• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

A. Latar Belakang

Dasar pemikiran lahirnya KB di Indonesia adalah adanya permasalahan kependudukan. Aspek –aspek yang penting dalam kependudukan yaitu: jumlah besarnya penduduk, jumlah pertumbuhan penduduk, jumlah kematian penduduk, jumlah kelahiran penduduk, dan jumlah perpindahan penduduk (Anggraini dan Martini, 2011).

Survei terakhir Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2010 menyebut, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 237,6 juta orang dan diperkirakan melonjak menjadi 247,5 juta jiwa pada tahun 2015. Tahun 2025 angkanya dapat menembus 273 juta orang dan meningkat menjadi 308 juta tahun 2050. Sementara berdasarkan data penduduk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) diperkirakan penduduk dunia pada tahun 2050 berjumlah 9,6 miliar jiwa atau meningkat 3,5 miliar jiwa dari 6,1 miliar jiwa pada tahun 2000. Sedangkan penduduk Indonesia bertambah sebesar 98 juta jiwa dari 206,2 juta jiwa tahun 2000 menjadi 303,8 juta jiwa pada tahun 2050.

Sementara itu jumlah penduduk miskin berdasarkan data BPS pada 2012 menyebutkan sebanyak 29,13 juta. Dengan jumlah pengangguran mencapai 7,2 juta orang, lulusan SMA dan SMK paling banyak menyumbang angka pengangguran. Ledakan penduduk tersebut menyumbang pada peningkatan angka kemiskinan, pengangguran bahkan kematian.Diantaranya AKI dan AKB lantaran dipicu faktor tak lansung seperti kemiskinan dan minimnya pendidikan ibu hamil untuk mengandung dan melahirkan bayi yang

sehat.Kesehatan ibu dan bayi baru lahir di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan karena masih besarnya jumlah ibu dan bayi yang mati.Angka kematian ibu (AKI) sebagai salah satu indikator kesehatan ibu, dewasa ini masih tinggi di Indonesia bila dibandingkan dengan AKI di negara ASEAN lainnya (Kumalasari dan Andhyyantoro, 2012).

Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 mencatat, Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) di Indonesia masih di angka 2,6 atau rata-rata Wanita Usia Subur (WUS) memiliki tiga anak. Angka itu tidak bergeser sejak 2003 hingga 2012. Padahal, puluhan tahun silam program KB di Indonesia menjadi model atau contoh bagi negara lain.

Adapun tingginya TFR di antaranya dipicu tingginya perkawinan usia muda. Penurunan angka kelahiran menurut umur (Age Specific Fertility Rate / ASFR), khususnya pada usia remaja (15-19 tahun) tidak signifikan, yaitu 48 kelahiran di 2007, sedangkan target BKKBN turun hingga 30 kelahiran di 2014. Angka kelahiran juga meningkat di usia 20-24 tahun juga meningkat dari 135 menjadi 138 kelahiran. Padahal kelahiran di usia muda turut memicu bertambahnya AKI dan AKB. Tinggimya TFR juga dipengaruhi pemakaian alat KB (Contraceptive Prevalence Rate / CPR) yang rendah. Selama lima tahun ini CPR hanya meningkat 0,5 atau naik dari 57,4 menjadi 57,9. Hal ini terjadi karena banyak peserta KB yang mengalami ketidakberlangsungan (drop out), kegagalan dan efek samping alat kontrasepsi.

TFR selain dipengaruhi oleh CPR juga di pengaruhi oleh Unmet need, sebesar 12,3% perempuan usia 15-49 tahun tidak ingin menakut efgunakan alokon karena tek samping, 10,1% karena masalah kesehatan dan 3,1%

karena dilarang oleh suami. Unmet need dapat menyebabkan terjadinya kehamilan tidak diinginkan (KTD), yang kejadiannya di Indonesia termasuk tinggi. Diperkirakan sekitar 6%-16% kematian ibu disebabkan oleh praktik aborsi yang tidak aman yang dilakukan dalam menanggulangi masalah KTD, yang pada akhirnya akan mempengaruhi AKI (RAN Pelayanan Keluarga Berencana 2014-2015, 2013).

