• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1.4.3 Latar Sosial-Budaya

Latar sosial-budaya menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial-budaya dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pendangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain. Di samping itu, latar sosial-budaya juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atau atas (Nurgiyantoro, 2016: 322).

1. Mata Pencaharian

Latar sosial-budaya yang pertama menunjukkan pola kehidupan masyarakat pada aspek pekerjaan-pekerjaan masyarakat Desa Tungkal. Pada novel, dipaparkan berbagai mata pencaharian yang dimiliki masyarakat desa tersebut. Kutipan yang mendukung pernyatan tersebut adalah sebagai berikut.

(68) Mereka bekerja sebagai penarik becak, tukang jual jajanan malam hari, pencari pasir, pemanjat kelapa, pembantu, dan kerja serabutan- kerja apa saja diambil (Damono, 2016: 19).

(69) Beberapa keluarga memiliki kuda yang dipekerjakan sebagai pengangkut karung pasir, mendaki tebing sungai. Ada juga keluarga yang disebut Juragan Pasir sebab memiliki gerobak kuda yang membawa karung-karung pasir ke kota (Damono, 2016: 20).

2. Adat Istiadat

Latar sosial-budaya yang kedua menunjukkan pola kehidupan masyarakat pada aspek adat istidat yang terjalin pada masyarakat di dalam Novel Suti. Adat istiadat yang pertama yaitu berkenaan pada budaya masyarakat Desa Tungkal dan luar desa tersebut yang menjadikan makam Mbah Parmin menjadikan makam yang keramat. Kutipan yang mendukung pernyatan tersebut adalah sebagai berikut.

(70) Peziarah dari kota atau tempat lain suka bertanya apakah orang yang nisannyamengilap itu makam Kiai yang bisa dimintai rezeki. Jawaban tidak jelas atau yang mungkin sengaja disamarkan yang didapat dari orang desa itu membuat mereka bingung dan akhirnya membuat kesimpulan sendiri bahwa memang ada makam “orang pintar” di desa itu. Mereka itulah yang justru mengeramatkan makam Mbah Parmin, bukan warga desa (Damono, 2016: 26).

Adat istiadat yang kedua yaitu berkenaan pada pemaparan budaya yang terjalin di lingkungan Kasunanan, tempat dimana dulu Keluarga Pak Sastro tinggal sebelum pindah ke Desa Tungkal. Kutipan yang mendukung pernyatan tersebut adalah sebagai berikut.

(71) Ngadijayan itu sebuah kampung di sebelah barat Baluwarti, kawasan Kraton. Disebut Ngadijayan karena di kampung itu tinggal Pangeran Hadiwijoyo, salah seorang putra Sinuhun yang dahulu. Jalan di pinggir kampung itu disebut Jalan Hadiwijayan. Ayah Bu Sastro dan Ayah Pak Sastro dulu menjadi abdi dalem Kasunanan (Damono, 2016: 30). (72) Tugas Sumadi di Kasunanan sebagai Kerani menghasilkan gelar

Sastro; namanya menjadi Sastrosumadi. Lelaki Jawa yang sudah kawin biasanya mendapat nama tua sebagai penanda status. Orang kemudian cenderung tidak mengenal lagi nama kecilnya (Damono, 2016: 39).

3. Kebiasaan Masyarakat Desa Tungkal

Latar sosial-budaya yang ketiga menunjukkan pola kehidupan masyarakat pada aspek kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk pada masyarakat Desa Tungkal. Pada novel, dipaparkan berbagai kebiasaan-kebiasaan tersebut yang dimiliki masyarakat. Kebiasaan yang pertama yaitu berkaitan dengan perlakuan masyarakat pada makam yang terdapat di desa tersebut, yang menjadikannya menjadi salah satu sumber penghasilan karena kebiasaan peziarah-peziarah dari luar daerah yang datang dan menganggap makam-makam di desa tersebut sebagai makam-makam yang keramat. Kutipan yang mendukung pernyatan tersebut adalah sebagai berikut.

(73) Warga benar-benar bangga pada makam itu dan dengan cerdik memanfaatkannya seabagai salah satu sumber penghasilan. Orang jauh yang anggota keluarganya dimakamkan di situ suka minta bantuan warga desa untuk mengurusnya. Dan, yang lebih penting, setiap kali ada orang berziarah orang-orang tua dan anak-anak mengerumuni peziarah untuk meminta uang jaza (Damono, 2016: 23).

Kebiasaan masyarakat yang kedua berkaitan pada kegiatan yang dilakukan setiap bulan menjelang puasa, mereka selalu memanen rezeki dari warga luar daerah yang berziarah ke makam. Kutipan yang mendukung pernyatan tersebut adalah sebagai berikut.

