• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN

4.5 Alur Balik

4.6.3 Latar Sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Dalam novel Mimpi-Mimpi Lintang Maryamah Karpov karya Andrea Hirata, dijelaskan bahwa orang dari daratan China sangat menghargai tamu dan persahabatan sungguh mulia bagi mereka. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(200) Orang-orang dari daratan China memang sangat menghargai tamu, dan persahabatan sungguh mulia bagi mereka (Hirata, 2009: 37).

Latar sosial ini terjadi ketika mahasiswa negeri Paman Sam. Dalam

farewel party, mereka semua orang menjadi pragmatis. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(201) Mahasiswa negeri Paman Sam. Ditempel sekenanya di dinding pengumuman: Party! Party! Party Townsend’s place, 10PM till

drop!

Virginia Sue Townsend menyambutku di pintu apartenennya dan nyaris tak berpakaian. Acara berlangsung cepat dan tak ada bersih-bersih. Tak ada yang membicarakan soal berharganya persahabatan atau soal ajal menjemput. farewel mereka, semua orang menjadi pragmatis. Yang banyak terlompat hanya kata-kata girang sebab akan segera minggat dari Paris (Hirata, 2009: 38-39).

Latar sosial ini terjadi ketika mahasiswa Jerman lebih sistematis. Mereka selalu efektif dan fokus pada tujuan, dan tujuh farewe party mereka hanya satu: mabuk. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(202) Mahasiswa Jerman lebis sistematis. Sesuai naturenya, mereka selalu efektif dan fokus pada tujuan, dan tujuan farewe party mereka hanya satu: mabuk (Hirata, 2009: 39).

Latar sosial ini terjadi ketika acara perpisahan orang Indonesia, Amerika Latian, dan India amat dramatis. Beberapa mahasiswa Indonesia berpisah dengan mengadakan pengajian. Dapat dilihat melalui kutipan:

(203) Acara perpisahan orang Indonesia, Amerika Latian, dan India amat dramatis. Acara belum dimulai, MVRC Manooj sudah meratap-ratap seperti orang mati bini. Beberapa mahasiswa Indonesia berpisah dengan mengadakan pengajian (Hirata, 2009: 39).

Latar sosial ini terjadi ketika keluarga miskin termasuk mayoritas. Hal ini dapat ditunjukkan melalui kutipan:

(204) Keluarga-keluarga miskin, karena itu aku juga mayoritas. Aku mayoritas karena begitu banyak hal, misalnya aku orang Indonesia.

asli, berbadan pendek, hetero, sering ditipu politisi, menyenangi lagu dangdut, dan berwajah orang kebanyakan (Hirata, 2009: 43). Latar sosial ini juga terjadi ketika orang Khek, Hokian, atau Tongsan di kampung adalah suku yang serius. Mereka menyadari diri sebagai perantau dan mendidik turunannya dengan mentalitas perantau: disiplin, efektif, keras. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(205) Orang-orang Khek, Hokian, atau Tongsan di kampung kami adalah suku yang serius. Terutama yang tua-tua. Mereka menyadari diri sebagai perantau dan mendidik turunannya dengan mentalitas perantau: disiplin, efektif, keras (Hirata, 2009: 131).

Latar sosial ini terjadi ketika usaha orang Tionghoa Malayu mengalami kebangkrutan sehingga orang Tionghoa mengalami jatuh melarat. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(206) Usaha-usaha dagang orang Tionghoa Melayu bangkrut karena tak ada pembeli. Perekonomian padam, pulau kecil itu yang semua kaya raya itu mendadak melarat (Hirata, 2009: 219).

Latar sosial ini terjadi ketika Suku Sawang yang juga keras peri kehidupannya, pemangku pekerjaan kasar yang tak mampu dikerjakan suku lain tetapi mereka memiliki selera humor yang hebat. Berikut kutipan:

(207) Tak dinyana, suku Sawang, yang juga keras peri kehidupannya, pemangku pekerjaan kasar yang tak mampu dikerjakan sukku lain, para kesatria dok-dok kapal, pahlawan bengkel-bengkel bubut, pangeran penggali sumur di lubang batu, buruh kasar penjahit karung yuka, kuli-kuli panggul pelabuhan sanggar-sanggar tampangnya, teguh garis wajahnya, tegas rahangnya, ternyata punya selera humor yang hebat (Hirata, 2009: 132).

