• Tidak ada hasil yang ditemukan

lebar jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 12 meter

Simulasi dengan skenario IV bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti jika lebar jalur tanam awal 3 meter, kemudian diperlebar menjadi 4 meter pada tahun 2 dan 6 meter pada tahun ke-3 dan maksimum 12 meter pada tahun ke-4. Respon pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 22.

Berdasarkan Gambar 22 tersebut, pada tahun ke-20 diameter tanaman meranti telah mencapai 50.51 cm atau rata-rata ria diameternya mencapai 2.5 cm/tahun. Terlihat dari simulasi tersebut, terjadi kenaikan diameter yang sangat cepat setelah jalur tanam diperlebar menjadi 12 meter, yaitu pada tahun ke-4. Kondisi tersebut diikuti oleh kenaikan pertumbuhan diameter (riap) yang sangat cepat pada 4 tahun pertama, namun setelah itu mengalami penurunan secara eksponensial dengan bertambahnya waktu. Dari kurva kualitas tanah terlihat bahwa pada tahun ke-2 statusnya mencapai kategori sedang (6.59) dan kondisi tersebut tetap hingga tahun ke-88, setelah itu (tahun ke-89) menurun menjadi rendah (3.81) sampai tahun ke-100.

Waktu (tahun) D ia me te r (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Waktu (tahun) R ia p (cm/ th ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 a b Waktu (tahun) Ku a lit a s ta n a h 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 c

Gambar 22. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario IV

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi jenis komersial pada seluruh plot studi lebih kecil dibandingkan dengan jenis non-komersial. Besarnya kontribusi jenis komersial pada masing-masing plot bervariasi namun jika

mengacu kontribusinya pada hutan primer yang mencapai 18.4%, maka penurunan kelompok komersial khususnya jenis Dipterocarpaceae pada plot TPTJ belum begitu nyata karena fokus penebangan masih diberlakukan juga pada kelompok jenis non-Dipterocarpaceae komersial. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap evaluasi sistem TPTJ dengan limit diameter tebang 40 cm di Kalteng yang dilakukan oleh Alrasyid (2000). Dilaporkan dari penelitian tersebut bahwa kontribusi kelompok jenis komersial Dipterocarpaceae tingkat pohon pada hutan bekas tebangan 2 tahun besarnya mencapai 29%. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian evaluasi terhadap sistem TPTI di Jambi yang dilakukan Riyanto (1995). Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa kontribusi jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae pada 1 tahun dan 5 tahun setelah penebangan masing-masing sebesar 10.2% dan 16.6%. Kondisi ini berlainan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indrawan (2000) yang melaporkan bahwa pada hutan bekas tebangan TPTI umur 2 dan 4 tahun, untuk tingkat pohon masih didominasi oleh jenis komersial Dipterocarpaceae.

Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa akibat penebangan dengan limit diameter 40 cm terhadap keberadaan jenis komersial pada masing-masing plot TPTJ relatif sama yang dicerminkan dari besarnya kontribusi, kecuali pada plot tanaman umur 5 tahun (TJ5). Rendahnya kontribusi jenis non-Dipterocarpaceae komersial pada plot TJ5 yang besarnya 7% menunjukkan bahwa dampak penebangan terhadap keberadaan jenis non-Dipterocarpaceae komersial pada plot tersebut lebih nyata.

Distribusi tingkat pohon pada areal TPTJ berfluktuasi menurut kelas diameter, tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan atau penurunan yang konsisten. Rendahnya jumlah pohon pada kelas diameter > 60 cm di plot TJ5 (Tabel 5) sangat nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dampak penebangan yang sangat besar pada kelas diameter tersebut atau keberadaan individu pohon memang sedikit.

Jika mengacu pada aturan TPTI, secara tegas dapat dinyatakan bahwa jumlah pohon inti pada seluruh areal studi lebih dari cukup (Tabel 6). Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Alrasyid (2000) yang melaporkan bahwa jumlah

pohon inti pada areal 2 tahun setelah penebangan mencapai 56 pohon/ha. Bila diperhatikan jumlah pohon tinggal dalam plot tanaman umur 5 tahun (TJ5) yang besarnya 40 pohon/ha perlu pertimbangan secara seksama karena harus diperhatikan besarnya faktor kematian pohon (potential mortality) selama jangka waktu hingga tebangan berikutnya. Secara umum areal TPTJ memiliki kesempatan dalam hal recruitment pohon inti dalam jumlah yang lebih banyak melalui upgrowth dari permudaan tingkat tiang.

