• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN

5.1.3 Latar

Keberadaan latar atau setting di dalam karya sastra mempunyai hubungan yang erat dan saling menunjang dengan unsur-unsur karya sastra lainnya. Hal ini senada dengan yang dikatakan Jakob Sumarjo (dalam Rampan, 1984: 128) bahwa, setting bukan sekedar background, yaitu petunjuk tempat kejadian dan waktu terjadinya suatu peristiwa; tetapi setting adalah sesuatu yang kompleks yaitu mencakup semua unsur lainnya untuk menujang tema dan perwatakan.

Pendapat Jakob Sumarjo di atas menjelaskan bahawa latar tidak hanya merupakan tempat dan waktu suatu peristiwa dalam karya sastra melainkan merupakan

sesuatu yang kompleks. Dikatakan kompleks karena berdasarkan latar dapat pula diketahui watak dan perwatakan seorang tokoh cerita, jalinan cerita, dan tema serta suasana-suasana kemasyarakatan dan kejiwaan yang terdapat dalam karya sastra. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa latar memiliki hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur pembentuk karya sastra lainnya seperti alur, watak, dan tema.

Latar dalam karya sastra dapat dibedakan atas tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat biasanya menjelaskan tentang lokasi terjadinya suatu peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya sastra atau drama.18

Latar waktu dalam karya sastra drama biasanya berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan di dalam sebuah karya sastra. Masalah “kapan” ini biasanya dihubungkan dengan waktu faktual atau waktu yang ada kaitannya (dapat dikaitkan) dengan peristiwa sejarah.19

Adapun yang dimaksud dengan latar sosial dalam karya sastra, biasanya mengacu pada hal-hal yang berkaitan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra.20 Latar sosial ini mencakup tata cara kehidupan sosial masyarakat dan berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Oleh karena itu, latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap, bahasa dan lain-lain yang dapat digolongkan sebagai latar spritual masyarakat.21

18

Burhan Nurgiantoro, Pengkajian Fiksi, Bandung, Gadjah MAAda University Press, 1995, hal. 227

19 Ibid. Hal. 230 20 Ibid. Hal. 233

Ketiga elemen latar diatas terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin. Berikut akan dijelaskan ketiga elemen datar yang terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin.

Latar Tempat

Latar tempat yang terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat syekh Burhanuddin adalah di Kuawek Galundi Nan Baselo (Pariangan Padang Panjang), Tapakis Ulakan, Nagari Malalo, Nagari Asam Pulau, Batang Anai, Sintuk Lubuk Alung, Tanjung Medan, Nagari Ulakan, Pulau Angso, Aceh dan Gunung Sitoli. Dapat dilihat dari kutipan cerita sebagai berikut :

1. Pada saat usia antara 9 sampai 11 tahun terjadi suatu peristiwa yang menarik, yaitu ketika pada suatu hari Dia sedang bersanda gurau sesama teman sepermainan disebuah tempat ketinggian yang bernama Kuweak Gulandi Nan Baselo. Tanpa disadari harimau datang menerkam dari belakang dan dengan sigap Ia mengadakan perlawanan terhadap harimau yang hampir saja menerkam itu.

2. Riwayat lain menceritakan bahwa kepindahan Pono ke daerah rantau Tapakis Ulakan adalah faktor ekonomi orang tuanya yang kurang memungkinkan di Pariangan Padang Panjang.

3. Perjalanan keluarga pono dari kampung halaman Pariangan Padang Panjang ditempuh dengan menelusuri hutan melewati Nagari Malalo turun gunung sampai ke Nagari Asam Pulau terus menghiliri anak sungai Batang Anai, maka sampai lah mereka di Nagari Sintuk Lubuk Alung. 4. Di Pengembalaan di Tapakis ini Pono bertemu dengan seseorang orang

Ulakan yang berasala dari Tanjung Medan yang Bernama Idris.

5. Perjuangan beliau dalam mengislamisasikan dan mensejahterahkan masyarakat di Nagari Ulakan sangat dirasakan manfaatnya hingga sekarang oleh masyarakat pendukungannya.

6. Ia dapat melayari lautan Hindia dan mendara di pulau Angso dekat pantai Pariaman.

7. Ia melanjutkan menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf di Sinkil Aceh, seorang Ulama besar yang sangat terkenal pada masa itu.

