• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH VOLUNTARY PARTNERSHIP AGREEMENT (VPA) TERHADAP PENINGKATAN EKSPOR KAYU INDONESIA KE UNI EROPA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH VOLUNTARY PARTNERSHIP AGREEMENT (VPA) TERHADAP PENINGKATAN EKSPOR KAYU INDONESIA KE UNI EROPA"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH VOLUNTARY PARTNERSHIP AGREEMENT (VPA) TERHADAP PENINGKATAN EKSPOR KAYU INDONESIA

KE UNI EROPA

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu Hubungan Internasional

Oleh:

HILDAYANI RUSDY E13113517

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017

(2)
(3)
(4)

iv ABSTRAKSI

HILDAYANI RUSDY, E13113517, Pengaruh Voluntary Partnership Agreement (VPA) terhadap Peningkatan Ekspor Kayu Indonesia ke Uni Eropa. Dibimbing oleh Muhammad Nasir Badu, Ph.D, selaku pembimbing I dan Muhammad Ashry Sallatu, S.IP, M.Si, selaku pembimbing II, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan peran VPA terhadap ekspor kayu Indonesia ke Uni Eropa dan strategi serta dampak VPA dalam tata kelola hutan di Indonesia. Dalam mencapai tujuan tersebut, penulis menggunakan penelitian dengan tipe deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah wawancara dan studi pustaka. Penulis menganalisis data menggunakan teknik analisis kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif dan untuk pembahasan masalah, penulis menggunakan teknik penulisan deduktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa VPA memiliki peran dalam terhadap ekspor kayu Indonesia ke Uni Eropa, yaitu memperbaiki kualitas kayu dan produk kayu yang dihasilkan serta mempermudah akses pasar UE. Strategi VPA dalam tata kelola hutan di Indonesia, yaitu meningkatkan partisipasi, memperkuat kapasitas, meningkatkan transparansi, meningkatkan kejelasan legislative dan kelembagaan, serta meningkatkan akuntabilitas. Dengan adanya VPA, melalui dilaksanakannya strategi tersebut, membuat tata kelola hutan yang ada di Indonesia dijamin kredibilitasnya dan diakui oleh UE, bahkan dunia internasional.

Kata Kunci: VPA, Ekspor Kayu, Indonesia, Uni Eropa

(5)

v ABSTRACT

HILDAYANI RUSDY, E13113517. The Effect of Voluntary Partnership Agreement (VPA) toward the increasing Indonesian Wood Exports to the European Union, under the guidance of Muhammad Nasir Badu, Ph.D as the first advisor and Muhammad Ashry Sallatu, S.IP, M.Si as the second advisor, Department of International Relations, Faculty of Social and Political Sciences, University of Hasanuddin,

This research aims to explain role, strategy and impact of VPAs toward Indonesia’s wood exports to the European Union and forest governance in Indonesia. In achieving these objectives, the authors use research with qualitative descriptive type. The author use the Technique of collecting data by interview and literature study. The authors analyzed the data using qualitative analysis techniques supported by quantitative data. Regarding the discussion of problems, the author use deductive writing techniques. The results of this research indicate that the VPA has a role in the export of Indonesian wood to the European Union to improve the quality of wood and products produced and the same time to facilitate the access for European Union market. The VPA’s strategy on forest governance in Indonesia is to increase the participation, strengthen the capacity, increase the transparency, increase the legislative, improve the institutional clarity, and improve the accountability. With the VPA, through the implementation of the strategy, forest governance in Indonesia get guaranteed its credibility and recognized by the European Union, even the international community.

Key words: VPA, wood exports, Indonesia, EU

(6)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

ABSTRAKSI ... iv

ABSTRACT ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR BAGAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

D. Kerangka Konseptual ... 9

E. Metode Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Rezim Internasional ... 17

B. Ekonomi Politik Internasional ... 29

C. Penelitian-penelitian Sebelumnya ... 37

BAB III GAMBARAN UMUM KERJA SAMA INDONESIA – UNI EROPA ... 41

A. Kerjasama Indonesia – Uni Eropa ... 41

B. Voluntary Partnership Agreement (VPA) Uni Eropa – Indonesia ... 52

1. Latar Belakang VPA UE - Indonesia ... 52

2. Proses VPA di Indonesia ... 63

3. Nilai Strategis Indonesia dan Uni Eropa dalam VPA ... 72

4. Ekspor Kayu Indonesia ke Uni Eropa ... 73

BAB IV PENGARUH VOLUNTARY PARTNERSHIP AGREEMENT (VPA) TERHADAP EKSPOR KAYU DAN TATA KELOLA HUTAN DI INDONESIA ... 78

A. Peranan Voluntary Partnership Agreement (VPA) terhadap Peningkatan Ekspor Kayu Indonesia ke Uni Eropa ... 80

B. Strategi dan Dampak Voluntary Partnership Agreement (VPA) dalam Tata Kelola Hutan di Indonesia ... 89

(7)

xiii

BAB V PENUTUP ... 105

A. Kesimpulan ... 105

B. Saran-saran ... 106

DAFTAR PUSTAKA ... xvi

(8)

xiv DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi perbedaan pendekatan realismee, neoliberalisme, dan kognitivisme dalam rezim internasional 22

Tabel 3.1 Nilai ekspor kayu dan produk kayu Indonesia ke seluruh

negara 74

Tabel 3.2 Nilai ekspor kayu dan produk kayu Indonesia ke negara-negara

anggota UE 76

(9)

xv DAFTAR BAGAN

Bagan 3.1 Proses VPA 63

Bagan 4.1 Pemangku kepentingan beserta peranannya dalam VPA 92

(10)
(11)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap negara yang ada di dunia ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, baik dari segi produksi, sumber daya alam yang dimilikinya, sumber daya manusia, dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan berbagai faktor, mulai dari letak geografisnya, jumlah penduduk hingga sejarah yang dimilikinya.

Oleh karena itu, suatu negara dengan negara lainnya melakukan kerjasama satu sama lain sebagai bentuk usaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya dengan negaranya sendiri.

Salah satu bentuk kerjasama yang diadakan oleh negara untuk memenuhi kebutuhannya yaitu dengan cara melakukan ekspor dan impor. Ada banyak alasan yang mendasari suatu negara terlibat secara penuh dalam bidang ekspor dan impor. Salah satu alasan yang mendasari terjadinya ekspor dan impor dikarenakan tidak setiap negara mampu menghasilkan seluruh jenis produk dengan caranya sendiri. Oleh karena itu, setiap negara saling berhubungan untuk mengisi dan memenuhi setiap kekurangan yang dimilikinya, tujuannya yaitu mampu memberi dan memenuhi setiap kekurangan yang dimiliki dan juga bisa membuktikan dirinya mampu untuk berkompetitif di pasar internasional (Fahmi, 2013, p. 192).

(12)

2 Pada dewasa ini, dalam ilmu hubungan internasional, negara bukan sebagai satu-satunya aktor yang dapat melakukan dan menjalankan kegiatan ekspor/impor, melainkan terdapat beberapa aktor, mulai dari perusahaan bahkan organisasi yang dibentuk berdasarkan kondisi maupun kebutuhannya. Dalam hal ini, juga terdapat negara yang melakukan kegiatan ekspor/impor dengan organisasi regional.

Terdapat berbagai faktor yang membedakan dari kedua aktor ini sehingga muculnya keterbatasan dan perbedaan-perbedaan yang dimiliki. Keterbatasan yang dimiliki tersebut serta meningkatnya kebutuhan masyarakatnya sehingga harus melakukan kegiatan ekspor/impor guna memenuhi kebutuhannya. Misalnya kegiatan ekspor/impor yang dilakukan oleh Indonesia dengan Uni Eropa.

Kerjasama antara Indonesia dengan Uni Eropa dirintis pada tahun 1967 di bawah kerangka ASEAN ketika Uni Eropa masih berbentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (Europe Economic Community). Perkembangan hubungan antara Indonesia – Uni Eropa tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di Indonesia maupun Uni Eropa. Indonesia dan Uni Eropa mempunyai nilai yang sama terhadap dalam perkembangan daerah, demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan (European External Action Service, 2016)

Terdapat beberapa faktor yang mendukung terjalinnya kerjasama antara Indonesia dengan Uni Eropa, baik dari sisi Indonesia, maupun dari sisi Uni Eropa.

Indonesia memiliki potensi pasar yang dapat menarik Uni Eropa untuk menjalin hubungan ekonomi yang lebih maju. Namun demikian, Indonesia juga memiliki beberapa kekurangan yang dapat menghambat hubungan ekonomi dengan Uni Eropa, yaitu dari segi infrastruktur dan aspek teknologi yang kurang memadai.

