• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM KERJA SAMA INDONESIA – UNI EROPA

A. Kerjasama Indonesia – Uni Eropa

1. Latar Belakang VPA UE - Indonesia

Berbagai permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi didunia ini membuat masyarakat internasional mulai menaruh perhatian khusus terkait isu-isu lingkungan. Ketakutan akan adanya dampak yang lebih besar terjadi jika permasalahan lingkungan tetap dibiarkan sehingga membuat berbagai aktivitas kini yang dilakukan oleh masyarakat diupayakan dengan memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Oleh karena itu, berbagai aktor dengan berbagai power yang dimilikinya akan menjalakan fungsi dan perannya masing-masing dengan mempertimbangkan permasalahan lingkungan.

Salah satu isu lingkungan yang menjadi fokus pembahasan dari berbagai aktor adalah permasalahan penebangan kayu secara ilegal atau disebut dengan illegal logging. Penyebab terjadinya illegal logging adalah permintaan pasar akan produk kayu yang meningkat dan tidak sesuai dengan jumlah ketersediaan produk sehingga membuat “orang-orang” berlomba untuk memproduksi kayu dengan cara yang lebih cepat dan mudah. Apabila tindakan illegal logging ini terus dibiarkan, maka dapat memberikan dampak terhadap lingkungan hidup yang mencakup punahnya keanekaragaman hayati, penggundulan hutan, dan meningkatnya emisi gas rumah kaca. Bank Dunia memperkirakan bahwa pihak pemerintah di beberapa negara termiskin di dunia mengalami kerugian lebih dari 15 milyar US dollar per tahun sebagai dampak dari illegal logging (Fasilitas FLEGT UE, 2008).

53 Uraian di atas membuat masyarakat sadar akan efek dari illegal logging yang lambat laun akan memberikan dampak terhadap kondisi dunia global.

Berdasarkan hal tersebut, berbagai gerakan internasional terkait penyelamatan hutan tropis mulai digencarkan sejak tahun 1980. Seiring berjalannya, pada tahun 1998, negara-negara G8 meluncurkan “Program Aksi Hutan G8” untuk bekerja bersama dalam mengatasi pembalakan liar. Program tersebut merupakan bentuk kerjasama awal antara Bank Dunia, Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID UK), dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Penegakan Hukum untuk Asia Timur, yang kemudian dilanjutkan dengan konferensi tentang Penegakan Hukum dan Tata Kelola (Forest Law Enforcement and Governance / FLEG) (EU FLEGT Facility, 2015)

Pada bulan September 2001, diadakan sebuah Konferensi Tingkat Menteri Regional Pertama tentang FLEG untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik.

Dalam pertemuan ini dihadiri oleh pemerintah dan masyarakat internasional, pejabat senior negara-negara Asia Timur, Eropa, serta negara-negara terkait di Bali untuk membahas mengenai FLEG Asia. Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Bali yang menyepakati komitmen serta peran dan tanggung jawab negara-negara peserta untuk mengatasi kejahatan hutan dan pelanggaran hukum kehutanan (EU FLEGT Facility, 2015).

UE merupakan organisasi supranasional yang juga menaruh perhatian khusus terkait isu-isu lingkungan. Dalam permasalahan illegal logging, Uni Eropa mengadopsi kebijakan FLEG dan menambahkan satu bagian, yaitu perdagangan yang kemudian menjadi FLEGT (Forestry Law Enforcement, Governance and

54 Trade). FLEGT ini muncul sebagai respon atas pembahasan mengenai FLEG dan hasil dari deklarasi Bali, serta inisiatif regional lainnya.

Selain daripada itu, secara eksplisit melalui kebijakan tersebut mengakui bahwa UE adalah konsumen utama produk kayu dari kawasan-kawasan yang memiliki tingkat tertinggi dalam hal ilegalitas dan tata kelola yang buruk dalam sektor kehutanan. Permintaan dari Eropa dianggap sebagai penggerak yang signifikan untuk ilegalitas kayu, sehingga UE menjadi pasar yang potensial untuk kayu ilegal. Berdasarkan hal tersebut, Komisi Eropa merasa terdorong untuk menyelaraskan metode kehutanan agar sesuai dengan fokus paralel, yaitu mengendalikan pasar yang berpotensi menerima kayu ilegal di dalam ruang lingkup UE (Fasilitas FLEGT UE, 2008).