Di dalam plot hutan primer ditemukan sebanyak 38 jenis dan 16 famili per ha. Temuan yang mirip juga dilaporkan oleh Mauricio (1991) di Filipina, yang mencatat jumlah jenis di hutan primer mencapai 31 jenis dengan 17 famili per ha, sedangkan pada hutan bekas tebangan 5 tahun sebanyak 38 jenis dan 21 famili per ha. Dari aspek kekayaan jenis, kondisi vegetasi pada seluruh plot penelitian tergolong tinggi. Namun kalau dibandingkan antara plot TPTJ dengan hutan primer, khususnya untuk jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae, maka di plot TPTJ tidak dijumpai jenis Kamper yang merupakan jenis dominan pada hutan primer. Dengan kata lain dampak penebangan mengakibatkan terjadinya penggantian dominasi jenis pada plot TPTJ. Jenis Meranti merah merupakan jenis kodominan pada beberapa plot TPTJ, sedangkan beberapa jenis anggota Dipterocarpaceae lainnya, seperti Bangkirai, Mersawa, Meranti kuning dan Meranti putih tidak merata penyebarannya di seluruh plot penelitian. Oleh karena itu penanaman jenis-jenis tersebut harus menjadi prioritas disamping jenis yang sudah dikembangkan selama ini.

Dari hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada seluruh plot studi cukup tinggi yaitu berada pada kisaran 2 hingga 3, namun keanekaragaman jenis pada hutan primer itu sendiri lebih rendah dibandingkan dengan plot lainnya. Ada kecenderungan peningkatan keanekaragaman jenis dengan makin meningkatnya umur tanaman.

Total luas bidang dasar pada areal TPTJ berfluktuasi menurut periode penanaman (Tabel 9). Kalau diperhatikan, penebangan dengan limit diameter 40 cm menyebabkan menurunnya kontribusi jenis komersial dari kelompok

Dipterocarpaceae sebesar 52.9% hingga 66.4% dari hutan primer, sedangkan untuk jenis non-Dipterocarpaceae justru mengalami peningkatan hingga dua kali lipatnya. Kondisi yang sama juga dilaporkan oleh Alrasyid (2000) bahwa dengan limit diameter tebang 40 cm dalam sistem TPTJ telah menurunkan luas bidang dasar kelompok Dipterocarpaceae pada areal hutan bekas tebangan 2 tahun sebesar 63%. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa proporsi jenis komersial dan non-komersial pada plot TPTJ relatif seimbang. Kondisi awal sebelum penebangan dan besarnya intensitas penebangan merupakan faktor yang menentukan besarnya jumlah luas bidang dasar tegakan tinggal.

Menurut hasil pengukuran, luas bidang dasar pada hutan primer di areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma sebesar 28.21 m2/ha, nilai ini kurang lebih mendekati nilai rata-rata yang mewakili hutan tropis, yaitu sekitar 30 m2/ha (Weidelt 1994). Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian lainnya, seperti Sist dan Saridan (1997) sebesar 31.50 m2/ha di hutan primer, Berau, Kalimantan Timur dan Noorlaksmono (1993) sebesar 29.32 m2/ha di hutan primer Riau, dan Riyanto (1995) sebesar 29.83 m2/ha di hutan primer, Jambi. Selain itu Weidelt and Banaag (1982) juga melaporkan luas bidang dasar di Lauan Forest, Filipina sebesar 33.8 m2/ha.

Jumlah luas bidang dasar pada kelas diameter di bawah 60 cm (< 60 cm) lebih besar dibandingkan dengan kelas diameter di atasnya (> 60 cm). Terdapat tiga alasan untuk menjelaskan data tersebut, yaitu pertama tingkat kerusakan vegetasi akibat penebangan pada kelas diameter kurang dari 60 cm relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh intensitas penebangan (logging intensity) yang relatif rendah dan terkait juga dengan periode recovery atau tahun setelah penebangan di tiap-tiap tegakan berbeda. Alasan kedua adalah diterapkannya prinsip penebangan

reduced impact logging di lapangan. Alasan ketiga adalah jumlah pohon

berdiameter besar (> 60 cm) relatif sedikit.

