• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang

Dalam masa perkembangan suatu daerah diperlukan anggaran-anggaran untuk memajukan suatu daerah. Terdapat belanja daerah untuk membelanjai atau mendanai semua perlengkapan dan kegiatan yang akan dilakukan oleh daerah tersebut guna memajukan serta mengembangkan daerah tersebut.

Menurut IASC Framework (Halim, 2002 : 73), “Belanja daerah adalah Biaya atau belanja daerah merupakan penurunan dalam manfaat ekonomi selama periode akuntansi dalam bentuk arus keluar, atau deplasi aset, atau terjadinya hutang yang mengakibatkan berkurangnya ekuitas dana, selain yang berkaitan dengan distribusi kepada para peserta ekuitas dana”.

Secara umum Belanja dalam APBD dikelompokkan menjadi lima kelompok yaitu:

a. Belanja Administrasi Umum

Belanja Administrasi Umum adalah semua pengeluaran pemerintah daerah yang tidak berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Belanja administrasi umum terdiri atas empat jenis, yaitu:

1. Belanja Pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk orang/personel yang tidak berhubungan secara langsung dengan aktivitas atau dengan kata lain merupakan biaya tetap pegawai.

2. Belanja Barang, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang tidak berhubungan langsung dengan pelayanan publik.

3. Belanja Perjalanan Dinas, merupakan pengeluaran pemerintah untuk biaya perjalanan pegawai dan dewan yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.

4. Belanja Pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang tidak berhubungan secara langsung dengan pelayanan publik.

b. Belanja Operasi, Pemeliharaan sarana dan Prasarana Publik

Belanja ini merupakan semua pengeluaran pemerintah daerah yang berhubungan dengan aktivitas atau pelayanan publik. Kelompok belanja ini meliputi:

1. Belanja Pegawai, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk orang/personel yang berhubungan langsung dengan suatu aktivitas atau dengan kata lain merupakan belanja pegawai yang bersifat variabel.

2. Belanja Barang, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk penyediaan barang dan jasa yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik.

3. Belanja Perjalanan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk biaya perjalanan pegawai yang berhubungan langsung dengan pelayanan publik.

4. Belanja Pemeliharaan, merupakan pengeluaran pemerintah daerah untuk pemeliharaan barang daerah yang mempunyai hubungan langsung dengan pelayanan publik.

c. Belanja Modal

Belanja modal merupakan pengeluaran pemerintah daerah yang menfaatnya melebihi satu tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya operasi dan pemeliharaan. Belanja modal dibagi menjadi:

1. Belanja Publik, yaitu belanja yang manfaatnya dapat dinikmati secara langsung oleh masyarakat umum. Contoh belanja publik yaitu pembangunan jembatan dan jalan raya, pembelian alat transportasi massa, dan pembelian mobil ambulans.

2. Belanja aparatur yaitu belanja yang menfaatnya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat akan tetapi dirasakan secara langsung oleh aparatur. Contoh belanja aparatur: pembelian kendaraan dinas, pembangunan gedung pemerintahan, dan pembangunan rumah dinas.

d. Belanja Transfer

Belanja Transfer merupakan pengalihan uang dari pemerintah daerah kepada pihak ketiga tanpa adanya harapan untuk mendapatkan pengembalian imbalan meupun keuntungan dari pengalihan uang tersebut. Kelompok belanja ini terdiri atas pembayaran:

1. Angsuran Pinjaman 2. Dana Bantuan 3. Dana Cadangan

e. Belanja Tak Tersangka

Belanja tak tersangka adalah pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan tak terduga dan kejadian-kejadian luar biasa.

Perkembangan yang terjadi di Indonesia semakin pesat, seiring dengan adanya era baru dalam melaksanakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu ketetapan MPR yaitu Tap MPR No. XV/MPR/1998 tetang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, pemerintahan daerah dari 35 pemerintahan daerah kabupaten / kota telah menyelenggarakan otonomi daerah dengan lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah. Pelaksanaan otonomi daerah secara tegas dilakukan setelah ditetapkannya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah.

Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang–undangan. Sedangkan daerah otonom selanjutnya disebut daerah adalah kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai batas–batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam NKRI. Otonomi daerah secara efektif baru diberlakukan serentak mulai 1 Januari 2001.