FLEGT merupakan kebijakan Uni Eropa untuk mengatasi permasalahan pembalakan liar dan perdagangan ilegal produk hasil hutan yang terjadi secara global (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2011). Keseriusan UE terkait permasalahan illegal logging dapat terlihat dari tindak lanjut yang dilakukannya mengenai FLEGT. Pada bulan April 2002, EC menyelenggarakan seminar internasional yang membahas terkait peran dan usaha negara-negara UE dalam memberantas penebangan liar. Pada pertemuan the World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg tahun 2002, EC telah menyampaikan komitmennya yang kuat untuk memberantas penebangan liar dan perdagangan hasil hutan ilegal. Komitmen tersebut kemudian direfleksikan dalam Rencana Aksi FLEGT yang diadopsi pada bulan Mei 2003 (Komisi Eropa, 2004).

55 Rencana Aksi FLEGT berisi komitmen Uni Eropa untuk mencegah hasil produk kayu illegal memasuki pasar Uni Eropa. Pencapaian komitmen tersebut dilakukan dengan memerangi penebangan liar, melarang kayu ilegal memasuki pasar Uni Eropa, dan mendorong penggunaan kayu legal. Dalam Rencana Aksi FLEGT ini memuat berbagai usaha ataupun tindakan untuk memberantas penebangan liar, yaitu berupa (Komisi Eropa, 2004):

a. dukungan untuk meningkatkan tata kelola dan kapasitas di negara-negara produsen kayu;

b. pengembangan Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan negara-negara produsen kayu untuk mencegah hasil produk kayu ilegal memasuki pasar UE;

c. upaya untuk mengurangi konsumsi kayu ilegal oleh negara-negara UE dan mencegah investasi oleh badan-badan atau institusi yang ada di negara-negara UE yang mungkin mendorong terjadinya penebangan liar.

Pertama, UE melakukan kerjasama dengan negara-negara produsen kayu sebagai bentuk usaha dalam bentuk memberantasi illegal logging. Kasus illegal logging ini banyak didapatkan di negara-negara berkembang yang juga kebanyakan merupakan negara penghasil produk kayu. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pengembangan dalam kerjasama keduanya berupa peningkatkan tata kelola dan kapasitas di negara-negara produsen kayu. Dengan demikian, kedua pihak dapat memainkan peranan penting dalam mengatasi kasus

56 tersebut. Berikut bentuk bantuan yang diperlukan dalam peningkatan tata kelola dan kapasitas (Komisi Eropa, 2004):

a. pengembangan sistem verivikasi yang dapat diandalkan untuk membedakan kayu legal dan kayu ilegal;

b. dorongan untuk melakukan keterbukaan melalui penyediaan informasi yang benar mengenai kepemilikan hutan, kondisi hutan, dan perundang-undangan;

c. peningkatan kapasitas badan-badan pemerintahan dan lembaga-lembaga lainnya untuk menegakkan peraturan yang ada, melaksanakan reformasi tata kelola, dan menghadapi isu-isu kompleks yang berkaitan dengan masalah illegal logging;

d. penguatan penegakan peraturan melalui peningkatan koordinasi antara para aparat kehutanan, polisi, bea cukai, dan para penegak hukum;

e. bantuan pelaksanaan reformasi kebijakan untuk menjamin adanya insentif yang memadai untuk para pengelola hutan yang baik, dan sanksi yang tegas untuk para pelanggar peraturan kehutanan.

Dalam peningkatan tata kelola dan kapasitas, keterlibatan para pemangku kepentingan dan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk keterbukaan dan menjamin bahwa langkah-langkah tersebut tidak memberikan dampak negatif lebih lanjut terhadap masyarakat.

57 Kedua, VPA merupakan perjanjian bilateral antara UE dengan negara-negara produsen kayu. Pengembangan melalui VPA dengan negara-negara-negara-negara produsen kayu adalah bentuk usaha untuk memastikan bahwa produk kayu yang dihasilkan oleh negara mitra dan yang diekspor ke UE merupakan hasil dari cara yang legal, dalam artian sesuai dengan aturan yang berlaku dalam peraturan negara mitra. Dengan demikian, negara mitra yang telah menyetujui perjanjian VPA ini telah menunjukkan komitmennya juga untuk mengatasi illegal logging di negaranya bersama dengan UE.

