intrinsik

dan unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya plot

ءﺎ ﻟا وا ﺔﻜ ﻟا

/al-habkah aw al-bina`/, penokohan

ﺔﻴﺼ ﻟا

/al-syakhşiyyah/, tema

ﺚ ﻤﻟا

/al-mabhaśu/ atau

عﻮ ﻮﻤﻟا

/al-mawdū‘u/, latar

نﺎﻜﻤﻟاو نﺎ ﺰﻟا

/al-zamānu wa al-makānu/, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 1995:23). Dalam penelitian ini, penulis hanya membatasi pada tema saja. Tema (theme)

menurut Stanton (1965:88) dan Kenny (1966:20) dalam Nurgiyantoro (1995:67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun ada banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita (novel) itu. Maka masalahnya adalah : makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema itu.

Dalam bahasa Arab tema disebut dengan

ﺚ ﻤﻟا

/al-mabhaśu/ atau

عﻮ ﻮﻤﻟا

/al-mawdū‘u/ (Bisri, 1999:366). Menurut Suroyya (1991:47) tema disebut dengan

ةﺮﻜﻔﻟا

/al-fikrah/.

ﺳﻷا ﻲه ةﺮﻜﻔﻟا

ﻲ ﻔﻟا ءﺎ ﻟا ﺎﻬﻴ مﻮﻘ يﺬﻟا س ﺎ

ﺔﺼﻘ ﻟ

.

/al-fikratu hiya al-asāsu al-lażī yaqūmu ‘alayhā al-binā`u al-fanniyyu lil qişşati/.

‘Tema adalah ide dasar yang menjadi awal terciptanya seni kisah atau cerita’.

Istilah tema menurut Scharbach (dalam Aminuddin, 2000:91) berasal dari bahasa Latin yang berarti tempat meletakkan suatu perangkat. Disebut demikian,

karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Sebab itulah penyikapan terhadap tema yang diberikan pengarangnya dengan pembaca umumnya terbalik.

Tema sering disebut sebagai dasar cerita, yaitu pokok permasalahan yang mendominasi suatu karya sastra (Suharianto, 1982:28). Dengan demikian, tema merupakan inti cerita atau pokok pikiran yang mendasari cerita. Semua unsur cerita dalam suatu karya sastra tergantung pada tema, yaitu semuanya secara bersama-sama melaksanakan atau mengungkapkan tema dalam cerita (Pradopo, 1990:18) dalam Sangidu (2007:128).

Fananie (2000:84) menyatakan bahwa :

Tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam. Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa berupa pandangan pengarang, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Theme is idea of a story. At the time author writes a story, he does not only want to tell a story, but also want to say something to his readers. It can be a social life problem, his way of life, or his comment toward this life, etc.

“Tema adalah ide cerita pada waktu pengarang menulis cerita. Dia tidak hanya ingin menceritakan tentang cerita, tetapi juga ingin mengatakan sesuatu kepada pembaca, bisa tentang masalah kehidupan sosial, cara hidup, atau pernyataan terhadap kehidupan, dan lain-lain”. (http://yaqin-d3tkjlotim.blogspot.com).

Jadi, penulis dapat menyimpulkan bahwa tema adalah ide pokok atau gagasan utama yang mendasari sebuah cerita yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca untuk memaparkan karya sastranya.

Penulis tertarik untuk meneliti novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ ini karena novel ini mengisahkan perjuangan seorang gadis belia yang mengalami tekanan luar biasa, hingga membuatnya menjadi bisu yaitu kekerasan

terhadap wanita (ibunya) tanpa adanya jalur hukum yang menyebabkan gadis tersebut menjadi bisu. Selain itu, pengarang novel ini mencoba memberikan kritik lewat novelnya terhadap budaya masyarakat Arab yang terlalu membatasi kebebasan kaum wanita, karena mereka selalu dipingit. Maka, melalui goresan tangannya ini pengarang ingin menggugah para pembaca khususnya para wanita untuk melawan segala bentuk pengekangan itu.

Novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ karya Shamirah, terbitan tahun 1979 ini yang merupakan novel asli, terdiri dari 121 halaman yang penulis gunakan sebagai sumber utama data primer, dan sebagai pendukungnya penulis juga menyertakan terjemahan novel ini dengan judul “Musafir Cinta” yang diterjemahkan oleh Darsim Ermaya Imam Fajarudin (2003), yang terdiri dari 136 halaman sebagai data sekunder. Novel ini mengandung makna “Tetesan Air Mata”, dengan berbagai alasan dan pertimbangan diantaranya untuk tujuan komersial, agar menarik minat para pembaca di Indonesia, maka judulnya diganti menjadi “Musafir Cinta” oleh penerbitnya. Novel ini telah dicetak tiga kali dan yang penulis gunakan adalah cetakan terakhir.

Pengarang novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ adalah seorang sastrawati yang terkenal di jazirah Arab, khususnya di kota Makkah. Shamirah binti Al-Jazirah Al-Arabiyah dilahirkan tahun 1943 di Makkah. Beliau adalah seorang gadis Arab, berpendidikan dan berasal dari keluarga terhormat. Ciri khasnya sebagai seorang sastrawati yang kritis terhadap kehidupan sosial masyarakat Arab, selalu menampilkan wanita sebagai tokoh utamanya.

Karya-karya Shamirah binti Al-Jazirah Al-Arabiyah meliputi novel dan cerpen. Di antara beberapa novel dan cerpennya, seperti

ﻲ ﺎ دو

/Wada‘tu ‘āmalī/

(novel, 1958),

ﺔ ادتﺎ ﺮآذ

/Dzikrayātun Dāmi’atun/ dan

ﻚﻴ ﻴ ﺮﺑ

/Barīqu Ainaika/ (novel, 1963),

ﺔﻴﺑﺮ ﻟا ةﺎﺘﻔﻟا ﺔ ﻘ

/Yaqzhat Al-Fatāt Al-Arabiyah/ (novel, 1965),

يدﻼﺑ ﻰ

/ Bilādī/ (novel, 1970),

عﻮ ﺪﻟا و

/Wad’i‘ Ad-Dumū‘i/

Cerita dalam novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ diangkat dari panggung kehidupan masyarakat Arab, yang mana seorang wanita, sesudah maupun sebelum lahirnya Islam, dari dahulu sampai sekarang mempunyai kebebasan yang terbatas, karena mereka selalu dipingit. Hal inilah yang membuat Shamirah berupaya keluar dari tradisi masyarakat Arab, dan melakukan perubahan-perubahan sehingga para pemudi di jazirah Arab dapat berpartisipasi aktif dalam kebangkitan dan perkembangan masyarakatnya. Melalui karyanya beliau menyeru kepada kaum wanita untuk turut berpartisipasi aktif dalam membangun dan memajukan masyarakatnya.

Pada penelitian ini penulis ingin mengetahui tema apa yang terkandung pada novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ dengan menggunakan teori Nurgiyantoro yang didukung oleh teori Aminuddin.

Novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumuu‘i/ ini sebelumnya sudah pernah diteliti oleh Sri Hariani (990704019) dalam skripsinya yang berjudul

“Tinjauan Semiotik Dalam Novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/ Karya Shamirah.” Adapun yang penulis bahas adalah Tema dalam novel

عﻮ ﺪﻟا ﻦ تاﺮ

/Quţrātun Min Ad-Dumū‘i/.

Dokumen terkait