• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latihan Meroda dengan Alat Bantu Matras Lebih Tinggi

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 27-33)

a. Pelaksanaan Latihan Meroda dengan Alat Bantu Matras Lebih Tinggi

Latihan meroda dengan alat bantu matras lebih tinggi yang dimaksud yaitu, latihan melakukan meroda di matras yang lebih tinggi, dengan letak pendaratan kaki lebih rendah dari matras tumpuan tangan. Hal ini dimaksudkan agar gerakan meroda dapat dilakukan dengan baik dan sempurna terutama membantu memudahkan anak berdiri tegak dari posisi badan bungkuk menuju posisi badan tegak. Pelaksanaan latihan meroda dengan alat bantu matras lebih tinggi yaitu, matras diletakkan menumpuk ke atas dengan ketinggian yang disesuaikan dan diberi matras pendaratan yang lebih rendah. Anak berdiri di atas matras yang tinggi dan melakukan awalan meroda dengan tumpuan tangan di matras tinggi hingga posisi badan terbalik (handstand) dan kemudian melakukan pendaratan di matras yang lebih rendah. Untuk lebih jelasnya berikut ini peneliti menyajikan ilutrasi latihan meroda dengan alat bantu matras lebih tinggi sebagai berikut:

Gambar 2.3. Meroda di Matras Yang Tinggi (Sumber: http://picasaweb.google.com. 23 Januari 2016)

33

Penggunaan matras lebih tinggi seperti gambar diatas bertujuan untuk memudahkan guru/ pelatih dalam memberikan bantuan terhadap siswa. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Adisuyanto ( mengutip simpulan Santoso 2012 : 40-41) bahwa pemakaian peralatan ini memudahkan guru/pelatih memberikan bantuan/pertolongan pada anak didik. Ketinggian matras disesuaikan dengan kebutuhan, untuk melakukan meroda tidak perlu menggunakan matras yang terlalu tinggi atau terlalu tebal. Cukup dengan ketinggian antara 20-30 cm anak didik sudah merasa sangat terbantu dalam melakukan gerakan meroda.

Ditinjau dari pelaksanaan latihan meroda dengan alat bantu matras lebih tinggi tersebut merupakan bentuk latihan yang berdasarkan prinsip penataan lingkungan latihan. Rusli Lutan & Adang Suherman (2000: 42) menyatakan, “Penataan lingkungan pada dasarnya adalah penataan pembelajaran yang berhubungan manusia, waktu, peralatan dan lahan yang tersedia. Kadang-kadang penataan ini tercermin secara implisit dalam tugas gerak dan kadang-kadang tidak. Namun demikian penataan tersebut harus secara sengaja direncanakan serta mempunyai tujuan yang jelas untuk memperlancar proses belajar”.

Berdasarkan pendapat tersebut di atas bahwa, untuk memperlancar proses latihan dapat dilakukan dengan mamanfaatkan alat bantu. Salah satu alat bantu yang dapat dimanfaatkan untuk memperlancar proses latihan meroda yaitu matras lebih tinggi. Anak melakukan gerakan meroda dari atas matras, karena latihan ini dilakukan dari atas matras dan letak pendaratan yang lebih rendah, maka akan memberi kemudahkan anak berdiri tegak dari posisi badan bungkuk menuju posisi badan tegak.

b. Kelebihan dan Kelemahan Latihan Meroda dengan Alat Bantu Matras Lebih Tinggi

Perlu disadari bahwa setiap bentuk latihan memiliki kelebihan dan kelemahan. Berdasarkan pelaksanaan latihan meroda dengan alat bantu

34

matras lebih tinggi dapat diidentifikasi kelebihan dan kelemahannya. Kelebihan latihan meroda dengan alat bantu matras lebih tinggi antara lain:

1. Dapat memberikan kemudahan untuk melakukan gerakan meroda. 2. Pendaratan dapat dilakukan dengan baik, karena dilakukan di

tempat yang lebih rendah.

3. Pendaratan dapat dilakukan dengan baik karena anak terbiasa melakukan pendaratan dengan kedua kaki yang lurus, karena terbantu oleh ketinggian matras.

Selain kelebihan tersebut di atas, latihan meroda dengan alat bantu matras lebih tinggi juga memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan latihan meroda dengan alat bantu matras lebih tinggi antara lain:

1. Dapat jatuh ke samping matras tinggi sehingga dapat terjadi cidera. 2. Dapat menimbulkan rasa takut yang berlebih karena meroda

dilakukan dari tempat yang lebih tinggi.

