• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Sifat Kimia Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ

Hasil analisis kimia tanah yang meliputi status bahan organik tanah dan kuantitas N tersedia pada hutan primer, hutan bekas tebangan 1 bulan dan areal TPTJ disajikan pada Tabel 18 dan Gambar 10 di bawah ini.

Status C- organik tanah dan N-total

Indikasi penurunan bahan organik tanah biasanya diukur dari kandungan C-organik dan N-total tanah. Hasil analisa kandungan C-organik, N-total, nisbah C/N serasah dan pH pada seluruh plot penelitian ditampilkan pada Tabel 18. Tabel 18. Kandungan C-organik, N-total, pH dan nisbah C/N serasah pada hutan

primer dan areal TPTJ pada kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm

Corg (g/kg) Ntot (g/kg) pH C/N serasah Tegakan 0 – 10 10 - 20 0 – 10 10 - 20 0-10 10-20 0-10 HP 13.45d*) 10.87b 1.35b 1.12bc 4.5a 4.5a 32 T0 16.47bcd 13.15b 1.55b 0.97c 4.4a 4.4a 36 TJ1 16.35bcd 12.05b 1.47b 1.17bc 4.3a 4.5a 42 TJ2 14.82 cd 11.10b 1.40b 1.05c 4.4a 4.5a 43 TJ3 22.50a 17.35a 2.20a 1.70a 4.1b 4.4a 46 TJ4 16.65 ab 14.40ab 1.90ab 1.40ab 4.4a 4.5a 56 TJ5 17.60 bc 14.90ab 1.55b 1.40ab 4.2ab 4.5a 40 Ket : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada

taraf pengujian 0.05

To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun

TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun

TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer

TJ3 = Tanaman 3 tahun

Untuk mendapatkan gambaran status bahan organik tanah pada areal TPTJ umur 1 tahun sampai 5 tahun, maka dilakukan uji beda rata-rata dengan hutan primer dan hutan bekas tebangan 1 bulan. Secara keseluruhan kandungan C-organik pada seluruh plot penelitian termasuk dalam kategori rendah sampai sedang, yaitu berkisar antara 1.08% sampai 2.25% (10.87 - 22.50 g/kg) dan tergolong rendah untuk N-total yaitu antara 0.1 sampai 0.2% atau 1.05 – 2.20 g/kg dengan variabilitas antar plot relatif kecil. Hasil penilaian menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan N-total di seluruh plot TPTJ pada kedalaman 0-10 cm maupun 10-20 cm ternyata lebih besar dibandingkan dengan hutan primer, dengan kandungan terbesar pada tanaman umur 3 tahun. Perbedaan nyata hanya terlihat

(2)

antara hutan primer dengan tanaman umur 3 tahun, 4 tahun dan 5 tahun pada kedalaman 0-10 cm, sedangkan untuk kedalaman 10-20 cm perbedaan nyata hanya tampak antara hutan primer dengan tanaman umur 3 tahun. Fenomena yang sama terlihat pada N-total. Untuk lebih jelas fluktuasi kandungan C-organik dan N-total antar plot dapat dilihat pada Gambar 10.

Berdasarkan Gambar 10 di bawah ini terlihat bahwa simpanan C-organik mengalami peningkatan pada saat tanaman berumur 3 tahun dan setelah itu menurun hingga tanaman berumur 5 tahun.

Keterangan :

To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ3 = Tanaman 3 tahun

Gambar 10. Fluktuasi kandungan C-organik (a) dan N-total (b) pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm pada plot penelitian

Kandungan N Tersedia

Data hasil analisis kandungan N-mineral ditampilkan pada Tabel 19. Secara umum respon NH4 dan NO3 pada hutan primer berbeda nyata dibandingkan dengan plot TPTJ dengan kandungan tertinggi terdapat pada hutan primer, disusul TPTJ umur 4 tahun, sedangkan terendah dijumpai pada TPTJ umur 2 tahun. 0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot C -or g t a nah ( g/ k g) 0-10 10-20 (a) (b) 0 0.5 1 1.5 2 2.5 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot N -t o ta l (g /k g ) {0-10} {10-20}

(3)

Tabel 19. Kandungan NH4, NO3, dan N tersedia/N-total pada hutan primer dan areal TPTJ pada kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm

NH4 (mg/kg) NO3 (mg/kg) N tersedia/N total (%) Tegakan 0 – 10 10 - 20 0 – 10 10 – 20 0 - 10 10 – 20 HP 50.89a 54.81a 505.69a 519.17a 41.2 51.2 T0 34.84b 39.15b 293.98bcd 366.80bc 21.2 41.8 TJ1 37.19 b 37.19bc 391.07abc 377.58abc 29.1 35.4 TJ2 24.66 c 20.32d 195.53d 241.98c 15.7 24.9 TJ3 32.49 bc 27.40cd 264.31bcd 247.38c 13.5 16.2 TJ4 40.71 b 42.28b 404.56ab 398.78ab 23.4 31.5 TJ5 32.88 bc 40.32b 252.17cd 262.96bc 18.4 21.7 Ket : *) Angka yang diikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama, tidak berbeda nyata pada

taraf pengujian 0.05

To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun

TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun TJ3 = Tanaman 3 tahun

TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer

Tabel 19 menunjukkan bahwa kemampuan hutan primer untuk menghasilkan ammonium dan nitrat pada kedalaman 0-10 cm masing-masing sebesar 50.89 mg/kg dan 505.69 mg/kg. Setelah penebangan (T0), kemampuan melepas ammonium menjadi sebesar 34.84 mg/kg dan nitrat 293.97 mg/kg. Selanjutnya dengan sistem TPTJ, kemampuan menghasilkan N mineral sekitar 4 mg/kg sampai 40 mg/kg untuk ammonium dan 195 mg/kg sampai 404 mg/kg untuk nitrat.

Fluktuasi kandungan ammonium dan nitrat pada plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada areal TPTJ, baik ammonium maupun nitrat mencapai konsentrasi terendah pada saat tanaman berumur 2 tahun dan setelah itu cenderung meningkat hingga umur 4 tahun. Namun kalau diperhatikan kemampuan tiap plot TPTJ dalam memproduksi ammonium maupun nitrat relatif sama.

(4)

(a) (b) Keterangan :

T0 = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun

TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun

TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer

TJ3 = Tanaman 3 tahun

Gambar 11. Fluktuasi kandungan ammonium (a) dan nitrat (b) pada kedalaman 0-10 dan 10-20 cm pada plot penelitian

Sifat Biologi Tanah pada Hutan Primer dan Areal TPTJ

Biomassa Carbon Mikroorganisme (C-mic)

Dalam ekosistem tanah, mikroorganisme merupakan faktor penting karena berpengaruh terhadap siklus dan ketersediaan hara tanaman serta stabilitas agregat tanah (Sparling 1992). Data kandungan C-mic, C-organik dan nisbah C-mic/C-org ditampilkan pada Tabel 20.