(13)

3 Uni Eropa juga memiliki kekuatan dan kelemahan yang harus diperhitungkan sebagai mitra dalam hubungan ekonomi. Kekuatan Uni Eropa yaitu terkait posisinya yang kuat dalam organisasi internasional sehingga dapat memberikan pengaruh dalam menentukan aturan main terkait dengan hubungan ekonomi. Selain itu, Uni Eropa memiliki teknologi maju dan infrastruktur yang mendukung berbagai aktivitas ekonomi. Secara umum Uni Eropa lebih maju, tetapi juga tetap memiliki kelemahan, yaitu keberagaman budaya dan bahasa antarnegara anggota Uni Eropa yang menghambat mobilitas sumber daya (Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan dan Program Studi Kajian Wilayah Eropa Program Pascasarjana UI, 2012)

Sejak tahun 2000 Uni Eropa telah menunjukkan keinginan untuk meningkatkan hubungan bilateral dengan Indonesia. Kesepakatan kedua pihak untuk meningkatkan hubungan tercermin dalam “RI – EU Joint Declaration”

pertemuan Menteri Luar Negeri Indonesia – Komisioner Hubungan Eksternal di Luxembourg tanggal 14 Juni 2000, yang menyepakati peningkatan dialog Indonesia – Uni Eropa melalui Bilateral Consultative Forum (Forum Konsultasi Bilateral/FKB). Forum tersebut memprioritaskan pembahasan pada masalah- masalah bilateral, utamanya upaya bersama untuk meningkatkan perdagangan, investasi, dan kerjasama pembangunan serta dialog politik. FKB diadakan tiap tahunnya dengan pembahasan terkait hasil pencapaian yang telah dijalankan berdasarkan pembahasan di pertemuan sebelumnya, serta isu-isu perkembangan terkini yang akan didiskusikan secara intensif oleh kedua pihak, yaitu Indonesia dan Uni Eropa. Indonesia memandang penting FKB sebagai sarana untuk

(14)

4 membahas secara lebih fokus berbagai upaya untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama Indonesia – Uni Eropa (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015). Salah satu isu yang menjadi perhatian keduanya yaitu terkait permasalahan kejahatan hutan dan pelanggaran hukum kehutanan.

Pada bulan September 2001, diadakan sebuah pertemuan antara pemerintah dan masyarakat internasional, pejabat senior negara-negara Asia Timur, Eropa, serta negara-negara terkait di Bali untuk membahas mengenai FLEG (Forest Law Enforcement and Governance) Asia. Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Bali yang berisikan terkait peran dan tanggung jawab kedua belah pihak antara Indonesia dan Uni Eropa dalam menemukan solusi terhadap masalah penebangan ilegal dan perdagangan produk kayu yang ilegal. Sebagai respon atas FLEG dan inisiatif regional lainnya, Uni Eropa mengadopsi kebijakan FLEG dan menambahkan satu bagian, yaitu perdagangan yang kemudian menjadi FLEGT (Forestry Law Enforcement, Governance and Trade) .

FLEGT merupakan kebijakan Uni Eropa untuk mengatasi permasalahan pembalakan liar dan perdagangan ilegal produk hasil hutan yang terjadi secara global (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2011). Kebijakan ini diturunkan dalam suatu Rencana Aksi FLEGT tahun 2003 yang diantaranya berisi komitmen Uni Eropa untuk mencegah hasil produk kayu illegal memasuki pasar Uni Eropa. Usaha untuk mewujudkan komitmen tersebut dilaksanakan melalui pengembangan Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership Agreement) dengan negara-negara produsen kayu, salah satunya Indonesia.

(15)

5 Voluntary Partnership Agreement (VPA) merupakan perjanjian sukarela perdagangan bilateral antara Uni Eropa dengan berbagai negara produsen kayu untuk menjamin bahwa hanya produk kayu verifikasi legal yang bisa masuk dalam pasar Uni Eropa. Dengan adanya VPA ini, peraturan terkait tata pengelolaan hutan dan perdagangan jenis produk kayu akan ditingkatkan guna dapat menghasilkan segala jenis produk kayu legal. Tujuan utama proses VPA Uni Eropa – Indonesia adalah untuk meningkatkan tata kelola dan menyediakan suatu kerangka legal yang dapat menjamin seluruh produk kayu yang diimpor Uni Eropa dari Indonesia telah diproduksi secara legal sesuai dengan peraturan perundang-undangan Indonesia (Kementerian Perdagangan Indonesia, 2013).

Indonesia merupakan salah satu negara eksportir kayu terbesar di dunia.Indonesia memiliki kawasan hutan yang cukup besar, dengan kawasan hutan yang cukup besar tersebut tentunya menyimpan kekayaan alam yang sangat besar pula, termasuk kayu atau pepohonan. Kekayaan hutan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia selain Brazil dan Zaire. Berdasarkan Catatan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia tahun 2011, hutan Indonesia mencapai 99,6 juta hektar. Namun, besarnya luas hutan yang dimiliki oleh Indonesia diikuti dengan meningkatnya kerusakan hutan yang harus dihadapi.Sejumlah sumber menyebutkan peningkatan kerusakan hutan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia, tercatat sebagai tiga terbesar di dunia.

(16)

6 Salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan adalah penebangan kayu secara ilegal (illegal logging). Praktik illegal logging terjadi karena adanya mekanisme ekonomi pasar, yaitu pemenuhan jumlah permintaan. Ketidaksesuaian antara permintaan usaha pasar dengan jumlah pasokan kayu yang tersedia sehingga mendorong terjadinya praktik illegal logging. Data dari Enforcement Economic Program Conservation International-Indonesian merilis data pada tahun 2004 bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan Rp. 83 miliar perhari akibat illegal logging.

Kerugian yang dialami tersebut merupakan angka kerugian minimum karena kerugian yang disebutkan belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, dan sebagainya.

Dengan tingginya jumlah kasus illegal logging yang terjadi di Indonesia, berbagai usaha telah dilakukan oleh Indonesia untuk mencegah maupun mengurangi jumlah kasus tersebut. Hal ini terlihat salah satunya dengan memperkuat penegakan hukum terhadap pembalakan liar dan perbaikan tata kelola hutan. Untuk melengkapi upaya penegakan hukum, Indonesia telah mengembangkan sistem jaminan legalitas kayu nasional yang disebut Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber yang legal dan terverifikasi. Dengan begitu, adanya SVLK ini dapat mempromosikan bagi produk kayu yang terverifikasi legal dan menutup akses pasar bagi produk illegal. Upaya Indonesia memberikan jaminan legalitas terhadap produksi kayunya sejalan dengan kecenderungan pasar perkayuan dunia.

(17)

7 Perkembangan SVLK yang dilakukan oleh Indonesia sejalan dengan VPA Uni Eropa, karena substansi dari VPA itu sendiri yaitu adanya suatu sistem yang menjamin legalitas kayu yang diproduksi oleh negara mitra. Setelah melalui proses negosiasi yang panjang, pada tanggal 30 September 2013, Indonesia – Uni Eropa menandatangani perjanjian VPA di Brussels. Pada tanggal 15 November 2016, Indonesia telah mendapatkan lisensi FLEGT yang merupakan output dari VPA. Lisensi FLEGT yang telah didapatkan ini menandakan bahwa SVLK Indonesia telah mengikuti EU Timber Regulation dan telah memenuhi syarat sebagaimana dalam VPA UE – Indonesia.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis melihat eksklusifitas VPA sebagai produk kebijakan Uni Eropa yang tidak hanya mengatur dalam sektor ekonomi, khususnya permasalahan ekspor-impor kayu, melainkan juga dalam sektor lingkungan, yaitu terkait tata kelola hutan. Dengan demikian, melalui VPA ini selain mempunyai peranan dalam ekpor kayu pasar UE, juga tetapi juga memberikan dampak terhadap tata kelola yang ada di Indonesia sebagai negara mitra VPA. Hal tersebut dikarenakan indikator penandatanganan VPA ini yaitu tercapainya kesepakatan antara Indonesia dan Uni Eropa terkait sistem jaminan legalitas kayu yang ada di Indonesia. Maka dari itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Pengaruh Voluntary Partnership Agreement (VPA) dalam meningkatkan ekspor kayu Indonesia ke Uni Eropa”

(18)

8 B. Batasan dan Rumusan Masalah

Terdapat beberapa jenis produk kayu yang masuk dalam Voluntary Partnership Agreement sesuai dengan aturan kayu SVLK yang ditetapkan di Indonesia. Pada penelitian ini, penulis memberikan batasan data ekspor kayu Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2012 sampai bulan Juli 2017. Seperti yang telah dijelaskan, VPA diratifikasi oleh Indonesia pada April 2014 dan berhasil mendapatkan Lisensi FLEGT pada tanggal 15 November 2016.

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana peran Voluntary Partnership Agreement (VPA) terhadap ekspor kayu Indoensia ke Uni Eropa?