8. Ketika dalam pelayaran pulang rombongan Syekh burhanuddin pernah merapat di Gunung Sitoli di sebuah pulau untuk menambah perbekalan air bersih. Setelah sumur digali di pualau lalu airnya diambil dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan, sumur itu kelak dinamankan sumur niyah¸ kemudian berubah menjadi Nias, itulah asal nama pulau Nias itu.

Latar Waktu

Latar waktu adalah latar yang mengungkapkan kapan sebuah peristiwa itu berlangsung atau terjadi. Adapun latar waktu yang terdapat di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah sebagai berikut.

1. Pada saat usia antara 9 sampai 11 tahun : Syekh Burhanuddin melawan seekor harimau untuk melindungi teman sepermainannya.

2. Sejak usia dini : Syekh Burhanuddin telah mendapatkan pendidikan akhlak dan budi pekerti yang baik.

3. Ketika Ia berumur 7 tahun : Syekh Burhanuddin telah dibawa orang tuannya untuk belajar kepada seorang gurajat.

4. Setiap hari : Syekh Burhanuddin mengembalakan kerbau.

5. Sesampainya Syekh Burhanuddin di Aceh : untuk menuntut dan melanjutkan ilmunya kepada syekh Abdurrauf.

Pemikiran

Pemikiran di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin adalah pemikiran beliau untuk mengislamisasikan masyarakat di Nagari Ulakan pada umumnya. Yang pada masa itu masyarakat di Nagari Ulakan masih menganut Animisme. Perjuangan Syekh Burhanuddin untuk mengislamisasikan masyarakat tidaklah begitu mudah Ia mendapat halangan dari berbagai lapisan masyaraakat terutama pemuka adat. Tidak sampai disitu saja, beliau mendapat ancaman yang amatlah besar dari masyarakat bahwa kedua orang tuanya pun ikut teracam, nyawa beliau menjadi taruhannya. Tetapi beliau terus berusaha dengan isin Allah akhirnya

semua masyarakat di Nagari ulakan dan pemuka adat pun menerima hadirnya agama baru ini yang dibawakan oleh Syekh Burhanuddin. Dapat dilihat dari kutipan cerita sebagai berikut:

Meskipun demikian dengan cara sembunyi dan berbisik-bisik Ia mulai menyampaikan (da’wah) Islam kepada orang tua, keluarga, kerabat, serta teman dekatnya perlahan-lahan agama Islam mulai diterima oleh orang Sintuk. Namun, kehadiran agama baru ini membawa ketidak puasan bagi sebagian orang, terutama pihak penghulu adat. Akibatnya, Pono mendapat tantangan dari Sebagian besar masyarakat Sintuk, mereka bahkan meminta agar Pono bersedia meninggalkan kegiatan da’wahnya, namum Pono tetap saja melakukannnya. Dampak dari aktivitas da’wah yang dilakukan Pono menjadikan beliau terisolasi dari masyarakat dan malah mendapat ancaman akan dibunuh, demikian juga orang tuanya yang dianiaya oleh penduduk setempat. Saat kritis yang dialami Pono itu menjadikannya kuat dan keinginannya kokoh untuk mendalami ilmu agama.

Perwatakan

Pelakon atau tokoh cerita tidak dapat dilepaskan dalam penciptaan sebuah cerita di dalam karya sastra, terutama dalam naskah drama atau teater. Tanpa kehadiran tokoh cerita atau pelakon dalam naskah drama maka tidak ada cerita dalam drama tersebut sebab tidak mungkin ada suatu karya drama tanpa memiliki tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak sehingga membentuk alur sebuah cerita.

Berdasarkan keterangan diatas terlihat bahwa adanya hubungan antara tokoh cerita dengan cerita atau peristiwa. Selain itu tokoh cerita adalah orang yang mengalami seluruh peristiwa atau bagian dari peristiwa yang digambarkan di dalam alur cerita atau plot (Sumardjo dan saini, 1988: 144). Melalui peristiwa-peristiwa yang dialami tokoh cerita, pengarang menggambarkan secara lengkap watak masing-masing tokoh cerita. Watak yang dimiliki tokoh-tokoh cerita disesuaikan pada watak yang terdapat dengan manusia secara umum seperti jahat, baik, ragu, murung, riang, berani, pengecut, licik,

jujur, atau gabungan dari watak-watak tersebut. Dengan mengetahui dan memahami watak yang dimiliki oleh tokoh cerita maka dapat dimengerti mengapa suatu tindakan atau kejadian dapat berlangsung.

