• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kau akan lahir berkali-kali…

Bait puisi yang menggambarkan kehidupan Biru Laut yang mengalami peristiwa penyekapan dan penyiksaan. Kematian pada akhirnya datang padanya bukan dengan gempa ataupun gunung meletus bahkan kiamat. Kematian dengan peluru menembus punggung dan hempasan menuju dasar laut, seperti namanya. Laut kemudian bermonolog tentang hidupnya beberapa tahun silam, tentang Orang tuanya, Asmara, Anjani, dan kawan-kawannya.

Dimulai pada tahun 1991 di sebuah tempat bernama Seyegan, Yogyakarta. ‘Rumah Hantu’ di Seyegan tak lain merupakan markas Wirasena (organisasi mahasiswa) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut pemerintah adalah sebuah aktivitas terlarang. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah membahas buku-buku terlarang seperti buku karya Pramoedya Ananta Toer. Biru Laut menceritakan kehidupannya sebagai mahasiswa jurusan sastra Inggris yang memiliki kehidupan lain sebagai aktivis.

Terkisahlah kehidupan persahabatan antara Laut, Kinan, Alex, Sunu, Daniel, Julius, Gusti, Bram, dan serta aktivis-aktivis lainnya. Meskipun mereka

tahu, penghilangan secara paksa adalah resiko yang mungkin terjadi pada mereka akan menghampiri hidup mereka. Laut bercerita pertemuannya dengan kawan-kawan yang memiliki ketertarikan yang sama. Kinan adalah teman pertama yang membawanya menjadi bagian dari ‘aktivitas terlarang’ Wirasena dan Winatra setelah bertemu di kios Mas Yunus untuk menggandakan beberapa bab novel buku terlarang. Dimata Laut Kinan seperti adiknya—Asmara Jati, perempuan cerdas, mandiri, dan nekat. Kinan menceritakan kisah bagaimana ia begitu menginginkan perubahan di Indonesia, secara tidak langsung adalah ketertarikan untuk meruntuhkan ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan saat itu. Berawal dari ajakan Kinan, Laut ikut dalam kelompok diskusi yang mempertemukannya dengan teman-teman yang menginginkan perubahan, menjadikannya bagian dari Wirasena. Kegiatan kelompok studi terus dilakukan, mendiskusikan berbagai pemikiran alternatif guna melawan doktrin pemerintah yang sudah dijejalkan sejak Orde Baru berkuasa.

Kisah Laut tidak berurut tahun, monolognya selalu berganti satu peritiwa ke peristiwa lain secara acak. Secara bergilir ia menceritakan tentang para sahabatnya, tentang Bram—sang ketua Winatra yang lebih mirip sosok streotip mahasiswa kutubuku secara fisik, seolah menyembunyikan sosok luar biasanya yang sering mendampingi petani menuntut haknya. Tentang Sunu, sahabatnya yang paling bisa membedakan setiap ekspresi diam yang Laut perlihatkan. Sunu yang keluarganya harus selalu dihantui oleh ancaman dan interogasi tentara karena pamannya yang dihilangkan secara paksa karena terlibat aktif dalam barisan BTI tahun 1965. Teman pertama yang ia bawa ke rumah untuk merasakan kenikmatan masakan Ibunya. Tentang Daniel dan karakternya yang selalu

berapi-api. Daniel yang dijuluki si Filsuf Bejat karena selalu gonta-ganti pacar setiap minggu. Namun bagi Laut, Daniel adalah si Bungsu lantaran sifat manjanya padahal sebenarnya ia adalah anak sulung dikeluarganya. Tentang Alex, si ganteng yang baik hati, sopan, dan memiliki hobi fotografi. Laut menggambarkan dengan halus awal mula kecintaan Alex terhadap seni fotografi, kamera yang selalu dibawanya adalah pemberian kakaknya, hasil bidikannya yang jauh dari klise ‘tamasya kemiskinan’ yang sering ditampilkan oleh iklan-iklan. Sedikit tentang Naratama, sosok yang selalu menunjukkan sifat sinisme di setiap diskusi yang diadakan. Sosoknya itu yang selalu membuat Laut menaruh curiga terhadapnya. Ketidaksukaannya pada Tama yang berusaha mendekati salah satu anggota seniman Taraka, gadis yang menarik perhatiannya—Anjani.