Sebelumnya, tidak ada mekanisme yang dapat membantu bea cukai untuk mengenali kayu ilegal dan mencegahnya untuk tidak memasuki pasar UE (Komisi Eropa, 2004). UE kemudian mengadopsi Regulasi No. 2173/2005, tanggal 20 Desember 2005 yang intinya adalah penetapan suatu “Licesing Scheme” untuk produk kayu ke UE melalui kemitraan dengan negara produsen kayu (Savirra, 2014). Berdasarkan hal tersebut, dalam VPA ini mengeluarkan suatu lisensi yang dapat memastikan bahwa produk kayu yang telah mendapatkan lisensi tersebut merupakan kayu legal, yaitu lisensi FLEGT. Lisensi FLEGT ini merupakan output dari VPA. Dengan mendapatkan lisensi FLEGT ini, menandakan bahwa produk kayu tersebut telah melewati proses legal sebagaimana dalam aturan yang menetapkan legalitas kayu dalam negara mitra tersebut. Keuntungan dengan diperolehnya lisensi FLEGT ini adalah produk kayu tersebut tidak perlu lagi melewati tahap due diligence (uji tuntas).

58 Terakhir, upaya untuk mengurangi konsumsi dan investasi yang mungkin mendorong terjadinya penebangan liar dilakukan dengan (Komisi Eropa, 2004):

a. mendorong negara anggota UE untuk melihat pada peraturan pengadaan barang untuk kepentingan umum. Dalam peraturan ini menjelaskan pilihan untuk meningkatkan penggunaan kayu legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari;

b. mendorong inisiatif sektor swasta yang berdasarkan kepada prinsip-prinsip tanggung jawab perusahaan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan;

c. mendorong pihak bank dan lembaga keuangan untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial pada saat melakukan uji kelayakan (due diligence assessments) untuk investasi dibidang kehutanan.

Dari Rencana Aksi FLEGT inilah, VPA muncul sebagai bentuk kerjasama antara UE dengan negara-negara produsen kayu yang ingin mengekspor produk kayunya ke pasar UE untuk mengurangai kasus illegal logging dan juga perdagangan kayu ilegal. VPA merupakan perjanjian sukarela perdagangan bilateral antara Uni Eropa dengan berbagai negara produsen kayu untuk menjamin bahwa hanya produk kayu verifikasi legal yang bisa masuk dalam pasar Uni Eropa. Dengan adanya VPA ini, peraturan terkait tata pengelolaan hutan dan perdagangan jenis produk kayu akan ditingkatkan guna dapat menghasilkan segala jenis produk kayu legal.

59 Hingga saat ini, terdapat lima negara yang juga mulai menegosiasikan VPA, yaitu: Ghana, Congo, Cameroon, Indonesia, Malaysia, Liberia, Republic Central Afrika, dan Vietnam (Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas kayu, 2012). Dari keseluruhan negara yang juga menegosiasikan VPA, Indonesia merupakan negara pertama yang telah berhasil mendapatkan Lisensi FLEGT pada tanggal 15 November 2016. Dengan begitu, terlihat bahwa juga keseriusan Indonesia dalam mengatasi permasalahan illegal logging di negaranya.

Indonesia merupakan salah satu negara eksportir kayu terbesar di dunia.

Indonesia memiliki kawasan hutan yang cukup besar, dengan kawasan hutan yang cukup besar tersebut tentunya menyimpan kekayaan alam yang sangat besar pula, termasuk kayu atau pepohonan. Kekayaan hutan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia selain Brazil dan Zaire. Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia. Luas hutan hujan tropis Indonesia mencapai 60%

dari total luas daratan negaranya. Sehingga, selama kurang lebih lima dekade terakhir, hutan dan sektor kehutanan Indonesia telah memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi negaranya (ITS Global, 2011). Namun, besarnya luas hutan yang dimiliki oleh Indonesia diikuti dengan meningkatnya kerusakan hutan yang harus dihadapi. Sejumlah sumber menyebutkan peningkatan kerusakan hutan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia, tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Pada tahun 1999, Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) meluncurkan “The Final Cut”, yaitu sebuah publikasi mengenai merajalelanya pembalakan liar dan penyelundupan kayu ilegal dari Indonesia (EU FLEGT Facility, 2015). Data dari Enforcement Economic Program Conservation

60 International-Indonesian merilis data pada tahun 2004 bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan Rp. 83 miliar perhari akibat illegal logging. Kerugian yang dialami tersebut merupakan angka kerugian minimum karena kerugian yang disebutkan belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, dan sebagainya.

Hal inilah yang menjadi awal mula keseriusan Indonesia dalam menanggapi kasus illegal logging di negaranya, yaitu jauh sebelumnya ditandatanganinya VPA oleh Indonesia. Indonesia resah atas segala kerugian dan tuduhan dari dunia internasional yang diakibatkan oleh tingginya kasus illegal logging yang terjadi di negaranya. Keresahan inilah yang kemudian membuat Indonesia berinisiatif untuk menegakkan aturannya terkait tata kelola hutannya (Oky, 2017).