Tabel 20. Kandungan Cmic, C-org dan nisbah Cmic/C-org pada hutan primer dan areal TPTJ kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm

C-mic (mg/kg) C-org (g/kg) C-mic/C-org (%) Tegakan 0-10 10-20 0-10 10-20 0-10 10-20 HP 219.78c* 235.62 b 13.45d 10.87b 1.6 2.1 T0 330.66 abc 231.66 b 16.47bcd 13.15b 2.0 1.8 TJ1 198.00 c 306.90 b 16.35bcd 12.05b 1.2 2.5 TJ2 209.88 c 328.68 b 14.82cd 11.10b 1.4 2.9 TJ3 443.52 ab 398.52 b 22.50a 17.35a 1.9 2.3 TJ4 491.04 a 695.03 a 16.65ab 14.40ab 2.5 4.8 TJ5 279.18 bc 261.36 b 17.60bc 14.90ab 1.6 1.7 Keterangan: * angka yang di ikuti huruf yang sama dalam kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf pengujian 0,05

To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun

TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun

TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer

TJ3 = Tanaman 3 tahun 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot 0-10 10-20 0.00 100.00 200.00 300.00 400.00 500.00 600.00 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 P lo t 0-10 10-20

(5)

Tabel 20 menunjukkan bahwa respon biomasa carbon mikroorganisme (C-mic) pada masing-masing plot TPTJ meningkat mulai dari tanaman umur 1 tahun (TJ1) sampai umur 4 tahun (TJ4) namun menurun pada tahun ke 5 (TJ5). Kalau kita perhatikan pada saat tanaman meranti mencapai umur 1 dan 2 tahun terjadi penurunan kandungan C-mic sebesar 4.5% sampai 10% dibandingkan hutan primer meskipun perbedaannya tidak nyata.

Data menunjukkan adanya peningkatan C-mic sebesar 101% pada TJ3 dan 123% pada TJ4, sedangkan untuk C-organik juga mengalami peningkatan sebesar 67% pada TJ3 dan 23% pada TJ4 dibandingkan hutan primer. Plot lainnya menunjukkan kecenderungan yang sama.

Tabel 20 menunjukkan bahwa nilai nisbah C-mic terhadap C-organik bervariasi antara 1.2% sampai 2.5% dengan kecenderungan semakin besar menurut umur tanaman TPTJ. Peningkatan nisbah tersebut diikuti pula dengan meningkatnya mic dari 198.00 mg/kg sampai 491.04 mg/kg, namun untuk C-organik peningkatannya cenderung tidak konsisten. Nisbah tersebut digunakan sebagai salah satu indikator ketersediaan substrat organik untuk metabolisme mikroorganisme. Selain itu juga mengindikasikan adanya perubahan kandungan bahan organik tanah akibat dari berubahnya pengelolaan suatu lahan menurut waktu.

Gambar 12 menggambarkan fluktuasi suhu dan kadar air tanah terhadap kandungan C-mic. Tidak ada pola C-mic yang konsisten, baik terhadap suhu maupun kadar air tanah.

(a) (b)

Keterangan :

To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ3 = Tanaman 3 tahun

Gambar 12. Fluktuasi suhu tanah (a) dan kadar air tanah (b) terhadap Cmic

0 .00 10 0 .0 0 20 0 .0 0 30 0 .0 0 40 0 .0 0 50 0 .0 0 60 0 .0 0 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plo t 23 .5 24 24 .5 25 25.5 26 C-mic Suhu t anah 0 .00 10 0 .00 20 0 .00 30 0 .00 40 0 .00 50 0 .00 60 0 .00 HP TO TJ1TJ2TJ3TJ4 TJ5 Plo t 0 5 10 15 20 25 30 35 40 C-mic KA Tanah

(6)

Data dari hasil penelitian menunjukkan adanya koefisien korelasi Pearson yang lemah (-0.49) dan tidak berbeda nyata antara kandungan C-mic dengan suhu tanah, demikian pula dengan kadar air tanah yang memiliki korelasi lemah (0.420) dan tidak berbeda nyata. Meskipun hubungan antara kedua peubah tersebut dengan C-mic tergolong kurang erat, namun tidak berarti bahwa keduanya tidak mempengaruhi kandungan C-mic. Fluktuasi suhu tanah pada seluruh plot penelitian di kedalaman 0-10 cm berkisar antara 240 C sampai 250 C, sedangkan untuk kadar air tanah berada pada kisaran 20% sampai 34%.

Untuk mengetahui lebih jelas fluktuasi kandungan C-organik dan C-mic pada plot penelitian, dapat dilihat pada Gambar 13.

(a) (b)

Keterangan :

To = Hutan bekas tebangan 1 bulan TJ4 = Tanaman 4 tahun TJ1 = Tanaman 1 tahun TJ5 = Tanaman 5 tahun TJ2 = Tanaman 2 tahun HP = Hutan primer TJ3 = Tanaman 3 tahun

Gambar 13. Fluktuasi kandungan C-organik (a) dan C-mic (b)

pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm pada seluruh plot penelitian

Klasifikasi Plot TPTJ Berdasarkan Indikator Kualitas Tanah

Pengelompokan plot tanaman berdasarkan indikator kualitas tanah dilakukan dengan menggunakan analisis cluster atau gerombol. Prinsip analisis gerombol didasarkan pada ukuran kemiripan (kedekatan) dari setiap individu (plot TPTJ). Indikator kualitas tanah yang digunakan meliputi, C-mic (X1), C-organik (X2), N-total (X3), NH4 (X4), NO3 (X5), pH (X6), Bobot isi (X7), Porositas (X8)

0.0 0 5.0 0 10.0 0 15.0 0 2 0.0 0 2 5.0 0 HP TO TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plo t {0 -10} (10 -20 ) 0.0 100.0 200.0 300.0 400.0 500.0 600.0 700.0 800.0 HP TO TJ 1 TJ2 TJ 3 TJ4 TJ 5 Plot (0- 10) (10- 20)

(7)

dan Stabilitas agregat (X9). Klasifikasi diarahkan untuk mengevaluasi dari segi indikator kualitas tanahnya.

Hasil analisis gerombol ditampilkan dalam bentuk dendrogram dan pemotongan dilakukan pada selisih penggabungan jarak terbesar atau yang menghasilkan gerombol yang lebih bermakna dapat dilihat pada Gambar 14. Pada Tabel 21 ditampilkan nilai rata-rata keseluruhan dan masing-masing peubah untuk tiap gerombol.

Gambar 14 menunjukkan bahwa berdasarkan ukuran kedekatan indikator kualitas tanah maka plot TPTJ dikelompokkan atas 4 gerombol. Plot TJ1 masuk ke dalam gerombol I, berdasarkan ukuran kemiripannya plot TJ2 dan TJ5 termasuk ke dalam gerombol II, plot TJ3 masuk ke dalam gerombol III dan plot TJ4 termasuk gerombol IV. .

TJ1 TJ2 TJ5 TJ3 TJ4

Gambar 14. Dendrogram klasifikasi plot TPTJ Gambaran umum dari tiap gerombol sebagai berikut :

1. Gerombol I

Hampir sebagian besar indikator kualitas tanah dalam gerombol ini sama nilainya dengan rataan keseluruhan, kecuali untuk peubah C-mic lebih rendah, sedangkan untuk NH4 dan NO3 lebih tinggi dari rataan keseluruhan. Dalam hal

(8)

ini dapat dikatakan bahwa kualitas tanah pada plot TJ1 mencerminkan kualitas tanah keseluruhan. Tindakan pengelolaan lahan melalui pemberian bahan organik perlu dilakukan dalam rangka menstimulasi pertumbuhan tanaman meranti, mengingat rata-rata pertumbuhan diameter meranti pada plot ini (0.86 cm) masih lebih rendah dibandingkan rata-rata pertumbuhan meranti keseluruhan (1.27 cm). 2. Gerombol II

Plot-plot yang termasuk ke dalam gerombol ini memiliki nilai indikator C-mic, NH4, NO3 dan stabilitas agregat lebih rendah dibandingkan dengan nilai rataan keseluruhan, sedangkan untuk peubah lainnya sama dengan rataan keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas tanah pada plot-plot tersebut masih di bawah rataan keseluruhan sehingga membutuhkan perbaikan tanah agar tanah memiliki kemampuan lebih besar dalam mendukung pertumbuhan tanaman meranti. Pertumbuhan tanaman meranti pada plot-plot ini masih lebih tinggi (1.38 cm) dibandingkan rataan totalnya (1.27 cm).