3. Anak perlu beradaptasi lagi ketika melakukan latihan meroda di matras datar yang kemudian beralih ke matras datar.

8. Latihan

a. Pengertian Latihan

Latihan merupakan suatu proses yang dilakukan secara teratrur guna mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan utama latihan dalam olahraga prestasi adalah untuk mengembangkan kemampuan biomotorik ke standart yang paling tinggi, atau dalam arti fisiologis atlet berusaha mencapai tujuan perbaikan sistem organisme dan fungsinya untuk mengoptimalkan prestasi atau penampilan olahraganya. Berkaitan dengan latihan, Harsono (1988: 101) menyatakan, “Latihan adalah proses yang sistematis dari latihan atau bekerja, yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah latihan atau pekerjaannya”. Menurut A. Hamidsyah Noer (1996: 6) bahwa, “Latihan suatu proses yang

35

sistematis dan kontinyu dari berlatih atau bekerja yang dilakukan dengan berulang-ulang secara kontinyu dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan untuk mencapai tujuan”. Hal senada dikemukakan Yusuf Adisasmita dan Aip Syarifuddin (1996:145) bahwa, “Latihan adalah proses yang sistematis dari berlatih yang dilakukan secara berulang-ulang, dengan kian hari kian menambah jumlah beban latihan serta intensitas latihannya”.

Pengertian latihan yang diungkapkan oleh tiga ahli tersebut pada prinsipnya mempunyai pengertian yang hampir sama, sehingga dapat disimpulkan bahwa, latihan (training) merupakan proses kerja atau berlatih yang sistematis dan kontinyu, dilakukan secara berulang-ulang dengan beban latihan yang semakin meningkat.

b. Prinsip-Prinsip Latihan

Prinsip latihan pada dasarnya merupakan suatu pedoman dalam memberikan beban latihan, sehingga beban latihan dapat dilakukan dengan baik dan akan terjadi peningkatan. Hal ini sesuai dengan tujuan prinsip latihan yang dikemukakan Sudjarwo (1993: 21) bahwa, “Tujuan prinsip latihan yaitu agar pemberian dosis latihan dapat dilaksanakan secara tepat dan tidak merusak atlet”. Prinsip-prinsip latihan yang harus diperhatikan dalam latihan menurut Andi Suhendro (1999: 3.7) meliputi: “(1) Prinsip beban lebih, (2) Prinsip perkembangan menyeluruh, (3) Prinsip spesialisasi, (4) Prinsip individual, (5) Prinsip latihan bervariasi”.

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa, prinsip latihan yang harus diperhatikan meliputi lima aspek yaitu prinsip beben lebih, prinsip perkembangan menyeluruh, prinsip spesialisasi, prinsip individual dan prinsip latihan bervariasi. Penerapan prinsip-prinsip latihan yang tepat akan lebih memperbesar pencapaian tujuan latihan yang diinginkan.

36

c. Komponen-Komponen Latihan

Setiap kegiatan olahraga yang dilakukan seorang atlet, akan mengarah kepada sejumlah perubahan yang bersifat anatomis, fisiologis, biokimia dan kejiwaan. Efisiensi dari suatu kegiatan merupakan akibat dari waktu yang dipakai, jarak yang ditempuh dan jumlah pengulangan (volume), beban dan kecepatannya intensitas, serta frekuensi penampilan (densitas). Apabila seorang pelatih merencanakan suatu latihan yang dinamis, maka harus mempertimbangkan semua aspek yang menjadi komponen latihan tersebut di atas.

Semua komponen dibuat sedemikian dalam berbagai model yang sesuai dengan karakteristik fungsional dan ciri kejiwaan dari cabang olahraga yang dipelajari. Sepanjang fase latihan, pelatih harus menentukan tujuan latihan secara pasti, komponen mana yang menjadi tekanan latihan dalam mencapai tujuan penampilannya yang telah direncanakan. Cabang olahraga yang banyak menentukan keterampilan yang tinggi termasuk tenis lapangan, maka kompleksitas latihan merupakan hal yang sangat diutamakan. Komponen-komponen latihan yang harus diperhatikan sebagai berikut :

1) Volume Latihan

Sebagai komponen utama, volume adalah prasyarat yang sangat penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi dan pencapaian fisik yang lebih baik. Menurut Andi Suhendro (1999: 3.17) bahwa, “Volume latihan adalah ukuran yang menunjukkan jumlah atau kuantitas derajat besarnya suatu rangsang yang dapat ditujukan dengan jumlah repetisi, seri atau set dan panjang jarak yang ditempuh”. Sedangkan repetisi menurut Suharno HP. (1993: 32) adalah “Ulangan gerak berapa kali atlet harus melakukan gerak setiap giliran". Pengertian seri atau set, menurut M. Sajoto (1995:34) adalah, “Suatu rangkaian kegiatan dari satu repetisi”.

