• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTUR TOKOH, PENOKOHAN, DAN LATAR NOVEL MENOLAK PANGGILAN PULANG

2.3.3 Latar Sosial

Latar Sosial berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat, tata cara kehidupan, kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap. Latar Sosial secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local colour melalui kehidupan sosial masyarakatnya.

35 Masyarakat Dayak Meratus hidup dalam kebiasaan serta cara yang sangat sederhana yaitu tergantung kepada alam dan sistem ladang yang berpindah yang terjadi setiap tahun saling membantu dalam pekerjaan teratanam dalam sikap gotong royong.

(53) Dalam pada itu, di halaman balai, beberapa orang tampak sibuk. Tak jauh dari kaki tangga utama dua orang tengah menggegergaji kayu,. Ada juga yang sedang memotong kayu dengan kampak. Dua orang laki-laki membuat atap daun rumbia, anak-anak ikut-ikutan sibuk membantu mengangkat daun rumbia dari hutan ke halaman balai(hlm.54).

Pada kutipan (53) latar sosial kehidupan masyarakat dayak Meratus tampak pada kesibukan orang-orang memperbaiki balai ada yang memotong kayu dengan kampak, ada yang sedang membuat atap dari daun rumbia, dan anak-anak sibuk pula mengangkat daun rumbia membantu orang tua mereka.

(54) Hutan bagi Dayak Meratus adalah bagian dari nyawa mereka. Mereka punya pandangan utuh terhadap sumber daya hutan. Hutan tidak hanya bermakna ekonomis, melainkan juga bermakna sosial, budaya, dan religi. Hutan tidak hanya bermakna raneka ragam tetumbuhan dan hewan, melainkan juga diri mereka yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hutan(hlm. 20).

Kutipan (54) menegasakan bahwa hutan adalah bagian dari hidup Dayak Meratus, hutan bermakna ekonomis sebab dari hasil hutan seperti kayu, rotan, dan bambu dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan mereka, bermakna sosial budaya hutan tidak hanya berisi aneka ragam tetumbuhan melainkan juga mereka yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hutan. Hutan bermaksa religi pantang bagi masyarakat Dayak Meratus membuka hutan tanpa ada ritual terlebih dahulu sebab roh leluhur akan marah dan murka.

36 Kutipan (55) menyatakan bahwa masyarakat Dayak Meratus patuh pada adat-istiadat, tradisi, serta keyakinan yang telah diwariskan oleh nenek moyang sejak jaman dahulu.

(55) Gergaji mesin itu lebih ganas ketimbang golok. Mereka membabat pohon-pohon tanpa upacara, gumam Dingit dalam hati. Roh leluhur pasti murka. Padahal menebang pohon untuk membuka lahan, kami mesti mengadakan aruh agar. Roh leluhur dan Dewa tidak murka (hlm.20).

Pada kutipan (55) menegaskan masyarakat Dayak Meratus percaya bahwa membabat hutan tanpa upacara berarti akan terjadi bencana untuk membuka ladang masyarakat harus mengadakan aruh agar roh leluhur tidak murka.

Kutipan (56) menegasakan pada masyarakat dayak di Malinau, berpegangan tangan apalagi berciuman tidak boleh karena melanggar adat.

(56)“Kamu semakin cantik, Runi,” bisik Utay di telinga Aruni. “Lepaskan. Pamali ah!’’ Aruni terus meronta. Tidak apa-apa. Di Kandangan pelukan seperti ini biasa kalau tidak ada orang lain. Enak kan?” ujar Utay semakin nakal. Tidak boleh. Pamali. Dosa!Kita belum suami-istri kada boleh beginian.” Aruni ngotot ingin melepaskan diri(hlm. 75).

Kutipan (56) menggambarkan anak manusia yang telah terpengaruh pergaulan kota dan membawa dampak yang tidak baik bagi masyarakat sekitarnya. Masyarakat Malinau percaya berpegangan tangan saja tidak boleh karena melanggar adat. Tapi tidak dengan Utay pergaulan kota telah membentuknya menjadi pemuda nakal dan berani.

Kutipan (57) menggambarkan sikap cara berpikir, bersikap, serta pandangan hidup masyarakat Dayak Meratus pada oarang luar.

(57)“Piyan datang dari jauh?” tanya penghulu sambil mengambil posisi duduk di sebelah sang tamu.” Tampaknya Piyan urang kota.”Inggih,” jawab tamu yang berpakaian rapi itu. Nama ulun Rohaimi. Ulun datang dari Kandangan.”