3. Gerombol III

Beberapa nilai indikator kualitas tanah pada plot TJ3 lebih tinggi dari pada rataan total. Kandungan C-mic, C-organik dan N-total lebih tinggi, hanya saja untuk NO3 lebih rendah dari rata-rata keseluruhan. Indikator lainnya relatif sama dengan ukuran rata-rata keseluruhan. Hal ini berarti kualitas tanah pada plot TJ3 berada sedikit di atas rata-rata keseluruhan. Kondisi ini menunjang pertumbuhan diameter tanaman meranti yang ditunjukkan dengan riap diameter sebesar 1.67 cm, nilai ini tertinggi dibandingkan dengan rataan total (1.27 cm). 4. Gerombol IV

Hampir sebagian besar nilai indikator kualitas tanah seperti, C-mic, N-total, NH4 dan NO3 pada plot TJ4 lebih tinggi dibandingkan dengan ukuran rata-rata keseluruhan. Indikator lainnya hampir sama dengan rata-rata-rata-rata keseluruhan. Dengan demikian dapat dikatakan bawa kualitas tanah pada plot ini di atas rata-rata kualitas tanah keseluruhan. Pertumbuhan diameter tanaman meranti pada plot ini mencapai 1.05 cm masih lebih rendah dibandingkan rata-rata keseluruhan.

(9)

Tabel 21. Nilai rataan masing-masing gerombol untuk tiap peubah Rataan gerombol Peubah Rataan total I II III IV C-mic C-organik N-total NH4 NO3 pH Bobot isi Porositas Stab agregat 344.27 17.92 1.76 34.79 320.94 4.27 1.06 59.81 43.5 198 16.35 1.47 37.19 391.07 4.3 0.99 62.57 47 244.53 16.21 1.47 28.77 223.85 4.3 1.08 59.21 35 443.52 22.50 2.20 32.49 264.31 4.1 1.04 60.90 44 491.04 16.65 1.90 40.71 404.56 4.4 1.15 56.57 48

Perbedaan Sifat Tanah antara Jalur Tanam dan Jalur Antara

Untuk melihat apakah ada perbedaan sifat fisik, kimia dan bilogi tanah antara jalur tanam dan jalur antara di masing-masing umur tanaman dilakukan uji statistik Mann-Witney. Data hasil pengujian ditampilkan pada Tabel 22. Pada prinsipnya uji Mann-Witney digunakan untuk membantu dalam mengambil keputusan apakah sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada kedua jalur tersebut identik atau berbeda sebagai akibat dari perbedaan perlakuan lebar jalur tanam.

Tabel 22. Pengaruh jalur tanam dan jalur antara terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada kedalaman 0-10 cm di masing-masing plot TPTJ. Sifat tanah TJ1 JT JA TJ2 JT JA TJ3 JT JA TJ4 JT JA TJ5 JT JA Bobot Isi Porositas Stab. Agregat C-org Ntot NH4 NO3 Cmic 1.00a) 0.90a 62.25a 66.05a 44.50a 43.35a 1.52a 1.66a 0.13a 0.15a 31.32a 39.15a 377.6a 377.6a 308.9a 324.7a 1.05a 0.99a 60.35a 62.65a 43.50a 42.80a 1.67a 1.60a 0.15a 0.15a 23.49a 23.49a 242.7a 134.9a 293.0a 332.6a 1.12a 1.00a 57.55a 62.30a 39.85a 41.45a 2.29a 2.23a 0.21a 0.23a 28.19a 37.58a 194.2a 345.2a 443.5a 429.8a 1.13a 1.21a 57.20a 54.15a 43.60a 43.00a 2.01a 1.90a 0.19a 0.18a 43.85a 31.32a 388.4a 323.6a 712.8a 697.1a 1.06a 1.13a 60.00a 57.20a 42.25a 43.40a 1.67a 1.91a 0.14a 0.17a 34.45a 31.32a 194.2a 248.1a 277.2a 205.9a

Ket : a) Angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%.

JT = Jalur tanam JA= Jalur antara

(10)

Tabel 22 menunjukkan bahwa dari sifat fisik tanah yang diuji, yaitu bobot isi, porositas dan stabilitas agregat di jalur tanam dan jalur antara pada plot tanaman meranti umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun, ternyata tidak ada perbedaan, baik pada kedalaman 0-10 cm maupun 10-20 cm. Adapun untuk sifat kimia tanah, peubah yang diuji adalah C-organik, N-total, NH4, dan NO3 dan hasilnya menyimpulkan bahwa sifat kimia tanah pada kedua jalur tersebut di masing-masing umur tanaman meranti juga tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal yang sama juga dijumpai pada sifat biologi tanah, yaitu C-mic.

Pertumbuhan Tanaman Meranti Pada Jalur Tanam

Produktivitas tanaman dapat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diameter, disamping karena mudah pelaksanaannya juga memiliki keakuratan dan konsistensi cukup tinggi. Oleh karena itu pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menjelaskan produktivitas tanaman (pohon). Untuk dapat tumbuh secara optimal maka dukungan faktor fisik lingkungan, seperti kualitas tempat tumbuh dan iklim mikro akan sangat menentukan.

Tiga jenis tanaman meranti merah, yaitu S. leprosula, S. parvifolia dan S.

johorensis mulai umur 1 sampai 5 tahun diamati pertumbuhannya pada jalur

tanam dengan lebar bervariasi sesuai dengan umurnya. Hasil pengukuran pertumbuhan diameter (riap diameter) dalam periode 2004 dan 2005 (satu tahun) dapat dilihat pada Tabel 23.

Tabel 23. Riap diameter rata-rata tiga jenis meranti pada plot TPTJ Riap diameter (cm)

Plot

S. leprosula S. parvifolia S. johorensis

TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 0.96 0.99 1.57 1.09 1.62 0.76 0.89 1.89 - 3.17 - 0.74 1.55 1.01 0.87

Ket : - : tidak ada tanaman pada jalur pengamatan

TJ1 = Tanaman umur 1 tahun, TJ2 = Tanaman umur 2 tahun

TJ3 = Tanaman umur 3 tahun, TJ4 = Tanaman umur 4 tahun

(11)

Data tersebut menunjukkan ada kemiripan respon pertumbuhan diameter pada ketiga jenis meranti tersebut pada masing-masing umur, kecuali pada umur 5 tahun. Dengan kata lain meskipun terjadi pelebaran jalur tanam pada setiap tahunnya mulai dari 3 meter hingga 10 meter namun respon masing-masing jenis tanaman terhadap pertumbuhan diameter menunjukkan adanya keeratan, kecuali pada tanaman umur 5 tahun. Pada tahun ke-5 terlihat bahwa pertumbuhan diameter pada jenis S. parvifolia dapat mencapai 3 cm jauh melebihi kedua jenis lainnya, untuk lebih jelasnya dapat pula dilihat pada Gambar 15.

0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Riap diameter (cm/th) TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 Plot S. lepro sula S parvifo lia S. jo ho rensis Keterangan :

TJ1 = Tanaman umur 1 tahun, TJ2 = Tanaman umur 2 tahun

TJ3 = Tanaman umur 3 tahun, TJ4 = Tanaman umur 4 tahun,

TJ5 = Tanaman umur 5 tahun

Gambar 15. Perubahan riap diameter rata-rata tiga jenis meranti pada plot TPTJ

Penilaian Kualitas Tanah

Nilai Tertimbang Indikator Kualitas Tanah

Indikator kualitas tanah yang dipergunakan untuk menentukan nilai kualitas tanah adalah bobot isi, stabilitas agregat, C-organik, N-total dan C-mic. Oleh karena ada pengaruh dependensi antar indikator tanah tersebut, maka penentuan nilai kualitas tanah pada plot penelitian dilakukan dengan menggunakan Analytic Network Process (ANP). Tingkat pengaruh suatu indikator terhadap indikator lainnya pada sistem penilaian kualitas tanah disajikan pada Tabel 24.