2. Bagaimana strategi dan dampak Voluntary Partnership Agreement (VPA) dalam tata kelola hutan di Indonesia?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penulis dalam melakukan penelitian ini antara lain:

1. Untuk menjelaskan peran dari VPA terhadap ekspor kayu Indoensia ke Uni Eropa.

2. Untuk menjelaskan strategi dan dampak VPA dalam tata kelola hutan di Indonesia.

Adapun kegunaan yang diharapkan oleh penulis dari hasil penelitian ini terdiri dari:

1. Diharapkan mampu menjadi referensi bagi pengembangan disiplin ilmu hubungan internasional kedepannya, khususnya dalam kajian kerjasama Negara dengan organisasi regional.

(19)

9 2. Diharapkan mampu memberikan informasi dan menjadi bahan kajian baik bagi para akademisi maupun peneliti studi ilmu hubungan internasional.

D. Kerangka Konseptual 1. Rezim Internasional

Dalam hubungan internasional, interaksi yang terjadi antar negara membutuhkan suatu tatanan untuk mengatur berjalanya pengelolaan dengan baik. Tiap negara memiliki kepentingan dan kekuatan yang berbeda-beda.

Demi menciptakan suasana interaksi yang kondusif maka interaksi-interaksi tersebut perlu diatur dalam peraturan internasional yang mengikat. Upaya untuk memahami maksud dan kondisi-kondisi seperti apa yang membuat negara bekerja sama dimaksudkan sebagai studi mengenai rezim internasional.

Krasner memberikan definisi bahwa rezim internasional merupakan serangkaian prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan dimana ekspektasi dan para aktornya bertemu pada area tertentu dalam hubungan internasional (Hennida, 2015, pp. 3 - 4). Lebih lanjut lagi dijelaskan, rezim menurut Krasner merupakan variabel sela yang berdiri diantara variabel bebas yang berupa faktor-faktor dasar yang menjadi penyebab dan variabel terikat yang berupa hasil atau perilaku yang diharapkan muncul (Hennida, 2015, p. 4). Variabel bebas yang dimaksud seperti norma dan kepentingan, sedangkan variabel terikat dimaksudkan

(20)

10 pada pengaruh yang dapat memberikan dampak terhadap perilaku aktor yang bersangkutan.

Menurut Krasner, dalam rezim terdapat empat komponen yaitu prinsip, norma, peraturan, dan prosedur pembuatan keputusan (Hennida, 2015, pp. 5 - 6). Prinsip merupakan hal dasar yang menjadi pegangan aktr dalam berperilaku. Norma merupakan standar perilaku yang harus dijalankan oleh aktor. Komponen ketiga, yaitu peraturan yang merupakan ketentuan yang sangat mudah untuk berubah. Komponen keempat, yaitu prosedur pembuatan keputusan yang membutuhkan pendapat dari banyak pihak yang semakin menambah sifat subyektivitasnya. Keempat hal tersebutlah yang dapat memberikan pengaruh terhadap aktor dalam berperilaku sehingga adanya aturan baru yang dikeluarkan untuk menyikapi isu.

Hasenclever, Mayer, dan Rittberger mengemukakan bahwa terdapat tiga pendekatan yang bisa digunakan untuk menganalisis rezim internasional. Salah satunya adalah pendekatan berbasis kepentingan. Dalam pendekatan ini, menekankan pentingnya peran rezim dalam membantu negara untuk mengenali kepentingan-kepentingan yang sama atas isu-isu tertentu (Hennida, 2015, p. 77). Negara sebagai aktor selalu mencari cara untuk mencapai kepentingannya. Untuk mencapainya, aktor melakukan maksimalisasi utilitas individu, dan negara dianggap sebagai refleksi atas apa yang diinginkan oleh individu. Dalam level internasional, kepentingan- kepentingan tersebut bertemu dan dinegosiasikan dalam bentuk-bentuk kerja sama.

(21)

11 Teori ini digunakan untuk membantu dalam menganalisis VPA sebagai hasil perjanjian Uni Eropa yang merupakan salah satu aktor dalam membuat keputusan untuk melakukan kerja sama dengan Indonesia dalam mengatasi illegal logging dan mengatur jenis produk kayu yang akan diekspor oleh Indonesia melalui mekanisme penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan di sektor kehutanan. Mekanisme dari kesepakatan ini merupakan upaya penegakan untuk kasus illegal logging yang terjadi, peningkatan tata kelola hutan, serta untuk memastikan segala jenis produk kayu yang diimpor oleh Uni Eropa adalah legal.

2. Ekonomi Politik Internasional

Isu globalisasi yang tengah terjadi saat ini tidak saja telah meruntuhkan dinding-dinding ideologi dan kedaulatan negara, melainkan juga menyebabkan intensitas interaksi dan interdepedensi antar warga suatu negara dengan warga negara lain. Suatu hal yang terjadi dalam suatu negara dengan sangat cepat menyebar ke negara lainnya. Selain itu, peristiwa yang sedang berlangsung di suatu negara tertentu maka dalam waktu singkat berdampak terhadap warga negara lain. Sebagaimana yang dikatakan Alison Watson yang mengumpamakan dunia seperti kampung besar bahwa setiap orang di kampung dunia dalam berbagai cara terpengaruh oleh kejadian- kejadian dalam ekonomi politik global (Bakry, 2015).

(22)

12 Para ahli dan pemerhati Ekonomi Politik Internasional (EPI) menjelaskan bahwa pada dasarnya EPI menyangkut kait mengait antara politik dan ekonomi. Fokus perhatian mereka adalah bagaimana kekuatan- kekuatan politik (negara, lembaga, pelaku individual, dan sebagainya) membentuk atau memengaruhi interaksi ekonomi, dan sebaliknya bagaimana efek dari interaksi ekonomi terhadap struktur atau proses politik (Bakry, 2015, p. 2).

Dalam ekonomi politik internasional, interaksi antar aktor atau pelaku ekonomi dicapai melalui komunikasi, salah satunya adalah diplomasi.

Diplomasi penting dilakukan agar adanya saluran komunikasi antar suatu negara, atau pihak yang ada disuatu negara, dengan negara lain (atau tentunya pihak yang ada di negara lain). Tanpa adanya saluran diplomasi, maka akan banyak persoalan-persoalan antar negara yang tidak terselesaikan. Dan bila hal ini terjadi secara terus menerus maka pada suatu titik dikhawatirkan akan adanya keterdesakan negara untuk mengambil tindakan ekstrim yakni perang. (Irawan & Kartasasmita, 2015). KM Panikkar dalam bukunya The Principle and Practice of Diplomacy (1995), memberi batasan diplomasi sebagai seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam berhubungan dengan negara lain (Emilia, 2013, p. 5).

Diplomasi ekonomi merupakan diplomasi yang dikait-kaitkan dengan faktor ekonomi. Diplomasi ekonomi sebagai berbagai upaya untuk menjalin, meningkatkan, dan memanfaatkan hubungan atau kerja sama dan menggunakan kekuatan politik untuk mencapai tujuan-tujuan ekonomi.

(23)

13 Negara-negara mempunyai sensitifitas dalam hal-hal yang dapat sama maupun berdeda karena karakteristik perekonomiannya, sehingga diplomasi ekonomi ini penting untuk menjaga agar hubungan ekonomi yang dilakukan antar pelaku antar negara dapat dilakukan secara benar (Irawan &

Kartasasmita, 2015).

Diplomasi ekonomi memiliki asumsi bahwa kegiatan resmi diplomatik difokuskan kepada peningkatan ekspor, menarik investasi, dan berpartisipasi dalam kegiatan organisasi yang bersifat ekonomi internasional. Kegiatan yang spesifik dari diplomasi ekonomi, berkaitan dengan penggunaan masalah ekonomi sebagai objek dan alat berjuang serta kerja sama dalam hubungan internasional. Menurut Nicholas Bayne dan Stephen Woolcock, diplomasi ekonomi merupakan serangkaian kegiatan (baik mengenai metode dan proses untuk pengambilan keputusan internasional) terkait dengan kegiatan ekonomi lintas batas (ekspor, impor, investasi, pinjaman, bantuan, migrasi) yang dilakukan oleh aktor negara dan non-negara di dunia (Bayne

& Woolcock, 2007, p. 2)

Konsep ini akan digunakan untuk menganalisis kepentingan nasional kedua aktor yang dijalankan dan dilaksanakan melalui kerjasama ekonomi.

Seperti yang diketahui, Uni Eropa merupakan organisasi supranasional yang menaruh perhatian lebih terhadap isu-isu lingkungan. Hal ini adalah salah satu upaya dari Uni Eropa dalam menunjukkan komitmennya terhadap perbaikan permasalahan lingkungan. Sedangkan untuk Indonesia sendiri yang merupakan salah satu negara produsen kayu tersebar melakukan upaya

(24)

14 dalam peningkatan kualitas kayu yang dimilikinya guna memperluas pasarnya. Bersamaan dengan itu, dengan menegakan hukum dan meningkatkan tata kelola hutan dapat mengurangi kasus illegal logging yang terdapat di Indonesia.

E. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian

Tipe yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, yaitu penelitian ini akan menjelaskan bagaimana pengaruh VPA terhadap peningkatan ekspor kayu Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2012 sampai bulan Juli 2017. Tujuan penelitian kualitatif pada umunya mencakup informasi tentang fenomena utama yang diekspolari dalam penelitian, partisipan penelitian, dan lokasi penelitian. Lebih spesifik, cakupan bagian dari tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah tipe deskriptif, yaitu penelitian yang menggunakan pola penggambaran keadaan fakta empiris disertai argument yang relevan. Kemudian, hasil uraian tersebut akan dilanjutkan dengan analisis untuk menarik kesimpulan yang bersifat analitik.

2. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang akan digunakan dalam penlitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer akan diperoleh melalui Kementerian Perdagangan Indonesia berupa data ekspor kayu dan produk kayu Indonesia ke Uni Eropa serta dari Kementerian Kehutanan Indonesia terkait data VPA UE - Indonesia. Sedangkan, untuk data sekunder akan diperoleh melalui

(25)

15 buku, jurnal, dokumen, surat kabar, situs-situs internet resmi atau laporan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode wawancara dan library research untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan.

Wawancara merupakan metode dengan cara bertanya langsung kepada responden Library Research merupakan metode dengan cara mengumpulkan data dari beberapa literatur yang akan digunakan seperti, buku, jurnal, dokumen, surat kabar, situs-situs internet resmi atau laporan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti.

Adapun bahan-bahan tersebut diperoleh dari beberapa tempat yang telah dikunjungi oleh penulis, yaitu:

a. Kementerian Perdagangan Indonesia

b. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia c. WWF Indonesia

d. Perpustakaan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) e. Website Resmi FLEGT-VPA Uni Eropa (SILK, EU FLEGT Facility) f. Website Resmi Komisi Uni Eropa

g. Website Resmi Kementerian Luar Negeri Indonesia

(26)

16 4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang akan digunakan oleh penulis adalah teknik analisis kualitatif, yaitu menganalisis permasalahan penelitian melalui penggambaran fakta-fakta ada yang kemudia akan dihubungkan dengan data yang didapatkan sehingga menghasilkan sebuah argument yang tepat.

Adapun data kuantitatif berfungsi sebagai pendukung dalam penguatan analisis kualitatif.

5. Metode Penulisan

Metode penulisan yang akan digunakan oleh penulis adalah metode penulisan deduktif. Dalam hal ini, penulis akan memaparkan masalah yang akan diteliti secara kemudian akan menarik kesimpulan secara khusus dalam menganalisis data.

(27)

41 BAB III

GAMBARAN UMUM KERJA SAMA INDONESIA – UNI EROPA

A. Kerjasama Indonesia – Uni Eropa

Hubungan eksternal Uni Eropa (UE) dengan kawasan-kawasan lain didasarkan pada tujuan untuk memperluas pengaruh dan peranannya secara global maupun bilateral (Wirajuda, 2004, p. 149). Dalam pencapaian tujuan tersebut, UE memberikan fokus perhatian yang berbeda-beda kepada negara-negara kawasan.

Hal tersebut disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masing-masing negara kawasan. Salah satunya yaitu fokus perhatian UE untuk negara-negara berkembang yang masih dipengaruhi oleh sikap kritisnya atas situasi Hak Asasi Manusia (HAM) negara setempat, yang kemudian cenderung dijadikan kondisionalitas berupa bantuan keuangan UE terhadap negara-negara berkembang.

Hubungan kerjasama antara Indonesia dan Uni Eropa (UE) mulai dirintis pada tahun 1967 di bawah kerangka ASEAN. Pada tahun 1980, hubungan antara UE – Indonesia diformalkan kedalam perjanjian kerjasama EC (European Commission) – ASEAN (Association of Southeast Asian Nations). Pada saat itu Uni Eropa masih berbentuk Masyarakat Ekonomi Eropa (European Economic Community).

(28)

42 Perkembangan hubungan antara Indonesia – UE tidak terlepas dari dinamika yang berkembang di Indonesia maupun Uni Eropa. Diawal terjalinnya hubungan kerjasama diantara keduanya, baik Uni Eropa maupun Indonesia berfokus pada situasi internal masing-masing. Sejak tahun 1957, Uni Eropa disibukkan dengan berbagai kegiatan-kegiatan untuk perluasan Uni Eropa hingga tercapainya ambisi dalam menyatukan seluruh negara di Eropa di bawah payung Uni Eropa.

Berkaitan dengan hal tersebut, perkembangan situasi keamanan global membuat Uni Eropa lebih memfokuskan perhatiannya pada kepentingan bersama Eropa.

Sedangkan di Indonesia, situasi dalam negeri diwarnai oleh kegiatan pemulihan ekonomi, perkembangan proses demokrasi dan munculnya gangguan keamanan separatisme serta ancaman terorisme. Kondisi tersebut kemudian memberikan dampak terhadap kebijakan strategis luar negeri masing-masing (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015).

Bagi Indonesia, kebijakan luar negerinya terhadap UE merupakan bagian dari kebijakan luar negerinya terhadap mitra potensial, baik dalam konteks global, regional, maupun bilateral. Arahan kebijakan Indonesia berfokus pada penguatan struktur hubungan tradisional Indonesia dengan negara-negara di Eropa untuk mendukung kepentingan nasional Indonesia (Mumpuni, 2007, p. 63). Indonesia memandang Uni Eropa sebagai mitra potensial yang dapat melakukan kerjasama dalam menggapi isu-isu global.

(29)

43 Perkembangan yang terjadi di Indonesia diapresiasi oleh UE, terkhusus dalam proses demokrasi yang terjadi. Hal ini bermula pada saat momentum krisis multidimensional yang dialami oleh Indonesia pasca turunnya pemerintahan Soeharto. Pada saat itu demokrasi dielu-elukan di Indonesia dan berbagai perubahan dengan cakupan yang luas diupayakan melalui demokratisasi. Hal inilah yang menjadikan hubungan UE dengan Indonesia semakin erat (Surya, 2009). Selain itu, pergantian kepemimpinan yang lebih demokratis di Indonesia disambut baik oleh UE karena lebih membuka kesempatan bagi UE untuk mengadakan dialog politik bagi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, UE memandang Indonesia sebagai “a voice of democracy”. Dalam berjalannya, UE menyatakan komitmennya untuk membantu Indonesia bangkit kembali dan meningkatkan demokrasi di Indonesia.

Indonesia merupakan negara dengan demokrasi terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat yang memiliki etnik beragam (Central Intelliegence Agency, 2017). Selain itu, Indonesia juga merupakan negara dengan populasi Muslim terpadat di dunia. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor UE dalam menilai Indonesia sebagai negara demokratisasi dan berpotensi sebagai katalisator stabilitas keamanan kawasan, sehingga dapat memiliki peranan strategis bagi upaya pemeliharaan stabilitas dan keamanan di kawasan (Mumpuni, 2007, p. 62).

Hal inilah yang kemudian sesuai dengan frasa “keberagaman” yang dianut oleh Uni Eropa.

(30)

44 Perhatian UE terhadap perkembangan politik di Indonesia, pada umumnya menyangkut masalah demokrasi, pengelolaan pemerintahan yang baik, dan penegakan HAM. Pada dasarnya UE memberikan dukungan terhadap perkembangan yang terjadi di Indonesia, terutama dalam rangka mewujudkan demokratisasi. Di lain pihak, Indonesia melihat UE sebagai suatu kekuatan ekonomi dan politik global yang dapat menjadi mitra untuk mendukung pencapaian kepentingan nasional (Mumpuni, 2007, p. 62).

Uraian diatas menunjukkan perkembangan dari Indonesia maupun UE terkait pandangan terhadap satu sama lain. Selain hal tersebut, terdapat beberapa faktor kesamaan yang membuat hubungan bilateral antara Indonesia dengan UE semakin kuat, yaitu:

1. kesamaan nilai antara Indonesia dan UE terkait dalam pengembangan daerah, demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan (European External Action Service, 2016);

2. keduanya memiliki motto “unity in diversity”. Dalam motto ini, baik Indonesia maupun UE sama-sama menjunjung tinggi keanekaragaman penduduk (dari segi budaya, bahasa, nilai-nilai tradisi, dan ideologi) (Mumpuni, 2007);

3. secara bilateral, UE dan Indonesia memiliki kepentingan bersama dalam melawan terorisme, memerangi radikalisasi, dan melawan ancaman non- tradisional lainnya, seperti perdagangan manusia, narkoba, pembajakan, bencana alam, penyakit menular (flu burung), imigrasi legal, keamanan

(31)

45 finansial dan ekonomi, serta keamanan informasi (Khandekar, 2014, pp.