Tak hanya terkait pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, peran KB sedianya lebih dari itu. Program ini turut mencegah bertambahnya jumlah AKI dan AKB. Karena seperti diketahui, dekatnya jarak kelahiran antara anak yang satu dengan yang lainnya, serta jumlah anak yang terlalu banyak sedikit banyak menjadi faktor meningkatnya AKB dan AKI.Di sinilah peran KB begitu penting.

Namun faktanya, jumlah peserta KB di Indonesia baru 44 juta pasangan usia subur. Jumlah peserta KB baru 61,9 persen dari 71,08 juta pasangan usia subur (PUS) pada 2012. Padahal, targetnya 65 persen.

Sebagai istri harus minta izin suami untuk memakai alat kotrasepsi. Jika suami tak mengizinkan, mereka tak akan memakai alat kontrasepsi. Sebagian pemuka agama mengharamkan penggunaan kontrasepsi kecuali dengan pertimbangan kesehatan.Rendahnya kepesertaan KB bisa memicu berbagai persoalan kesehatan dan sosial.Angka kematian ibu dan bayi lebih tinggi (Suryani dan Rosmauli, 2014).

Tujuan program KB adalah untuk membentuk keluarga kecil bahagia sejahtera, dengan salah satu sasarannya meningkatkan partisipasi keluarga (Anggraini dan Martini, 2011).

Keluarga mempunyai fungsi dalam bidang kesehatan, yaitu fungsi reproduksi. Mengamalkan kaidah-kaidah reproduksi sehat, baik yang berkaitan dengan waktu melahirkan, jarak antara 2 anak dan jumlah ideal anak yang diinginkan dalam keluarga dan mengembangkan kehidupan reproduksi yang sehat sebagai modal yang kondusif menuju keluarga kecil bahagia sejahtera (Setiadi, 2008).

Untuk mengatasi masalah program KB ini maka petugas keluarga berencana (PKB) melakukan komunikasi informasi dan edukasi (KIE-PEDULI) dengan tujuan membentuk keluarga PEDULI : keluarga peduli KB dan kesehatan reproduksi, keluarga peduli ketahanan keluarga. Salah satu unsurnya yaitu, “dukungan”, setiap keluarga sesuai dengan potensi dan kemampuannya berusaha mendukung secara aktif untuk menjadikan keluarga kecil bahagia sejahtera (Karwati, dkk, 2011).

Pelayanan KB diarahkan untuk menunjang tercapainya kesehatan ibu dan bayi karena kehamilan yang diinginkan dan berlangsung pada keadaan dan saat yang tepat, akan menjamin keselamatan ibu dan bayi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelayanan KB yaitu, prioritas KB diberikan terutama pada PUS yang istrinya mempunyai keadaan “4 terlalu”, tanggung jawab dalam keikutsertaan ber-KB merupakan tanggung jawab bersama suami dan istri dan member nasihat tentang metode yang cocok, sesuai dengan hasil pemeriksaan fisik sebelum pelayanan KB diberikan pada klien (Kumalasari dan Andhyantoro, 2012).

Dengan masalah yang muncul di atas, yaitu: AKI dan AKB yang semakin meningkat, TFR dan pengguna KB yang belum sesuai target, maka

diperlukan dukungan keluarga dalam mendorong keikutsertaan WUS, PUS, dan terutama wanita risiko tinggi dalam program KB untuk meningkatkan status kesehatan serta menciptakan keluarga kecil bahagia sejahtera. Maka peneliti tertarik untuk meneliti bagaimanakah hubungan antara dukungan keluarga dengan keikutsertaan wanita usia subur resiko tinggi pada program KB.

Dokumen terkait