Sama seperti UE, tahap awal Indonesia untuk membahas kasus illegal logging yaitu dalam Konferensi Tingkat Menteri dan Regional Pertama tentang FLEGT pada tahun 2001 yang kemudian melahirkan Deklarasi Bali. Tahun 2002 Indonesia lebih memperlihatkan keseriusannya. Hal ini terlihat dengan banyaknya perjanjian yang ditandatangani terkait penanggulangan illegal logging, termasuk Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Inggris untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan penegakan hukum sektor kehutanan, pemberantasan pembalakan liar dan perdagangan internasional produk kayu legal (EU FLEGT Facility, 2015).

61 Selain itu, pada tahun 2003 Indonesia pun melakukan upaya untuk melengkapi penegakan hukumnya melalui pengembangan sistem jaminan legalitas kayu nasional yang disebut dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

SVLK merupakan instrumen yang digunakan dalam membenahi tata kelola hutan melalui verifikasi legalitas yang mencakup pemanenan, pengangkutan, pengolahan, serta pemasaran oleh unit manajemen kehutanan Indonesia (Ferdyan, 2015). Dalam pengembangan SVLK dan pembahasan definisi legalitas yang mendasari sistem tersebut melibatkan Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok masyarakat sipil, sektor privat, kalangan akademisi, serta para pihak yang peduli kelestarian hutan.

Dalam berjalannya proses SVLK, diadakan sebuah Lokakarya Regional dan Nasional yang membahas tentang VPA. Indonesia menilai bahwa VPA sejalan dengan SVLK yang akan dibuat, sehingga pada tahun 2006 Indonesia sepakat untuk memasuki tahap negosiasi VPA dengan UE. Lalu, pada bulan Januari 2007, Indonesia dan UE mengeluarkan pernyataan bersama tentang VPA.

(Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas kayu, 2012). Tujuan utama proses VPA UE – Indonesia adalah untuk menyediakan suatu kerangka legal yang akan menjamin seluruh produk kayu yang diimpor oleh UE dari Indonesia telah diproduksi secara legal, sebagaimana dibahas dalam kesepakatan (EU FLEGT Facility, 2015). Dengan adanya kerangka legal tersebut, segala jenis produk kayu Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam VPA, tidak perlu lagi melewati proses due diligence untuk masuk ke dalam pasar UE.

62 Perundingan VPA – Indonesia dimulai sejak bulan Januari 2007.

Berjalannya negosiasi VPA, pada bulan Juni 2009 terbitlah regulasi Indonesia terkait SVLK melalui Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak (Multistakeholder Forestry Programme, 2015). Penerbitan regulasi terkait SVLK ini merupakan bentuk respon dari usaha untuk mengatasi kasus illegal logging melalui peningkatan tata kelola hutan dan juga untuk menjawab tuntutan negara-negara UE kepada negara-negara penghasil kayu mitra VPA.Tuntutan yang diajukan UE tersebut merupakan bentuk upaya untuk mencegah illegal logging dan illegal trading yang dapat memberikan dampak pada climate change dan global warming.

Adanya regulasi terkait SVLK inilah membuat dialog antara UE – Indonesia semakin intensif. Negosiasi VPA antara Uni Eropa dengan Indonesia terjadi dalam kurun waktu tahun 2007 – 2011. Sejak Maret 2007 – April 2011, telah diadakan beberapa forum untuk menyelesaikan dan menyepakati teks VPA serta lampiran-lampirannya, yaitu tiga Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting), tujuh Pertemuan Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Gruoup), tujuh Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert Meeting), dan delapan Konferensi Video (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2011). Setelah melewati proses negosiasi dan terselesaikannya teks VPA serta lampiran-lampirannya, VPA UE – Indonesia kemudian ditandatangani pada 30 September 2013 di Brussels.

63 2. Proses VPA di Indonesia

Pada tahun 2006, Indonesia sepakat untuk memasuki tahap negosiasi VPA. Secara keseluruhan, proses berjalannya VPA terdiri atas empat tahapan, yaitu persiapan, perundingan, pengembangan, dan implementasi. Ketika seluruh proses telah dijalankan, maka Indonesia akan mendapatkan Lisensi FLEGT yang merupakan output dari kesepakatan ini.

Dokumen terkait