Pada seluruh plot TPTJ jumlah permudaan semai dari kelompok Dipterocarpaceae lebih rendah dibandingkan dengan non Dipterocarpaceae dan jenis non komersial (Tabel 10). Hal ini disebabkan kelompok Dipterocarpaceae mengalami kesulitan untuk berkompetisi dengan jenis lainnya pada kondisi tajuk

rapat atau tertutup. Jenis anggota Dipterocarpaceae sangat sensitif terhadap cahaya sehingga memiliki preferensi terhadap kondisi iklim mikro tertentu. Secara umum jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong di atas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan angka 1000 semai per ha sebagai syarat kecukupan untuk permudaan semai.

Sistem TPTJ memberikan pengaruh positif terhadap regenerasi tingkat semai. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah permudaan tingkat semai yang ada pada plot TPTJ lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan semai di hutan primer (16 187/ha) kecuali pada TJ2. Secara umum dapat dikatakan jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong di atas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan angka 1000 semai per ha sebagai syarat kecukupan untuk permudaan semai. Berdasarkan kondisi permudaan tingkat pancang dapat dikatakan bahwa sistem TPTJ tidak memberikan stimulus terhadap permudaannya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat semai yang sudah ada sebelum penebangan mengalami pertumbuhan yang lambat sehingga pertumbuhannya pada saat ini masih belum mencapai pancang. Keberadaan jenis anggota Dipterocarpaceae untuk tingkat pancang masih lebih rendah dibandingkan non Dipterocarpaceae dan jenis non-komersial. Namun secara umum jumlah permudaan pancang per ha pada seluruh plot studi masih lebih tinggi jika mengacu pada persyaratan TPTI yang hanya 240 pancang/ha. Hal yang sama juga dijumpai pada permudaan tingkat tiang dimana jumlah permudaannya pada seluruh plot penelitian masih lebih besar dibandingkan kriteria yang dibangun oleh TPTI sebesar 75 tiang/ha.

Berdasarkan pengamatan regenerasi pada semua tingkatan, baik semai, pancang maupun tiang, terlihat bahwa jumlah maksimumnya dicapai pada areal TPTJ berumur 4 tahun. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, maka perlakuan silvikultur pada jalur antara hendaknya dipertimbangkan untuk dijadwalkan pada periode tersebut untuk menghindari atau memperkecil kematian permudaan akibat kompetisi yang begitu berat antar jenis.

Distribusi akar tanaman dan ketebalan horison O merupakan faktor yang menentukan nilai bobot isi, baik pada hutan primer maupun areal TPTJ. Hal ini

ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan bobot isi yang nyata antara hutan primer dan areal TPTJ. Kemungkinan lain, yaitu adanya kaitan antara bobot isi dengan kelas tekstur tanah. Kalau diperhatikan hutan primer dan areal TPTJ memiliki kelas tekstur sama yaitu lempung liat berpasir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan liat pada hutan primer sebesar 28%, TJ5 memiliki liat terbesar yaitu 35% dan terendah pada To sebesar 8%, sedangkan pada TJ1 sampai TJ4 berkisar antara 31-32%. Data menunjukkan bahwa To ternyata memiliki rata-rata bobot isi terbesar. Namun untuk plot lainnya tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang konsisten. Jumlah dan sifat liat sangat mempengaruhi banyaknya C yang diikat sehingga liat banyak dikaitkan dengan peningkatan jumlah dan aktivitas mikroba. Oleh karena itu, maka tanah yang memiliki kadar liat tinggi akan mengakumulasi lebih banyak jumlah C organik. Memperhatikan bahwa kandungan C-organik pada seluruh plot penelitian yang tergolong rendah yaitu berada pada kisaran 1%-2%, sepertinya C-organik belum berada pada level yang secara nyata mempengaruhi bobot isi.