Kemudian latar berpindah pada sebuah tempat dalam gelap, di tahun 1998, Laut menceritakan kehidupan penyekapan yang dialaminya. Ia ditangkap bertepatan dengan ulang tahun Asmara yang begitu ingin ia ucapkan selamat, tapi ia urungkan demi meminimalisir komunikasi dengan keluarganya selama ia masih buron. Laut ditangkap di rumah susun Klender. Ia dibawa secara paksa oleh beberapa laki-laki berbadan kekar mengenakan seibo, penutup wajah wol dan menodongnya dengan pistol. Orang-orang yang ia juluki si Pengacau, si Mata Merah, si Manusia Pohon dan si Raksasa yang berhasil mengungkap identitasnya. Ia dibawa paksa dan menutup matanya dengan kain hitam hingga Laut tak bisa mengetahui dimana tempat ia disekap. Selama penyekapan itu, tiada hari tanpa penyiksaan, dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sepatu bergerigi, disetrum, untuk menjawab satu pertanyaan siapa dalang dibalik kegiatan mereka. Berusaha menjerumuskannya pada tuduhan yang tidak berdasar, sesungguhnya murni akan

kecintaan mereka terhadap bangsa dan keinginan mereka melepaskan diri dari jeratan rezim Orde Baru yang menyengsarakan rakyat. Alex dan Daniel pun ikut tertangkap dan mengalami penyiksaan yang sama.

Setiap kehilangan kesadaran karena rasa sakit, monolog Laut terkadang mundur dikisaran tahun 1991-1998 sebelum penyekapan. Laut seolah kembali pada hari-hari ia kembali ke rumah orang tuanya menyempatkan diri melakukan kebiasaan keluarga makan malam bersama di hari Minggu yang biasanya selalu terlewatkan karena kesibukan kuliah dan lebih keterlibatannya dengan Winatra. Melepas rindu dengan Bapak, Ibu, Asmara dan tengkleng yang lezat. Kebersamaan yang nyaris sempurna, bercengkrama, menghadapi omelan Asmara yang selalu mengancam akan membocorkan kegiatan ‘rahasia’nya kepada Bapak dan Ibu, sedikit bercerita tentang kegiatannya dan mendengar kisah pembelaan Bapak yang seorang wartawan tentang Menteri Penerangan yang menyindir media-media yang mempekerjakan eks tahanan PKI ataupun anggota keluarga mereka yang melanggar aturan Depdagri. Bapak juga menasehatinya untuk berhati-hati dengan kegiatan yang ia lakukan.

Bukan hanya soal rumah, berkali-kali Laut memimpikan Mas Gala Sang Penyair dan bait-bait puisinya, mimpi teduh sekaligus menyedihkan. Kemudian juga mimpi bersama Naratama yang membuatnya berkeringat ingin menjerit. Naratama yang selalu tidak ada dalam situasi genting mengingatkannya akan cerita Kinan bagaimana ia, Sunu, Julius, Gusti dan Naratama mengawal unjuk rasa buruk dari 10 pabrik yang menuntut kenaikan upah di Surabaya. Mereka di interogasi, ditelanjangi, mencari bukti bahwa mereka adalah “dalang” unjuk rasa itu. Hanya Naratama yang saat itu berhasil kabur bersama video bukti. Laut selalu

curiga, namun Kinan selalu berusaha membunuh rasa curiga itu dengan kalimat yang menenangkan.

Begitu terbangun Laut kembali ke dunia nyata, penyiksaan yang dilakukan si Mata Merah menanti. Disiram air dan batu es menjadi salah satu penyiksaan yang Laut, Alex dan Daniel alami. Kemudian mereka akan kembali menginterogasi, menanyakan tentang Kinan yang belum tertangkap diselingi penyiksaan lain, tentang kenapa mereka menentang Orde Baru, niat mereka mengganti Presiden, pembelaan mereka terhadap buruh yang dianggap seperti PKI, ancaman mereka terhadap keluarga dan orang terkasih. Laut kembali ke dunia mimpi ketika si Manusia Pohon dan Manusia Raksasa memukulinya, mimpi di markas Sayegan, tentang Anjani. Siksaan berlanjut dengan alat setrum, Laut kembali pada ingatan aksi tanam jagung di Blangguan, salah satu kegiatan Winatra. Naratama tidak diizinkan ikut dalam kegiatan itu karena kecurigaan anggota Winatra tentang bocornya informasi diskusi mereka di Palem Kecut oleh para intel. Sunu, Daniel, Alex dan Laut mengingatkan Kinan agar berhati-hati terhadap Tama, karena itu Kinan tidak menyertakannya. Laut berangkat ke Blangguan menggunakan bus bersama anggota Wirasena, Winatra, dan Taraka. Konflik petani dan tentara di Blangguan terjadi karena sengketa lahan. Secara paksa lahan jagung para petani digusur paksa untuk dijadikan tempat latihan gabungan tentara. Seperti “Sajak Seonggok Jagung” karya Rendra, mereka memulai aksi itu bermodalkan semangat, uang pribadi, dan sumbangan beberapa individu yang secara diam-diam telah muak dengan pemerintah Orde Baru yang semakin represif.