Di satu pihak otonomi daerah yang ditandai dengan dikeluarkannya UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, yang sekarang telah diperbarui dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, memberikan harapan baru terhadap tumbuhnya kesadaran untuk membangun daerah secara lebih optimal, tidak lagi terkosentrasi di pusat. Namun dipihak lain, otonomi daerah menghadirkan kekhawatiran munculnya “ desentralisasi masalah” dan “desentralisasi kemiskinan”. Artinya pelimpahan masalah dan kemiskinan yang selama ini tidak mampu ditangani dan diselesaikan oleh pemerintah pusat. Kewajiban pemerintah pusat dalam negara kesatuan untuk menjamin sumber keuangan untuk membiayai otonomi tersebut.

Untuk menjaminnya sumber keuangan bagi daerah otonom, pemerintah harus menjamin perimbangan keuangan pusat dengan daerah. Perimbangan ini dapat ditempuh melalui salah satu dari dua metode berikut : pertama, perimbangan keuangan yang ditempuh dengan cara penetapan persentase tertentu bagi daerah otonom dari jenis penerimaan pusat. Dan metode kedua, perimbangan keuangan yang ditempuh dengan cara pembagian kewenangan mencari sumber pendapatan antar pusat dan daerah otonom (Ulum 2004:51).

Daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola dan menggunakan keuangannya sendiri yang cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Faktor keuangan merupakan faktor utama yang merupakan sumber daya finansial bagi pembiayaan penyelenggaraan roda pemerintah daerah. Keuangan daerah adalah keseluruhan tatanan, perangkat, kelembagaan, dan kebijakan penganggaran yang meliputi pendapatan dan belanja daerah (Tangkilisan 2005:71). Sumber-sumber penerimaan daerah terdiri atas sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, sumbangan dan bantuan, serta penerimaan pembangunan.

Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin dikurangi, sehingga pendapatan asli daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai persyaratan mendasar dalam sistem pemerintahan negara. Dengan dikuranginya bantuan dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lebih memaksimalkan sumber dana dari penghasilan daerahnya masing-masing.

Berkembang dengan pesatnya pembangunan daerah yang menyangkut perkembangan secara fiskal yang membutuhkan alokasi dana dari pemerintah daerah mengakibatkan pembiayaan pada pos belanja yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan membutuhkan tersedianya dana yang besar pula untuk membiayai kegiatan tersebut. Belanja (pengeluaran) pemerintah daerah yang oleh pemerintah daerah dilaporkan dalam APBD merupakan kegiatan rutin

pengeluaran kas daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan operasi dalam pemerintahan.

Selama ini manajemen keuangan daerah masih memprihatinkan. Anggaran daerah, khususnya belanja daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembangunan didaerah. Disisi lain banyak ditemukan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan penggunaannya tidak dilakukan secara hati-hati, sehingga kurang mencerminkan aspek ekonomi, efesiensi dan efektifitas. Hal ini disebabkan kualitas perencanaan anggaran daerah relatif lemah. Perencanaan anggaran yang lemah juga diikuti dengan ketidakmampuan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah secara kesinambungan. Sudah merupakan suatu keharusan diera otonomi ini pengelolaan keuangan daerah yang transparan dan akuntabel, sehingga akan meningkatkan kinerja bagi pemerintah daerah.

Fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian besar pemerintahan daerah di Indonesia di bidang keuangan daerah adalah relatif kecilnya peranan (kontribusi) PAD di dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dengan kata lain peranan/kotribusi penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan bukan pajak, mendominasi susunan APBD.

Berlakunya undang-undang No.33 th 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, membawa perubahan mendasar pada sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintah daerah. UU ini menegaskan bahwa untuk pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintahan pusat akan mentransferkan dana

perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan tersebut terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan bagian daerah dari bagi hasil pajak pusat. Disamping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki sumber pendanaan sendiri berupa Pendapatan Asli Daerah (PAD), pinjaman daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah.