Sebagai konsekuensi dari pemakaian tractor dalam sistem tebang pilih untuk penyaradan kayu (tractor logging) telah terjadi peningkatan bobot isi pada hutan bekas tebangan 1 bulan (To) namun masih berada dalam kategori sedang (medium). Setelah dilakukan penanaman pada blok bekas tebangan dengan sistem jalur, mulai terjadi pemulihan sehingga nilainya mendekati atau hampir sama dengan hutan primer (Tabel 17). Adapun meningkatnya bobot isi pada tanaman umur 4 tahun (TJ4) sebesar 1.15g/ cm3 disebabkan karena jalur tanaman pada areal tersebut sebagian besar merupakan bekas jalan sarad.

Penggunaan tractor dalam kegiatan penebangan menyebabkan kerusakan tanah, namun kerusakan yang terjadi pada sistem tebang habis jauh lebih besar dibandingkan tebang pilih. Pemadatan tanah dan hilangnya lapisan topsoil merupakan dua bentuk kerusakan yang diakibatkan pemakaian tractor (Cheatle 1991). Pemadatan disebabkan oleh lintasan atau injakan tractor yang berdampak terhadap, antara lain, menurunnya pori-pori makro sehingga permeabilitas tanah menurun, akibatnya ketersediaan air dan hara bagi akar juga menurun, selanjutnya menghambat penetrasi dan perkembangan akar. Bentuk kerusakan lain adalah hilangnya lapisan top soil akibat pengupasan tractor (tractor blading) yang

berakibat menurunnya simpanan hara sehingga secara keseluruhan status hara berkurang.

Stabilisasi agregat diperlukan dalam kaitannya dengan pengolahan tanah, yaitu mudah tidaknya tanah hancur jika diolah. Lebih lanjut, stabilisasi agregat seringkali dihubungkan dengan mudah tidaknya tanah mengalami erosi. Menurut Lynch and Bragg (1985), stabilitas agregat dapat berubah sebagai respon menurunnya level bahan organik dalam rangkaian kegiatan pemanenan. Agregat tanah terutama dibentuk oleh kekuatan fisik sementara stabilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bahan organik, Fe-oksida, Al-oksida, pH dan liat.

Fenomena yang dapat dilihat dari penelitian ini, yaitu kondisi agregat tanah pada ekosistem hutan primer tergolong stabil namun setelah penebangan mengalami penurunan sehingga tanah pada areal TPTJ tersebut menjadi kurang stabil. Dalam studi ini, terdapat kecenderungan yang tidak konsisten apabila stabilitas agregat dikaitkan dengan level bahan organik (Tabel 18). Seperti diketahui jenis tanah pada plot penelitian, mengacu pada terminologi dalam SK Mentan No. 837/1980, adalah Podsolik yang memiliki sifat, diantaranya bahan organik rendah dan pH rendah. Namun temuan lapang menunjukkan bahwa pada bahan organik rendah dan pH rendah ternyata agregat tanahnya stabil, contoh pada hutan primer. Seperti disebutkan di atas, beberapa sifat tanah merupakan indikator bagi stabilitas agregat, diantaranya Fe/Al-oksida, pH dan liat. Stabilitas agregat pada ekosistem hutan primer kemungkinan terkait dengan keberadaan Fe dan Al yang membentuk Fe2O3 dan Al2O3. Keduanya dapat juga berfungsi sebagai cementing agent (perekat) butiran-butiran tanah sehingga menjadikan stabil. Kemungkinan lainnya adalah bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap agregat tergolong kedalam kelompok persisten, yaitu berupa senyawa-senyawa aromatik yang berasosiasi dengan kation logam yang memilki ciri tidak mudah berubah.

Ketidakstabilan agregat pada areal TPTJ, kemungkinan ada hubungannya dengan kelompok bahan organik yang bersifat temporer berupa akar dan hifa yang kestabilan agregatnya mudah berubah akibat pengolahan tanah sehingga menyebabkan tanahnya sedikit lebih padat dibandingkan hutan primer. Hal ini sesuai dengan gambaran di lapangan yang menunjukkan bahwa dalam areal TPTJ

yang diamati dilakukan kegiatan pemeliharaan berupa pendangiran sampai tanaman berumur 3 tahun dan pembebasan horisontal dan vertikal pada tanaman berumur 4 dan 5 tahun.

Untuk semua peubah sifat fisik yang dianalisis (berat isi, porositas dan stabilitas agregat) tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang lebih baik dengan makin bertambahnya umur tanaman seperti terlihat pada Gambar 9 di atas. Berdasarkan sifat-sifat fisik yang dimilikinya, sistem TPTJ masih mempunyai peluang untuk mendukung pemulihan kualitas fisik tanah.