Penghulu manggut-manggut.” Kalau tidak salah...” Ya, empat tahun yang lalu, tepatnya 1981, saya datang kemari bersama beberapa orang dari dinas sosial Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Penghulu masih ingat?” tutur Rohaimi. Seulas

37 senyuman tersungging di bibir Dinggit mengingat sebuah kesalahpahaman. Ia teringat bagaimana anak-anak dan perempuan segera bersembunyi takkala rom bongan Rohaimi tiba di Malinau. Sementara itu, para pemuda dan orang tua laki-laki menghunus parang, tombak, dan mandau. Mereka berjaga-jaga di depan balai. Bersikap seperti hendak berperang.Rohaimi dan kawan-kawannya ketakutan menghadapi kesiagaan warga Bidukun. Bahkan, seorang rekan Rohaimi lemas tak berdaya. Dalam benaknya tersesaki oleh horor tentang ayau atau pemenggalan kepala(hlm.12).

Pada kutipan (57) latar sosial terlihat pada saat rombongan Rohaimi datang ke Malinau untuk pertama kalinya mereka disambut oleh parang, tombak, dan mandau siap untuk berperang sebab masyarakat Dayak bukit percaya jika ada orang luar masuk ke pedalaman berati akan membawa dampak yang buruk takut jika orang-orang tersebut memenggal kepala suku bukit.

(58)“Kamu tidak tahu Utay. Siapa sebenarnya yang merusak hutan. Berapa pohon yang kita tebang? Dan berapa yang dibabat orang kaya dari kota itu? Lagi pula sudah beratus-ratus tahun kita buat ladang berpindah. Kita tidak bisa menggarap ladang tetap,” sanggah Dingit (hlm.142).

Pada kutipan (58) Dingit ayah Utay memberi nasehat pada Utay bahwa pola hidup masyarakat Dayak Meratus sejak dari nenek moyang dahulu adalah ladang berpindah dan Dingit kecewa pada perusahaan yang semena-mena merusak dan membabat hutan tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat bukit. Kutipan (59) Aruni ingin memberi penjelasan kepada petugas PT. Rimba Nusantara datang dan berunding dengan masayarakat di Malinau.

(59)“ Maaf, Pak, saya kira akan sia-sia kita bicara soal-soal teknis,” tukas Aruni. “ Kita belum mencapai kesepakatan. Bahkan, bagi kami, megerti pun belum. Sekali lagi saya tandaskan bahwa persoalannya tidak sesederhana itu. Kami bingung. Saya contohkan, beberapa penduduk Panggungan dan Hanuluk pernah dikirim oleh dinas pertanian ke Jawa untuk belajar menanam padi dengan sistem sawah. Setelah kembali, mereka dibawa ke daerah transmigran. Mereka diberi penjelasan bahwa dengan sistem sawah, produksi padi akan meningkat dua kali lipat dibanding dengan menanam padi di huma. Tapi mereka tetap saja bertani pada seperti semula. Tak ada perubahan (hlm.138).

38 Pada kutipan (59) Aruni memberi penjelasan mewakili suku bukit bahwa tidak mudah mempengaruhi masyarakat bukit tentang cara menanam sengon, sungkai, dan akasia di wilayah mereka sebab penduduk tidak akan lantas menerimanya dengan kemampuan dan keterbatasan pengetahuan yang mereka miliki serta pola hidup yang diwariskan secara turun-temurun akan memerlukan proses yang panjang dalam mengubah pola pikir masyarakat suku bukit.

2.4 Rangkuman

Demikianlah hasil analisis struktur novel Menolak Panggilan Pulang pada bab II ini. Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh Aruni memiliki karakter polos, sabar, tegas, cepat tersinggung, berwawasan luas, polos, setia dan dihantui rasa bersalah.. Tokoh Utay memilki karakter sombong, terpelajar, gagah, keras kepala, tidak bertanggung jawab memiliki ambisi tinggi dan pembohong. Tokoh Laur memiliki karakter tidak mau menangung malu dan tegas. Latar yang digunakan dalam analisis ini adalah latar tempat, tempat mengarah pada sungai, hutan, semak-semak, dan jalan setapak. Latar waktu, mengarah pada tahun 1990 pada saat jalan tembus ke Malinau. Latar sosial, menagarah pada kehidupan sosialnya, sistem mata pencaharian, kepercayaan, dan adat-istiadat. Dari pembahasan bab II kecemasan tokoh Aruni terlihat sangat jelas. Pada bab III penulis akan menganalisis apa saja kecemasan yang terdapat pada

39 BAB III

ANALISIS KECEMASAN TOKOH ARUNI

Dokumen terkait