Tujuan dari transfer dana perimbangan kepada pemerintah daerahadalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik. Adanya transfer dana ini bagi pemerintahdaerah merupakan sumber pendanaan dalam melaksanakan kewenangannya,sedangkan kekurangan pendanaan diharapkan dapat digali melalui sumberpendanaan sendiri yaitu PAD. Namun kenyataannya, transfer dari pemerintahpusat merupakan sumber dana utama pemerintah daerah untuk membiayai operasiutamanya sehari-hari atau belanja daerah, yang oleh pemerintah daerah dilaporkandiperhitungkan dalam APBD.

Adanya dana transfer tersebut berimplikasi pada APBD, yaitu padapos penerimaan, sebagai konsekuensinya adalah bertambah besarnya jumlahpenerimaan daerah. Perubahan jumlah penerimaan daerah yang cukup besartersebut harus diikuti dengan pengelolaan keuangan daerah yang efisien danefektif dan disertai dengan peningkatan Sumber Daya Manusia. UU No. 32 th2004 tentang pemerintah daerah dan UU No. 33 th 2004 tentang perimbangankeuangan antar pemerintah pusat dan pemerintah daerah, juga dapat

memberikanspirit bagi pemerintah daerah untuk memberdayakan sumber ekonomi yang adasecara mandiri, ekonomis, efisien, dan efektif.

Dalam penggunaan semua dana perimbangan tersebut diserahkansepenuhnya kepada pemerintah daerah. Namun pemerintah daerah harusmenggunakan transfer dari pemerintah pusat dalam bentuk Dana Perimbangantersebut secara efektif dan efisien dalam rangka peningkatkan standar pelayananpublik minimum serta disajikan secara transparan dan akuntabel. Akan tetapi padapraktiknya, transfer dari pemerintah pusat seringkali dijadikan sumber dana utamaoleh pemerintah daerah untuk membiayai operasi utama sehari -hari, yang olehpemerintah daerah dilaporkan diperhitungan Anggaran Pendaptan dan Belanja Daerah( APBD). Tujuan dari transfer ini adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antarpemerintah dan menjamin tercapainya standar pelayanan publik minimum diseluruhnegeri (Simanjuntak dalam Sidik et al dalam Maimunah M, 2006).

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkanbahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpabantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasifiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadappendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangandaerah secara utuh. Secara umum, semakin tinggi kontribusi pendapatan aslidaerah dan semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannyasendiri akan menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Dalam hal ini,kinerja keuangan positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerahdalam

membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerahpada daerah tersebut. Dalam hal ini Pendapatan Asli Daerah, khususnya berasaldari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang saat ini merupakan salah satusumber penerimaan yang menjadi tumpuan daerah karena 90% diantaranya adalahmenjadi hak daerah.

Tabel 1.1

Laporan Pendapatan Asli Daerah setiap Kabupaten / Kota di Jateng

Kabupaten/Kota 2011 2012 2013 Regency/City 01. Kab. Cilacap 173.141.334 196.673.442 278.507.546 02. Kab. Banyumas 193.263.340 242.106.509 308.349.434 03. Kab. Purbalingga 94.937.162 112.727.590 122.858.739 04. Kab. Banjarnegara 71.107.053 94.271.468 98.975.320 05. Kab. Kebumen 73.339.838 102.344.166 131.481.737 06. Kab. Purworejo 88.941.782 98.262.003 125.756.041 07. Kab. Wonosobo 67.397.977 82.335.296 108.729.509 08. Kab. Magelang 90.462.631 123.722.781 173.253.652 09. Kab. Boyolali 96.489.134 127.725.207 160.752.450 10. Kab. Klaten 72.293.790 84.756.022 115.454.162 11. Kab. Sukoharjo 96.166.807 164.954.319 192.971.720 12. Kab. Wonogiri 77.141.691 100.037.192 111.592.606 13. Kab. Karanganyar 104.080.774 116.706.893 161.724.334 14. Kab. Sragen 94.518.999 127.695.844 146.721.550 15. Kab. Grobogan 87.912.458 105.463.321 143.598.616 16. Kab. Blora 67.021.770 81.987.007 95.186.717 17. Kab. Rembang 73.931.946 102.727.487 126.808.084