Respon perubahan C-organik dan N-tot tanah sangat dipengaruhi oleh faktor biotik (vegetasi), abiotik (suhu dan kelembaban) dan pengelolaan lahan (Parton et al. 1987 dalam Handayani dan Prawito 1998). Lebih lanjut ditambahkan oleh Gregorich et al. (1997) bahwa penurunan level bahan organik tanah disebabkan oleh dua alasan, pertama proses dekomposisi meningkat akibat adanya perubahan lingkungan (kadar air, aerasi dan suhu). Kedua, rendahnya input C atau N akibat menurunya masukan residu organik pada suatu ekosistem. Kemungkinan penyebab lainnya adalah komposisi jenis sebagai faktor penting bagi pembentukan C-organik dimana tiap jenis memiliki perbedaan dalam hal alokasi Carbon yang berimplikasi pada perbedaan kualitas input C-organik tanah. Kedua pendapat di atas sesuai dengan temuan di lapangan. Kalau diperhatikan, secara umum kandungan C-organik di seluruh plot penelitian tergolong rendah. Perbedaan kandungan C-organik pada hutan primer dan areal TPTJ sekitar 10% sampai 40%, dengan kandungan terendah pada hutan primer. Rendahnya C-organik dan N-total atau bahan organik tanah pada hutan primer terkait dengan meningkatnya proses dekomposisi yang berimplikasi pada menurunnya pool C dan N. Kemungkinan lain kandungan C-organik dan N-tot tersebut merupakan indigenous value dari ekosistem hutan primer atau dengan kata lain kandungan bahan organik tanah pada hutan primer telah mengalami keseimbangan dengan kondisi lingkungannya sehingga tidak dapat ditingkatkan tanpa merubah kondisi lingkungan tersebut. Sebaliknya kandungan C-organik dan N-total pada plot TPTJ dan To bisa jadi disebabkan oleh distribusi C dan N pada permukaan tanah yang berasal masukan serasah, akar mati dan biota sehingga meningkatkan pool C dan N. Ada tiga pool utama pemasok C ke dalam

tanah pada plot TPTJ, yaitu (a) serasah dari tajuk tanaman yang berasal dari kegiatan penyiapan lahan atau pelebaran jalur tanam, (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung akar, atau respirasi akar, dan (c) biota. Kondisi lain yang turut mendukung hasil penelitian ini adalah nisbah C/N serasah di hutan primer relatif lebih rendah dibandingkan plot lainnya meskipun secara keseluruhan kalau dilihat dari besarnya atau nilainya menunjukkan bahwa proses dekomposisi sedang berlangsung (C/N > 20). Kemudahan dekomposisi bahan organik berkaitan erat dengan nisbah kadar haranya. Secara umum makin rendah nisbah C/N di dalam residu organik maka semakin mudah dan cepat terjadinya dekomposisi. Oleh karena itu kualitas bahan organik merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Selain itu, berkurangnya input serasah dapat pula menjadi faktor penyebab menurunnya C-organik. Hal ini sesuai dengan pendapat van Noordwijk et al. (1997) dan Lugo and Brown (1993) yang mengatakan bahwa perubahan kandungan bahan organik tanah terkait dengan besarnya input bahan organik dan kualitasnya.

Kegiatan pemeliharaan dalam sistem TPTJ seperti pemangkasan tanaman meranti dan penebasan tanaman di pinggir jalur tanam yang dilakukan secara intensif terus menerus mulai tanaman berumur 1 tahun menyebabkan adanya penambahan bahan organik yang berasal dari residu tanaman secara terus menerus sehingga terjadi peningkatan akumulasi bahan organik pada areal TPTJ dan kondisi ini turut membantu proses perbaikan atau pemulihan bahan organik tanah. Residu tanaman merupakan bahan organik yang terdiri dari bermacam-macam senyawa organik dan di dalam tanah akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang dilakukan oleh mikroorganisme tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penanaman secara jalur dalam sistem TPTJ berpengaruh positif terhadap kandungan bahan organik tanah, antara lain melalui peningkatan masukan bahan organik dan mengurangi hilangnya bahan organik tanah melalui perannya dalam memperkecil erosi. Namun tidak tampak adanya kecenderungan peningkatan C-organik maupun N-total dengan makin bertambahnya umur tanaman.