Mereka penuh semangat untuk membantu para petani, namun aksi mereka kembali diketahui oleh intel. Para tentara mengepung begitu mereka tiba di Blangguan. Dengan bantuan warga mereka pun kabur ditengah malam, merayap seperti ular dibawah hujan deras di hutan, membuat mereka penuh lumpur. Mereka berhasil menaiki bus keluar dari Blangguan menuju Banyuwangi-Surabaya untuk aksi cadangan di depan gedung DPRD. Ingatan mimpi itu terputus dan kembali ke tempat penyekapan. Laut terbangun dan mendapati ia berada disebuah ruang tahanan berjeruji besi di bagian depan, bersekat dinding beton dibagian samping. Ternyata ditempat itu juga ada Sunu, Julius, Dana, Alex dan Daniel. Menurut Julius, Mas Gala dan Narendra sebelumnya juga disekap disana tapi beberapa hari sebelumnya dibawa pergi entah kemana. Penyiksaan terus berlanjut ditempat itu, kali ini bergantian dan mereka berusaha saling menguatkan dan bertahan. Seperti halnya Laut yang selalu mengingat keluarganya dan Anjani, para sahabatnya juga begitu merindukan keluarga dan orang terkasih. Laut jadi teringat bahwa Alex berhasil mendekati Asmara ketika ia membawanya ikut pulang ke rumah. Tidak seperti laki-laki lain yang akan Laut anggap sebagai musuh saat mendekati adiknya, ia pasrah dan merasa percuma untuk campur tangan karena Asmara jelas sudah terpikat oleh Alex yang bersuara merdu.

Seperti nyanyiannya yang berusaha menenangkan mereka yang dari penyiksaan, kali ini Daniel kembali dengan terseok-seok setelah diinterogasi berjam-jam dan dipaksa tiduran di atas balok es. Daniel memberitahu bahwa Kinan telah tertangkap, entah dibawa kemana. Sementara Bram memang sejak dua tahun lalu telah dipenjara. Dan suatu hari Sunu dibawa pergi oleh si Manusia Phon dan Manusia raksasa bersamaan dengan dimasukkannya Naratama

dikerangkeng seperti mereka. Laut berteriak hingga manusia pohon memukulnya dan hilang kesadaran lagi. Ingatannya kemudian kembali pada saat berhasil kabur dari polisi yang berpatroli. supir bus membantu mereka yang kabur dari Blangguan dengan mengarang cerita bahwa mereka adalah mahasiswa yang sedang studi ke desa-desa yang masih memiliki ladang. Bus pun aman melaju menuju DPRD Jatim. Mengikuti instruksi Kinan mereka berhenti di beberapa titik berbeda dan akan berkumpul lagi di halaman Gedung DPRD jam 10 pagi. Setelah aksi di depan Gedung DPRD selesai mereka kembali berpencar untuk menuju Yogyakarta, Laut pun berpisah dengan Anjani dan beberapa teman lain yang akan beristirahat di tempat Pakde Anjani.

Bersama anggota Winatra, Laut menuju terminal Bus Bungurasih. Ia pikir mereka akan berhasil tiba di Yogyakarta tanpa hambatan sebelum mereka dikepung oleh lima orang bersenjata. Mereka dibawa ke markas tentara, dinterogasi dan dipukuli karena aksi tanam Jagung yang mereka rencanakan. Laut dan kawan-kawannya dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sepatu bergrigi, dan disetrum. Betapa tidak berprikemanusiaan Seibo-seibo itu. Setelah mereka tak mendapatkan jawaban, Laut dan kawan-kawannya dibuang begitu saja di Bungurasih.

