• Tidak ada hasil yang ditemukan

: Analisis Gerakan Mahasiswa Terhadap Hegemoni. karya Leila S. Chudori. 1. Bentuk Hegemoni Pemerintah Orde Baru (Masyarakat Sipil dan Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan ": Analisis Gerakan Mahasiswa Terhadap Hegemoni. karya Leila S. Chudori. 1. Bentuk Hegemoni Pemerintah Orde Baru (Masyarakat Sipil dan Masyarakat"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

LAMPIRAN I : Analisis Gerakan Mahasiswa Terhadap Hegemoni Pemerintah Orde Baru dalam Novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori

1. Bentuk Hegemoni Pemerintah Orde Baru (Masyarakat Sipil dan Masyarakat Politik)

No Jenis Data Hlm Keterangan

1. Masyarakat Politik

Peristiwa penangkapan para aktivis karena memiliki sejumlah buku terlarang termasuk karya Pramoedya Ananta Toer yang terjadi tiga tahun lalu masih menghantui kami.

16 Menyingkirkan Penentang

2. Masyarakat Sipil

Dia menatapku. Sebagai seorang mahasiswa hijau, apa yang bisa kita lakukan untuk mengguncang sebuah rezim yang begitu kokoh berdiri selama puluhan tahun, dengan fondasi yang sangat kuat dan ditopang dukungan kelas menengah dan kelas atas yang nyaman dengan berbagai lisensi dan keistimewaan yang dikucurkan oleh Orde Baru.

24-25 Timbulnya Pertentangan

3. Masyarakat Politik

“Hanya beberapa pekan setelah kegiatan itu kami ditahan. Sekitar tujuh orang, satu per satu diinterogasi dan ditempeleng, disiram air, ditelanjangi.”

25 Tindakan Represif

4. Masyarakat Politik

Setelah peristiwa penangkapan aktivis di Yogya karena dituduh mengadakan diskusi karya Pramoedya Ananta Toer, Bram dan kawan-kawannya di jemput dan diinterogasi polisi.

28 Tindakan Represif

5. Masyarakat Politik

Belakangan Bram tahu ada salah satu kawannya, anggota OSIS bernama Lusia Antarini, mengadukan kegiatan diskusi Bram dan kawan-kawannya kepada ayahnya yang

29 Strategi Menyingkirkan

(2)

berhubungan dekat dengan kalangan intel.

6. Masyarakat Politik

“Pengkhianat ada dimana-mana, bahkan di depan hidung kita, Laut. Kita tak pernah tahu dorongan setiap orang untuk berkhianat : bisa saja duit, kekuasaan, dendam, atau sekedar rasa takut dan tekanan penguasa,” kata Bram mengangkat bahu.

30 Mempertahank an Kekuasaan

7. Masyarakat Politik

Aku mencoba menahan diri untuk tidak emosional dan perlahan menceritakan bahwa belakangan aku mendengar peraturan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan yang sudah diperkenalkan lebih dulu di Jakarta dan kini diterapkan di seluruh Indonesia. Siapa saja yang orang tua atau keluarganya pernah menjadi tahanan politik yang berkaitan dengan peristiwa 1965 tak diperkenankan bekerja yang berhubungan dengan publik. Ibu Ami seorang guru, “dan mereka khawatir sekali kami akan dijejal pemikiran komunisme rupanya,” kataku.

34 Mempertahank an Kekuasaan

8. Masyarakat Politik

“Setelah aku duduk di SMP, aku mendengar kabar dari beberapa kawan bahwa Ibu Ami pindah ke kota lain karena ayahnya dulu adalah PKI yang dieksekusi pada tahun 1965. Ada yang menceritakan ayahnya dilempar ke Bengawan Solo bersama ratusan mayat lainnya yang juga dibunuh. Itulah kali pertama aku mendengar pembunuhan masal di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali. Semakin banyak aku mendengar berbagai cerita yang sama sekali tak pernah tertera di buku sejarah, apalagi di media, semakin aku menyadari betapa buruknya situasi kehidupan di negeri ini.”

34-35 Mempertahank an Kekuasaan

9. Masyarakat Politik

Bu Arum berjualan batik dan perlahan-lahan membangun

39 Ancaman

(3)

Rumah Batik Arum yang cukup sukses disekitar Bantul. Tapi tentu saja persoalan masa lalu Pakde Sunu almarhum—tak pernah dikenal oleh Sunu, karena ia menghilang saat Sunu belum lahir—terus-menerus mengejar keluarganya.

10. Masyarakat Sipil

Pada awal masa kuliah, Alex sering berjalan sendirian ke pojok-pojok Yogyakarta membuat foto esai mbok bakul, mengikuti kehidupan keluarganya, dan bahkan berteman dengan mereka. Rangkaian foto-foto itu jauh dari klise tamasya kemiskinan yang sering ditampilkan oleh iklan-iklan. Dan itulah yang selalu dikatakan Alex kepada siapapun yang mencoba-coba menyentuh kameranya.

42 Timbulnya Pertentangan

11. Masyarakat Sipil

“Saya hanya pemistis. Kawan-kawan kita yang hanya berdiskusi karya Pak Pram saja sekarang sudah dipenjara, bagaimana kita bisa berharap para tapol dan keluarganya akan memperoleh keadilan, rehabilitasi nama, dan pemulihan jiwa? Bahkan Pak Razak saja, tetapi jutaan korban yang dibunuh pada tahun 1965 sampai 1966…” Tama berbicara dengan mata menyala-nyala

48 Timbulnya Pertentangan

12. Masyarakat Politik

Tiba-tiba saja aku teringat Sunu. Mungkin orang-orang ini adalah kelompok yang sama yang telah menculik sahabatku itu. Gedoran pada pintu semakin keras dan terdengar mereka berhasil menggebrak. Aku tak bisa lagi berlari atau melompat keluar jendela. Empat orang langsung masuk dan segera merangsek ke kamar dan mengepungku.

52 Tindakan Represif

13. Masyarakat Politik

Tidak lama kemudian aku mendengar seorang menyeret kursi dan duduk di pinggir velbed

56-57 Ancaman Penguasa

(4)

yang agak rendah. Dari napas dan bunyi langkahnya aku yakin si Mata Merah ada disampingku. Benar saja. Suaranya yang dalam dan menekan menanyakan dimanakah Gala Pranaya dan Kasih Kinanti? Siapa yang mendirikan Winatra dan Wirasena? Siapa yang membiayai kegiatan kami? Aku merekat bibirku. Ada kelegaan bahwa kedua sahabatku masih belum tertangkap.

14. Masyarakat Politik

“Ada beberapa rapat dengan tokoh-tokoh ini…,” suara Mata Merah menyebut nama-nama besar politikus yang kini dianggap sebagai musuh besar pemerintah. Putri Proklamator yang posisinya sebagai ketua partai digusur oleh ‘Kongres Tandingan’. Beberapa nama tokoh yang selama ini kritis terhadap Presiden Soeharto.

57 Ancaman

Penguasa

15. Masyarakat Politik

Saat itu pula aku menceritakan tentang keluarga Sunu. Pakdenya dulu sempat ikut AKIF dalam barisan BTI dan ketika 1965 pecah, begitu saja pakdenya hilang. “Kami tak pernah mengetahui makam Pakde,” kata Sunu kepadaku. Sejak itu keluarga Sunu, sama seperti keluarga korban 65 lainnya, menjadi langganan interogasi tentara. Tetapi mereka masih bisa hidup aman di tahun 1980-an ketika Sunu di SMA.

71 Tindakan Represif

16. Masyarakat Politik

Bapak menceritakan sejak menjadi bagian dari Harian Jakarta, Bapak yang menjabat jadi wakil pemimpin redaksi selalu diminta pimpinannya untuk sesekali menghadiri pertemuan bulanan bersama menteri penerangan. Bapak mengatakan itu salah satu tugas yang paling menjengkelkan tapi harus dijalani karena “Pak Pemimpin Redaksi

71-72 Mempertahank an Kekuasaan

(5)

tidak betah berhadapan dengan pejabat, apalagi Menteri Penerangan,” kata Bapak. Di dalam kumpul-kumpul para pimpinan media itu, sang Menteri biasanya dengan gaya teatrikalnya menyindir media-media yang tak patuh padanya. Yang sering kena sindir adalah majalah Tema, Harian Jakarta, dan Harian Demokrasi. Bandel tetapi toh sampai hari ini masih bertahan. “Hari itu, sindiran terhadap kami adalah karena Pak Menteri tahu di tiga media ini mempekerjakan tapol dan anak tapol.”

17. Masyarakat Politik

“Hati-hati saja, Mas. Bapak kan tetap mengikuti nasib para aktivis yang dipenjara hanya karena berdiskusi buku karya Pak Pram”.

75 Tindakan Represif

18. Masyarakat Politik

“Tapi drama Panembahan Reso itu juga tentang perembutan

kekuasaan”. Bapak

menambahkan. “Kalian harus berhati-hati, zaman sekarang intel sering menyelusup ke dalam acara diskusi mahasiswa dan aktivis. Beberapa kolega Bapak dari majalah Tera mengatakan selalu ada intel yang bergonta-ganti mengikuti beberapa wartawannya. Juga mereka senang sekali keluar masuk LBH, berpura-pura menjadi aktivis.” 76 Mempertahank an Kekuasaan 19. Masyarakat Politik

“Bapak sudah kehilangan banyak saudara dan kawan. Mereka menguap begitu saja, hilang di tengah malam….”

79 Tindakan Represif

20. Masyarakat Politik

“Orde Baru,” kata sang Penyair, “telah menjadi kerajaan absolut. Kita tak bisa melakukan apa-apa, meski melalui sastra atau teater atau kesenian lainnya.”