(12)

Tabel 24. Matriks perbandingan berpasangan tingkat pengaruh indikator terhadap kualitas tanah

BI SA C-org N-tot C-mic

Nilai tertimbang BI SA C-org N-tot C-mic 1/1 2/1 3/1 3/1 5/1 1/2 1/1 3/1 2/1 3/1 1/3 1/3 1/1 1/1 2/1 1/3 1/2 1/1 1/1 2/1 1/5 1/3 1/2 1/2 1/1 0.067 0.108 0.239 0.204 0.382 Keterangan : BI = Bobot isi, SA = Stabilitas agregat

Sumber : Hasil penilaian penulis

Tabel 24 menunjukkan bahwa perbandingan 1/1 mengandung pengertian bahwa kedua indikator memiliki pengaruh yang sama terhadap kualitas tanah. Perbandingan 2/1 berarti bahwa pengaruh suatu indikator dinilai sedikit agak tinggi dibandingkan dengan indikator lainnya. Perbandingan 3/1 memberi makna bahwa suatu indikator dinilai memiliki tingkat pengaruh agak tinggi dibandingkan indikator lainnya. Perbandingan 5/1 menunjukkan bahwa suatu indikator dinilai lebih tinggi tingkat pengaruhnya terhadap indikator lainnya.

Perbandingan 2 dengan 1 (2/1) diberikan pada perbandingan antara stabilitas agregat dengan bobot isi, dan N-total dengan stabilitas agregat. Perbandingan 3 dengan 1 (3/1) dapat dilihat pada perbandingan antara C-organik dengan bobot isi, C-organik dengan stabilitas agregat, N-total dengan bobot isi dan C-organik dengan bobot isi. C-mic dengan bobot isi adalah contoh perbandingan 5/1.

Matriks perbandingan berisi penilaian dengan teknik perbandingan berpasangan (pairwise comparison) terhadap elemen-elemen pada suatu tingkatan hirarki. Matriks tersebut memberikan gambaran kepentingan relatif antara satu elemen dengan elemen lainnya. Angka terbesar yang mungkin muncul adalah 9, sedangkan terkecil adalah 1/9. Skala nilai yang digunakan pada perbandingan berpasangan disajikan pada Tabel 25.

(13)

Tabel 25. Skala nilai metode perbandingan berpasangan

Intensitas Definisi Keterangan

1 Sama penting Dua elemen memberikan kontribusi yang

sama

3 Agak lebih penting Elemen yang satu sedikit lebih dipilih

dibandingkan elemen yang lain

5 Lebih penting Elemen yang satu lebih dipilih

dibandingkan elemen yang lain

7 Sangat penting Elemen yang satu sangat lebih dipilih

dibandingkan elemen yang lain

9 Mutlak lebih penting Satu elemen terbukti lebih dipilih dalam

tingkat penegasan tertinggi

Matriks perbandingan berpasangan untuk indikator yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh indikator lainnya dapat dilihat pada Lampiran 21 sampai Lampiran 25. Nilai tertimbang untuk setiap indikator berdasarkan dependensi yang didapat pada Lampiran 21 – 25, ditampilkan pada Tabel 26.

Tabel 26. Nilai tertimbang untuk tiap indikator berdasarkan dependensi

BI SA C-org N-tot C-mic

BI SA C-org N-tot C-mic 0 0.078 0.084 0.084 0.074 0.078 0 0.119 0.119 0.134 0.200 0.200 0 0.282 0.465 0.200 0.200 0.282 0 0.327 0.522 0.522 0.515 0.515 0

Keterangan : BI = Bobot isi, SA = Stabilitas agregat

Sumber : Hasil penilaian penulis

Nilai tertimbang akhir pada setiap indikator kualitas tanah didapat dengan cara mengalikan antara pembobotan pada Tabel 24 dengan nilai pembobotan berdasarkan dependensi pada Tabel 26. Nilai tertimbang akhir setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 27.

(14)

Tabel 27. Nilai tertimbang akhir tiap indikator kualitas tanah

BI SA C-org N-tot C-mic

Nilai tertimbang akhir BI SA C-org N-tot C-mic 0 0.008 0.020 0.017 0.028 0.005 0 0.028 0.024 0.051 0.013 0.021 0 0.057 0.177 0.013 0.021 0.061 0 0.124 0.034 0.056 0.123 0.105 0 0.075 0.121 0.268 0.234 0.302 Keterangan : BI = Bobot isi, SA = Stabilitas agregat

Sumber = Hasil penilaian penulis

Tabel 27 menunjukkan bahwa nilai tertimbang akhir C-mic lebih besar dibandingkan indikator lainnya. Dengan kata lain, C-mic memberikan kontribusi yang paling besar (0.302) terhadap kualitas tanah dibandingkan dengan indikator lainnya, sedangkan bobot isi (0.075) memberkan kontribusi paling kecil terhadap kualitas tanah. Hal ini mengindikasikan bahwa C-mic memegang peranan penting dalam menentukan kualitas tanah.

Nilai Kualitas Tanah

Penetapan nilai kualitas tanah pada masing-masing plot penelitian didasarkan pada nilai batas ambang kualitas tanah, seperti ditampilkan pada Tabel 28.

Tabel 28. Nilai batas ambang kualitas tanah

Kelas nilai Kategori kualitas tanah

8-10 6-7.9 4-5.9 2-3.9 0-1.9 Sangat baik Baik Sedang Rendah Sangat rendah

Kelas nilai merupakan nilai akhir kualitas tanah yang didapat dari hasil perkalian nilai skor masing-masing indikator (Lampiran 33 – 37) dan nilai tertimbang akhir untuk tiap indikator. Berdasarkan Tabel 28, kondisi hutan berada pada kualitas tanah sangat baik jika nilai akhirnya antara 8-10, sedangkan untuk kualitas tanah sangat rendah berada pada nilai 0-1.9

(15)

Kondisi Kualitas Tanah pada Plot Penelitian

Berdasarkan penilaian kualitas tanah yang diperoleh dari perkalian antara skor dan nilai tertimbang, maka dihasilkan nilai kualitas tanah pada masing-masing plot, seperti ditampilkan pada Tabel 29.

Tabel 29. Nilai akhir kualitas tanah pada plot penelitian

Plot Nilai kualitas tanah Kategori

HP TJ1 TJ2 TJ3 TJ4 TJ5 To 2.023 1.641 1.479 4.484 4.745 2.351 2.926 Rendah Sangat rendah Sangat rendah Sedang Sedang Rendah Rendah

Keterangan : HP = Hutan Primer

TJ1 = Tanaman 1 tahun, TJ4 = Tanaman 4 tahun

TJ2 = Tanaman 2 tahun, TJ5 = Tanaman 5 tahun

TJ3 =Tanaman 3 tahun , To = Hutan bekas tebangan 1 bulan

Tabel 29 menunjukkan bahwa kualitas tanah pada plot penelitian berada pada selang sangat rendah sampai sedang. Kondisi kualitas tanah pada areal TPTJ umur 3 dan 4 tahun berada pada kelas sedang, lebih baik dibandingkan dengan plot-plot lainnya. Data menunjukkan bahwa kondisi kualitas tanah pada hutan primer berada pada kelas yang sama dengan TJ5 dan To.

Model Hubungan Antara Kondisi Tanah, Iklim dan Pertumbuhan Diameter Tanaman Meranti

Oleh karena model keterkaitan antara lebar jalur tanam, kondisi tanah, iklim dan pertumbuhan diameter tanaman meranti merupakan hubungan yang kompleks maka diperlukan batasan-batasan untuk menyederhanakan pengertian hubungan dalam model tersebut.