Di sisi lain, watak yang dimilki oleh tokoh cerita merupakan motivasi terhadap jalinan peristiwa-peristiwa yang terdapat di dalam alur cerita. Dengan kalimat lain, perwatakan dapat berfungsi sebagai penopang alur dan cerita. Perwatakan juga bertugas menyediakan alasan bagi tindakan-tindakan tertentu yang terjadi pada seluruh isi sebuah karya sastra. Gambaran mengenai hak tersebut sekaligus sebagai indikasi adanya hubungan yang erat antara perwatakan, alur, dan cerita.

Cara yang paling sederhana untuk mengetahui dan mengenal tokoh cerita adalah dengan pemberian nama (Wellek dan Werren, 1990: 287). Sedangkan untuk memperkenalkan tokoh dan perwatakan tokoh didalam karya sastra ada dua cara yang dapat diterapkan oleh pengarang yakni, secara analik, yaitu pengarang lansung memaparkan tentang watak dan karakter tokoh, pengarang menyebutkan bahwa tokoh tersebut keras hati, keras kepala, penyayang, dan sebagainya. Sedangkan secara dramatik, yaitu penggambaran perwatakan yang tidak diceritakan secara langsung tetapi hal itu disampaikan melalui: (1) pilihan nama tokoh, (2) melalui penggambaran fisik atau postur tubuh, cara berpakaian, tingkah laku terhadap tokoh-tokoh lain, lingkungannya, dan sebagainya, (3) melalui dialog, baik dialog tokoh yang bersangkutan dalam interaksinya dengan tokoh-tokoh lain, atau dialog antara tokoh- tokoh lain mengenai tokoh yang bersangkutan.22

Berdasarkan fungsinya di dalam cerita, tokoh cerita dapat dibedakan menjadi tokoh utama atau tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh utama adalah tokoh yang

diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 1995: 177). Berdasarkan fungsi penampilannya, tokoh utama dibedakan atas tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Sehubungan dengan itu menurut Panuti Sudjiman bahwa, protagonis selalu menjadi tokoh yang sentral dalam cerita. Ia bahkan menjadi pusat sorotan dalam kisahan. Dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, waktu yang digunakan untuk mengisahkan pengalaman protagonis lebih panjang. Protagonis dapat juga ditentukan dengan memperhatikan hubungan antar tokoh. Protagonis berhubungan dengan tokoh- tokoh yang lain, sedangkan tokoh-tokoh itu sendiri tidak semua berhubungan satu dengan yang lain.23

Tokoh antagonis adalah tokoh yang barangkali dapat disebut beroposisi dengan tokoh protagonis, secara langsung ataupun tidak langsung, bersifat fisik ataupun batin. Dengan kalimat lain, tokoh antagonis adalah penantang utama dari tokoh protagonis.24 Sementara itu tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya didalam cerita, tetapi kehadiranya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.25

Berdasarkan seluruh keterangan di atas maka di dalam cerita Tuanku Keramat Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin dapat dikategorikan sebagai tokoh utama cerita, serta Idris (Khatib Majolelo), Syekh Abdulah Arif (Tuanku Madinah), Syekh Abdurrauf (Syekh kuala), Khatib Sangko, Kalik-kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Si Hujan Paneh, dan Si Waman sebagai tokoh pembantu. Adapun mengenai perwatakan dari tokoh-tokoh cerita tersebut akan diberikan di bawah ini.