83 Mempertahank an Kekuasaan

21. Masyarakat Sipil

Sebaliknya, Mata Merah dan para hambanya mengetahui nama asli dan nama-nama samaranku selama kami semua dalam pelarian sejak Juli 1996 lalu.

90 Pemimpin yang Berkuasa

(6)

22. Masyarakat Politik

Si Mata Merah mengabsen nama-nama anak Wirasena dan Winatra. Satu per satu. Dan aku sengaja tidak memberi reaksi apapun. Aku hanya heran mengapa dia sama sekali tidak menyebutkan nama Naratama.

98 Ancaman

Penguasa

23. Masyarakat Politik

Juga para pelukis teman kalian…para seniman.” Si Mata Merah tersenyum, tampaknya dia membaca horror di mataku ketika dia menyebut kata “seniman”, “Abi, Hamdan, Coki…”

Aku masih diam, mulai terbiasa bersikap seperti patung, “…dan tentu saja si kecil manis Anjani.”

98 Ancaman

Penguasa

24. Masyarakat Politik

“Cara menyundut pacarmu itu ada seninya.” Si Mata Merah tersenyum. “Mula-mula, aku akan menyundut ujung kakinya yang putih dan mungil itu. Lalu,

perlahan naik ke

betisnya…cus…cus….” Dia mengatakan itu sambil menyundur pipiku. Aku menjerit-jerit….

99 Ancaman

Penguasa

25. Masyarakat Politk

Tidakkah mereka bosan menyiksa kami dengan alat penyentrum itu? Sekali lagi terdengar suara Mata Merah bertanya di mana Kinanti? Siapa orang-orang yang menggerakkan kami? Lalu mereka sekali lagi mengabsen nama-nama besar yang selama ini hanya menjadi tokoh idolaku saja karena berani bertahan diinjak Orde Baru.

110 Tindakan Represif

26. Masyarakat Politik

Diskusi itu belum sempat dimulai ketika terjadi penggerebekan di Palem Kecut. Tiba-tiba serombongan intel berbaju preman dan beberapa polisi dan aparat kodim masuk begitu saja ke ruangan Palem Kecut dan menuduh kami sedang merencanakan aksi keonaran buruh di Yogya. Kinan, Bram, Sunu, Alex dan aku diangkut dan

114 Strategi Menyingkirkan

(7)

dinterogasi sepanjang malam. 27. Masyarakat

Politik

Suasana berubah mencekam

begitu Pak Subroto

menyampaikan bahwa beberapa mobil patrol mondar-mandir dari kejauhan sejak tadi siang.”Jumlah mereka kelihatannya cukup banyak,” kata Pak Subroto mengingatkan. Dia tenang meski wajahnya tetap was-was.

129 Strategi Menyingkirkan

Penentang

28. Masyarakat Sipil

“Kita harus berusaha keluar dari desa ini begitu ada kesempatan,” Sang Penyair sedikit menaikkan volume suaranya bersaing dengan suara hujan yang semakin deras. “Mereka sudah mengintimidasi para petani yang rumahnya di ujung utara. Para ibu dan anak-anak ketakutan tapi tak satu pun dari mereka yang membocorkan posisi kita. Jadi sebaiknya kita berusaha keluar dari Blangguan.”

134 Pemaksaan Keputusan Sepihak

29. Masyarakat Politik

“Ini di ruang bawah, Laut. Kalian bertiga mungkin diseret ke sini setelah habis babak belur dihajar di ruang atas,” terdengar Sunu menjawab.

Aku tak tahu bagaimana caranya mencerna semua perkembangan baru ini karena kepalaku pusing dan perutku mual bukan buatan. Sudah jelas siksaan terakhir adalah rangkaian siksaan terberat hingga kami semua tak sadarkan diri.

145 Tindakan Represif

30. Masyarakat Sipil

Aku tahu Asmara tak terlalu setuju dengan aktivitasku menjadi Sisiphus Melayu. Melawan Orde Baru adalah sebuah kebodohan, dan kita perlu berkelit dengan cerdas di bawah rezim keji ini, demikian Asmara selalu merepet setiap aku mampir ke Ciputat.

153 Timbulnya Pertentangan

31. Masyarakat Sipil

“Itu…aksi kalian mau tanam-tanam jagung, jangan pura-pura goblok!”

Kok tahu sih kami mau menanam jagung, kan belum terjadi?

168 Pengkhianatan demi kekuasaan

(8)

“Blangguan!!” 32. Masyarakat

Politik

Ketika kami turun di terminal Bungurasih, si petugas yang duduk di bangku depan menurunkan jendela kaca mobil. Wajahnya datar, tak sebahagia tadi malam, mungkin karena dia tak berdekatan dengan alat setrumnya. Dia mengancam, “Awas mulut kalian jangan bocor. Dan jangan kemana-mana. Pulang sana ke Yogya!”

171 Ancaman Penguasa

33. Masyarakat Sipil

“Aku bertemu Gusti, mengenakan kemeja batik, dengan kamera dan blitznya sibuk memotretku selama aku disiksa…” 195 Pengkhianatan demi kekuasaan 34. Masyarakat Politik

Matahari Jakarta yang menyelip melalui jendela rumah itu membuat kami semakin gerah. Hingga akhirnya ketika Bram membacakan manifesto pada pekan pertama bulan Juli yang menghebohkan media dan peristiwa Sabtu Kelabu yang berdarah. Seperti biasa, pemerintah membutuhkan kambing hitam. Siapa lagi kalo bukan Wirasena dan Winatra.

201 Strategi Menyingkirkan

Penentang

35. Masyarakat Politik

Sabtu Kelabu 100 orang luka-luka, dan lebih dari seratus orang ditahan. Belum puas dengan begitu banyak korban, masih ada

ekor yang lebih penting:

perburuan terhadap Wirasena dan Winatra. 203 Strategi Menyingkirkan Penentang 36. Masyarakat Politik

Kami sedang merunduk di sebuah

rumah aman ketika Julius

menyodorkan Korean Metro

dengan tajuk “Wirasena Dalang

Kerusuhan” ke hadapanku.

Karena harian Metro sudah jelas

adalah wartawan yang

digenggam orang-orang yang

mesra dengan para penguasa, tak

heran jika kita sebut

“penunggang kerusuhan yang menggunakan cara-cara PKI...”

Di situ dikatakan mereka

203 Strategi Menyingkirkan

(9)

menangkap 200 “cacing tawuran” dan belum berhasil menjerat “gembong”. Sebagai seorang penulis, aku sungguh ingin membuka kelas kosa kata kepada para wartawan Koran

Metro yang gemar sekali

menggunakan retorika

“gembong”, “dalang”, “cacing”. Bahkan harian itu menulis bahwa wartawannya bertanya kepada Bos Letjen yang mengadakan konfrensi per situ, “Kapan Arifin

Bramantyo diseret ke

pengadilan”. 37. Masyarakat

Politik

Kami mendengar ada perintah “tembak di tempat” segala, kami

memutuskan untuk berpencar

lagi. Julius dan Coki menuju ke suatu tempat yang tak jauh dari Jakarta sedangkan Alex, Daniel dan aku segera naik bus ke salah

sebuah rumah aman yang

disediakan Bang Jo di Bandung. Dari dialah kami mengetahui bahwa 11 Agustus, Bram dan

kawan-kawan kami sudah

ditangan mereka. 204 Strategi Menyingkirkan Penentang 38. Masyarakat Sipil

Mungkin, mungkin masih ada harapan. Mungkin suatu hari masih ada orang seperti Gondo dan Pak Dekan di UGM yang percaya bahwa Indonesia dibawah Orde Baru harus segera punah.

214 Pemaksaan Keputusan Sepihak

39. Masyarakat Politik

“Ya ya sehat, Nak…” Suara Bapak parau dan mencoba gagah. Terdengar suara lelaki bergumam. Aku semakin yakin Bapak sedang dikerubung intel. Anjing mereka.

219 Ancaman Penguasa

40. Masyarakat Sipil

“Kau yakin yang kau lihat itu Gusti Suroso?” tanya Alex. “Ya. Tidak lain, tidak bukan, Gusti dengan kamera dan blitznya.”

223 Pengkhianatan demi Kekuasaan 41. Masyarakat

Sipil

Kini pembicaraan ngalor ngidul ini menjadi serius. Bagaimana Kinan dan Bram tidak menyadari itu? Oke, katakanlah Gusti Suroso bukan tim inti Winatra, tetapi dia

225 Pengkhianatan demi Kekuasaan

(10)

tetap memiliki akses pada seluruh rencana-rencana strategis kami. 42. Masyarakat

Politik

Saat ini, Komisi Orang Hilang mendata orang-orang yang belum kembali adalah : Biru Laut, Gala Pranaya, Kasih Kinanti, Sunu Dyantoro, Julius Sasongko, Narendra Jaya, Dana Suwarsa, Widi Yulianto, dan lima orang lain lagi.

239 Tindakan Represif

43. Masyarakat Politik

“Kira-kira dua bulan lalu, Bapak didatangi sekumpulan aparat yang mengenakan pakaian sipil.” “Ke kantor?”

“Tidak. Mana berani mereka ke kantor. Ke rumah. Bapak sudah menduga mereka intel. Mereka mengaku ditugaskan mencari Laut dan kawan-kawannya karena semua anggota Winatra, organisasi yang dinyatakan terlarang gara-gara peristiwa 1996.” 241-242 Ancaman Penguasa 44. Masyarakat Politik

“Mereka memaksa Bapak menelepon, lah selama ini kan Mas Laut jarang sekali menelepon, terutama setelah peristiwa Juli 96 itu. Akhirnya mereka memaksa Bapak mengirim pesan ke pager. Bapak lakukan, ndilalah, ternyata Mas Laut menelepon kami dari wartel….”