Batasan Model

Batasan-batasan yang diasumsikan dalam model ini adalah bahwa perubahan suhu tanah ditentukan oleh besarnya lebar jalur tanam yang dibuat pada masing-masing umur tanaman. Besarnya hara yang masuk ke tanah hutan ditentukan oleh masukan bahan organik tanah (C-organik, C-mic dan N-total) dan curah hujan. bahan organik tanah tersebut bersama dengan sifat tanah lainnya

(16)

menentukan kualitas tanah. Hara tanah selanjutnya akan berkurang karena diserap oleh tanaman untuk pertumbuhan (riap) yang akan menentukan diameter. Kehilangan hara akibat pencucian atau erosi dianggap kecil karena penutupan lahan masih relatif rapat.

Formulasi Diagram Umpan Balik

Model sistem dinamik hubungan antara lebar jalur tanam dengan pertumbuhan diameter tanaman meranti dipengaruhi oleh kondisi tanah dan iklim. Selanjutnya dari peubah-peubah penyusun model dinamik pertumbuhan diameter, dicari hubungan antar peubah. Hubungan yang terjadi antar peubah penyusun model dapat positif dan dapat pula negatif. Hal ini sangat tergantung pada pengaruh antara peubah yang satu dengan lainnya. Skema hubungan antara kondisi tanah, iklim dan pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 16.

Gambar 16. Diagram umpan balik hubungan lebar jalur, tanah, iklim dan riap diameter tanaman meranti

Lebar jalur + Radiasi cahaya Fotosintesis + Suhu tanah + C-mic -C-organik N-total -Bobot isi Stab. agregat -+ Hara Tanah + + + Curah hujan + Kualitas tanah + + + -+ + Riap diameter Diameter + + +

(17)

-Berdasarkan diagram causal loop tersebut, dapat dilihat bahwa pembuatan jalur tanam berakibat pada meningkatnya radiasi cahaya pada jalur tanam tersebut yang selanjutnya akan meningkatkan suhu tanah. Selanjutnya suhu tanah menyebabkan perubahan pada kandungan C-organik, C-mic dan N-total yang menentukan hara tanah hutan. Riap diameter ditentukan oleh hara tanah dan radiasi cahaya melalui proses fotosintesis.

Diagram Alir Keterkaitan Antara Lebar Jalur, Tanah, Iklim dan Riap Diameter Meranti

Berdasarkan Gambar 16, maka dibuat diagram alir model hubungan antara lebar jalur tanam dengan pertumbuhan diameter tanaman meranti, seperti terlihat pada Gambar 17.

Gambar 17. Diagram alir hubungan antara lebar jalur tanam dan riap diameter meranti

Gambar 17 menjelaskan bahwa akumulasi hara tanah hutan dipengaruhi oleh penambahan hara dari C-organik, C-mic dan N-total yang diperoleh dari proses dekomposisi bahan organik dan berasal dari curah hujan. Selanjutnya riap

Bobot_SA_thd_KT Bobot_C_Org_thd_KT input_hara pencucian Riap kehilangan_hara Curah_Hujan Akumulasi_Hara Diameter Bobot_C_mic_thd_KT Kualitas_tanah Bobot_Bbt_Isi_thd_KT Bobot_N_Tot_thd_KT Lebar_Jalur Fotosintesis C_mic N_Total Suhu_tanah SA Intensitas_cahaya C_Org Bobot_Isi

(18)

diameter tanaman meranti sangat dipengaruhi oleh bukaan tajuk (intensitas cahaya melalui proses fotosintesis) dan akumulasi hara. Riap selanjutnya menentukan diameter tanaman meranti.

Berdasarkan Gambar 17, maka dapat dibuat simulasi untuk mengetahui interaksi antar peubah yang satu dengan lainnya. Simulasi pertumbuhan diameter (riap) tanaman meranti pada berbagai lebar jalur tanam dilakukan untuk mengetahui lebar jalur tanam yang masih layak dari aspek pertumbuhan diameter dan kualitas tanah untuk diterapkan di lapangan. Lebar jalur tanam awal yang dijadikan sebagai acuan dasar untuk membuat simulasi pertumbuhan diameter tanaman meranti adalah 3 meter yang selanjutnya diperlebar secara bertahap menjadi 4 meter, 6 meter dan 10 meter. Berdasarkan simulasi, pertumbuhan diameter (riap) cenderung meningkat sebesar 2.44 cm pada saat jalur tanam diperlebar menjadi 10 meter, seperti terlihat pada Tabel 30.

Tabel 30. Pertumbuhan diameter meranti jika jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 10 meter

Respon riap diameter tanaman meranti pada jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 10 meter dapat dilihat pada Gambar 18.

Time 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17

Lebar_Jalur Kualitas_tanah Akumulasi_Hara Riap Diameter

3.00 4.48 126.00 0.518 0.80 3.00 4.48 128.15 0.508 1.32 4.00 6.59 130.31 0.604 1.83 6.00 5.91 132.75 0.98 2.43 10.00 4.82 135.16 2.44 3.41 10.00 4.82 135.73 2.38 5.85 10.00 4.82 136.39 2.32 8.24 10.00 4.82 137.13 2.27 10.56 10.00 4.82 137.95 2.21 12.83 10.00 4.82 138.84 2.16 15.04 10.00 4.82 139.80 2.10 17.20 10.00 4.82 140.81 2.05 19.30 10.00 4.82 141.88 2.00 21.36 10.00 4.82 142.99 1.95 23.36 10.00 4.82 144.15 1.91 25.31 10.00 4.82 145.35 1.86 27.22 10.00 4.82 146.58 1.82 29.08 10.00 4.82 147.85 1.77 30.90

(19)

Waktu (tahun) D ia m e te r (cm ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Waktu (tahun) R ia p ( cm /t h ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 Waktu (tahun) K u a li ta s ta n a h 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 a b c

Gambar 18. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada pola 3-4-6-10

Gambar 18 menunjukkan bahwa untuk mencapai diameter 50 cm, sebagai batasan diameter yang boleh ditebang, dengan menggunakan pola yang sekarang ini (3-4-6-10) membutuhkan waktu 29 tahun, baru dapat dilakukan penebangan. Terjadi peningkatan terhadap diameter yang awalnya perlahan, namun semakin lama semakin cepat dan selanjutnya akan melambat hingga mencapai kondisi

(20)

steady state (keseimbangan). Dari Gambar 18 terlihat bahwa pertumbuhan

diameter tanaman meranti mengalami peningkatan secara cepat hingga tahun ke-4, yaitu pada saat lebar jalur tanam sebesar 10 meter, namun setelah itu mengalami penurunan secara eksponensial sejalan dengan bertambahnya waktu. Kurva yang menampilkan hubungan antara kualitas tanah dengan waktu, terlihat mengalami fluktuasi dimana puncaknya terjadi pada tahun ke-2 sebesar 6.59 (kategori sedang) dan kondisi ini tetap bertahan hingga akhirnya mengalami perubahan menjadi status rendah pada tahun ke-74 dan kondisi tersebut tetap hingga tahun ke-100.

Simulasi pertumbuhan diameter tanaman meranti

Simulasi ini dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti pada berbagai skenario lebar jalur tanam. Tabel 31 berikut menampilkan skenario beberapa lebar jalur tanam.

Tabel 31. Skenario lebar jalur tanam menurut umur tanaman meranti Tanaman tahun ke-

Skenario 1 2 3 4 5 I II III IV 3 3 4 3 4 4 6 4 6 8 10 6 6 8 10 12 6 8 10 12

Tabel 31 menunjukkan bahwa lebar jalur tanam maksimum hanya sampai tahun ke-5, artinya untuk tahun ke-6 dan seterusnya tidak ada lagi pelebaran jalur tanam. Pada skenario I, lebar awal adalah 3 meter kemudian diperlebar secara bertahap menjadi 4 meter dan terakhir 6 meter. Dibandingkan dengan pola yang saat ini diterapkan oleh HPH PT. SBK, pada skenario I dan II terjadi penurunan lebar jalur tanam maksimum dari 10 meter menjadi 6 meter dan 8 meter, sedangkan untuk skenario III tetap 10 meter dan skenario IV ada peningkatan lebar dari 10 meter menjadi 12 meter.