29 - 30);

4. secara global, Uni Eropa dan Indonesia memiliki kepercayaan bersama terhadap multilateralisme, pemerintahan, dan institusi regional.

Indonesia melihat Uni Eropa sebagai mitra dalam membentuk tatanan dunia berbasis aturan (Khandekar, 2014, p. 30);

5. keduanya memiliki posisi penting sebagai bagian dari kekuatan regional yang bertanggung jawab terhadap upaya pemeliharaan keamanan dan kestabilan di kawasan masing-masing, serta dalam memberikan kontribusi terhadap upaya pemeliharaan keamanan internasional (Mumpuni, 2007).

Kesamaan yang telah diuraikan diatas merupakan “starting positive points”

terhadap upaya dalam memperkuat hubungan Indonesia-UE. Adanya keterkaitan masalah dan kepentingan antara Indonesia dan UE telah menciptakan suatu commom agenda yang memperkuat hubungan kerjasama bilateral yang saling menguntungkan.

Hubungan Indonesia – UE, juga diturunkan melalui kerjasama bilateral di berbagai bidang, seperti bidang politik keamanan, ekonomi, kemanusiaan, serta kerjasama pembangunan. Kerjasama dalam bidang politik keamanan dilakukan dalam bentuk aktivitas-aktivitas tertentu dan berupa dialog yang bertujuan untuk keamanan maritim, melawan terorisme dan deradikalisasi, melawan kejahatan transnasional dan lintas batas, anti korupsi, pencegahan obat-obatan terlarang,

(32)

46 manajemen bencana dan bina damai (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussels, Belgia Merangkap Luksemburg dan Uni Eropa, 2017).

Dalam bidang kemanusiaan, Indonesia dan Uni Eropa telah menyelenggarakan dialog resmi yang diadakan pertama kali pada tahun 2009.

Dalam dialog terebut, terdapat beberapa isu yang menjadi permbahasan, yaitu terkait keadilan, sentencing policy, migrasi, ekstrimisme, hak-hak disabilitas, hak- hak minoritas, dan hak asasi manusia dalam berbisnis (Kedutaan Besar Republik Indonesia di Brussels, Belgia Merangkap Luksemburg dan Uni Eropa, 2017).

Selain itu, Pada tahun 2005, terlihat adanya perkembangan penting dalam hubungan Indonesia – EU. Hal ini ditandai oleh tanggapan UE yang sangat cepat dalam memberikan bantuan kemanusiaan untuk korban bencana gempa dan tsunami di Aceh dan Nias. Selain itu, UE juga mendukung proses perdamaian di Aceh yang kemudian menghasilkan Nota Kesepahaman yang ditandatangani oleh wakil dari Pemerintah Indonesia dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia (Mumpuni, 2007, p. 66).

Dibidang ekonomi, kerjasama Indonesia – UE diturunkan melalui perdagangan, investasi, dan juga bantuan luar negeri. Dalam perdagangan, Indonesia dan Uni Eropa melakukan kegiatan ekspor – impor. Indonesia merupakan mitra dagang terbesar keempat UE di ASEAN dan ke-29 terbesar secara keseluruhan dengan pangsa 0.7% dari total perdagangan UE. Sedangkan, UE adalah negara mitra dagang terbesar keempat di Indonesia secara global setelah Jepang, China, dan Singapura, yang menguasai 8,1% pangsa perdagangan luar negeri Indonesia. Impor utama UE dari Indonesia adalah produk pertanian

(33)

47 (terutama minyak kelapa sawit), bahan bakar dan produk pertambangan, tekstil dan mebel. Sedangkan, ekspor UE ke Indonesia sebagian besar terdiri dari mesin dan peralatan transportasi, barang kimia dan barang manufaktur lainnya (Khandekar, 2014, p. 28). Total perdagangan barang bilateral antara Indonesia dan UE mencapai 25,4 milyar euro di tahun 2015 (UE mengekspor barang dengan nilai sebesar 10 milyar euro dan ekspor Indonesia ke UE sebesar 15,4 milyar euro (European External Action Service, 2016). Dalam investasi, UE memberikan Investasi Langsung Luar Negeri (FDI) sebesar 3,7 milyar dollar AS pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 sebesar 2,2 milyar dollar AS (European External Action Service, 2016).

Terkait bantuan luar negeri (ODA), negara-negara UE merupakan sumber pinjaman luar negeri Indonesia dua terbesar setelah Jepang. Sektor utama yang menerima ODA EU di Indonesia pada periode 2007 – 2013 adalah pengentasan kemiskinan, stimulus pertumbuhan ekonomi melalui perdagangan dan investasi, serta peningkatan good governance melalui penegakan hukum (Pusat Kebijakan Regional dan Bilateral Kementerian Keuangan dan Program Studi Kajian Wilayah Eropa Program Pascasarjana UI, 2012).

Kerjasama pembangunan antara Indonesia – UE merupakan salah satu pilar utama hubungan bilateral keduanya. Fokus kerjasama pembangunan Indonesia – UE juga mencerminkan perkembangan hubungan antara Indonesia – UE.

Kerjasama pembangunan ini bersifat recipient driven dan disesuaikan dengan program pembangunan nasional Indonesia. Peningkatan program kerjasama pembangunan ini akan mendukung proses demokrasi, good governance,

(34)

48 pembangunan sosial dan ekonomi berkelanjutan, serta mengurangi kemiskinan.

Kerjasama pembangunan Indonesia – UE dituangkan kedalam Country Strategy Paper (CSP) yang memuat strategi bersama untuk menunjang pembangunan nasional. CSP tahun 2002 – 2006 ditujukan untuk memperkuat demokrasi dan meningkatkan good governance melalui dukungn terhadap pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup. Selanjutnya, CSP 2007 – 2013 menitik beratkan pada sektor pendidikan, perdagangan dan investasi, serta penegakan hukum dan good governance (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015).

UE terus memperkuat hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Terdapat beberapa alasan yang menjadikan Indonesia sangat strategis dalam pencapai kepentingan UE, yaitu kedudukan Indonesia yang memiliki kekuatan menengah dan merupakan pivot regional. Indonesia memiliki peranan yang penting dalam ASEAN sehingga dapat menjadi jembatan penghubung antara UE dengan Asia Tenggara. Hal ini menjadikan Indonesia termasuk dalam generasi kedua negara- negara berkembang setelah pengelompokan BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) (Khandekar, 2014).

Kedua, perekonomian Indonesia termasuk dalam 16 terbesar di dunia dan merupakan salah satu pasar konsumen dengan pertumbuhan tercepat. Hal ini didukung oleh jumlah populasi yang terdapat di Indonesia, yaitu terhitung bulan Juli 2017, jumlah populasi Indonesia sebanyak 260.580.739 orang. Jumlah tersebut menjadikan Indonesia menduduki urutan keempat dari seluruh dunia (Central Intelliegence Agency, 2017).

(35)

49 Ketiga, letak geografis Indonesia yang menjadi penghubung antara dua benua dan dua samudra menjadikannya dilalui oleh persimpangan lalu lintas sehingga berada pada posisi silang transportasi dunia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai pusat perekonomian. Selain itu, dengan posisi ini Indonesia menjadi jalur perdagangan internasional.

Sejak tahun 2000, UE telah memperlihatkan keinginannya untuk meningkatkan hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Hal ini dinyatakan dalam komunikasi EC tahun 2000 yang berjudul “Developing Closer Relations between Indonesia and the European Union”. Komunikasi ini merupakan penjabaran lebih lanjut dari strategi UE di Asia yang telah dituangkan ke dalam komunikasi EC yang berjudul “Europe and Asia: A Strategic Framework for Enhanced Partnership” (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015). Melihat keinginan yang ditunjukkan oleh UE tersebut kemudian disambut baik oleh Indonesia. Indonesia menganggap bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan terhadap perkembangan yang terjadi di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut, antara Indonesia dan UE kemudian membuat suatu kesepakatan untuk meningkatkan hubungan bilateralnya yang tercermin dalam

“RI (Republik Indonesia) – UE Joint Declaration”. Pembuatan kesepakatan ini dilakukan melalui pertemuan Menteri Luar Negeri RI dan Komisioner Hubungan Eksternal (EC) pada taggal 14 Juni 2000 di Luxembourg. Adapun kesepakatan dari pertemuan tersebut adalah menyepakati peningkatan dialog Indonesia – UE melalui Bilateral Consultative Forum (Forum Konsultasi Bilateral/FKB).

(36)

50 Pembahasan pada FKB memprioritaskan pada masalah-masalah bilateral, utamanya upaya yang akan dilakukan bersama untuk meningkatkan perdagangan, investasi, dan kerjasama pembangunana, serta dialog politik (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015). FKB diadakan tiap tahunnya dengan pembahasan terkait hasil pencapaian yang telah dijalankan berdasarkan pembahasan di pertemuan sebelumnya, serta isu-isu perkembangan terkini yang akan didiskusikan secara intensif oleh kedua pihak, yaitu Indonesia dan Uni Eropa. Indonesia memandang penting FKB sebagai sarana untuk membahas secara lebih fokus berbagai upaya untuk meningkatkan hubungan dan kerjasama Indonesia – Uni Eropa.