242 Ancaman Penguasa

45. Masyarakat Politik

“Aswin bercerita ada mobil hitam yang secara bergantian melalui Jalan Diponegoro, Berhenti beberapa jam. Konon ada salah satu dari aktivis yang keluar dari kantor LBH, pasti dia diikuti sampai Salemba. Paling tidak itu yang terjadi pada Mas Sunu dan Narendra, karena Mas Gala lebih banyak bergerak di pinggir Jakarta. Aswin juga mendapatkan informasi bahwa mereka mengincar Kinan.” 243 Strategi Menyingkirkan Penentang 46. Masyarakat Politik “Desaparasidos?”

(11)

paksa…ingat para Ibu Argentina yang unjuk rasa di depan Plaza de Mayo? Jangan sampai ini terjadi terus-menerus.”

47. Masyarakat Politik

Masa-masa Soeharto masih berkuasa yang membiasakan orang untuk mengunci mulut itu menyebabkan mereka semua mengalami trauma besar.

250 Mempertahank an Kekuasaan

48. Masyarakat Politik

“Di dalam mobil, setelah yang satu duduk di depan memegang setir, si Kekar yang tadi menonjok perut saya menyuruhku duduk di lantai mobil yang memang leluasa. Tangan saya di borgol ke belakang dan mata saya di tutup dengan sehelai kain hitam. Ketika mobil dijalankan, si Kekar mengatakan bahwa mereka sudah lama mengintai saya, Laut, dan Daniel. Sudah jelas mereka tidak salah tangkap, dan mereka semua ingin tahu dimana Kinan berada. Saya menjawab saya tak tahu dimana Kinan berada. Lelaki yang menyetir di depan mengatakan saya tak perlu menjawab sekarang. Nanti saja sambil sekalian di setrum”.

253 Tindakan Represif

49. Masyarakat Politik

Alex menceritakan bagaimana dia merasa masuk ke dalam sebuah ruangan besar yang sangat dingin. Dia mendengar suara Mas Laut dan Daniel yang tengah di interogasi. “Kami disiksa berhari-hari di ruangan tersebut. Sesekali kami tidur dengan tangan terikat di ujung velbed untuk kemudian dibangunkan dengan seember air es dan interogasi dimulai lagi,” kata Alex yang terlihat ingin meringkas saja bagian yang paling mengerikan itu.

253-254 Tindakan Represif 50. Masyarakat Politik

...Saya diberi ceramah bahwa ini semua dilakukan demi keamanan negara karena mereka menganggap ada indikasi presiden hendak ditumbangkan.

257 Ancaman Penguasa

(12)

Lantas mereka mengatakan jika saya berani mengadu pada pihak luar negeri atau wartawan, mereka akan membunuh saya.” 51. Masyarakat

Politik

“Mereka mengatakan akan memberi saya tiket pesawat pulang ke Flores. Dengan rinci mereka mengatakan bahwa di pesawat saya akan duduk bersebelahan dengan seorang Bapak tua berbaju biru, di belakang saya aka nada sepasang suami istri paruh baya. Sang Istri mengenakan rok jingga dan blues putih sedangkan si suami mengenakan kemeja batik dan pantalon hitam. Mereka semua adalah orang-orang yang akan mengawasi saya dan kalau saya berbuat aneh-aneh, mereka akan segera membunuh saya.”

257 Ancaman Penguasa

52. Masyarakat Politik

Alex memandangku dan mengangguk, “Persis sama seperti yang dideskripsikan. Saya bahkan tak berani makan dan minum yang disediakan pesawat. Saat itu saya hanya ingin hidup dan bertemu orang tua dan kawan-kawan saya.” 257 Strategi Menyingkirkan Penentang 53. Masyarakat Sipil

“Yang paling sulit adalah menghadapi ketidakpastian. Kami tidak merasa pasti tentang lokasi kami; dan kami tidak merasa pasti apakah kami akan bertemu dengan orangtua, kawan, dan keluarga kami, juga matahari; kami tak pasti apakah kami akan dilepas atau dibunuh; dan kami tidak tahu secara pasti apa yang sebetulnya mereka inginkan selain meneror dan membuat jiwa kami hancur....”

259 Pemimpin yang Berkuasa

54. Masyarakat Politik

Tetapi hingga Presiden Soeharto akhirnya mundur dari jabatannya pada 21 Mei, tak ada tanda apa-apa dari mereka yang hilang. Sementara publik terlanjur terpana oleh peristiwa mundurnya

261 Tindakan Represif

(13)

orang terkuat di negeri ini, maka kasus hilangnya 13 aktivis mulai tersingkir dari perhatian.

55. Masyarakat Sipil

“Tadi yang menelponku adalah dokter Syamsul Mawardi, Mara. Katanya penduduk pulau seribu menemukan sejumlah tulang manusia...sebagian ada yang sudah diperiksa, sebagian saying sekali langsung saja dikubur penduduk.” 263 Pengambilan Keputusan Sepihak 56. Masyarakat Politik

“Unjuk rasa kami tak akan pernah ada di Koran, kecuali yang dulu di Ngawi,” Mas Laut memotongku.

“Kenapa?”

Mas Laut saling memandang dengan Alex, “Karena yang kami lakukan itu riil. Dan aparat biasanya akan mengepung kami dan menangkap...”

275 Tindakan Represif

57. Masyarakat Politik

Bulan Juli 1996, setelah tragedi penyerangan kantor partai di jalan Dipenegoro, semua anggota Wirasena dan Winatra diburu. Organisasi mereka dinyatakan terlarang. 291 Strategi Menyingkirkan Penentang 58. Masyarakat Politik

“Jadi dokter Mawardi yakin itu tulang-tulang dari jenazah yang belum lama, Mar?” tanya Coki sambil meletakkan ranselnya. ....

“Ya. Tapi yang dia peroleh hanya beberapa dan tidak cukup untuk membuat konklusi...dan dia diteror terus sebelum bisa mempelajari tulang-tulang itu lebih mendalam,” kataku agak mengecilkan suara

297 Ancaman Penguasa

59. Masyarakat Politik

“Kalian bermalam dirumah saya, lebih aman,” katanya sambil mempersilahkan kami berjalan kea rah dermaga. Aku tak begitu paham mengapa Pak Hasan harus mengatakan “lebih aman” dalam kalimatnya sampai aku menyadari perahu motor yang kami tumpangi sudah ditongkrongi dua

299 Ancaman Penguasa

(14)

lelaki berjaket dengan rambut cepak. Klise oh klise. Jika mereka memang intel, tidakkah sekali-sekali mereka harus tampil agak berbeda, misalnya dengan rambut berbeda dengan rambut gondrong atau model punk, agar kami bisa dikelabui?

60. Masyarakat Sipil

“Tetapi toh ada kebocoran-kebocoran yang mencurigakan. Aksi Tanam Jagung Blangguan dan Penyiksaan di Bungurasih, misalnya, adalah pelajaran pertama kami tentang siksaan”. “Laut sungguh terpukul. Dia sangat kecewa...pengalaman Blangguan dan Bungurasih memang membuat kami lebih solid dan lebih kompak. Tetapi kami tak kunjung bisa mendeteksi siapa pengkhianat di antara kami, hingga akhirnya ketika kami disekap tahun 98,” Alex melanjutkan. 339 Pengkhianatan demi Kekuasaan 61. Masyarakat Politik

“Laut dibawa ke atas dan mengalami siksaan luar biasa: dia diperintahkan untuk berbaring, telanjang di atas balok es berjam-jam....”

340 Tindakan Represif

62. Masyarakat Sipil

Alex menundukkan kepala dan memegang tanganku. Aku baru menyadari kini bukan hanya keringat tetapi pipinya pun mulai basah oleh air matanya. “Saat itulah dia melihat pengkhianat itu, Mara. Gusti Suroso. Si fotografer busuk penggemar blitz itu...” Gusti? Aktivis Winatra yang lebih sering berbahasa Jawa dan sering membantu itu? Gusti Suroso? “Dia sibuk memotret Laut dalam keadaan disiksa di atas balok es....” 340 Pengkhianatan demi Kekuasaan 63. Masyarakat Politik

Tantangan lain: korupsi semakin

mengerikan. Menurut Alex,

selama Orde Baru, Indonesia bagaikan sungai besar dengan permukaan yang tenang, taka da

351 Mempertahank an Kekuasaan

(15)

kericuhan khas demokrasi karena partai politik sudah ditentukan, hokum bisa dibeli, ekonomi hanya milik penguasa dan para krooni,

dan rakyat hidup dalam

ketakutan. Kini kita belum

terbiasa dengan kegaduhan,

keramaian dan begitu banyak pertanyaan (yang cerdas maupun yang dungu) yang mengomentari tingkah laku pemerintah. Ah, aku sudah mulai menggunakan diksi kalian, anak-anak Winatra.... 64. Masyarakat

Politik

“Alex dan Daniel adalah survivor, Madre. Mereka sama-sama korban penculikan seperti kakak saya, Laut. Mereka semua disekap di sebuah tahanan di bawah tanah dan disiksa. Sebagian dilepas, dan sebagian tak terdengar nasibnya.”

357 Tindakan Represif

2. Gerakan Mahasiswa Sebagai Counter Hegemoni (Perlawanan Keras, Perlawanan Pasif, dan Perlawanan Humanistik)

No Jenis Data Hlm Keterangan

1. Perlawanan Keras

…“justru itu kelebihannya. Karena rumah hantu ini tersembunyi, kita akan aman. Rasanya para lalat itu akan sukar menemukan desa ini. Kita bebas mendiskusikan buku siapa saja, apakah karya Laclau atau Ben Anderson, atau bahkan novel Pak Pramoedya akan menghirup udara merdeka disini”.