Latar sosial ini terjadi ketika Humor orang Ho Pho, komunitas ini jumlahnya kecil, mereka keturunan prajurit Ho Pho tentara bayaran dari Tiongkok

humor mereka agak ganjil, psikopatik, dan agak membahayakan. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(208) Humor orang Ho Pho. Lain pula. Komonitas ini jumlahnya kecil. Mereka turunan prajurit Ho Pho, tentara bayaran dari daratan Tiongkok, konngsi kompeni dulu. Humor mereka agak ganjil, psikopatik, dan sering agak membahayakan (Hirata, 2009: 133). Latar sosial ini juga terjadi ketika orang Melayu selalu moderat, berada ditengah karakter minoritas Khek, Hokian, Tongsan, Ho Pho, orang bersarug, dan Suku Sawang. Orang Melayu kaya cukup untuk sekali ke tanah suci. Umpama miskin, selalu merasa dirinya beruntung. Maka tak pernah ada yang melarat. Hal ini dapat ditunjukkan melalui kutipan:

(209) Nah, inilah hikayat orang Melayu dalam sang mayoritas. Sikap mereka selalu moderat, minoritas Khek, Hokian, Tongsan, Ho Pho, oranng bersarug, dan Suku Sawang. Jika orang Melayu kaya cukup untuk sekali ke tanah suci. Umpama miskin, selalu merasa dirinya beruntung (Hirata, 2009: 141).

Latar sosial ini terjadi ketika Orang Melayu selalu berimajinasi, imajinasi adalah salah satu esensi dari nature orang Melayu. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(210) Fenomena membual membuatku makin memahami kaumku sendiri bahwa imajinasi adalah salah satu dari nature orang Melayu. Begitulah cara mereka menertawakan kepedihan nasib (Hirata, 2009: 141).

Latar sosial ini juga terjadi ketika Beragam suku bahwa di kampung gemar bertaruh. Dapat dilihat melalui kutipan:

Latar sosial ini juga terjadi ketika orang Melayu mempunyai kata khusus untuk perampok dan bajak laut yakni lanun. Berikut kutipan:

(212) Hanya kamilah orang Melayu yang punya kata khusus untuk perampok dan bajak laut, yakni lanun (Hirata, 2009: 383).

Latar sosial ini terjadi ketika Anak-anak Melayu takuti adalah segerombolan orang yang disebut orang tua kami penebok. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(213) Waktu aku kecil, yang paling kami, anak-anak Melayu, takuti adalah segerombolan orang yang disebut orangtua kami penebok (Hirata, 2009: 383).

Latar sosial ini mengenai Kaum lanun klasik, mereka lahir, hidup, dan mati di laut. Jenazah mereka dilemparkan ke kawanan ikan hiu. Meraka mengumpulkan ari-ari bayi mereka pada burung elang gugok. Agama mereka agama pangan. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(214) Berbagai cerita menajubkan beredar tentang kaum lanun klasik itu. Mereka dikabarkan lahir, hidup, dan mati di laut. Jenazah mereka dilemparkan ke kawanan ikan hiu. Mereka mengumpankan ari-ari bayi merka pada burung elang gugok. Agama merka agama pagan (Hirata, 2009: 390).

Latar sosial ini terjadi mengenai Tabiat lanun kuno berbeda dengan lanun sekarang. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(215) Tabiat lanun kuno berbeda dengan lanun sekarang. Lanun sekarang adalah jagal di laut. Mereka bukan keluarga, melainkan kumpulan para renegade. Orang-orang terbuang, bromocorah, dan buronan. Jika merampok kapal, tak ada yang tersisa, bahkan nyawa amblas. Kapal kosong ditarik kedarat untuk dijual. Yang melawan pasti jadi mayat (Hirata, 2009: 391).

Latar sosial ini mengenai sebagian orang Melayu adalah Tionghoa dari Teluk Kuantan dan Singkawang. Hal itu dapat dibuktikan dengan kutipan:

(216) Jumlah ratusan dari berbagai tempat sebagian tempat sebagian besar orang Melayu dan orang Tionghoa dari Teluk Kuantan dan Singkawang (Hirata, 2009: 421).

Latar sosial ini juga mengenai orang–orang Ho Pho memiliki metafora bahwa jika ada seorang perempuan yang ingin di curi oleh lelaki maka perempuan itu bersedia untuk dipinang. Hal ini dapat ditunjukkan melalui kutipan:

(217) Lama bergaul dengan orang-orang Ho Pho, aku sedikit banyak paham metafora mereka. Jika seorang perempuan Ho Pho meminta seorang lelaki mencuri dirinya dari keluarganya, itu artinya ia bersedia dipinang (Hirata, 2009: 497).

Dengan demikian dapat disimpulkan terdapat latar sosial di novel Mimpi-Mimpi Lintang Maryamah Karpov ini dengan latar kebudayaan, dan sosial yang berbeda. Penjelasan latar sosial terlihat ketika Ikal termasuh keluarga dari kaum orang miskin terlihat pada kutipan (204). Jika orang Melayu kaya cukup untuk sekali ke tanah suci. Orang Melayu memiliki imajinasi, imajinasi adalah salah satu dari nature orang Melayu. Begitulah cara mereka menertawakan kepedihan nasib. Lihat pada kutipan (210), (211), (212). Latar budaya juga terdapat mengenai pandangan hidup yang ada dalam novel Mimpi-Mimpi Lintang Maryamah Karpov, hal ini dapat dilihat pada kutipan (215), (216), (217).