(74) Rezeki mereka sangat menyegarkan kalau bulan ruwah tiba; menjelang Bulan Puasa setiap hari makam kedatangan ribuan orang, semuanya ikhlas membagi uang. Beberapa warga desa mendadak menjadi tukang becak untuk mengangkut yang berdatangan, menyewa dari tauke becak yang tinggalnya dekat Pasar Kukusan, sekitar tiga kilometer dari kampung itu (Damono, 2016: 24).

4.1.5 Amanat

Menurut Sudjiman (1988: 57), amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Amanat terdapat di dalam karya sastra secara tersirat (implisit) maupun tersurat (eksplisit). Amanat bersifat implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh menjelang akhir cerita. Bersifat eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya yang berkaitan dengan gagasan yang mendasari cerita secara langsung dan tertulis pada novel tersebut.

Amanat tersirat yang diperoleh dalam novel Suti karangan Sapardi Djoko Damono adalah jadilah orang yang memiliki prinsip yang kuat dan tidak mudah sakit

hati serta putus asa saat sedang berada dalam tekanan. Hal tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut.

(75) Namun, tidak pernah pikiran semacam itu menjadi bahan gunjingan terbuka di kampung. Seandainya pun tahu ada yang menggunjingkan, Parni tentu akan membiarkan saja. Kehidupan di kota telah mengajarkan untuk bersikap demikian (Damono, 2016: 11).

Amanat tersirat (implisit) kedua adalah diceritakan dalam novel tersebut Suti diceritakan bahwa ia adalah seorang perempuan yang tidak diketahui siapa bapaknya. menginjak remaja, ia dinikahkan oleh ibunya dengan Sarno yang usianya separuh baya. Sarno, suami Suti tidak memiliki pekerjaan yang tetap. Suti telah mengetahuai hubungan yang lebih dari hubungan menantu dan mertua anatara ibunya dan Sarno. kisahnya berlanjut dramatis ketika Suti jatuh dipelukan pak Sastro dan akhirnya ia menghilang dan kembali lagi ke Solo dengan membawa anak perempuannya yang diberi nama Nur yang beberapa tahun lalu tinggal di Jakarta. Cerita hidup yang sedemikaian rumit, Suti tetap berusaha untuk bersyukur dan tegar dalam menghadpi kehidupan yang dijalaninya. Dari kejadian tersebut, dapat dipahami bahwa, sebagai manusia hendaklah tegar dalam menghadapi kehidupan bagaimanapun keadaan yang sedang dihadapi tetap percaya pasti tetap ada jalan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Kutipan yang mendukung pernyataan di atas adalah:

(76) “Ketika Ibu bilang mau ke Kalimantan dengan laki-laki entah siapa, aku memutuskan untuk kemabali ke Solo saja. siapa tahu ada yang mau ngasih kerjaan. di sini kan masih ada rumah, di sana repot banget cari rumah” (Damono, 2016: 185).

Selanjutnya, amanat tersurat (eksplisit) yang terdapat dalam novel Suti adalah mengenai kepercayaan yang dimiliki kita sebagai manusia. Hal ini masih sering

dijumpai pada masayarakat di Indonesia yang tinggal di daerah pedalaman, yang masih percaya adanya paham animisme dan dinamisme sebagai dasar untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Padahal, di luar realita tersebut di Indonesia sudah terdapat agama yang sah dan diakui oleh undang-undang dan bebas dianut oleh kita untuk dijadikan pedoman hidup. Maka dari itu, amanat yang ingin disampaikan dalam cerita ini adalah sebagai manusia harus senantiasa menjunjung tinggi nilai kepercayaan kepada agama yang sah dan baik untuk dianut dan dijadikan pedoman hidup. Hal mengenai bahasan tersebut dibuktikan dalam kutipan berikut.

(77) Rupanya kalau ada sesuatu yang tidak bisa dipecahkan oleh kelugasan berpikir warga kampung itu, dengan yakin mereka putuskan saja bahwa semua sudah diatur oleh yang di sana, lha yang “di sana” itu tidak lain Mbah Parmin. Itu tidak berarti bahwa banyak di antara mereka tidak suka ke masjid, misalnya, tetapi karena selama ini Mbah Parmin adalah bagian penting dari kesejahteraan hidup mereka (Damono, 2016: 86).

(78) Sore itu mejelang magrib Suti pergi ke makam, langsung menuju cungkup Mbah Prmin, duduk bersila dengan tertib dan mengucap doa yang pernah dipelajari dari guru agamanya dulu (Damono, 2016: 100).

Dokumen terkait