Seringnya aktivitas-aktivitas mereka bocor kepada intel, seperti peristiwa Balangguan, Demo di Surabaya, aktvitas di Klender dan acara seminar untuk membahas unjuk rasa yang gagal, membuat Laut dan beberapa kawannya semakin mencurigai Naratama sebagai agen ganda. Namun semua kecurigaan itu hilang bersamaan dengan disekapnya Naratama bersama mereka. terkuaklah siapa sebenarnya agen ganda tersebut, Lampu blitz yang selalu mengiringi mereka

setiap dibawa menuju ruang penyiksaan yang akhirnya mengungkap siapa pengkhianat sesungguhnya tak lain adalah Gusti. Laut pun bercerita bagaimana sakitnya ia dikhianati.

Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali…

Bait puisi Mas Gala bersama ucapan selamat ulang tahun untuk Laut seolah terngiang dalam setiap jejak hidupnya. Teringat masa-masa Laut berpindah ke Tebet. Pada saat itu Bram nekat ingin mendeklarasikan Wirasena sebagai partai setelah perdebatan sengit antara para anggota karena bahayanya hal tersebut disaat hanya ada tiga partai yang diakui pada masa itu. Kegiatan mereka tumpang tindih dengan kehebohan putri Sang Proklamator yang berhasil menjadi ketua partai. Keberanian itu berbayar dengan kebebasan mereka, semua aktivis Wirasena dan Winatra ditetapkan sebagai buron. Laut terpaksa berpindah-pindah demi menghilangkan jejaknya. Hanya sesekali memberi kabar melalui surat dengan nama samaran pada kekasihnya, Anjani. Status buron tak menyurutkan langkah Laut, menyuarakan tuntutan rakyat melalui tulisannya di Koran. Dan monolog itu berakhir bahkan sebelum rasa terkejut mereka semua atas pengkhianatan, Laut, Julius dan Dana digiring keluar kerangkeng diringi jeritan. Mereka dibawa terpisah. Dalam gelap karena mata yang ditutup kain, Laut dibawa ke dalam mobil entah kemana sebelum ia mendengar debur ombak yang menyambutnya sebagai suara terakhir yang mampu ia dengar.

Monolog Laut berganti, kini Asmara mengambil panggung. Menceritakan hari-hari tanpa Laut yang harus keluarga mereka lewati. Kegiatan Makan Malam di hari Minggu terus berjalan, Bapak dan Ibu selalu menanti kepulangan Laut

yang entah kapan. Menyiapkan piringnya dimeja makan, menghidangkan tengkleng kesukaannya, duduk didepan meja makan diiringi suara lagu dari vinyl yang Bapak putar. Menanti dan menanti sebelum kemudian Ibu memutuskan menuangkan nasi ke atas piring Bapak, piring Asmara, dan piringnya sendiri. Kami mulai mengunyah meski masih menanti.

Asmara menceritakan hari-hari tanpa sang kakak sulungnya yang sudah menghilang selama dua tahun. Pada awal Januari 1998 Asmara masih mendengar kabar kepada Alex yang saat itu juga buron bersama kakaknya. Alex memintanya yang saat itu bertugas di Puskesmas Pamangkayo untuk kembali ke Jakarta dan segera ia turuti. Begitu kembali suasana panas Jakarta langsung Asmara rasakan. Kabinet terus diganti oleh Presiden Soeharto akibat krisis ekonomi serta serangkaian demonstrasi mahasiswa dan aktivis. Asmara yang terbiasa hanya menghadapi perkara medis jelas membuatnya gundah, menghadapi orangtuanya yang luar biasa cemas karena sudah berbulan-bulan tak bertemu dengan Laut dan intel yang terus mengawasi keluarga mereka sejak Winatra dinyatakan sebagai organisasi terlarang sejak Juli 1996.