16 Aksi Diskusi

2. Perlawanan Keras

Aku mengenal Kasih Kinanti setahun lalu di kios Mas Yunus, langganan kami berbuat dosa. Disanalah kawan-kawan sesama pers mahasiswa diam-diam menggandakan beberapa bab novel Anak Semua Bangsa dan berbagai buku terlarang lainnya.

(16)

Seingatku, Kinan tengah membuat fotokopi buku-buku karya Ernesto Laclau dan Ralph Miliband yang akan menjadi bahan diskusi.

3. Perlawanan Pasif

“Aku mahasiswa semester tiga Fakultas Sastra Inggris…,” kataku gugup.

“Yang diam-diam membaca buku Pramoedya bukan karena estetika sastra, tetapi karena ada suara lain yang mendorongmu!” Kinan memotong kalimatku.

24 Membaca

Buku Terlarang

4. Perlawanan Keras

“Bram dan aku pernah ditahan bersama beberapa kawan lainnya ketika menemani warga Kedung Ombo yang bertahan di lokasi…” Kinan bercerita bagaimana warna Kedung Ombo yang dijanjikan ganti rugi tiga ribu rupiah permeter persegi dan ternyata akhirnya mereka hanya diberi 250 rupiah per meter persegi. Sebagian warga yang sudah putus asa menerima ganti rugi, tetapi sekitar 600 keluarga bertahan dan mengalami intimidasi. “Kami mendampingi mereka yang bertahan, ikut membantu membangun kelas darurat untuk anak-anak dan rakit untuk transportasi.

25 Aksi

Demonstrasi

6. Perlawanan Pasif

Dia menyimpan buku-buku pemikiran Karl Marx, Tan Malaka, dan Pramoedya Ananta Toer di sebuah tempat persembunyian yang sulit di balik lemari dapur, sedangkan buku yang lebih umum seperti Pengantar Politik atau Ekonomi buku klasik Samuelson sengaja diletakkan di atas rak bersama beberapa novel karya sastrawan Eropa yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

29 Membaca

Buku Terlarang

7. Perlawanan Keras

“Banyak orang-orang yang diangkat menjadi pahlawan di masa Orde Baru ini, yang

(17)

mungkin suatu hari bisa saja dipertanyakan apa betul mereka

memang berjasa dan

berkontribusi. Tetapi kau benar, dalam perjuangan definisi antara pahlawan dan pengkhianat harus jelas. Suatu hari pahlawan atau bandit tak boleh hanya ditentukan karena kekuasaan rezim.”

8. Perlawanan Pasif

Sejak itu aku justru jadi penasaran, apa arti 1965, mengapa tahun itu menjadi sebuah titik yang penting betul bagi pemerintah saat itu. Aku bertanya pada Bapak yang saat itu bekerja di Harian Solo. Karena saat itu aku masih duduk di kelas 5 Sekolah Dasar, Bapak mencoba memberi semacam perspektif yang netral, tapi tidak manipulatif seperti yang tertera pada sejarah resmi yang kita pelajari.

34 Membaca

Buku Terlarang

9. Perlawanan Keras

Setelah diskusi panjang malam itu, aku malah lebih sering bertemu dengan Bram, Kinan, Sunu, Alex, Daniel, Tama, Julius, Widi, dan Dana di Gang Rode, tempat Bram dan beberapa kakak kelas lainnya berdiskusi dan merancang strategi unjuk rasa.

35 Aksi Diskusi

10. Perlawanan Keras

Seperti pada salah satu diskusi yang menampilkan Bram sebagai pembicara yang tentu saja bersifat pedantik. Ketika itu Bram mendiskusikan bagaimana menariknya membandingkan situasi politik Cile di masa pemerintahan Salvador Allende tahun 1973 dengan Indonesia tahun 1965. Bagaimana kedua negara sama-sama agak didominasi pemikiran kiri, tapi lantas dihajar oleh kekuatan militer.

45 Aksi Diskusi

11. Perlawanan Keras

“Itu pertanyaan kita semua, Tama. Itulah sebabnya kita berada di sini, berdiskusi, mendata, melawan sejarah palsu buatan

(18)

mereka dengan terus mengumpulkan kesaksian lisan dari orang-orang seperti Pak Razak,” Narendra menimpali dengan penuh tekanan.

12. Perlawanan Pasif

Di masa buron seperti ini segala medium komunikasi dengan keluarga harus diminimalisir karena itu aku hanya mengucapkan selamat ulang tahun dalam hati belaka.

51 Kehidupan dalam Pelarian

13. Perlawanan Pasif

Sejak kami buron dua tahun lalu, Daniel menjadi lebih dewasa dan

memperlakukan kami

sebagaimana dia memperhatikan adik lelakinya, Hans. Dalam keadaan buron, Daniel pula yang selalu mengingatkan agar kami selalu mengomunikasikan posisi kami sekerap mungkin apalagi sejak menghilangnya Sunu dua pekan lalu

51 Kehidupan dalam Pelarian

14. Perlawanan Keras

“Bapak hanya mengatakan mereka semua kawan-kawan kita yang sudah menjalani hukuman, itu pun tanpa pengadilan. Sama seperti kita semua, mereka perlu bekerja mencari nafkah.”

72 Perlawanan langsung

15. Perlawanan Keras

Bapak membereskan piringnya dan tiba-tiba meluncur begitu saja dari mulutnya, “Teman-teman Bapak di Harian Solo bercerita sedang banyak mahasiswa Yogya dan Solo yang berkumpul dan diam-diam membuat kelompok perlawanan.”

73 Aksi Diskusi

16. Perlawanan Keras

“Kenapa kalian berniat mengganti presiden? Urusan apa kalian anak-anak kecil mau mengganti presiden?”

Tiba-tiba saja aku kepingin sekali menjawab, “Kalau kamu memang anak kecil, kenapa Bapak merasa terancam?”

96 Perlawanan Langsung

17. Perlawanan Keras

Semua ajaran baik kan memang menyuruh kita berbagi. Ajaran orangtua, ajaran agama, dan juga sila kelima Pancasila kan juga

97 Perlawanan Langsung

(19)

berbicara soal keadilan sosial,” aku menjawab dengan normative yang membuat si Manusia Pohon semakin beringas.

18. Perlawanan Keras

Di awal tahun 1993, kami pernah merancang sebuah diskusi terbatas di Palem Kecut. Kawan-kawan Wirasena memutuskan sebaiknya mahasiswa dari berbagai kampus Yogya diundang mengikuti diskusi penting ini. Kinan dan Alex ke Manila untuk mengikuti konferensi Peran Gerakan Mahasiswa dan Aktivis dalam Perubahan di Asia Tenggara setahun lalu, karena itu kami menyelenggarakan diskusi Kwangju yang dibandingkan dengan People Power’s Manila.

113 Aksi Diskusi

19. Perlawanan Keras

Tak hanya kelompok Wirasena, Winatra, dan Taraka Yogya tetapi juga kawan-kawan Winatra dari Jakarta, Semarang, Solo, Surabaya mengirim perwakilan bergabung atas nama Aksi Mahasiswa untuk Blangguan.

116 Aksi

Demonstrasi

20. Perlawanan Keras

Mendengar ini, lantas saja aku teringat “sajak seonggok jagung” karya Rendra, sang penyair dan aku sama-sama mengusulkan agar mahasiswa dan aktivis melawan tentara dengan aksi tanam jagung Kami tak punya senapan dengan bayonet; kami tak punya otot, tak punya uang. Gerakan kami semua bermodalkan semangat, uang pribadi, dan sumbangan beberapa individu yang secara diam-diam sudah muak dengan pemerintah Orde Baru yang semakin represif dari tahun ke tahun. Kali ini, kami menambah senjata perlawanan itu dengan sajak dan aksi penanaman

116-117

Aksi Demonstrasi

(20)

jagung. 21. Perlawanan

Keras

“Aku tidak ikut.” Anjani menimpali, “tapi Naratama bercerita bagaimana serunya aksi Ngawi.”

….

“Aku ingat…banyak yang ikut yo….200? 300 orang?”

“Dua ratus lima puluh!” Daniel menyambar dari kursi belakang. “Termasuk wartawan lokal, solid!”

127 Aksi

Demonstrasi

21. Perlawanan Keras

Bram sendiri tetap menggunakan bendera Wirasena dan dengan

nekat mereka ingin

mendeklarasikannya sebagai partai. 198 Perlawanan Langsung 22. Perlawanan Pasif

Seminggu di Lampung, seminggu di Pekanbaru, dan kini di Padang terkadang tak membuat kami merasa seperti buron. Diantara duduk-duduk di dalam kamar sewaan dan sesekali makan di warung untuk numpang menyaksikan telebisi mengetahui perkembangam, sebetulnya aku paham mengapa Daniel dan Alex mulai mengeluh karena celana mereka mulai kesempitan. Apa boleh buat makanan Sumatra bagian mana saja memang luar biasa enak, jangan heran jika sesekali kami lupa kami bukan sedang liburan. Tetapi setiap kali kami tak sengaja melihat tentara, kesadaran kami melejit ke ubun-ubun bahwa kami ada dalam daftar pencarian orang. Segera saja kami berjalan secepat-cepatnya ke tempat kos untuk kemudian melempar baju ke dalam ransel dan berpindah lagi. Tapi selebihnya, terutama bagi Alex yang tak membawa kameranya dan Daniel yang jengkel dengan situasi pelarian terus-menerus, sebetulnya kami cukup menikmati situasi makan

205 Hidup dalam Pelarian

(21)

enak dan terisolasi dari berita Jakarta.

23. Perlawanan Pasif

Minggu kedua di Padang, karena belum ada tanda yang mencurigakan, dan belum juga ada telepon yang disampaikan secara estafet melalui kurir atau telepon umum maka aku biasa mengisi waktu dengan menerjemahkan buku untuk Mandiri, sebuah penerbit independen di Yogyakarta.