Fenomena di atas adalah hal yang tidak umum karena yang biasa terjadi adalah adanya gangguan fisik pada hutan akan menurunkan kandungan bahan

organik tanah. Namun dalam pelaksanan sistem TPTJ tidak demikian, oleh karena dengan penebangan pada batas minimum diameter 40 cm dan pembuatan jalur tanam masih belum menunjukkan adanya penurunan terhadap bahan organik tanah, justru sebaliknya terjadi sedikit peningkatan meskipun nilainya masih berada pada kategori rendah.

Besarnya kandungan ammonium dan nitrat pada hutan primer terjadi sebagai akibat dari tersedianya pool N labil pada hutan primer lebih besar dibandingkan dengan plot TPTJ dan pool N tersebut mengalami proses oksidasi dengan cepat. Dengan kata lain akumulasi fraksi aktif bahan organik pada hutan primer lebih tinggi dibandingkan plot TPTJ. Sebaliknya pada plot TPTJ, kemungkinan persediaan pool N labil lebih sedikit sehingga menyebabkan terjadinya penurunan suplai amonium dan nitrat rata-rata sebesar 20% sampai 61%. Selain itu, sifat tanah seperti kemantapan agregat ikut menentukan rendahnya suplai N-mineral pada areal TPTJ. Agregat pada permukaan tanah di plot TPTJ yang tidak stabil menyebabkan partikel tanah mudah lepas sehingga terbentuk lapisan padat pada permukaan yang menghambat proses difusi O2 dalam tanah. Dalam proses mineralisasi, oksigen terlibat di dalamnya. Oleh karena itu dengan terhambatnya proses difusi O2 dalam tanah maka proses tersebut juga terhambat. Mineralisasi atau kemudahan dekomposisi bahan organik juga berkaitan erat dengan nisbah kadar haranya. Makin rendah nisbah antara kadar C dan N residu organik, makin mudah dan cepat mengalami dekomposisi. Dengan memperhatikan nisbah kadar C dan N serasah pada areal TPTJ yang besarnya lebih dari 40 (Tabel 18) maka proses yang terjadi adalah imobilisasi N sehingga dapat dikatakan kemungkinan ammonium mengalami immobilisasi yang menyebabkan suplainya rendah pada plot TPTJ.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa proses mineralisasi ditentukan oleh kualitas bahan organik, populasi mikroba dan aerasi tanah. Adapun kondisi lingkungan pada lantai hutan, seperti kelembaban dan suhu tanah di lokasi penelitian, kisaran nilainya tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar sekitar 28% - 33% untuk kelembaban dan 24oC- 25oC untuk suhu tanah sehingga agak sulit untuk mengkaitkannya dengan proses mineralisasi

atau dengan kata lain ada pengaruh simultan dari beberapa faktor tersebut yang ikut menentukan proses mineralisasi.

Hutan primer memiliki kemampuan yang lebih besar untuk melakukan nitrifikasi atau memproduksi nitrat dibandingkan plot TPTJ dan hutan bekas tebangan 1 bulan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm dengan perbedaan yang sangat nyata. Meningkatnya proses nitrifikasi atau suplai nitrat di hutan primer dapat juga disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari beberapa factor, yaitu kemungkinan penyerapan N oleh tanaman mengalami penurunan, kematian akar tanaman meningkat atau laju mineralisasi N meningkat (Van Miegroet and Jonhson 1993). Ditambahkan oleh Robertson (1989) bahwa ada dua faktor utama yang mengatur proses nitrifikasi, yakni keberadaan ammonium dan oksigen. Ammonium merupakan salah satu factor pembatas laju nitrifikasi atau produksi nitrat. Dengan demikian maka tingginya ketersediaan ammonium pada hutan primer dapat menstimulasi proses nitrifikasi. Selain itu, oleh karena nitrifikasi dimediasi oleh aktivitas biologi maka prosesnya sangat tergantung pada populasi dan kondisi lingkungan bakteri pelaku nitrifikasi dalam tanah hutan serta kondisi aerasi dalam tanah. Kemungkinan stabilnya agregat tanah di hutan primer berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen sehingga meningkatkan produksi

Dokumen terkait