Kemudian kabar hilangnya Laut dan Alex bersama yang lain setelah sebelumnya Anjani pernah memberi kabar bahwa anggota Wirasena dan Winatra kemungkinan diculik. Kabar itu di dapatkannya melalui Aswin yang pernah Asmara dengar namanya melalui media. Kepastian bahwa Laut diculik tepat pada ulang tahun Asmara 13 Maret 1998. Alex dan Daniel pun kemungkinan menghilang dihari yang sama pula. Aswin dan tim relawan mencari keberadaan mereka melalui jejak terakhir siapapun yang dinyatakan hilang secara paksa saat itu. Asmara bergabung dengan tim relawan demi mencari keberadaan Laut dan

Alex. Asmara bahkan rela membatalkan rencananya mengambil residen bedah pada tahun itu dan menjadi dokter praktik umum di Jakarta. Keluarga dari para anggota yang diculik paksa pun berusaha saling membantu untuk mencari. Pada tanggal 23 April 1998, Aswin mengabarkan bahwa Alex selamat dan pulang ke Pamangkayo. Tak berselang lama Daniel, Naratama, Coki, Hamdan, Arga Masaki, Hakim Subali, Harun, dan Widi Yulianto. Penculikan paksa itu jelas memberi trauma besar, Aswin pun berkata pada semua yang selamat untuk menenangkan diri dahulu sebelum siap untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Alex datang ke rumah untuk menceritakan semua yang sebenarnya terjadi kepada Asmara dan Orangtuanya, terutama tentang Laut. Alex menceritakan dengan berhati-hati namun detail meskipun itu jelas akan menyakiti perasaan keluarga Laut. Ketidakpatahuan dan ketidakpastian tetap menjadi akhir dari cerita itu karena Laut tetap menghilang setelah dibawa keluar dari kerangkeng pada saat itu, karena bukan hanya tentang Laut, Alex juga tidak tahu soal siapa saja yang dipulangkan karena mereka tidak dilepaskan bersamaan.

Berdasarkan pendataan dari Komisi Orang Hilang, 9 orang telah kembali dan 13 orang belum diketahui. Komisi Orang Hilang serta LSM Hak Asasi Manusia lainnya, mendiskusikan hal itu dan dengan berani mengadakan konferensi pers, Alex pun menceritakan semuanya dengan air mata yang tak sanggup ia bending mengingat perlakuan keji yang dialaminya. Setelah konferensi pers tersebut Alex diberangkatkan ke Belanda demi menjaga keselamatannya karena telah bersaksi membeberkan kekejian Orde Baru. Berselang sebulan akhirnya sang pemimpin Orde Baru yang memimpin selama 32 tahun pada tanggal 21 Mei 1998 disaksikan oleh ratusan juta mata melalui televisi. Kemudian

kawan-kawan lain yang selamat ikut memberi kesaksian. Pasukan Elang dinyatakan sebagai dalang penculikan mereka dan diadili oleh Mahkamah Militer.

Semua masih berharap bahwa 13 kawan lainnya juga akan kembali. Bahkan setelah Presiden Soeharto mangkat tak ada tanda dari mereka yang hilang. Setiap ada kesempatan keluarga dari kawan-kawan yang dinyatakan hilang berkumpul untuk mencari kabar terbaru. Segala cara mereka lakukan untuk membanding informasi atau sekedar mencurahkan rasa pedih, marah dan frustasi. Bulan September Bapak menjadi wakil dari orangtua yang pergi ikut pertemuan di kantor PBB Jenewa bersama Aswin dan Alex untuk saling bertemu dengan organisasi penghilangan paksa dari Negara lainnya seperti Filipina dan Negara-negara Amerika Latin.

Berselang tahun kedua hilangnya Laut dan kawan-kawannya, pemahaman para keluarga beragam, ada yang berpikir bahwa kawan-kawan yang hilang hanya bersembunyi, ada yang pada tahap realistis bahwa jika putra-putri mereka telah tewas, mereka ingin tahu di manakah jenazah mereka dan ingin menguburkan dengan layak. Asmara paham bahwa orangtuanya berada digolongan pertama yang meyakini bahwa Laut hanya bersembunyi. Mereka percaya bahwa suatu hari nanti Laut akan muncul di depan pintu rumah dan bergumam dia lapar. Bapak dengan setia masih menyediakan empat piring di atas meja.