206 Hidup dalam Pelarian

24. Perlawanan Pasif

Karena kami menyadari—setelah peristiwa besar tahun 1994—pasti telepon majalah Tera disadap, maka aku menggunakan nama Ahmad Zein yang segera dipahami Bayu dengan Cerdas. Kami berbasa-basi, berputar-putar topic pembicaraan dan diantara obrolan ngalor-ngidul itu Bayu menyelipkan pesan bahwa aku sebaiknya kembali ke Lampung segera.

206 Hidup dalam Pelarian

25. Perlawanan Keras

Sesekali kami melakukan gerilya dengan membuat grafiti sebelum matahari muncul. Grafiti yang berbunyi hal-hal yang ‘radikal’ semacam “Gulingkan Diktator” atau “Gulingkan Orde Baru!”. Biasanya kami menjadi nekat setelah malamnya berbagi kisah menyedihkan

212 Menerbitkan Karya

26. Perlawanan Keras

Cerita pendekku berjudul “Rizki Belum Pulang” adalah ceritaku yang pertama dimuat di harian nasional dengan nama Mirah Mahardika.

216 Menerbitkan Karya

27. Perlawanan Keras

Seharian ini aku baru selesai rapat di Depok bersama kawan-kawab UI tentang rancangan demonstrasi yang akan kami selenggarakan serentak di beberapa kampus.

220 Aksi Diskusi

28. Perlawanan Pasif

Sebulan sebelum rebut-ribut hilangnya mereka, tepatnya awal Januari 1998, aku selesai bertugas di Puskesmas Pamangkayo, pesisir Solor. Alex yang saat itu

240 Hidup dalam Pelarian

(22)

masih bergerak di bawah tanah bersama Mas Laut dan kawan-kawan—karena Winatra dan Wirasena dinyatakan organisasi terlarang pada tahun 1996— memberanikan diri mengirim sebuah pesan singkat tanpa tanda tangan namanya.

29. Perlawanan Pasif

Situasi semakin tak menentu ketika Anjani menelponku dan menceritakan bahwa sudah lama Mas Gala dan Sunu tak terdengar beritanya. Setelah itu Narendra juga tak kelihatan. Meski mereka semua tengah bergerak di bawah tanah, mereka memiliki sistem mengirim kabar secara estafet dan lisan. “Semua kawan-kawan Wirasena dan Winatra mulai gelisah, mereka sudah pasti diculik.

243 Hidup dalam Pelarian

31. Perlawanan Keras

Pada saat itulah Aswin mengajak aku bergabung dan ikut membangun Komisi Orang Hilang. Utara Baru, seorang kawan dan wartawan Majalah Tera mengatakan padaku bahwa di negeri ini, taka da orang yang lebih baik, lebih tulus, dan lebih peduli pada hak asasi manusia daripada Aswin.

245 Perlawanan Langsung

33. Perlawanan Keras

Semua komunitas, Lembaga Swadaya Masyarakat baik yang berperan dalam berdirinya Komisi Orang Hilang membantu memastikan agar ada safehouse, karena kami mendengar kawan-kawan yang hilang mulai berdatangan : Naratama, Coki, Hamdan, Arga Masagi, Hakim Subali, Harun, dan Widi Yulianto.

249-250

Aksi Diskusi

34. Perlawanan Keras

Malam itu kami semua mencoba menghitung-hitung dan mengira-ngira apa yang terjadi dengan mereka. 9 orang kembali dan 13 orang masih tak jelas nasibnya, termasuk Mas Laut. Ketika akhirnya Alex dan Daniel sudah

258-259

(23)

siap bertemu dengan semua kawan-kawan dari Komisi Orang Hilang serta LSM Hak Asasi Manusia lainnya, segala rencana dibentangkan : sejauh apa bahayanya jika mereka berbicara di depan wartawan, yang artinya dihadapan publik; apa yang dilakukan intel dan aparat. Seberapa banyak wartawan yang akan diundang . Apakah kita berani mengundang wartawan asing.

35. Perlawanan Humanistik

Karena Alex bersikeras dia sudah siap dengan segala resiko, maka semua LSM memutuskan bantingan membeli tiket untuk Alex agar ia langsung ke bandara dan terbang ke Belanda setelah mengadakan konferensi pers.

259 Konferensi Pers

36. Perlawanan Humanistik

Ini semua terjadi kurang dari sebulan sebelum Soeharto secara dramatis mengundurkan diri sebagai presiden disaksikan ratusan juta mata melalui siaran televisi. Daniel Tumbuan dan Naratama kemudian memberikan testimoni berikutnya hanya seminggu setelah keberangkatan Alex; Sedangkan Dana Suwarsa, Arga Masagi, Hakim Subali, dan Widi Yulianto masing-masing memberikan kesaksiannya setelah pasukan khusus Elang, yang jelas adalah penculik para aktivis ini, diadili oleh Mahkamah Militer.

260 Konferensi Pers

37. Perlawanan Keras

Hingga bulan September setelah Komisi Orang Hilang menyelenggarakan Tenda Keprihatinan dimana Gusdur— orang yang sangat aku hormati— hadir, akhirnya Aswin dan kawan-kawan dari LSM lain memutuskan untuk mengukuhkan seluruh keluarga menjadi bagian dari organisasi Komisi Orang Hilang agar pencarian para aktivis tak dilupakan pemerintah. Bapak

261 Aksi

(24)

bahkan menjadi wakil dari orangtua yang pergi ikut pertemuan di kantor PBB di Jenewa bersama Aswin dan Alex untuk saling bertemu dengan organisasi penghilangan paksa dari negara lain seperti Filipina dan Amerika Latin.

38. Perlawanan Keras

Karena pada saat yang sama sering pula aku mendengar percakapan antara orangtuaku betapa mereka bangga terhadap Mas Laut yang ingin mengubah negeri menjadi kepada sesuatu yang lebih baik, meski dari hal-hal kecil seperti mendampingi petani atau mengadakan lokakarya tentang hak-hal buruh dengan para buruh Jakarta.

288 Perlawanan Langsung

39. Perlawanan Keras

“Asmara...kita hidup di negara yang menindas rakyatnya sendiri. Bapak senang berada di antara anak-anak muda yang mengerti bahwa bergerak, meski hanya selangkah dua langkah, jauh lebih berharga dan penuh harkat daripada berdiam diri.” Bapak tertawa dan memindahkan jarumnya ke lagu Baez yang lain.

290 Perlawanan Langsung

40. Perlawanan Pasif

Beberapa kali, selama aku di Pamakayo, aku mendapatkan surat yang dibawa oleh saudara atau kerabat Alex yang juga memperolehnya dari kurir yang dipercaya. Dari surat-suratya itu aku mengetahui Mas Laut dan Alex serta kawan-kawannya yang lain-lain berpindah-pindah tempat, tetapi mereka baik-baik saja. Baik itu diartikan bahwa mereka belum tertangkap dan dijebloskan di penjara seperti Mas Bram.

291 Kehidupan dalam Pelarian

41. Perlawanan Keras

“Security mana?” tanyaku lebih galak. “Security itu harus jelas: ada satpam, ada polisi, ada tentara…ada divisi-divisinya!”

300 Perlawanan Langsung

(25)

Keras berlatar belakang politik di negaranya?”

“Ya...Alex pernah mengatakan mereka sering mendiskusikan gerakan-gerakan demokrasi di negara lain.”

43. Perlawanan Keras

Sudah cukup lama, setiap Kamis para orangtua, kawan, saudara, simpatisan, wartawan berkumpul di hadapan Istana Negara menggunakan paying hitam sebagai simbol sekaligus mempertanyakan ke mana para aktivis yang hilang itu.

316 Aksi

Demonstrasi

44. Perlawanan Humanistik

“Tulang mereka ditemukan di sebuah pantai resor di Santa Teresita, utara Buenos Aires. Dan tes DNA menemukan tiga tulang jenzah tersebut adalah tubuh ketiga ibu perkasa itu. Semua fakta ini menjadi bahan pemikiranku. Sejak pengalaman kita di Pulau Seribu, aku bertanya-tanya mengapa Indonesia selalu mengalami kesulitan mendeteksi tindak kriminial dengan menggunakan sains. Lalu aku banyak berbincang dengan dokter Mawardi. Bayangkan, negara sebesar ini hanya memiliki 300 dokter forensik. Aku memilih Ilmu Kedokteran Forensik.

345 Penelitian Forensik

45. Perlawanan Humanistik

Sebetulnya Aswin hanya bisa mengirim dua orang untuk menjadi peserta pleno Komisi Sosial, Kebudayaan, dan Hak Asasi Manusia PBB. Tetapi kebetulan aku ditugaskan untuk mengikuti seminar ilmu kedokteran forensik internasional, maka Aswin juga meminta aku hadir dalam pertemuan dengan para madres Argentina jika mereka memang bersedia meluangkan waktu dengan kami.

353 Konferensi PBB

46. Perlawanan Humanistik

“Langsung ke pleno dan disetujui! Para madres berhasil mendorong

354 Konferensi PBB

(26)

mereka membuat Konvensi Anti Penghilangan Paksa.”

47. Perlawanan Humanistik

Daniel mengaku bagaimana dia memoelajari unjuk rasa di hadapan Casa Rosada, Istana Presiden Argentina. Para ibu itu mempunyai persamaan: anak mereka hilang diculik dan tak tahu apa yang terjadi dengan mereka. Maka para aktivis ddari berbagai negara bertahun-tahun mulai ikut mendukung para ibu Plaza de Mayo yang berbicara di Jenewa untuk meyakinkan sidang bahwa mereka membutuhkan konvensi baru.