Pada tanggal 14 Juli 2009, pertemuan ke-8 FKB, Indonesia dan UE pemarafan dokumen Perjanjian Kemitraan Komprehensif (Comprehensive Partnership and Cooperation Agreement / PCA) yang kemudian ditandatangani pada tanggal 9 November 2009 (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015). Salah satu yang menjadi alasan dibuatnya perjanjian ini adalah sebagai upaya UE dalam meningkatkan hubungannya dengan Indonesia secara bilateral, maupun ASEAN secara regional, karena UE melihat adanya potensi besar dalam hubungan kerjasama tersebut. Berdasarkan hal tersebut, UE menginginkan untuk membentuk sebuah perjanjian bilateral yang komprehensif dengan negara-negara anggota ASEAN, mengingat kerjasama yang dilakukan UE pada saat itu dengan negara-negara tersebut masih dalam kerangka perjanjian antara UE dengan ASEAN. Perjanjian PCA merupakan dokumen yang mengikat secara hukum (legally binding) setelah diratifikasi bersama oleh seluruh pihak. Sebagaimana

(37)

51 yang tercantum dalam pasal 48, proses ratifikasi PCA Indonesia – UE melibatkan 29 pihak, yaitu Indonesia, Parlemen Eropa, dan seluruh 27 negara anggota UE.

PCA Indonesia – UE terdiri atas 7 BAB dan 50 Pasal yang mencakup kerjasama diberbagai bidang, yaitu bidang kerjasama teknis dan pembangunan (seperti ekonomi, perdagangan dan investasi, industri, kehutanan, lingkungan hidup, transportasi, kesehatan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan, dan pariwisata) serta bidang politik (seperti promosi HAM, legal cooperation, non- proliferasi senjata pemusnah massal, keamanan, penanggulangan terorisme, penanggulangan korupsi, dan hukum) (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2015). Setelah penandatanganan PCA, kemudian dikeluarkanlah dokumen RI – EU Joint Statement. Dalam dokumen tersebut terdapat empat poin prioritas kerjasama jangka pendek yang dimulai pada tahun 2010, yaitu:

1. perdagangan dan investasi, mengeksplorasi lebih lanjut lingkup kerjasama baru termasuk proyek penelitian dan pengembangan;

2. lingkungan hidup, meningkatkan kerjasama lingkungan pada isu-isu sensitif, seperti kehutanan dan perikanan, serta dalam rangka membangun komitmen bersama berbasiskan pada pertemuan UNFCCC;

3. pendidikan, memberdayakan program-program pendidikan yang sudah ada seperti Beasiswa Erasmus Mundus dan proyek-proyek penelitian;

4. hak-hak asasi manusia dan demokrasi, membahas perkembangan hak asasi manusia yang menjadi perhatian bersama pada tingkat pejabat tinggi (Senior Official Meeting / SOM).

(38)

52 B. Voluntary Partnership Agreement (VPA) Uni Eropa – Indonesia

1. Latar Belakang VPA UE - Indonesia

Berbagai permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi didunia ini membuat masyarakat internasional mulai menaruh perhatian khusus terkait isu-isu lingkungan. Ketakutan akan adanya dampak yang lebih besar terjadi jika permasalahan lingkungan tetap dibiarkan sehingga membuat berbagai aktivitas kini yang dilakukan oleh masyarakat diupayakan dengan memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Oleh karena itu, berbagai aktor dengan berbagai power yang dimilikinya akan menjalakan fungsi dan perannya masing-masing dengan mempertimbangkan permasalahan lingkungan.

Salah satu isu lingkungan yang menjadi fokus pembahasan dari berbagai aktor adalah permasalahan penebangan kayu secara ilegal atau disebut dengan illegal logging. Penyebab terjadinya illegal logging adalah permintaan pasar akan produk kayu yang meningkat dan tidak sesuai dengan jumlah ketersediaan produk sehingga membuat “orang-orang” berlomba untuk memproduksi kayu dengan cara yang lebih cepat dan mudah. Apabila tindakan illegal logging ini terus dibiarkan, maka dapat memberikan dampak terhadap lingkungan hidup yang mencakup punahnya keanekaragaman hayati, penggundulan hutan, dan meningkatnya emisi gas rumah kaca. Bank Dunia memperkirakan bahwa pihak pemerintah di beberapa negara termiskin di dunia mengalami kerugian lebih dari 15 milyar US dollar per tahun sebagai dampak dari illegal logging (Fasilitas FLEGT UE, 2008).

(39)

53 Uraian di atas membuat masyarakat sadar akan efek dari illegal logging yang lambat laun akan memberikan dampak terhadap kondisi dunia global.

Berdasarkan hal tersebut, berbagai gerakan internasional terkait penyelamatan hutan tropis mulai digencarkan sejak tahun 1980. Seiring berjalannya, pada tahun 1998, negara-negara G8 meluncurkan “Program Aksi Hutan G8” untuk bekerja bersama dalam mengatasi pembalakan liar. Program tersebut merupakan bentuk kerjasama awal antara Bank Dunia, Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID UK), dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat tentang Penegakan Hukum untuk Asia Timur, yang kemudian dilanjutkan dengan konferensi tentang Penegakan Hukum dan Tata Kelola (Forest Law Enforcement and Governance / FLEG) (EU FLEGT Facility, 2015)

Pada bulan September 2001, diadakan sebuah Konferensi Tingkat Menteri Regional Pertama tentang FLEG untuk wilayah Asia Timur dan Pasifik.

Dalam pertemuan ini dihadiri oleh pemerintah dan masyarakat internasional, pejabat senior negara-negara Asia Timur, Eropa, serta negara-negara terkait di Bali untuk membahas mengenai FLEG Asia. Pertemuan tersebut menghasilkan deklarasi yang dikenal dengan nama Deklarasi Bali yang menyepakati komitmen serta peran dan tanggung jawab negara-negara peserta untuk mengatasi kejahatan hutan dan pelanggaran hukum kehutanan (EU FLEGT Facility, 2015).

UE merupakan organisasi supranasional yang juga menaruh perhatian khusus terkait isu-isu lingkungan. Dalam permasalahan illegal logging, Uni Eropa mengadopsi kebijakan FLEG dan menambahkan satu bagian, yaitu perdagangan yang kemudian menjadi FLEGT (Forestry Law Enforcement, Governance and

(40)

54 Trade). FLEGT ini muncul sebagai respon atas pembahasan mengenai FLEG dan hasil dari deklarasi Bali, serta inisiatif regional lainnya.

Selain daripada itu, secara eksplisit melalui kebijakan tersebut mengakui bahwa UE adalah konsumen utama produk kayu dari kawasan-kawasan yang memiliki tingkat tertinggi dalam hal ilegalitas dan tata kelola yang buruk dalam sektor kehutanan. Permintaan dari Eropa dianggap sebagai penggerak yang signifikan untuk ilegalitas kayu, sehingga UE menjadi pasar yang potensial untuk kayu ilegal. Berdasarkan hal tersebut, Komisi Eropa merasa terdorong untuk menyelaraskan metode kehutanan agar sesuai dengan fokus paralel, yaitu mengendalikan pasar yang berpotensi menerima kayu ilegal di dalam ruang lingkup UE (Fasilitas FLEGT UE, 2008).

FLEGT merupakan kebijakan Uni Eropa untuk mengatasi permasalahan pembalakan liar dan perdagangan ilegal produk hasil hutan yang terjadi secara global (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2011). Keseriusan UE terkait permasalahan illegal logging dapat terlihat dari tindak lanjut yang dilakukannya mengenai FLEGT. Pada bulan April 2002, EC menyelenggarakan seminar internasional yang membahas terkait peran dan usaha negara-negara UE dalam memberantas penebangan liar. Pada pertemuan the World Summit on Sustainable Development (WSSD) di Johannesburg tahun 2002, EC telah menyampaikan komitmennya yang kuat untuk memberantas penebangan liar dan perdagangan hasil hutan ilegal. Komitmen tersebut kemudian direfleksikan dalam Rencana Aksi FLEGT yang diadopsi pada bulan Mei 2003 (Komisi Eropa, 2004).