(21)

Skenario I : lebar jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 6 meter

Simulasi skenario I dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti jika lebar jalur tanam awal tetap 3 meter, kemudian diperlebar menjadi 4 meter pada tahun ke-2 dan diperlebar lagi menjadi 6 meter pada tahun ke-3 dan seterusnya. Respon pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 19. Waktu (tahun) D iam et er (c m ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 10 20 30 40 50 Waktu (tahun) R iap (c m /t h) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1.0 1.5 2.0 a b Waktu (tahun) Kualit as t anah 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 c

Gambar 19. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b), dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario I

(22)

Gambar 19 menunjukkan bahwa peningkatan diameter tanaman meranti sangat lambat dimana bahwa pada tahun ke-50, diameter tanaman meranti baru mencapai 31.23 cm. Untuk mencapai diameter sebesar 50 cm dibutuhkan waktu yang sangat lama (di atas 100 tahun). Riap tertinggi dicapai pada tahun ke-3 sebesar 0.98 cm/tahun dan setelah itu terus mengalami penurunan menurut waktu secara eksponensial. Perubahan kualitas tanah berfluktuasi menurut waktu dimana status tertinggi terjadi pada tahun ke-2 sebesar 6.59 (kategori sedang) dan mengalami penurunan menuju status rendah (3.81) mulai tahun ke-40 dan statusnya tidak berubah hingga tahun ke-100.

Skenario II : lebar jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 8 meter

Simulasi dengan menggunakan skenario II dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti pada lebar jalur awal 3 meter, kemudian pada tahun ke-2 diperlebar menjadi 4 meter dan pada tahun ke-3 diperlebar lagi menjadi 8 meter yang merupakan lebar maksimum. Respon pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 20 menunjukkan bahwa dengan lebar jalur awal 3 meter dan maksimum 8 meter, untuk mencapai diameter sebesar 50 cm dibutuhkan waktu selama 53 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa rata-rata riap diameter hanya mencapai sekitar 1 cm/tahun. Dari hasil simulasi di atas terlihat bahwa riap diameter terbesar dicapai pada saat tanaman berumur 3 tahun, yaitu sebesar 1.61 cm/tahun dan setelah itu menurun secara eksponensial sejalan dengan waktu. Perubahan pada kualitas tanah, seperti kurva sebelumnya, terjadi peningkatan pada tahun ke-2 dengan status sedang (6.59) dan setelah itu kondisinya tidak mengalami perubahan (tetap status sedang) kemudian berubah menjadi status rendah (3.81) pada tahun ke-57 hingga tahun ke-100.

(23)

Waktu (tahun) D ia m e te r (c m ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Waktu (tahun) R ia p ( c m /t h ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1.0 1.5 2.0 a b Waktu (tahun) K u a lit a s t a n a h 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 3.0 3.5 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 c

Gambar 20. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario II

Skenario III : lebar jalur tanam awal 4 meter dan maksimum 10 meter

Simulasi dengan skenario III dimaksudkan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti dengan lebar jalur tanam awal 4 meter,

(24)

kemudian diperlebar menjadi 6 meter pada tahun ke-2 dan maksimum 10 meter pada tahun ke-3. Respon pertumbuhan meranti dapat dilihat pada Gambar 21.

Waktu (tahun) D ia me te r (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Waktu (tahun) R ia p (cm/ th ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 a b Waktu (tahun) Ku a lit a s ta n a h 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 c

Gambar 21. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario III

Terlihat pada Gambar 21 bahwa diameter tanaman meranti mengalami kenaikan yang cukup drastis setelah tahun ke-3 ketika jalur tanam diperlebar

(25)

menjadi 10 meter. Dari simulasi terlihat bahwa pada tahun ke-29 diameter tanaman meranti sudah mencapai 50.63 cm atau rata-rata riap diameternya mencapai 1.7 cm/tahun. Riap diameter mengalami peningkatan yang sangat cepat pada periode 3 tahun pertama dan setelah itu mengalami penurunan secara eksponensial. Adapun untuk kualitas tanah terlihat bahwa pada awal penanaman statusnya sudah mencapai sedang dan tetap bertahan hingga tahun ke-72, namun mulai tahun 73 statusnya berubah menjadi rendah (3.81) hingga pada tahun ke-100.

Skenario IV : lebar jalur tanam awal 3 meter dan maksimum 12 meter

Simulasi dengan skenario IV bertujuan untuk mengetahui respon pertumbuhan diameter tanaman meranti jika lebar jalur tanam awal 3 meter, kemudian diperlebar menjadi 4 meter pada tahun 2 dan 6 meter pada tahun ke-3 dan maksimum 12 meter pada tahun ke-4. Respon pertumbuhan diameter dapat dilihat pada Gambar 22.

Berdasarkan Gambar 22 tersebut, pada tahun ke-20 diameter tanaman meranti telah mencapai 50.51 cm atau rata-rata ria diameternya mencapai 2.5 cm/tahun. Terlihat dari simulasi tersebut, terjadi kenaikan diameter yang sangat cepat setelah jalur tanam diperlebar menjadi 12 meter, yaitu pada tahun ke-4. Kondisi tersebut diikuti oleh kenaikan pertumbuhan diameter (riap) yang sangat cepat pada 4 tahun pertama, namun setelah itu mengalami penurunan secara eksponensial dengan bertambahnya waktu. Dari kurva kualitas tanah terlihat bahwa pada tahun ke-2 statusnya mencapai kategori sedang (6.59) dan kondisi tersebut tetap hingga tahun ke-88, setelah itu (tahun ke-89) menurun menjadi rendah (3.81) sampai tahun ke-100.

(26)

Waktu (tahun) D ia me te r (cm) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Waktu (tahun) R ia p (cm/ th ) 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0.5 1.0 1.5 2.0 2.5 3.0 3.5 a b Waktu (tahun) Ku a lit a s ta n a h 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 4.0 4.5 5.0 5.5 6.0 6.5 c

Gambar 22. Grafik hubungan antara diameter (a), riap diameter (b) dan kualitas tanah (c) dengan waktu pada skenario IV

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi jenis komersial pada seluruh plot studi lebih kecil dibandingkan dengan jenis non-komersial. Besarnya kontribusi jenis komersial pada masing-masing plot bervariasi namun jika

(27)

mengacu kontribusinya pada hutan primer yang mencapai 18.4%, maka penurunan kelompok komersial khususnya jenis Dipterocarpaceae pada plot TPTJ belum begitu nyata karena fokus penebangan masih diberlakukan juga pada kelompok jenis non-Dipterocarpaceae komersial. Fenomena ini sesuai dengan hasil penelitian terhadap evaluasi sistem TPTJ dengan limit diameter tebang 40 cm di Kalteng yang dilakukan oleh Alrasyid (2000). Dilaporkan dari penelitian tersebut bahwa kontribusi kelompok jenis komersial Dipterocarpaceae tingkat pohon pada hutan bekas tebangan 2 tahun besarnya mencapai 29%. Kondisi yang sama juga ditemukan pada penelitian evaluasi terhadap sistem TPTI di Jambi yang dilakukan Riyanto (1995). Dalam penelitian tersebut dilaporkan bahwa kontribusi jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae pada 1 tahun dan 5 tahun setelah penebangan masing-masing sebesar 10.2% dan 16.6%. Kondisi ini berlainan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Indrawan (2000) yang melaporkan bahwa pada hutan bekas tebangan TPTI umur 2 dan 4 tahun, untuk tingkat pohon masih didominasi oleh jenis komersial Dipterocarpaceae.