355 Konferensi PBB

48. Perlawanan Humanistik

Perjuangan itu berhasil tahun lalu ketika dua madres dahsyat berbicara dengan semangat dan fasih betapa ini sebuah bentuk teror dan kekejian yang sudah digunakan di seluruh dunia, lazimnya oleh pemerintah dictator. Dan kedatangan Daniel dan Alex ke New York mewakili Komisi adalah memberi testimoni dan mendukung pengesahan Konvensi.

355 Konferensi PBB)

49. Perlawanan Keras

Pada Kamis keempat, di awal tahun 2007 itu, di bawah matahari senja, di hadapan Istana Negara, kami berdiri dengan baju hitam. Kami tak berteriak atau melonjakm melainkan bersuara dalam diam. Keringat matahari sore membuat baju kami kuyup, tapi itu malah membuat suasana semakin kuyub. Bram dan Aswin memberi pengarahan pada awal, sementara Daniel memegang toa sesekali memberi orasi pendek meski satu dua polisi gelisah karena para pengemudi mobil yang berlalu jadi perlahan karena kepingin nonton.

363 Aksi

demonstrasi

50. Perlawanan Keras

Hilangnya Mas Laut dan kawan-kawan sudah diramaikan media,diangkat sebagai drama,

373 Aksi

(27)

musik dan berbagai medium, tetapi kami ingin pemerintah mengungkap kasus ini hingga tuntas. Mungkin Aksi Payung Hitam setiap hari Kamis bukan sekedar sebuah gugatan, tetapi sekaligus terapi bagi kami dan warga negeri ini; sebuah peringatan bahwa kami tak akan membiarkan sebuah tindakan kekejian dibiarkan lewat tanpa hukuman. Payung Hitam akan terus-menerus berdiri di depan istana negara. Jika bukan presiden yang kini menjabat yang memberi perhatian,mungkin yang berikutnya....atau yang berikutnya....

(28)

LAMPIRAN II : Cover Novel Laut Bercerita Karya Leila S. Chudori

Judul : Laut Bercerita

Penulis : Leila S Chudori

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Tahun Terbit : 2017

(29)

LAMPIRAN III : Ringkas Cerita Novel Laut Bercerita Karya Leila S.Chudori

Judul : Laut Bercerita

Penulis : Leila S Chudori

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia Tahun Terbit : 2017

LAUT BERCERITA Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali…

Bait puisi yang menggambarkan kehidupan Biru Laut yang mengalami peristiwa penyekapan dan penyiksaan. Kematian pada akhirnya datang padanya bukan dengan gempa ataupun gunung meletus bahkan kiamat. Kematian dengan peluru menembus punggung dan hempasan menuju dasar laut, seperti namanya. Laut kemudian bermonolog tentang hidupnya beberapa tahun silam, tentang Orang tuanya, Asmara, Anjani, dan kawan-kawannya.

Dimulai pada tahun 1991 di sebuah tempat bernama Seyegan, Yogyakarta. ‘Rumah Hantu’ di Seyegan tak lain merupakan markas Wirasena (organisasi mahasiswa) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang menurut pemerintah adalah sebuah aktivitas terlarang. Salah satu kegiatan yang mereka lakukan adalah membahas buku-buku terlarang seperti buku karya Pramoedya Ananta Toer. Biru Laut menceritakan kehidupannya sebagai mahasiswa jurusan sastra Inggris yang memiliki kehidupan lain sebagai aktivis.

Terkisahlah kehidupan persahabatan antara Laut, Kinan, Alex, Sunu, Daniel, Julius, Gusti, Bram, dan serta aktivis-aktivis lainnya. Meskipun mereka

(30)

tahu, penghilangan secara paksa adalah resiko yang mungkin terjadi pada mereka akan menghampiri hidup mereka. Laut bercerita pertemuannya dengan kawan-kawan yang memiliki ketertarikan yang sama. Kinan adalah teman pertama yang membawanya menjadi bagian dari ‘aktivitas terlarang’ Wirasena dan Winatra setelah bertemu di kios Mas Yunus untuk menggandakan beberapa bab novel buku terlarang. Dimata Laut Kinan seperti adiknya—Asmara Jati, perempuan cerdas, mandiri, dan nekat. Kinan menceritakan kisah bagaimana ia begitu menginginkan perubahan di Indonesia, secara tidak langsung adalah ketertarikan untuk meruntuhkan ketidakadilan yang dilakukan rezim pemerintahan saat itu. Berawal dari ajakan Kinan, Laut ikut dalam kelompok diskusi yang mempertemukannya dengan teman-teman yang menginginkan perubahan, menjadikannya bagian dari Wirasena. Kegiatan kelompok studi terus dilakukan, mendiskusikan berbagai pemikiran alternatif guna melawan doktrin pemerintah yang sudah dijejalkan sejak Orde Baru berkuasa.

Kisah Laut tidak berurut tahun, monolognya selalu berganti satu peritiwa ke peristiwa lain secara acak. Secara bergilir ia menceritakan tentang para sahabatnya, tentang Bram—sang ketua Winatra yang lebih mirip sosok streotip mahasiswa kutubuku secara fisik, seolah menyembunyikan sosok luar biasanya yang sering mendampingi petani menuntut haknya. Tentang Sunu, sahabatnya yang paling bisa membedakan setiap ekspresi diam yang Laut perlihatkan. Sunu yang keluarganya harus selalu dihantui oleh ancaman dan interogasi tentara karena pamannya yang dihilangkan secara paksa karena terlibat aktif dalam barisan BTI tahun 1965. Teman pertama yang ia bawa ke rumah untuk merasakan kenikmatan masakan Ibunya. Tentang Daniel dan karakternya yang selalu

(31)

berapi-api. Daniel yang dijuluki si Filsuf Bejat karena selalu gonta-ganti pacar setiap minggu. Namun bagi Laut, Daniel adalah si Bungsu lantaran sifat manjanya padahal sebenarnya ia adalah anak sulung dikeluarganya. Tentang Alex, si ganteng yang baik hati, sopan, dan memiliki hobi fotografi. Laut menggambarkan dengan halus awal mula kecintaan Alex terhadap seni fotografi, kamera yang selalu dibawanya adalah pemberian kakaknya, hasil bidikannya yang jauh dari klise ‘tamasya kemiskinan’ yang sering ditampilkan oleh iklan-iklan. Sedikit tentang Naratama, sosok yang selalu menunjukkan sifat sinisme di setiap diskusi yang diadakan. Sosoknya itu yang selalu membuat Laut menaruh curiga terhadapnya. Ketidaksukaannya pada Tama yang berusaha mendekati salah satu anggota seniman Taraka, gadis yang menarik perhatiannya—Anjani.

Kemudian latar berpindah pada sebuah tempat dalam gelap, di tahun 1998, Laut menceritakan kehidupan penyekapan yang dialaminya. Ia ditangkap bertepatan dengan ulang tahun Asmara yang begitu ingin ia ucapkan selamat, tapi ia urungkan demi meminimalisir komunikasi dengan keluarganya selama ia masih buron. Laut ditangkap di rumah susun Klender. Ia dibawa secara paksa oleh beberapa laki-laki berbadan kekar mengenakan seibo, penutup wajah wol dan menodongnya dengan pistol. Orang-orang yang ia juluki si Pengacau, si Mata Merah, si Manusia Pohon dan si Raksasa yang berhasil mengungkap identitasnya. Ia dibawa paksa dan menutup matanya dengan kain hitam hingga Laut tak bisa mengetahui dimana tempat ia disekap. Selama penyekapan itu, tiada hari tanpa penyiksaan, dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sepatu bergerigi, disetrum, untuk menjawab satu pertanyaan siapa dalang dibalik kegiatan mereka. Berusaha menjerumuskannya pada tuduhan yang tidak berdasar, sesungguhnya murni akan

(32)

kecintaan mereka terhadap bangsa dan keinginan mereka melepaskan diri dari jeratan rezim Orde Baru yang menyengsarakan rakyat. Alex dan Daniel pun ikut tertangkap dan mengalami penyiksaan yang sama.

Setiap kehilangan kesadaran karena rasa sakit, monolog Laut terkadang mundur dikisaran tahun 1991-1998 sebelum penyekapan. Laut seolah kembali pada hari-hari ia kembali ke rumah orang tuanya menyempatkan diri melakukan kebiasaan keluarga makan malam bersama di hari Minggu yang biasanya selalu terlewatkan karena kesibukan kuliah dan lebih keterlibatannya dengan Winatra. Melepas rindu dengan Bapak, Ibu, Asmara dan tengkleng yang lezat. Kebersamaan yang nyaris sempurna, bercengkrama, menghadapi omelan Asmara yang selalu mengancam akan membocorkan kegiatan ‘rahasia’nya kepada Bapak dan Ibu, sedikit bercerita tentang kegiatannya dan mendengar kisah pembelaan Bapak yang seorang wartawan tentang Menteri Penerangan yang menyindir media-media yang mempekerjakan eks tahanan PKI ataupun anggota keluarga mereka yang melanggar aturan Depdagri. Bapak juga menasehatinya untuk berhati-hati dengan kegiatan yang ia lakukan.

Bukan hanya soal rumah, berkali-kali Laut memimpikan Mas Gala Sang Penyair dan bait-bait puisinya, mimpi teduh sekaligus menyedihkan. Kemudian juga mimpi bersama Naratama yang membuatnya berkeringat ingin menjerit. Naratama yang selalu tidak ada dalam situasi genting mengingatkannya akan cerita Kinan bagaimana ia, Sunu, Julius, Gusti dan Naratama mengawal unjuk rasa buruk dari 10 pabrik yang menuntut kenaikan upah di Surabaya. Mereka di interogasi, ditelanjangi, mencari bukti bahwa mereka adalah “dalang” unjuk rasa itu. Hanya Naratama yang saat itu berhasil kabur bersama video bukti. Laut selalu

(33)

curiga, namun Kinan selalu berusaha membunuh rasa curiga itu dengan kalimat yang menenangkan.