(41)

55 Rencana Aksi FLEGT berisi komitmen Uni Eropa untuk mencegah hasil produk kayu illegal memasuki pasar Uni Eropa. Pencapaian komitmen tersebut dilakukan dengan memerangi penebangan liar, melarang kayu ilegal memasuki pasar Uni Eropa, dan mendorong penggunaan kayu legal. Dalam Rencana Aksi FLEGT ini memuat berbagai usaha ataupun tindakan untuk memberantas penebangan liar, yaitu berupa (Komisi Eropa, 2004):

a. dukungan untuk meningkatkan tata kelola dan kapasitas di negara- negara produsen kayu;

b. pengembangan Voluntary Partnership Agreement (VPA) dengan negara-negara produsen kayu untuk mencegah hasil produk kayu ilegal memasuki pasar UE;

c. upaya untuk mengurangi konsumsi kayu ilegal oleh negara-negara UE dan mencegah investasi oleh badan-badan atau institusi yang ada di negara-negara UE yang mungkin mendorong terjadinya penebangan liar.

Pertama, UE melakukan kerjasama dengan negara-negara produsen kayu sebagai bentuk usaha dalam bentuk memberantasi illegal logging. Kasus illegal logging ini banyak didapatkan di negara-negara berkembang yang juga kebanyakan merupakan negara penghasil produk kayu. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya pengembangan dalam kerjasama keduanya berupa peningkatkan tata kelola dan kapasitas di negara-negara produsen kayu. Dengan demikian, kedua pihak dapat memainkan peranan penting dalam mengatasi kasus

(42)

56 tersebut. Berikut bentuk bantuan yang diperlukan dalam peningkatan tata kelola dan kapasitas (Komisi Eropa, 2004):

a. pengembangan sistem verivikasi yang dapat diandalkan untuk membedakan kayu legal dan kayu ilegal;

b. dorongan untuk melakukan keterbukaan melalui penyediaan informasi yang benar mengenai kepemilikan hutan, kondisi hutan, dan perundang-undangan;

c. peningkatan kapasitas badan-badan pemerintahan dan lembaga- lembaga lainnya untuk menegakkan peraturan yang ada, melaksanakan reformasi tata kelola, dan menghadapi isu-isu kompleks yang berkaitan dengan masalah illegal logging;

d. penguatan penegakan peraturan melalui peningkatan koordinasi antara para aparat kehutanan, polisi, bea cukai, dan para penegak hukum;

e. bantuan pelaksanaan reformasi kebijakan untuk menjamin adanya insentif yang memadai untuk para pengelola hutan yang baik, dan sanksi yang tegas untuk para pelanggar peraturan kehutanan.

Dalam peningkatan tata kelola dan kapasitas, keterlibatan para pemangku kepentingan dan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk keterbukaan dan menjamin bahwa langkah-langkah tersebut tidak memberikan dampak negatif lebih lanjut terhadap masyarakat.

(43)

57 Kedua, VPA merupakan perjanjian bilateral antara UE dengan negara- negara produsen kayu. Pengembangan melalui VPA dengan negara-negara produsen kayu adalah bentuk usaha untuk memastikan bahwa produk kayu yang dihasilkan oleh negara mitra dan yang diekspor ke UE merupakan hasil dari cara yang legal, dalam artian sesuai dengan aturan yang berlaku dalam peraturan negara mitra. Dengan demikian, negara mitra yang telah menyetujui perjanjian VPA ini telah menunjukkan komitmennya juga untuk mengatasi illegal logging di negaranya bersama dengan UE.

Sebelumnya, tidak ada mekanisme yang dapat membantu bea cukai untuk mengenali kayu ilegal dan mencegahnya untuk tidak memasuki pasar UE (Komisi Eropa, 2004). UE kemudian mengadopsi Regulasi No. 2173/2005, tanggal 20 Desember 2005 yang intinya adalah penetapan suatu “Licesing Scheme” untuk produk kayu ke UE melalui kemitraan dengan negara produsen kayu (Savirra, 2014). Berdasarkan hal tersebut, dalam VPA ini mengeluarkan suatu lisensi yang dapat memastikan bahwa produk kayu yang telah mendapatkan lisensi tersebut merupakan kayu legal, yaitu lisensi FLEGT. Lisensi FLEGT ini merupakan output dari VPA. Dengan mendapatkan lisensi FLEGT ini, menandakan bahwa produk kayu tersebut telah melewati proses legal sebagaimana dalam aturan yang menetapkan legalitas kayu dalam negara mitra tersebut. Keuntungan dengan diperolehnya lisensi FLEGT ini adalah produk kayu tersebut tidak perlu lagi melewati tahap due diligence (uji tuntas).

(44)

58 Terakhir, upaya untuk mengurangi konsumsi dan investasi yang mungkin mendorong terjadinya penebangan liar dilakukan dengan (Komisi Eropa, 2004):

a. mendorong negara anggota UE untuk melihat pada peraturan pengadaan barang untuk kepentingan umum. Dalam peraturan ini menjelaskan pilihan untuk meningkatkan penggunaan kayu legal dan berasal dari hutan yang dikelola secara lestari;

b. mendorong inisiatif sektor swasta yang berdasarkan kepada prinsip- prinsip tanggung jawab perusahaan terhadap masalah-masalah sosial dan lingkungan;

c. mendorong pihak bank dan lembaga keuangan untuk mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial pada saat melakukan uji kelayakan (due diligence assessments) untuk investasi dibidang kehutanan.

Dari Rencana Aksi FLEGT inilah, VPA muncul sebagai bentuk kerjasama antara UE dengan negara-negara produsen kayu yang ingin mengekspor produk kayunya ke pasar UE untuk mengurangai kasus illegal logging dan juga perdagangan kayu ilegal. VPA merupakan perjanjian sukarela perdagangan bilateral antara Uni Eropa dengan berbagai negara produsen kayu untuk menjamin bahwa hanya produk kayu verifikasi legal yang bisa masuk dalam pasar Uni Eropa. Dengan adanya VPA ini, peraturan terkait tata pengelolaan hutan dan perdagangan jenis produk kayu akan ditingkatkan guna dapat menghasilkan segala jenis produk kayu legal.

(45)

59 Hingga saat ini, terdapat lima negara yang juga mulai menegosiasikan VPA, yaitu: Ghana, Congo, Cameroon, Indonesia, Malaysia, Liberia, Republic Central Afrika, dan Vietnam (Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas kayu, 2012). Dari keseluruhan negara yang juga menegosiasikan VPA, Indonesia merupakan negara pertama yang telah berhasil mendapatkan Lisensi FLEGT pada tanggal 15 November 2016. Dengan begitu, terlihat bahwa juga keseriusan Indonesia dalam mengatasi permasalahan illegal logging di negaranya.

Indonesia merupakan salah satu negara eksportir kayu terbesar di dunia.

Indonesia memiliki kawasan hutan yang cukup besar, dengan kawasan hutan yang cukup besar tersebut tentunya menyimpan kekayaan alam yang sangat besar pula, termasuk kayu atau pepohonan. Kekayaan hutan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia selain Brazil dan Zaire. Indonesia memiliki hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia. Luas hutan hujan tropis Indonesia mencapai 60%

dari total luas daratan negaranya. Sehingga, selama kurang lebih lima dekade terakhir, hutan dan sektor kehutanan Indonesia telah memainkan peranan penting dalam pembangunan ekonomi negaranya (ITS Global, 2011). Namun, besarnya luas hutan yang dimiliki oleh Indonesia diikuti dengan meningkatnya kerusakan hutan yang harus dihadapi. Sejumlah sumber menyebutkan peningkatan kerusakan hutan Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia, tercatat sebagai tiga terbesar di dunia. Pada tahun 1999, Telapak dan Environmental Investigation Agency (EIA) meluncurkan “The Final Cut”, yaitu sebuah publikasi mengenai merajalelanya pembalakan liar dan penyelundupan kayu ilegal dari Indonesia (EU FLEGT Facility, 2015). Data dari Enforcement Economic Program Conservation

(46)

60 International-Indonesian merilis data pada tahun 2004 bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 3,8 juta hektar per tahun dan negara telah kehilangan Rp. 83 miliar perhari akibat illegal logging. Kerugian yang dialami tersebut merupakan angka kerugian minimum karena kerugian yang disebutkan belum termasuk punahnya spesies langka, terganggunya habitat satwa, dan sebagainya.

Hal inilah yang menjadi awal mula keseriusan Indonesia dalam menanggapi kasus illegal logging di negaranya, yaitu jauh sebelumnya ditandatanganinya VPA oleh Indonesia. Indonesia resah atas segala kerugian dan tuduhan dari dunia internasional yang diakibatkan oleh tingginya kasus illegal logging yang terjadi di negaranya. Keresahan inilah yang kemudian membuat Indonesia berinisiatif untuk menegakkan aturannya terkait tata kelola hutannya (Oky, 2017).