23 Panuti Sudjiman, 1988, Memahami Cerita Rekaaan , Jakart, Rajawali Press, hal. 18 24 Ibid. hal. 19

Syekh Burhanuddin digambarkan sebagai orang yang berwatak baik dan penuh semngat untuk menuntut ilmu terutama ilmu agama. Sifat dan semangat Syekh Burhanuddin terlihat ketika dia melindungi kawan sepermainannya sampai Ia terluka dan Ia sangat bersemangat menuntut ilmu sampai ke Aceh. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Sinar mata kecerdasan dan kearifan yang dimiliki Pono menjadikan gurunya Tuanku Madinah menyayangi dan memberikan pelajaran padanya dengan baik dan sungguh. Tetapi amat disayangkan, Pono tidak sempat belajar dalam waktu yang cukup panjang pada Syekh Madinah, karena hanya dalam jangka waktu tiga tahun Pono mengaji Syekh Madinah kemudian telah meninggal dunia. Kepergian guru yang amat dicintainya menjadikan Ia selalu bersedih dan kembali ketempat orang tuanya di Sintuk. Disaat itu pulalah Ia ingat pesan gurunya ketika masih hidup bahwa ketika keadaan sudah memungkinkan gurunya menyarankan agar Ia melanjutkan menuntut ilmu kepada Syekh Abdurrauf di Sinkil Aceh, seorang Ulama besar yang sangat terkenal pada masa itu.

Idris (Khatib Majolelo) digambarkan sebagai orang yang baik, Ia lah teman pertama Syekh Burhanuddin di Tapakis, Idris ini lah yang menghantarkan Syekh Burhanuddin kepada guru yang dicarinya yaitu Tuanku Madinah, Ia merupakan guru pertama dari Syekh Burhanuddin. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Padang pengembalaannya tidak terbatas di Sintuk saja, tetapi Ia juga mengembala sampai ke daerah Tapakis, daerah yang terletak antara Sintuk dan Ulakan. Di Pengembalaan di Tapakis ini Pono bertemu dengan seseorang orang Ulakan yang berasala dari Tanjung Medan yang Bernama Idris. Di sini, Pono mendapatkan informasi yang lebih luas tentang Tuanku Madinah di Tapakis. Sejak masa itu pula Ia mulai belajar agama sekaligus mengembalakan ternaknya. Pada masa itu penduduk masih mempunyai kepercayaan animisme dan belum meyakini adanya Tuhan. Ketika Idris Majolelo mengenalkan Pono dengan seorang ulama/Syekh yang berasal dari Aceh yang Bernama Syekh Abdullah Arif gelar Tuanku Madina, maka dengan segera pula Pono langsung menerima agama Islam dengan mengucapkan dau kalimah syahadat dihadapan Tuanku Madinah. Sementara anak-anak lain di daerah itu memegang kepercayaan lama.

Syekh Abdulah Arif (Tuanku Madinah) digambarkan sebagai orang yang berwatak penyayang. Terlihat pada sikapnya panyayangnya terhadap murid-muridnya terutama kepada Syekh Burhanuddin, sehingga Syekh Burhanuddin merasa sangat terpukul ketika gurunya ini meninggal dunia. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut.

Tuanku Madinah atau Syekh Abdullah Arief diduga sebagai pengembang Islam pertama di daerah ini. banyaklah orang belajar agama Islam pada Tuanku Madinah tersebut. Diantara muridnya kelak yang menjadi pilar penyebar Islam di Nagari itu adalah Pono. Pertemuan dan bergurunya Pono pada Tuanku Madinah merupakan babak baru kehidupan Pono pribadi. Ia belajar dengan tekun dan cepat sekali mengerti setiap pelajaran yang diberikan gurunya. Guru yang mengajarpun sangat senang pada pribadi muridnya ini karena kecerdasan dan kepatuhannya. Sinar mata kecerdasan dan kearifan yang dimiliki Pono menjadikan gurunya Tuanku Madinah menyayangi dan memberikan pelajaran padanya dengan baik dan sungguh. Tetapi amat disayangkan, Pono tidak sempat belajar dalam waktu yang cukup panjang pada Syekh Madinah, karena hanya dalam jangka waktu tiga tahun Pono mengaji Syekh Madinah kemudian telah meninggal dunia. Kepergian guru yang amat dicintainya menjadikan Ia selalu bersedih.

Syekh Abdurrauf (Syekh kuala) digambarkan sebagai orang yang berwatak baik. Sikap baiknya tergambar ketika Ia dengan senang hati menerima datangan Syekh Burhanuddin untuk berguru kepadanya bahkan ia mengizinkin Syekh Burhanuddin tinggal dirmhnya dan seemua kebutuhan Syekh Burhanuddin Ia tanggu selama menuntut ilmu bersamanya. Hal ini terlihat pada kutipan berikut.

Sesampai Pono di Aceh sekitar tahun 1043 H, Ia langsung memperkenalkan diri dan menghadap Syekh Abdurrauf serta menyampaikan niatnya untuk belajar ilmu agama Islam. Dengan segala senang hati Syekh Abdurrauf menerimanya dan menjadikan Pono sebagai murid. Sebagaimana lazimnya seorang guru menerima murid untuk mempelajari ilmu pengetahuan agama, disediakan suatu tempat yang khusus (surau). Namun lain halnya dengan Pono, Ia tidak tinggal di Surau yang telah disediakan melainkan dibawa oleh Syekh Abdurrauf ke rumahnya karena selain mengaji Dia juga membantu gurunya mengerjakan pekerjaan rumah, seperti mengembalakn ternak dan membuat kolam ikan sebagai sebagian dari kegiatan pesantren di masa

itu.Berbeda dengan murid-murid yang lain, Pono mendapat perlakuan khusus dari gurunya, baik dari segi tempat belajar begitu juga dalam biaya kehidupan sehari-hari yang berada dalam tanggungan gurunya.

Khatib Sangko digambarkan sebagai orang yang berwatak seorang yang kuat. Ia tahan terhadapat sihir dan senjata tajam. Dan juga Ia panglima perang kerajaan aceh. Hal ini ini terlihat dalam kutipan berikut.

Kepulangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan diceritakan begitu dramatis, seolah-olah ia dipersiapkan dengan pengawal dan dukungan pasukan yang kuat dan menunjukan adanya campur tangan kuasa Aceh terhadap Ulakan. Syekh Burhanuddin pulang ke Ulakan tahun 1020 H/1611 M dengan diberi pengawal 70 orang pasukan yang berani tahan terhadap sihir dan senjata tajam dibawah pimmpinan pang lima perang yang bernama Khatib Sangko. Khatib Sangko adalah orang ulakan juga yang dulu dibawa orang Hindu ke Aceh kemudian Islam dan mengabdi untuk kerajaan Aceh. Ia berasal dari Nagari Gunung Tigo Tandikat Kecamatan VII Koto Sungai Sarik Kabupaten Padang Pariaman. Ketika dalam pelayaran pulang rombongan Syekh burhanuddin pernah merapat di Gunung Sitoli di sebuah pulau untuk menambah perbekalan air bersih. Setelah sumur digali di pualau lalu airnya diambil dan kemudian mereka melanjutkan perjalanan, sumur itu kelak dinamankan sumur niyah¸ kemudian berubah menjadi Nias, itulah asal nama pulau Nias itu.

Kalik-kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Si Hujan Paneh, dan Si Waman digambarkan sebagai orang-orang pemuka adat yang tidak senang dengan kedatangan Syekh Burhanuddin beserta rombongannya yang mereka anggap dapat mengalahkan kewibawaan dan agama mereka. Hal ini dapat dilihat dari kutipan.

Kabar kedatangan rombongan dari Aceh ini telah mashur di Pariaman dan sekitarnya. Berita ini tidak direspon dengan baik malah mendapat tantangan dari pemuka orang nan barampek di VII Koto Sungai Sarik Pariaman, yaitu Kalik-Kalik Jantan, Gaga Tangah Padang, Sihujan Paneh, dan Siwaman. Empat orang ini adalah panglima dan orang berani di Pariaman sekitarnya, Ia juga ahli sihir. Mereka menolak kedatangan rombongan dari Aceh yang mereka anggap akan mengalihkan kewibawaan dan agama mereka, akhirnya Khatib Sangko tetap bersikeras untuk mendarat walaupun mereka ditolak oleh orang Tepi

(Darat). Ujung dari perbedaan menimbulkan perperangan antara rombongan dari Aceh dibawah Pimpinan Khatib Sangko dan masyarakat Pariaman sekitarnya dengan panglimanya empat orang besar yang tersebut diatas. Akibat peperangan ini menimbulkan korban yang besar dikedua belah pihak. Rombongan dari Aceh semua pasukan tewa kecuali Khatib Sangko saja sedangkan dari masyarakat Pariaman tiga orang pmpinannya tewas dan satu orang yaitu Kalik-Kalik Jantan masih dapat bertahan.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa Syekh Burhanuddin berwatakan baik dan penuh semangat dalam berjuang untuk mengislamisasikan masyarakat di Nagari Ulakan.

Dokumen terkait