Begitu terbangun Laut kembali ke dunia nyata, penyiksaan yang dilakukan si Mata Merah menanti. Disiram air dan batu es menjadi salah satu penyiksaan yang Laut, Alex dan Daniel alami. Kemudian mereka akan kembali menginterogasi, menanyakan tentang Kinan yang belum tertangkap diselingi penyiksaan lain, tentang kenapa mereka menentang Orde Baru, niat mereka mengganti Presiden, pembelaan mereka terhadap buruh yang dianggap seperti PKI, ancaman mereka terhadap keluarga dan orang terkasih. Laut kembali ke dunia mimpi ketika si Manusia Pohon dan Manusia Raksasa memukulinya, mimpi di markas Sayegan, tentang Anjani. Siksaan berlanjut dengan alat setrum, Laut kembali pada ingatan aksi tanam jagung di Blangguan, salah satu kegiatan Winatra. Naratama tidak diizinkan ikut dalam kegiatan itu karena kecurigaan anggota Winatra tentang bocornya informasi diskusi mereka di Palem Kecut oleh para intel. Sunu, Daniel, Alex dan Laut mengingatkan Kinan agar berhati-hati terhadap Tama, karena itu Kinan tidak menyertakannya. Laut berangkat ke Blangguan menggunakan bus bersama anggota Wirasena, Winatra, dan Taraka. Konflik petani dan tentara di Blangguan terjadi karena sengketa lahan. Secara paksa lahan jagung para petani digusur paksa untuk dijadikan tempat latihan gabungan tentara. Seperti “Sajak Seonggok Jagung” karya Rendra, mereka memulai aksi itu bermodalkan semangat, uang pribadi, dan sumbangan beberapa individu yang secara diam-diam telah muak dengan pemerintah Orde Baru yang semakin represif.

(34)

Mereka penuh semangat untuk membantu para petani, namun aksi mereka kembali diketahui oleh intel. Para tentara mengepung begitu mereka tiba di Blangguan. Dengan bantuan warga mereka pun kabur ditengah malam, merayap seperti ular dibawah hujan deras di hutan, membuat mereka penuh lumpur. Mereka berhasil menaiki bus keluar dari Blangguan menuju Banyuwangi-Surabaya untuk aksi cadangan di depan gedung DPRD. Ingatan mimpi itu terputus dan kembali ke tempat penyekapan. Laut terbangun dan mendapati ia berada disebuah ruang tahanan berjeruji besi di bagian depan, bersekat dinding beton dibagian samping. Ternyata ditempat itu juga ada Sunu, Julius, Dana, Alex dan Daniel. Menurut Julius, Mas Gala dan Narendra sebelumnya juga disekap disana tapi beberapa hari sebelumnya dibawa pergi entah kemana. Penyiksaan terus berlanjut ditempat itu, kali ini bergantian dan mereka berusaha saling menguatkan dan bertahan. Seperti halnya Laut yang selalu mengingat keluarganya dan Anjani, para sahabatnya juga begitu merindukan keluarga dan orang terkasih. Laut jadi teringat bahwa Alex berhasil mendekati Asmara ketika ia membawanya ikut pulang ke rumah. Tidak seperti laki-laki lain yang akan Laut anggap sebagai musuh saat mendekati adiknya, ia pasrah dan merasa percuma untuk campur tangan karena Asmara jelas sudah terpikat oleh Alex yang bersuara merdu.

Seperti nyanyiannya yang berusaha menenangkan mereka yang dari penyiksaan, kali ini Daniel kembali dengan terseok-seok setelah diinterogasi berjam-jam dan dipaksa tiduran di atas balok es. Daniel memberitahu bahwa Kinan telah tertangkap, entah dibawa kemana. Sementara Bram memang sejak dua tahun lalu telah dipenjara. Dan suatu hari Sunu dibawa pergi oleh si Manusia Phon dan Manusia raksasa bersamaan dengan dimasukkannya Naratama

(35)

dikerangkeng seperti mereka. Laut berteriak hingga manusia pohon memukulnya dan hilang kesadaran lagi. Ingatannya kemudian kembali pada saat berhasil kabur dari polisi yang berpatroli. supir bus membantu mereka yang kabur dari Blangguan dengan mengarang cerita bahwa mereka adalah mahasiswa yang sedang studi ke desa-desa yang masih memiliki ladang. Bus pun aman melaju menuju DPRD Jatim. Mengikuti instruksi Kinan mereka berhenti di beberapa titik berbeda dan akan berkumpul lagi di halaman Gedung DPRD jam 10 pagi. Setelah aksi di depan Gedung DPRD selesai mereka kembali berpencar untuk menuju Yogyakarta, Laut pun berpisah dengan Anjani dan beberapa teman lain yang akan beristirahat di tempat Pakde Anjani.

Bersama anggota Winatra, Laut menuju terminal Bus Bungurasih. Ia pikir mereka akan berhasil tiba di Yogyakarta tanpa hambatan sebelum mereka dikepung oleh lima orang bersenjata. Mereka dibawa ke markas tentara, dinterogasi dan dipukuli karena aksi tanam Jagung yang mereka rencanakan. Laut dan kawan-kawannya dipukuli habis-habisan, diinjak dengan sepatu bergrigi, dan disetrum. Betapa tidak berprikemanusiaan Seibo-seibo itu. Setelah mereka tak mendapatkan jawaban, Laut dan kawan-kawannya dibuang begitu saja di Bungurasih.

Seringnya aktivitas-aktivitas mereka bocor kepada intel, seperti peristiwa Balangguan, Demo di Surabaya, aktvitas di Klender dan acara seminar untuk membahas unjuk rasa yang gagal, membuat Laut dan beberapa kawannya semakin mencurigai Naratama sebagai agen ganda. Namun semua kecurigaan itu hilang bersamaan dengan disekapnya Naratama bersama mereka. terkuaklah siapa sebenarnya agen ganda tersebut, Lampu blitz yang selalu mengiringi mereka

(36)

setiap dibawa menuju ruang penyiksaan yang akhirnya mengungkap siapa pengkhianat sesungguhnya tak lain adalah Gusti. Laut pun bercerita bagaimana sakitnya ia dikhianati.

Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali…

Bait puisi Mas Gala bersama ucapan selamat ulang tahun untuk Laut seolah terngiang dalam setiap jejak hidupnya. Teringat masa-masa Laut berpindah ke Tebet. Pada saat itu Bram nekat ingin mendeklarasikan Wirasena sebagai partai setelah perdebatan sengit antara para anggota karena bahayanya hal tersebut disaat hanya ada tiga partai yang diakui pada masa itu. Kegiatan mereka tumpang tindih dengan kehebohan putri Sang Proklamator yang berhasil menjadi ketua partai. Keberanian itu berbayar dengan kebebasan mereka, semua aktivis Wirasena dan Winatra ditetapkan sebagai buron. Laut terpaksa berpindah-pindah demi menghilangkan jejaknya. Hanya sesekali memberi kabar melalui surat dengan nama samaran pada kekasihnya, Anjani. Status buron tak menyurutkan langkah Laut, menyuarakan tuntutan rakyat melalui tulisannya di Koran. Dan monolog itu berakhir bahkan sebelum rasa terkejut mereka semua atas pengkhianatan, Laut, Julius dan Dana digiring keluar kerangkeng diringi jeritan. Mereka dibawa terpisah. Dalam gelap karena mata yang ditutup kain, Laut dibawa ke dalam mobil entah kemana sebelum ia mendengar debur ombak yang menyambutnya sebagai suara terakhir yang mampu ia dengar.

Monolog Laut berganti, kini Asmara mengambil panggung. Menceritakan hari-hari tanpa Laut yang harus keluarga mereka lewati. Kegiatan Makan Malam di hari Minggu terus berjalan, Bapak dan Ibu selalu menanti kepulangan Laut

(37)

yang entah kapan. Menyiapkan piringnya dimeja makan, menghidangkan tengkleng kesukaannya, duduk didepan meja makan diiringi suara lagu dari vinyl yang Bapak putar. Menanti dan menanti sebelum kemudian Ibu memutuskan menuangkan nasi ke atas piring Bapak, piring Asmara, dan piringnya sendiri. Kami mulai mengunyah meski masih menanti.

Asmara menceritakan hari-hari tanpa sang kakak sulungnya yang sudah menghilang selama dua tahun. Pada awal Januari 1998 Asmara masih mendengar kabar kepada Alex yang saat itu juga buron bersama kakaknya. Alex memintanya yang saat itu bertugas di Puskesmas Pamangkayo untuk kembali ke Jakarta dan segera ia turuti. Begitu kembali suasana panas Jakarta langsung Asmara rasakan. Kabinet terus diganti oleh Presiden Soeharto akibat krisis ekonomi serta serangkaian demonstrasi mahasiswa dan aktivis. Asmara yang terbiasa hanya menghadapi perkara medis jelas membuatnya gundah, menghadapi orangtuanya yang luar biasa cemas karena sudah berbulan-bulan tak bertemu dengan Laut dan intel yang terus mengawasi keluarga mereka sejak Winatra dinyatakan sebagai organisasi terlarang sejak Juli 1996.