Sama seperti UE, tahap awal Indonesia untuk membahas kasus illegal logging yaitu dalam Konferensi Tingkat Menteri dan Regional Pertama tentang FLEGT pada tahun 2001 yang kemudian melahirkan Deklarasi Bali. Tahun 2002 Indonesia lebih memperlihatkan keseriusannya. Hal ini terlihat dengan banyaknya perjanjian yang ditandatangani terkait penanggulangan illegal logging, termasuk Memorandum of Understanding (MoU) antara Indonesia dan Inggris untuk meningkatkan pengelolaan hutan dan penegakan hukum sektor kehutanan, pemberantasan pembalakan liar dan perdagangan internasional produk kayu legal (EU FLEGT Facility, 2015).

(47)

61 Selain itu, pada tahun 2003 Indonesia pun melakukan upaya untuk melengkapi penegakan hukumnya melalui pengembangan sistem jaminan legalitas kayu nasional yang disebut dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).

SVLK merupakan instrumen yang digunakan dalam membenahi tata kelola hutan melalui verifikasi legalitas yang mencakup pemanenan, pengangkutan, pengolahan, serta pemasaran oleh unit manajemen kehutanan Indonesia (Ferdyan, 2015). Dalam pengembangan SVLK dan pembahasan definisi legalitas yang mendasari sistem tersebut melibatkan Pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok masyarakat sipil, sektor privat, kalangan akademisi, serta para pihak yang peduli kelestarian hutan.

Dalam berjalannya proses SVLK, diadakan sebuah Lokakarya Regional dan Nasional yang membahas tentang VPA. Indonesia menilai bahwa VPA sejalan dengan SVLK yang akan dibuat, sehingga pada tahun 2006 Indonesia sepakat untuk memasuki tahap negosiasi VPA dengan UE. Lalu, pada bulan Januari 2007, Indonesia dan UE mengeluarkan pernyataan bersama tentang VPA.

(Sub Direktorat Informasi Verifikasi Legalitas kayu, 2012). Tujuan utama proses VPA UE – Indonesia adalah untuk menyediakan suatu kerangka legal yang akan menjamin seluruh produk kayu yang diimpor oleh UE dari Indonesia telah diproduksi secara legal, sebagaimana dibahas dalam kesepakatan (EU FLEGT Facility, 2015). Dengan adanya kerangka legal tersebut, segala jenis produk kayu Indonesia sebagaimana yang tercantum dalam VPA, tidak perlu lagi melewati proses due diligence untuk masuk ke dalam pasar UE.

(48)

62 Perundingan VPA – Indonesia dimulai sejak bulan Januari 2007.

Berjalannya negosiasi VPA, pada bulan Juni 2009 terbitlah regulasi Indonesia terkait SVLK melalui Permenhut No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak (Multistakeholder Forestry Programme, 2015). Penerbitan regulasi terkait SVLK ini merupakan bentuk respon dari usaha untuk mengatasi kasus illegal logging melalui peningkatan tata kelola hutan dan juga untuk menjawab tuntutan negara-negara UE kepada negara-negara penghasil kayu mitra VPA.Tuntutan yang diajukan UE tersebut merupakan bentuk upaya untuk mencegah illegal logging dan illegal trading yang dapat memberikan dampak pada climate change dan global warming.

Adanya regulasi terkait SVLK inilah membuat dialog antara UE – Indonesia semakin intensif. Negosiasi VPA antara Uni Eropa dengan Indonesia terjadi dalam kurun waktu tahun 2007 – 2011. Sejak Maret 2007 – April 2011, telah diadakan beberapa forum untuk menyelesaikan dan menyepakati teks VPA serta lampiran-lampirannya, yaitu tiga Pertemuan Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting), tujuh Pertemuan Kelompok Kerja Teknis (Technical Working Gruoup), tujuh Pertemuan Pakar Gabungan (Joint Expert Meeting), dan delapan Konferensi Video (Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, 2011). Setelah melewati proses negosiasi dan terselesaikannya teks VPA serta lampiran-lampirannya, VPA UE – Indonesia kemudian ditandatangani pada 30 September 2013 di Brussels.

(49)

63 2. Proses VPA di Indonesia

Pada tahun 2006, Indonesia sepakat untuk memasuki tahap negosiasi VPA. Secara keseluruhan, proses berjalannya VPA terdiri atas empat tahapan, yaitu persiapan, perundingan, pengembangan, dan implementasi. Ketika seluruh proses telah dijalankan, maka Indonesia akan mendapatkan Lisensi FLEGT yang merupakan output dari kesepakatan ini.

Bagan 3.1 Proses VPA

Sumber: Fasilitas FLEGT UE

Sebelum memasuki tahap negosiasi, perlunya dibentuk dialog informal untuk mengetahui segala seluk beluk yang berhubungan dengan FLEGT – VPA, serta peluang dan tantangan terkait keterlibatan dalam proses VPA. Ditahap pra- negosiasi, Indonesia mengadakan diskusi dan lokakarya nasional multipihak

(50)

64 mengenai potensi dan strategi keterlibatan dalam VPA dengan para stakeholder, yaitu pemerintahan, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Hasil dari pembahasan tersebut adalah Indonesia membentuk focal poin FLEGT untuk dapat berinteraksi dengan platform masyarakat sipil yang ada. Selain itu, Indonesia juga melakukan studi pasar (EU FLEGT Facility, 2007). Setelah mendapatkan informasi terkait FLEGT – VPA ini, Indonesia menganggap bahwa perjanjian ini sesuai dan bisa untuk dijalankan. Sehingga pada tahun 2006, Indonesia sepakat untuk memasuki perundingan VPA UE.

Memasuki tahap perundingan, antara UE dan Indonesia harus mencapai kesepakatan terkait isi VPA. Kesepakatan yang dimaksudkan adalah rincian terkait sistem jaminan legalitas dan komitmen tata kelola kehutanan yang akan disertakan dalam lampiran teks hukum kesepakatan tersebut. Dalam pembahasannya, sistem jaminan legalitas merupakan hasil dari proses multipihak yang inklusif. Untuk mendapatkan konsensus di negaranya, maka calon negara mitra mengembangkan dan mengatur proses konsultasi yang memungkinkan para pemangku kepentingan hutan memberikan masukan (EU FLEGT Facility).

Substansi VPA berperan sebagai sistem jaminan legalitas (LAS) kayu yang menetapkan prosedur kepada para eksportir kayu untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang dihasilkan dan diekspor berasal dari sumber yang legal. Sumber legal dimaksudkan bahwa proses dari adanya kayu maupun produk kayu tersebut sesuai dengan aturan tata kelola hutan yang ada di negara mitra.

Prosedur utama dalam sistem jaminan legalitas tersebut adalah kemampuan untuk

(51)

65 mengetahui perbedaan antara kayu legal dan ilegal, sehingga diperlukan dalam regulasi nasional negara mitra untuk mendeskripsikan kayu legal.

Perincian LAS yang telah disepakati dan kesepakatan kemitraan yang telah ditandatangani, selanjutnya akan ada suatu periode waktu yang disepakati bagi negara mitra untuk mengimplementasikan sistem yang diperlukan dan memastikan bahwa sektor swasta mampu memenuhi persyaratan-persyaratannya.

Pada saat diimplementasikannya sistem tersebut, maka hanya kayu berizin dari negara tersebut yang akan diterima di perbatasan UE. Para eksportir kayu ilegal tidak akan bisa lagi melakukan perdagangan dengan UE (Fasilitas FLEGT UE, 2009)

Dalam LAS, terdapat lima unsur utama, yaitu (Fasilitas FLEGT UE, 2009):

a. Definisi yang jelas tentang kayu legal

b. Mekanisme untuk mengendalikan kayu pada waktu beredar di negara mitra

c. Lembaga yang disetujui pemerintah untuk memverifikasi bahwa undang-undang telah dipatuhi dan sistem pengendalian diterapkan dengan ketuntasan yang memadai

d. Pihak berwenang penerbit izin ekspor.

e. Lembaga independen untuk memantau bahwa seluruh sistem berfungsi dengan baik.

Gambar

Tabel 3.1 Nilai Ekspor Kayu dan Produk Kayu Indonesia ke Seluruh Negara

Referensi

Dokumen terkait

VPA Indonesia - Uni Eropa berpijak pada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang mampu melakukan verifikasi bahwa kayu dan produk kayu yang dihasilkan dan diproses di Indonesia

Ketiga, kerjasama ini merupakan hasil dari proses panjang negosiasi antara Indonesia dan Uni Eropa sejak 2007 dalam merespon isu legalitas kayu di pasar

Perjanjian tersebut adalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa dengan negara-negara pengekspor kayu dengan tujuan untuk meningkatkan tata kelola sektor kehutanan serta

Proses pemberian layanan bimbingan kelompok terhadap interaksi sosial dilakukan selama lima kali pertemuan.Siswa awalnya malu, kaku, dan belum berani menyampaikan

[r]

Hasil dari penelitian ini adalah sebuah model knowledge management system e-learning menggunakan aplikasi moodle yang dapat diusulkan dan diterapkan pada

Puji dan syukur pertama saya selaku penulis ucapakan kepada Tuhan YME yang atas segala rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis