• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laut Sebagai Guru Kehidupan

Dalam dokumen T1 712012021 Full text (Halaman 35-43)

Selain berbagai macam pandangan di atas tentang laut, orang Latuhalat juga bisa menjadikan laut sebagai guru kehidupan. Dengan kata lain, laut dapat mengajarkan suatu pelajaran berharga tentang bagaimana orang Latuhalat harus menghadapi kehidupan mereka. Sebab laut tidak hanya memberikan mereka

hasil-25

hail laut yang dapat dinikmati saja, melainkan bahaya-bahaya juga yang dapat mencelakakan mereka.

Lewat gelombang dan gelora yang dihadapi oleh nelayan, laut memberikan tantangan dan mengajarkan mereka bagaimana bertahan dan tidak pantang menyerah dalam menghadapi persoalan hidup. Sebesar apapun persoalan yang mereka hadapi, mereka harus tetap berani untuk menghadapinya. Gelombang dan gelora laut tentu membuat mereka terombang-ambing, bahkan bisa menenggelamkan mereka. Namun, mereka harus mengetahui bagaimana cara menghadapi gelombang dan gelora laut, agar mereka tidak sampai tenggelam. Begitu pun ketika mereka menghadapi persoalan hidup. Persoalan hidup yang mereka hadapi mungkin membuat mereka terombang-ambing, putus asa, bingung, dan sebagainya. Namun, mereka tidak boleh membiarkan diri mereka tenggelam dan hanyut dalam persoalan hidup yang mereka hadapi. Sebaliknya, mereka harus mencari solusi, sehingga mereka bisa melalui dan menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Di sisi lain, laut juga tidak selamanya bergelombang dan bergelora. Terkadang, ia menjadi tenang dan teduh. Dari sinilah ia mengajarkan bahwa kehidupan ini tentu tidak selamanya diperhadapkan dengan persoalan dan tantangan saja, melainkan ada waktu untuk menikmati kehidupan dan memperoleh keberhasilan, keberuntungan, kesuksesan, dan sebagainya. Itulah saat di mana mereka bebas dari persoalan hidup dan memperoleh harapan-harapan yang baru.

Selain itu, hasil-hasil laut yang mereka peroleh berupa berbagai jenis ikan, cumi, dan sebagainya, jumlahnya tidak menentu. Terkadang mereka memperoleh hasil laut dengan jumlah yang banyak dan terkadang mereka memperoleh hasil laut dengan jumlah yang sedikit. Oleh sebab itu, lewat hasil laut yang tidak menentu itulah laut juga mengajarkan mereka untuk bersyukur dengan apa yang mereka dapatkan dan mereka peroleh berapapun jumlahnya. Mereka tidak perlu kecewa jika hasil yang mereka peroleh jumlahnya sedikit, sebab lebih baik sedikit daripada tidak sama sekali. Laut juga mengajarkan mereka untuk bersabar dan terus berusaha lebih giat dan lebih keras lagi untuk bisa memperoleh apa yang mereka harapkan dan mereka inginkan.

26

Keterlibatan Gereja dalam Membangun Refleksi dari Pengalaman Jemaat Dari hasil studi lapangan yang dilakukan oleh penulis, penulis melihat bahwa upaya Gereja, khususnya Gereja Protestan Maluku dalam membangun refleksi dari kehidupan umat masih kurang. Berdasarkan hasil wawancara dengan para pelayan gereja (Pendeta dan Majelis), mereka mengatakan bahwa laut itu sangat penting dengan berbagai macam alasan yang diberikan dan dipaparkan. Mereka juga mengatakan bahwa laut itu sebagai anugerah yang Tuhan berikan bagi manusia. Namun pada kenyataannya, pelayanan yang dilakukan oleh gereja belum menunjukkan bahwa laut itu penting dan laut itu sebagai anugerah Tuhan. Apalagi cukup banyak warga jemaat yang bekerja sebagai nelayan. Tentu sangat disayangkan sekali jika dalam program-program gereja belum ada pemberdayaan-pemberdayaan terkait dengan laut dan nelayan. Gereja masih terlalu sibuk dengan urusan-urusan kelembagaan dan organisasi.

Oleh sebab itulah, benar yang dikatakan oleh John Chr. Ruhulessin tentang dua belas isu yang akan terus menjadi pergumulan GPM sepuluh tahun ke depan (2015-2025) dalam tulisannya yang berjudul “Delapan Dekade Menanam, Menyiram, bertumbuh, dan Berbuah”. Salah satu isu yang diangkat ialah peradaban maritim dan Teologi Kelautan.84 Ia menjelaskan bahwa GPM perlu memikirkan kembali sebuah teologi yang merespon konteks laut-pulau GPM dan bersinergi dengan paradigma pembangunan bangsa saat ini. Dan persoalan merumuskan teologi yang peka terhadap konteks laut-pulau haruslah bersinambungan dengan pengalaman hidup jemaat sehari-hari. Tujuannya ialah agar laut dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat dan disorientasi pembangunan selama ini dapat dikoreksi dan diupayakan solusi yang tepat. Dengan begitu, dapat tercipta budaya mencintai laut dan secara optimal gereja turut ambil bagian dalam pelestarian laut beserta segala isinya dan kegunaannya.85

Berdasarkan isu yang diangkat oleh John Ruhulessin inilah, penulis berpikir bahwa tulisannya sangat relevan dengan kehidupan Jemaat GPM

84

Elizabeth Marantika dkk, Kata Pengantar pada Delapan Dekade GPM

Menanam,Menyiram, Betumbuh, dan Berbuah: Teologi GPM dalam Praksis Berbangsa dan Bermasyarakat, oleh John Chr. Ruhulessin (Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2015), xxv-xxxiii.

85

27

Latuhalat. Jemaat yang bukan hanya terdiri dari masyarakat pegunungan saja, melainkan masyarakat pesisir pantai juga. Lebih dari itu, Jemaat GPM Latuhalat merupakan jemaat yang hampir sebagian warga jemaatnya berprofesi sebagai nelayan. Oleh sebab itu, sangat disayangkan sekali jika isu ini belum diperhatikan oleh gereja dalam jemaat GPM Latuhalat. Gereja belum membangun sebuah teologi yang peka terhadap konteks laut-pulau sekaligus bersinambungan dengan praktek keseharian umat.

Di sisi lain, perlu disadari bahwa kesadaran konteks GPM sebagai gereja laut-pulau sudah muncul dalam lintasan sejarah GPM. Namun, upaya lebih lanjut dalam merumuskan teologi yang peka terhadap konteks laut-pulau ini masih kurang berkoneksi dengan pengalaman sehari-hari jemaat. Padahal, Teologi yang ramah dengan konteks di mana gereja hadir itu sangat penting.86 Teologi itu penting sebab Teologi merupakan jantung gereja. Teologi menentukan masa depan gereja.87 Dan kini jemaat-jemaat yang ada dan telah terbentuk, mereka telah beriman dengan format teologi mereka sendiri. Iman yang mereka alami adalah basis dari teologi mereka. Oleh sebab itulah, yang diperlukan sekarang ialah bagaimana gereja hadir dan mengartikulasikan iman dan teologi mereka menjadi teologi gereja dalam konteks dan ruang tertentu, yang dapat menjadi acuan untuk merumuskan teologi gereja bagi GPM.88 Hal ini tidak berarti bahwa GPM tidak mempunyai teologi, melainkan suatu upaya untuk membuat pengalaman iman jemaat dapat menjadi basis dari teologi gereja.

GPM harus berani memikul dan menghadapi tantangan ini. Dengan demikian, GPM tidak hanya menjadi acuan bagi-gereja-gereja Belanda, tetapi juga harus menyediakan alternatif berteologi bahkan di luar praktik berteologi para rasul.89 Salah satunya ialah membangun teologi dari pengalaman Jemaat GPM Latuhalat. Gereja yang hadir di tengah-tengah konteks jemaat Latuhalat haruslah membangun teologi gerejanya sendiri berdasarkan pengalaman kehidupan jemaat secara nyata. Ada begitu banyak pengalaman yang bisa digali oleh gereja untuk

86

Marantika dkk, Kata Pengantar, xxix. 87

Marantika dkk, Kata Pengantar, xxxv. 88

Marantika dkk, Kata Pengantar, xxxvi. 89

28

membangun sebuah refleksi yang menyentuh bagi kehidupan jemaat. Jika kita melihat dari Jemaat GPM Latuhalat, cukup banyak warga jemaatnya yang berprofesi sebagai nelayan, sehingga mereka banyak menikmati hasil-hasil laut setiap harinya. Oleh sebab itu, jika Israel bersaksi tentang Tuhan yang menurunkan manna dan burung puyuh dari langit, maka Jemaat Latuhalat mengalami Tuhan yang memberikan mereka ikan, laor, dan hasil-hasil lautnya sebagai persediaan di saat musim timur. Dengan begitu teologi gereja dapat hidup di tengah-tengah dan bersama-sama dengan jemaat. Kita dapat menghasilkan teologi gereja yang mandiri dan bertumbuh dalam pengalaman imannya sendiri. Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari pengalaman hidup sehari-hari orang Latuhalat dengan laut, mereka bisa melahirkan suatu cara pandang baru bagi ekoteologi dalam melihat hubungan antara Allah, manusia dan alam. Cara pandang yang baru itu lahir dari imajinasi mereka terhadap laut. Ada begitu banyak imajinasi yang bisa dibangun terhadap laut. Penulis menemukan ada empat imajinasi berdasarkan pengalaman hidup para nelayan di Jemaat GPM Latuhat, yaitu laut itu sebagai ibu, teman dekat, dapur dan sebagai guru kehidupan. Dari imajinasi-imajinasi inilah, refleksi ekoteologi dapat dibangun berdasarkan pengalaman iman jemaat dengan laut.

Sayangnya, gereja sendiri belum memperlihatkan perhatiannya terhadap laut yang dianggap penting dan merupakan anugerah Tuhan. Gereja belum merumuskan teologi yang menyentuh kehidupan sehari-hari jemaatnya. Gereja masih terlalu sibuk dengan urusan kelembagaan dan organisasi. Padahal membangun teologi yang peka terhadap kehidupan jemaat, sama pentingnya dengan mengatur kelembagaan dan organisasi. Sebab jemaat tidak hanya membutuhkan organisasi yang teratur dan berjalan dengan baik saja, tetapi juga refleksi-refleksi teologi yang lahir dari pengalaman iman dan menyentuh kehidupan mereka setiap hari.

Oleh sebab itulah, gereja (GPM) perlu membangun sebuah refleksi teologi yang baru dan mandiri dalam konteks dan ruang tertentu berangkat dari pengalaman jemaat secara nyata, terlebih khusus bagi jemaat GPM Latuhalat dalam konteksnya dengan laut. Dengan begitu, gereja tidak hanya membangun

29

teologi antara Allah dan manusia saja, melainkan antara Allah, manusia dan alam. Pembuatan program-program pemberdayaan bagi jemaat dan aksi-aksi nyata juga perlu dilakukan oleh gereja, bukan hanya di atas mimbar saja ketika berkhotbah. Sebab gereja adalah mitra Allah, sehingga gereja juga mempunyai tanggung jawab secara nyata terhadap alam.

Program-program dan aksi-aksi nyata itu mungkin bisa diwujudkan dalam bentuk seminar atau kegiatan-kegiatan yang memberikan wawasan bagi para nelayan sesuai dengan profesi mereka. Mengingat, kebanyakan dari mereka memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Gereja juga perlu membuat kerja bakti sosial yang dilakukan untuk membersihkan daerah sekitaran pantai, agar kebersihan pantai juga tetap terjaga, dan juga program lainnya yang dapat meningkatkan kualitas laut. Dari sisi mental-spiritual, gereja bisa mendampingi mereka dengan membuat jadwal khusus ibadah bagi para nelayan. Mungkin tidak setiap saat, tapi ada waktu yang disediakan oleh pelayan gereja untuk pergi ke laut bersama mereka dan memberkati pekerjaan mereka atau mendengar keluh kesah serta pengalaman mereka, sambil melakukan pastoral. Turun ke laut juga dapat membahayakan mereka, maka gereja dapat memanfaatkan itu untuk meningkatkan spiritual mereka dengan mengajak para nelayan berkumpul bersama untuk menyerahkan aktivitas mereka kepada Tuhan sebelum turun ke laut atau kegiatan-kegiatan lainnya. Dengan aksi-aksi nyata tersebut, maka gereja dapat menciptakan budaya mencintai laut bagi jemaatnya dan turut mengambil bagian dalam pelestarian laut.

30 Daftar Pustaka

BUKU

Arsyad, Sitanala dan Ernan Rustiadi (editor). Penyelamatan Tanah, Air, dan Lingkungan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2012.

Borrong, Robbert P. Etika Bumi Baru: Akses etika dalam pengelolaan lingkungan hidup. Jakarta: Gunung Mulia, 2000.

Creswell, W. J. Research Design: Pendekatan Kualitatf, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.

Deane-Drummond, Celia. Eco-Theology. London: Saint Mary’s Press, 2008. Deane-Drummond, Celia. Teologi dan ekologi: buku pegangan. Diterjemahkan

oleh Robert P. Borrong. Jakarta: Gunung Mulia, 2001.

Goltenboth, Friedhelm, dkk. Ekologi Asia Tenggara: Kepulauan Indonesia. Jakarta: Salemba Teknika, 2012.

Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta: BPK GM, 1996.

Hudjolly. Imagologi: Strategi Rekayasa Teks. Jogjakarta: AR-RUZZ, 2011. Kristyanto, Agus., Sulasmono, S. B., Nuhamara, D., Suwondo, K., Wilardjo, L.

Ndoen, M. Supramono dan Budiyono, T. Diedit. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin: Journal interdisciplinary development studies, Salatiga: Program pascasarjana UKSW, 2009.

Marantika, Elizabeth, dkk. Kata Pengantar pada Delapan Dekade GPM Menanam, Menyiram, Bertumbuh, dan Berbuah: Teologi GPM dalam Praksis Berbangsa dan Bermasyarakat, oleh John Chr. Ruhulessin, xxv-xxxiii. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana, 2015.

Pratney, Winkie. Memulihkan Negeri: Terobosan Supernatural terhadap Masalah Ekologi. Yogyakarta: Yayasan ANDI, 2003.

Prawiro, Ruslan H. Ekologi, Lingkungan, Pencemaran: Memperkenalkan Seluk-beluk Lingkungan dengan Masalahnya dan Cara Mengatasinya. Semarang: Satya Wacana, 1998.

Ramli, H. Dzaki. Ekologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.

Rasmussen, Larry L. Komunitas bumi: etika bumi – merawat bumi demi kehidupan yang berkelanjutan bagi segenap ciptaan. Diterjemahkan oleh Liem Sien Kie. Cetakan pertama. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.

31

Roni, K.A.M Jusuf. Langit Memerah Bumi Membara. Jakarta: Jusuf Roni Center, 2014.

Saidi Zaim, dkk. Memahami Pencemaran Air: Panduan ringkas bagi masyarakat. Indonesia-Kanada: WALHI, YLKI, LBH, 1990.

Sastrosupeno, M. Suprihadi. Manusia, Alam, dan Lingkungan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1984.

Soemarwoto, Otto. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan, 1985.

Suleeman, Stephen; Souk, B dan Ongirwalu, H. Setia:Jurnal Teologi Persetia. Jakarta: Persetia, 1997.

Sunarko, A. dan A. Eddy Kristiyanto. Menyapa Bumi Menyembah Yang Ilahi. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Tucker, Mary Evelyn dan John A. Grim (editor). Agama, Filsafat dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Usman, Husaini & Purnomo S. Akbar. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

Van Dyke, Fred. Between Heaven and Earth: Christian Perspectives on environmental Protection. California: Santa Barbara, 1954.

Zen, M.T. (editor). Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Gramedia, 1979.

Zuriah, Nurul. Metode Penelitian Sosial dan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.

Jurnal

Santoso, Rizky W. Dampak Pencemaran Lingkungan Laut oleh Perusahaan Pertambangan terhadap Nelayan Tradisional. Lex Administratum 1, no.2 (Apr-Jun/2013).

Ibnu, Ita. Pencemaran Perairan Teluk Ambon Tinggi. Dipublikasikan Kamis 19/02/2014. diakses minggu 18 Oktober 2015.

32

Disertasi

Soegijono, Simon Pieter. “Papalele: Potret Aktivitas Komunitas Pedagang Kecil di Ambon.” Disertasi Doktor., Universitas Kristen Satya Wacana, 2011.

Makalah

Taum, Yoseph Yapi. Berbagai Mitos Tentang Laut: Mengungkapkan Konsep Bahari Bangsa Indonesia. Makalah dipresentasi dalam Kongres Internasional Folklore Asia III, Jogjakarta, 7-9 Juni, 2013.

Blog

“Laut dan Fungsinya” dalam Wiadnya_DGR Blog, 01 Januari 2012. Diakses 26 Agustus 2016. http://wiadnyadgr.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/1-Laut-Dan-Fungsinya.pdf .

Hermansyah et al. “Potensi dan Mitigasi Bencana Laut” dalam Blog Hermansyah Education, 03 Maret 2016. Diakses 01 September 2016.

http://blokjasa.blogspot.co.id/2016/03/potensi-dan-mitigasi-bencana-laut.html?view=timeslide.

Dalam dokumen T1 712012021 Full text (Halaman 35-43)

Dokumen terkait