Peningkatan volume latihan merupakan puncak latihan dari semua cabang olahraga yang memiliki komponen aerobik dan juga pada cabang

37

olahraga yang menuntut kesempurnaan teknik atau keterampilan taktik. Hanya jumlah pengulangan latihan yang tinggi yang dapat menjamin akumulasi jumlah keterampilan yang diperlukan untuk perbaikan penampilan secara kuantitatif. Perbaikan penampilan seorang atlet merupakan hasil dari adanya peningkatan jumlah satuan latihan serta jumlah kerja yang diselesaikan setiap satuan latihan.

2) Intensitas Latihan

Intensitas latihan merupakan salah satu komponen yang sangat penting untuk dikaitkan dengan komponen kualitatif kerja yang dilakukan dalam kurun waktu yang diberikan. Lebih banyak kerja yang dilakukan dalam satuan waktu akan lebih tinggi pula intensitasnya.

Intensitas adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan, dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan geraknya, variasi interval atau istirahat diantara tiap ulangannya. Suharno HP. (1993: 31) menyatakan, “Intensitas adalah takaran yang menunjukkan kadar atau tingkatan pengeluaran energi atlet dalam aktivitas jasmani baik dalam latihan maupun pertandingan”.

Hasil latihan dapat dicapai secara optimal, maka intensitas latihan yang diberikan tidak boleh terlalu tinggi atau terlalu rendah. Intensitas suatu latihan yang tidak memadai atau terlalu rendah, maka pengaruh latihan yang ditimbulkan sangat kecil bahkan tidak ada sama sekali. Sebaliknya bila intensitas latihan terlalu tinggi dapat menimbulkan cidera.

3) Densitas Latihan

Menurut Andi Suhendro (1999: 3.24) “Density merupakan ukuran yang menunjukkan derajat kepadatan suatu latihan yang dilakukan”. Dengan demikian densitas berkaitan dengan suatu hubungan yang dinyatakan dalam waktu antara kerja dan pemulihan. Densitas yang mencukupi akan menjamin efisiensi latihan, menghindarkan atlet dari kelelahan yang berlebihan. Densitas yang seimbang akan mengarah kepada pencapaian rasio optimal antara rangsangan latihan dan pemulihan.

38

Istirahat interval yang direncanakan diantara dua rangsangan, bergantung langsung pada intensitasnya dan lamanya setiap rangsangan yang diberikan. Rangsangan di atas tingkat intensitas submaksimal menuntut interval istirahat yang relatif lama, dengan maksud untuk memudahkan pemulihan seseorang dalam menghadapi rangsangan berikutnya. Sebaliknya rangsangan pada intensitas rendah membutuhkan sedikit waktu untuk pemulihan, karena tuntutan terhadap organismenya pun juga rendah.

4) Kompleksitas Latihan

Kompleksitas dikaitan pada kerumitan bentuk latihan yang dilaksanakan dalam latihan. Kompleksitas dari suatu keterampilan membutuhkan koordinasi, dapat menjadi penyebab penting dalam menambah intensitas latihan. Keterampilan teknik yang rumit atau sulit, mungkin akan menimbulkan permasalahan dan akhirnya akan menyebabkan tekanan tambahan terhadap otot, khususnya selama tahap dimana koordinasi syaraf otot berada dalam keadaan lemah. Suatu gambaran kelompok individual terhadap keterampilan yang kompleks, dapat membedakan dengan cepat mana yang memiliki koordinasi yang baik dan yang jelek. Seperti dikemukakan Astrand dan Rodahl dalam Bompa (1983: 28) bahwa, “Semakin sulit bentuk latihan semakin besar juga perbedaan individual serta efisiensi mekanismenya”.

Komponen-komponen latihan yang telah disebutkan di atas harus dipahami dan diperhatikan dalam pelaksanaan latihan. Untuk memperoleh hasil latihan yang optimal, komponen-komponen latihan tersebut haru diterapkan dengan baik dan benar.

Dalam dokumen BAB II KAJIAN PUSTAKA (Halaman 27-33)

Dokumen terkait