Kemudian kabar hilangnya Laut dan Alex bersama yang lain setelah sebelumnya Anjani pernah memberi kabar bahwa anggota Wirasena dan Winatra kemungkinan diculik. Kabar itu di dapatkannya melalui Aswin yang pernah Asmara dengar namanya melalui media. Kepastian bahwa Laut diculik tepat pada ulang tahun Asmara 13 Maret 1998. Alex dan Daniel pun kemungkinan menghilang dihari yang sama pula. Aswin dan tim relawan mencari keberadaan mereka melalui jejak terakhir siapapun yang dinyatakan hilang secara paksa saat itu. Asmara bergabung dengan tim relawan demi mencari keberadaan Laut dan

(38)

Alex. Asmara bahkan rela membatalkan rencananya mengambil residen bedah pada tahun itu dan menjadi dokter praktik umum di Jakarta. Keluarga dari para anggota yang diculik paksa pun berusaha saling membantu untuk mencari. Pada tanggal 23 April 1998, Aswin mengabarkan bahwa Alex selamat dan pulang ke Pamangkayo. Tak berselang lama Daniel, Naratama, Coki, Hamdan, Arga Masaki, Hakim Subali, Harun, dan Widi Yulianto. Penculikan paksa itu jelas memberi trauma besar, Aswin pun berkata pada semua yang selamat untuk menenangkan diri dahulu sebelum siap untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Alex datang ke rumah untuk menceritakan semua yang sebenarnya terjadi kepada Asmara dan Orangtuanya, terutama tentang Laut. Alex menceritakan dengan berhati-hati namun detail meskipun itu jelas akan menyakiti perasaan keluarga Laut. Ketidakpatahuan dan ketidakpastian tetap menjadi akhir dari cerita itu karena Laut tetap menghilang setelah dibawa keluar dari kerangkeng pada saat itu, karena bukan hanya tentang Laut, Alex juga tidak tahu soal siapa saja yang dipulangkan karena mereka tidak dilepaskan bersamaan.

Berdasarkan pendataan dari Komisi Orang Hilang, 9 orang telah kembali dan 13 orang belum diketahui. Komisi Orang Hilang serta LSM Hak Asasi Manusia lainnya, mendiskusikan hal itu dan dengan berani mengadakan konferensi pers, Alex pun menceritakan semuanya dengan air mata yang tak sanggup ia bending mengingat perlakuan keji yang dialaminya. Setelah konferensi pers tersebut Alex diberangkatkan ke Belanda demi menjaga keselamatannya karena telah bersaksi membeberkan kekejian Orde Baru. Berselang sebulan akhirnya sang pemimpin Orde Baru yang memimpin selama 32 tahun pada tanggal 21 Mei 1998 disaksikan oleh ratusan juta mata melalui televisi. Kemudian

(39)

kawan-kawan lain yang selamat ikut memberi kesaksian. Pasukan Elang dinyatakan sebagai dalang penculikan mereka dan diadili oleh Mahkamah Militer.

Semua masih berharap bahwa 13 kawan lainnya juga akan kembali. Bahkan setelah Presiden Soeharto mangkat tak ada tanda dari mereka yang hilang. Setiap ada kesempatan keluarga dari kawan-kawan yang dinyatakan hilang berkumpul untuk mencari kabar terbaru. Segala cara mereka lakukan untuk membanding informasi atau sekedar mencurahkan rasa pedih, marah dan frustasi. Bulan September Bapak menjadi wakil dari orangtua yang pergi ikut pertemuan di kantor PBB Jenewa bersama Aswin dan Alex untuk saling bertemu dengan organisasi penghilangan paksa dari Negara lainnya seperti Filipina dan Negara-negara Amerika Latin.

Berselang tahun kedua hilangnya Laut dan kawan-kawannya, pemahaman para keluarga beragam, ada yang berpikir bahwa kawan-kawan yang hilang hanya bersembunyi, ada yang pada tahap realistis bahwa jika putra-putri mereka telah tewas, mereka ingin tahu di manakah jenazah mereka dan ingin menguburkan dengan layak. Asmara paham bahwa orangtuanya berada digolongan pertama yang meyakini bahwa Laut hanya bersembunyi. Mereka percaya bahwa suatu hari nanti Laut akan muncul di depan pintu rumah dan bergumam dia lapar. Bapak dengan setia masih menyediakan empat piring di atas meja.

Aswin kemudian berbicara pada Asmara untuk pergi bersama Coki dan Alex ke Pulau Seribu. Aswin berkata bahwa ditemukan tulang belulang manusia disana, dan beradasarkan penuturan dokter ahli forensik dinyatakan bahwa tulang-tulang tersebut belum lama, sekitar dua atau tiga tahun. Berita itu jelas menakutkan bagi Asmara. Mereka kemudian pergi, Asmara berusaha realistis dan

(40)

berkata pada Alex bahwa mereka harus pasrah bahwa ada kemungkinan bahwa 13 kawannya telah mati. Namun Alex kukuh dengan pendiriannya, ia yakin bahwa mereka selamat. Selama perjalanan itu kenangan Laut juga ikut bersama Asmara. Alex mengingatkannya akan sosok sang kakak ketika kali pertama membawa pemuda itu ke rumah, mengenalkannya pada Asmara dan menimbulkan ketertarikan yang berbeda. Hubungan mereka pun bertumbuh dari sana meskipun ada pertentangan dari Laut yang menganggap bahwa gerakan mereka dan revolusi yang ingin mereka perjuangkan saat itu mungkin akan membahayakan Asmara.

Ekspedisi di pulau seribu terus berlanjut bahkan mereka terus diikuti oleh para intel. Penduduk yang memandu mereka juga memberikan informasi tentang kapal yact yang membawa tong-tong besar dan dibuang ke Laut. Asmara jelas takut mendengar lanjutan cerita, takut dengan kemungkinan bahwa tong yang dibuang itu berisi mayat. Takut bahwa itu mungkin kakakknya yang dibuang hidup-hidup atau bahkan setelah mati. Perjalanan berlanjut ke tempat tulang-tulang yang sebelumnya dikubur oleh penduduk.

Kenangan akan Laut sukar hilang seperti wangi daun jeruk. Keluarga Wibisana (keluarga Laut) masih hidup dalam kenangan. Bapak dan Ibu terus dengan rutinitas dan kenangan secara bersamaan, hanya Asmara yang berusaha bergerak maju meskipun dengan langkah lemah. Bahkan ketika semua orang tua berkumpul seperti rutinitas mereka biasanya dan informasi soal tulang belulang diberitahukan, penyangkalan itu tetap ada dari Bapak dan Ibu. Bahkan Anjani— kekasih Laut sama, masih teguh bahwa sang kakak masih hidup. Berada di situasi tersebut menguras tenaga Asmara, belum lagi hubungannya dan Alex.

(41)

Setelah berbagai kejadian, Asmara memutuskan untuk menjadi dokter ahli forensik. Ia ingin turut membantu mendeteksi tindak criminal di Indonesia melalui keahlian yang bisa ia lakukan setelah empat tahun menunda pendidikannya. Alex menyambut bahagia keputusan Asmara, mempererat hubungan mereka. Namun Asmara kembali kehilangan, Bapaknya meninggal karena serangan jantung. Dalam rasa terpukul itu Asmara menulis surat imajinatif kepada Laut yang begitu ia rindukan, seolah Laut akan menerima surat itu dan membacanya. Ia ceritakan soal Bapak, Ibu, Anjani, dan kerinduannya akan semua kedekatan mereka dan berharap Laut memberi tanda, kode morse atau pesan apapun seperti yang dulu ia lakukan.

Beberapa tahun setelahnya Asmara tetap aktif bersuara di Komisi Orang Hilang. Ia ikut dalam pertemuan PBB sebagai peserta pleno Komisi Sosial, Kebudayaan dan Hak Asasi Manusia bersama Alex disela mengikuti seminar ilmu kedokteran forensik Internasional. Bertemu dengan orang-orang penting dan terus berjuang demi keadilan atas Laut dan kawan-kawannya. Bertemu dengan orang-orang yang mengalami hal serupa, kehilangan anggota keluarga. Asmara pun kembali dengan semangat dan keyakinan untuk terus berjuang, termasuk berjuang agar Ibu bisa merelakan kakaknya. Perjuangan Asmara membuahkan hasil, Ibu yang ia rindukan sosoknya akhrinya berusaha bangkit. Begitupula Anjani yang sebelumnya sangat terpuruk kini kembali menjadi Anjani yang cantik, cerdas dan pemberani.

Rutinitas setiap Kamis, Asmara ikut berdiri bersama keluarga korban penculikan paksa di depan Istana Negara menggunakan baju dan paying serba hitam. Hanya berdiri diam tanpa berteriak, Daniel memberi orasi menggunakan

Referensi

Dokumen terkait

Insentif yang dikeluarkan dalam pengelolaan sampah domestik di Kabupaten Bantul berupa: tong sampah, komposter, mesin jahit, gerobak sampah, mesin pencacah sampah organik, mesin

Tahap perancangan, peneliti menentukan kriteria rancangan purwarupa yang diinginkan dan membuat rancangannya sesuai dengan daftar kebutuhan dan skenario yang sudah dibuat pada tahap

Hasil perhitungan uji F menunjukkan bahwa variabel bebas (ongkos kirim, pendapatan perkapita, dan jumlah penduduk) secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang

Dalam sistem ini digunakan metode forward chaining untuk mengklasifikasikan ciri-ciri garam yaitu warna garam, rasa garam dan bentuk garam yang di- input -kan

Apituley dan Josepus Makita (2009) telah melakukan penelitian tentang otonomi daerah dengan judul analisis kontibusi pajak daerah dan retribusi daerah terhadap

Penelitian yang dilakukan I Wayan Suteja Putra dan I Gede Ary Wirajaya (2012), hasil penelitian ini adalah tingkat perputaran kas dan tingkat jumlah nasabah kredit tidak

Klien dengan resiko perilaku kekerasan mekanisme koping regulator yang digunakan adalah adanya terjadinya reaksi tubuh akibat klien mengalami putus obat atau dalam kondisi

Berdasarkan hasil konsentrasi logam Pb yang dihasilkan, pada hari ke nol sudah terdapat logam Pb di daging ikan yang diambil dari bak perlakuan dengan rata-rata konsentrasi