Aswin kemudian berbicara pada Asmara untuk pergi bersama Coki dan Alex ke Pulau Seribu. Aswin berkata bahwa ditemukan tulang belulang manusia disana, dan beradasarkan penuturan dokter ahli forensik dinyatakan bahwa tulang-tulang tersebut belum lama, sekitar dua atau tiga tahun. Berita itu jelas menakutkan bagi Asmara. Mereka kemudian pergi, Asmara berusaha realistis dan

berkata pada Alex bahwa mereka harus pasrah bahwa ada kemungkinan bahwa 13 kawannya telah mati. Namun Alex kukuh dengan pendiriannya, ia yakin bahwa mereka selamat. Selama perjalanan itu kenangan Laut juga ikut bersama Asmara. Alex mengingatkannya akan sosok sang kakak ketika kali pertama membawa pemuda itu ke rumah, mengenalkannya pada Asmara dan menimbulkan ketertarikan yang berbeda. Hubungan mereka pun bertumbuh dari sana meskipun ada pertentangan dari Laut yang menganggap bahwa gerakan mereka dan revolusi yang ingin mereka perjuangkan saat itu mungkin akan membahayakan Asmara.

Ekspedisi di pulau seribu terus berlanjut bahkan mereka terus diikuti oleh para intel. Penduduk yang memandu mereka juga memberikan informasi tentang kapal yact yang membawa tong-tong besar dan dibuang ke Laut. Asmara jelas takut mendengar lanjutan cerita, takut dengan kemungkinan bahwa tong yang dibuang itu berisi mayat. Takut bahwa itu mungkin kakakknya yang dibuang hidup-hidup atau bahkan setelah mati. Perjalanan berlanjut ke tempat tulang-tulang yang sebelumnya dikubur oleh penduduk.

Kenangan akan Laut sukar hilang seperti wangi daun jeruk. Keluarga Wibisana (keluarga Laut) masih hidup dalam kenangan. Bapak dan Ibu terus dengan rutinitas dan kenangan secara bersamaan, hanya Asmara yang berusaha bergerak maju meskipun dengan langkah lemah. Bahkan ketika semua orang tua berkumpul seperti rutinitas mereka biasanya dan informasi soal tulang belulang diberitahukan, penyangkalan itu tetap ada dari Bapak dan Ibu. Bahkan Anjani— kekasih Laut sama, masih teguh bahwa sang kakak masih hidup. Berada di situasi tersebut menguras tenaga Asmara, belum lagi hubungannya dan Alex.

Setelah berbagai kejadian, Asmara memutuskan untuk menjadi dokter ahli forensik. Ia ingin turut membantu mendeteksi tindak criminal di Indonesia melalui keahlian yang bisa ia lakukan setelah empat tahun menunda pendidikannya. Alex menyambut bahagia keputusan Asmara, mempererat hubungan mereka. Namun Asmara kembali kehilangan, Bapaknya meninggal karena serangan jantung. Dalam rasa terpukul itu Asmara menulis surat imajinatif kepada Laut yang begitu ia rindukan, seolah Laut akan menerima surat itu dan membacanya. Ia ceritakan soal Bapak, Ibu, Anjani, dan kerinduannya akan semua kedekatan mereka dan berharap Laut memberi tanda, kode morse atau pesan apapun seperti yang dulu ia lakukan.

Beberapa tahun setelahnya Asmara tetap aktif bersuara di Komisi Orang Hilang. Ia ikut dalam pertemuan PBB sebagai peserta pleno Komisi Sosial, Kebudayaan dan Hak Asasi Manusia bersama Alex disela mengikuti seminar ilmu kedokteran forensik Internasional. Bertemu dengan orang-orang penting dan terus berjuang demi keadilan atas Laut dan kawan-kawannya. Bertemu dengan orang-orang yang mengalami hal serupa, kehilangan anggota keluarga. Asmara pun kembali dengan semangat dan keyakinan untuk terus berjuang, termasuk berjuang agar Ibu bisa merelakan kakaknya. Perjuangan Asmara membuahkan hasil, Ibu yang ia rindukan sosoknya akhrinya berusaha bangkit. Begitupula Anjani yang sebelumnya sangat terpuruk kini kembali menjadi Anjani yang cantik, cerdas dan pemberani.

Rutinitas setiap Kamis, Asmara ikut berdiri bersama keluarga korban penculikan paksa di depan Istana Negara menggunakan baju dan paying serba hitam. Hanya berdiri diam tanpa berteriak, Daniel memberi orasi menggunakan

Dokumen terkait