18. Kab. Pati 134.475.562 163.733.666 169.127.416 19. Kab. Kudus 102.621.949 113.622.250 144.995.092 20. Kab. Jepara 103.642.014 129.076.570 133.778.055 21. Kab. Demak 74.559.136 105.363.370 138.214.446 22. Kab. Semarang 129.771.004 156.192.739 215.684.519 23. Kab. Temanggung 63.328.489 76.637.673 102.080.197 24. Kab. Kendal 93.289.527 120.162.136 132.870.703 25. Kab. Batang 60.155.029 84.720.050 139.634.472 26. Kab. Pekalongan 82.105.270 114.793.366 148.550.938 27. Kab. Pemalang 79.677.543 97.951.208 136.362.282 28. Kab. Tegal 90.133.274 118.741.620 156.244.860 29. Kab. Brebes 78.275.852 101.806.858 135.055.402 30. Kota Magelang 63.557.702 90.986.302 107.739.839 31. Kota Surakarta 181.096.816 231.672.100 298.400.847 32. Kota Salatiga 60.611.340 63.171.463 106.100.450 33. Kota Semarang 522.925.031 786.563.412 925.919.311 34. Kota Pekalongan 63.344.978 91.205.786 114.252.439 35. Kota Tegal 117.244.291 156.663.028 176.377.335 . Jumlah/Total 3.722.963.294 4.867.560.145 6.084.110.818

Sumber : Pemerintah Kabupaten/Kota

Dalam lima tahun terakhir upaya peningkatan PAD di masing-masing pemerintah daerah terlihat pada tabel 4. Secara umum terlihat ada peningkatan persentase PAD terhadap pendapatan daerahnya, meskipun tidak begitu besar. Kota Yogyakarta dalam lima tahun terakhir cukup berhasil meningkatkan persentase PADnya, dari 22,00 persen pada tahun 2010 menjadi 33,41 persen pada tahun 2014. Namun yang terjadi dengan Kabupaten Sleman meningkat dari

14,88 persen pada tahun 2010 menjadi 20,51 persen pada tahun 2014. Sementara itu tiga kabupaten lainnyapeningkatan persentase PAD nya tidak sebesar Kota Yogyakarta dan KabupatenSleman. Sebaliknya untuk Pemerintah Daerah D.I.Yogyakarta pada dua tahun terakhirmengalami penurunan persentase PAD setelah mengalami peningkatan yang signifikanpada tahun tahun sebelumnya. Meskipun demikian persentase PADnya masih lebihtinggi dibandingkan pemerintah kabupaten/kota di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu39,80 persen dari pendapatan daerahnya.

Melihat tren dan fenomena tersebut, pemerintah daerah D.I. Yogyakarta sewajarnya mulai memikirkan dan bertindak guna menggali potensi penerimaandaerah yang lain Hal ini sesuai dengan Undang-Undang No 34 tahun 2000 yangmerupakan perubahan atas Undang-Undang No 18 Tahun 1987 tentang PajakDaerah dan Retribusi Daerah, yang memberikan peluang dalam menggali potensisumber-sumber keuangannya termasuk obyek pajak baru dengan catatansepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasimasyarakat. Tindakan ini merupakan sebuah konsekwensi atas ditetapkannyaUndang-undang mengenai otonomi daerah yang menyebabkan pemerintah daerahharus dapat mengurangi ketergantungan anggaran dari pemerintah pusat dalambentuk DAU (Dana Alokasi Umum).

Peneliti sebelumnya seperti Mutiara Maemunah (2006) yang menelitidi Sumatera Utara, Kesit Bambang Prakosa yang meneliti di DIY dan JawaTengah, serta Widiyanto (2005) yang juga meneliti di DIY dan Jawa Tengahmemperoleh hasil yaitu PAD kurang signifikan berpengaruh terhadap BelanjaDaerah.

Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004, sumber-sumberpenerimaan daerah selain dari PAD juga berasal dari Dana Perimbangan,Pinjaman Daerah, serta Lain-lain Penerimaan yang Sah. Dana Perimbangan terdiri dariDana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan bukan pajak. Dana Bagi Hasil Pajak terdiridari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan(BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan pasal 29 Wajib Pajak OrangPribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Sedangkan dana bagi hasil bukan pajakbersumber dari sumber daya alam (kehutanan, pertambangan umum, perikanan,pertambangan minyak bumi, gas bumi, dan panas bumi).

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian akan melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil Terhadap Belanja Daerah Kabupaten / Kota di Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012-2014”.

Dokumen terkait