Dari hasil penelitian dapat dikatakan bahwa akibat penebangan dengan limit diameter 40 cm terhadap keberadaan jenis komersial pada masing-masing plot TPTJ relatif sama yang dicerminkan dari besarnya kontribusi, kecuali pada plot tanaman umur 5 tahun (TJ5). Rendahnya kontribusi jenis non-Dipterocarpaceae komersial pada plot TJ5 yang besarnya 7% menunjukkan bahwa dampak penebangan terhadap keberadaan jenis non-Dipterocarpaceae komersial pada plot tersebut lebih nyata.

Distribusi tingkat pohon pada areal TPTJ berfluktuasi menurut kelas diameter, tidak menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan atau penurunan yang konsisten. Rendahnya jumlah pohon pada kelas diameter > 60 cm di plot TJ5 (Tabel 5) sangat nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh dampak penebangan yang sangat besar pada kelas diameter tersebut atau keberadaan individu pohon memang sedikit.

Jika mengacu pada aturan TPTI, secara tegas dapat dinyatakan bahwa jumlah pohon inti pada seluruh areal studi lebih dari cukup (Tabel 6). Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Alrasyid (2000) yang melaporkan bahwa jumlah

(28)

pohon inti pada areal 2 tahun setelah penebangan mencapai 56 pohon/ha. Bila diperhatikan jumlah pohon tinggal dalam plot tanaman umur 5 tahun (TJ5) yang besarnya 40 pohon/ha perlu pertimbangan secara seksama karena harus diperhatikan besarnya faktor kematian pohon (potential mortality) selama jangka waktu hingga tebangan berikutnya. Secara umum areal TPTJ memiliki kesempatan dalam hal recruitment pohon inti dalam jumlah yang lebih banyak melalui upgrowth dari permudaan tingkat tiang.

Di dalam plot hutan primer ditemukan sebanyak 38 jenis dan 16 famili per ha. Temuan yang mirip juga dilaporkan oleh Mauricio (1991) di Filipina, yang mencatat jumlah jenis di hutan primer mencapai 31 jenis dengan 17 famili per ha, sedangkan pada hutan bekas tebangan 5 tahun sebanyak 38 jenis dan 21 famili per ha. Dari aspek kekayaan jenis, kondisi vegetasi pada seluruh plot penelitian tergolong tinggi. Namun kalau dibandingkan antara plot TPTJ dengan hutan primer, khususnya untuk jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceae, maka di plot TPTJ tidak dijumpai jenis Kamper yang merupakan jenis dominan pada hutan primer. Dengan kata lain dampak penebangan mengakibatkan terjadinya penggantian dominasi jenis pada plot TPTJ. Jenis Meranti merah merupakan jenis kodominan pada beberapa plot TPTJ, sedangkan beberapa jenis anggota Dipterocarpaceae lainnya, seperti Bangkirai, Mersawa, Meranti kuning dan Meranti putih tidak merata penyebarannya di seluruh plot penelitian. Oleh karena itu penanaman jenis-jenis tersebut harus menjadi prioritas disamping jenis yang sudah dikembangkan selama ini.

Dari hasil perhitungan indeks keanekaragaman jenis tingkat pohon menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis pada seluruh plot studi cukup tinggi yaitu berada pada kisaran 2 hingga 3, namun keanekaragaman jenis pada hutan primer itu sendiri lebih rendah dibandingkan dengan plot lainnya. Ada kecenderungan peningkatan keanekaragaman jenis dengan makin meningkatnya umur tanaman.

Total luas bidang dasar pada areal TPTJ berfluktuasi menurut periode penanaman (Tabel 9). Kalau diperhatikan, penebangan dengan limit diameter 40 cm menyebabkan menurunnya kontribusi jenis komersial dari kelompok

(29)

Dipterocarpaceae sebesar 52.9% hingga 66.4% dari hutan primer, sedangkan untuk jenis non-Dipterocarpaceae justru mengalami peningkatan hingga dua kali lipatnya. Kondisi yang sama juga dilaporkan oleh Alrasyid (2000) bahwa dengan limit diameter tebang 40 cm dalam sistem TPTJ telah menurunkan luas bidang dasar kelompok Dipterocarpaceae pada areal hutan bekas tebangan 2 tahun sebesar 63%. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa proporsi jenis komersial dan non-komersial pada plot TPTJ relatif seimbang. Kondisi awal sebelum penebangan dan besarnya intensitas penebangan merupakan faktor yang menentukan besarnya jumlah luas bidang dasar tegakan tinggal.

Menurut hasil pengukuran, luas bidang dasar pada hutan primer di areal HPH PT. Sari Bumi Kusuma sebesar 28.21 m2/ha, nilai ini kurang lebih mendekati nilai rata-rata yang mewakili hutan tropis, yaitu sekitar 30 m2/ha (Weidelt 1994). Hal ini sesuai dengan hasil beberapa penelitian lainnya, seperti Sist dan Saridan (1997) sebesar 31.50 m2/ha di hutan primer, Berau, Kalimantan Timur dan Noorlaksmono (1993) sebesar 29.32 m2/ha di hutan primer Riau, dan Riyanto (1995) sebesar 29.83 m2/ha di hutan primer, Jambi. Selain itu Weidelt and Banaag (1982) juga melaporkan luas bidang dasar di Lauan Forest, Filipina sebesar 33.8 m2/ha.

Jumlah luas bidang dasar pada kelas diameter di bawah 60 cm (< 60 cm) lebih besar dibandingkan dengan kelas diameter di atasnya (> 60 cm). Terdapat tiga alasan untuk menjelaskan data tersebut, yaitu pertama tingkat kerusakan vegetasi akibat penebangan pada kelas diameter kurang dari 60 cm relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh intensitas penebangan (logging intensity) yang relatif rendah dan terkait juga dengan periode recovery atau tahun setelah penebangan di tiap-tiap tegakan berbeda. Alasan kedua adalah diterapkannya prinsip penebangan

reduced impact logging di lapangan. Alasan ketiga adalah jumlah pohon

berdiameter besar (> 60 cm) relatif sedikit.

Pada seluruh plot TPTJ jumlah permudaan semai dari kelompok Dipterocarpaceae lebih rendah dibandingkan dengan non Dipterocarpaceae dan jenis non komersial (Tabel 10). Hal ini disebabkan kelompok Dipterocarpaceae mengalami kesulitan untuk berkompetisi dengan jenis lainnya pada kondisi tajuk

(30)

rapat atau tertutup. Jenis anggota Dipterocarpaceae sangat sensitif terhadap cahaya sehingga memiliki preferensi terhadap kondisi iklim mikro tertentu. Secara umum jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong di atas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan angka 1000 semai per ha sebagai syarat kecukupan untuk permudaan semai.

Sistem TPTJ memberikan pengaruh positif terhadap regenerasi tingkat semai. Hal ini ditunjukkan oleh jumlah permudaan tingkat semai yang ada pada plot TPTJ lebih tinggi dibandingkan dengan kerapatan semai di hutan primer (16 187/ha) kecuali pada TJ2. Secara umum dapat dikatakan jumlah permudaan tingkat semai pada seluruh plot penelitian tergolong di atas rata-rata jika mengacu pada peraturan TPTI yang menyebutkan angka 1000 semai per ha sebagai syarat kecukupan untuk permudaan semai. Berdasarkan kondisi permudaan tingkat pancang dapat dikatakan bahwa sistem TPTJ tidak memberikan stimulus terhadap permudaannya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat semai yang sudah ada sebelum penebangan mengalami pertumbuhan yang lambat sehingga pertumbuhannya pada saat ini masih belum mencapai pancang. Keberadaan jenis anggota Dipterocarpaceae untuk tingkat pancang masih lebih rendah dibandingkan non Dipterocarpaceae dan jenis non-komersial. Namun secara umum jumlah permudaan pancang per ha pada seluruh plot studi masih lebih tinggi jika mengacu pada persyaratan TPTI yang hanya 240 pancang/ha. Hal yang sama juga dijumpai pada permudaan tingkat tiang dimana jumlah permudaannya pada seluruh plot penelitian masih lebih besar dibandingkan kriteria yang dibangun oleh TPTI sebesar 75 tiang/ha.

Berdasarkan pengamatan regenerasi pada semua tingkatan, baik semai, pancang maupun tiang, terlihat bahwa jumlah maksimumnya dicapai pada areal TPTJ berumur 4 tahun. Dengan memperhatikan kondisi tersebut, maka perlakuan silvikultur pada jalur antara hendaknya dipertimbangkan untuk dijadwalkan pada periode tersebut untuk menghindari atau memperkecil kematian permudaan akibat kompetisi yang begitu berat antar jenis.

Distribusi akar tanaman dan ketebalan horison O merupakan faktor yang menentukan nilai bobot isi, baik pada hutan primer maupun areal TPTJ. Hal ini

(31)

ditunjukkan oleh tidak adanya perbedaan bobot isi yang nyata antara hutan primer dan areal TPTJ. Kemungkinan lain, yaitu adanya kaitan antara bobot isi dengan kelas tekstur tanah. Kalau diperhatikan hutan primer dan areal TPTJ memiliki kelas tekstur sama yaitu lempung liat berpasir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan liat pada hutan primer sebesar 28%, TJ5 memiliki liat terbesar yaitu 35% dan terendah pada To sebesar 8%, sedangkan pada TJ1 sampai TJ4 berkisar antara 31-32%. Data menunjukkan bahwa To ternyata memiliki rata-rata bobot isi terbesar. Namun untuk plot lainnya tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang konsisten. Jumlah dan sifat liat sangat mempengaruhi banyaknya C yang diikat sehingga liat banyak dikaitkan dengan peningkatan jumlah dan aktivitas mikroba. Oleh karena itu, maka tanah yang memiliki kadar liat tinggi akan mengakumulasi lebih banyak jumlah C organik. Memperhatikan bahwa kandungan C-organik pada seluruh plot penelitian yang tergolong rendah yaitu berada pada kisaran 1%-2%, sepertinya C-organik belum berada pada level yang secara nyata mempengaruhi bobot isi.

Sebagai konsekuensi dari pemakaian tractor dalam sistem tebang pilih untuk penyaradan kayu (tractor logging) telah terjadi peningkatan bobot isi pada hutan bekas tebangan 1 bulan (To) namun masih berada dalam kategori sedang (medium). Setelah dilakukan penanaman pada blok bekas tebangan dengan sistem jalur, mulai terjadi pemulihan sehingga nilainya mendekati atau hampir sama dengan hutan primer (Tabel 17). Adapun meningkatnya bobot isi pada tanaman umur 4 tahun (TJ4) sebesar 1.15g/ cm3 disebabkan karena jalur tanaman pada areal tersebut sebagian besar merupakan bekas jalan sarad.

Penggunaan tractor dalam kegiatan penebangan menyebabkan kerusakan tanah, namun kerusakan yang terjadi pada sistem tebang habis jauh lebih besar dibandingkan tebang pilih. Pemadatan tanah dan hilangnya lapisan topsoil merupakan dua bentuk kerusakan yang diakibatkan pemakaian tractor (Cheatle 1991). Pemadatan disebabkan oleh lintasan atau injakan tractor yang berdampak terhadap, antara lain, menurunnya pori-pori makro sehingga permeabilitas tanah menurun, akibatnya ketersediaan air dan hara bagi akar juga menurun, selanjutnya menghambat penetrasi dan perkembangan akar. Bentuk kerusakan lain adalah hilangnya lapisan top soil akibat pengupasan tractor (tractor blading) yang

(32)

berakibat menurunnya simpanan hara sehingga secara keseluruhan status hara berkurang.

Stabilisasi agregat diperlukan dalam kaitannya dengan pengolahan tanah, yaitu mudah tidaknya tanah hancur jika diolah. Lebih lanjut, stabilisasi agregat seringkali dihubungkan dengan mudah tidaknya tanah mengalami erosi. Menurut Lynch and Bragg (1985), stabilitas agregat dapat berubah sebagai respon menurunnya level bahan organik dalam rangkaian kegiatan pemanenan. Agregat tanah terutama dibentuk oleh kekuatan fisik sementara stabilisasi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti bahan organik, Fe-oksida, Al-oksida, pH dan liat.

Fenomena yang dapat dilihat dari penelitian ini, yaitu kondisi agregat tanah pada ekosistem hutan primer tergolong stabil namun setelah penebangan mengalami penurunan sehingga tanah pada areal TPTJ tersebut menjadi kurang stabil. Dalam studi ini, terdapat kecenderungan yang tidak konsisten apabila stabilitas agregat dikaitkan dengan level bahan organik (Tabel 18). Seperti diketahui jenis tanah pada plot penelitian, mengacu pada terminologi dalam SK Mentan No. 837/1980, adalah Podsolik yang memiliki sifat, diantaranya bahan organik rendah dan pH rendah. Namun temuan lapang menunjukkan bahwa pada bahan organik rendah dan pH rendah ternyata agregat tanahnya stabil, contoh pada hutan primer. Seperti disebutkan di atas, beberapa sifat tanah merupakan indikator bagi stabilitas agregat, diantaranya Fe/Al-oksida, pH dan liat. Stabilitas agregat pada ekosistem hutan primer kemungkinan terkait dengan keberadaan Fe dan Al yang membentuk Fe2O3 dan Al2O3. Keduanya dapat juga berfungsi sebagai cementing agent (perekat) butiran-butiran tanah sehingga menjadikan stabil. Kemungkinan lainnya adalah bahan organik yang berfungsi sebagai pemantap agregat tergolong kedalam kelompok persisten, yaitu berupa senyawa-senyawa aromatik yang berasosiasi dengan kation logam yang memilki ciri tidak mudah berubah.

Ketidakstabilan agregat pada areal TPTJ, kemungkinan ada hubungannya dengan kelompok bahan organik yang bersifat temporer berupa akar dan hifa yang kestabilan agregatnya mudah berubah akibat pengolahan tanah sehingga menyebabkan tanahnya sedikit lebih padat dibandingkan hutan primer. Hal ini sesuai dengan gambaran di lapangan yang menunjukkan bahwa dalam areal TPTJ

(33)

yang diamati dilakukan kegiatan pemeliharaan berupa pendangiran sampai tanaman berumur 3 tahun dan pembebasan horisontal dan vertikal pada tanaman berumur 4 dan 5 tahun.

Untuk semua peubah sifat fisik yang dianalisis (berat isi, porositas dan stabilitas agregat) tidak menunjukkan adanya kecenderungan yang lebih baik dengan makin bertambahnya umur tanaman seperti terlihat pada Gambar 9 di atas. Berdasarkan sifat-sifat fisik yang dimilikinya, sistem TPTJ masih mempunyai peluang untuk mendukung pemulihan kualitas fisik tanah.

Respon perubahan C-organik dan N-tot tanah sangat dipengaruhi oleh faktor biotik (vegetasi), abiotik (suhu dan kelembaban) dan pengelolaan lahan (Parton et al. 1987 dalam Handayani dan Prawito 1998). Lebih lanjut ditambahkan oleh Gregorich et al. (1997) bahwa penurunan level bahan organik tanah disebabkan oleh dua alasan, pertama proses dekomposisi meningkat akibat adanya perubahan lingkungan (kadar air, aerasi dan suhu). Kedua, rendahnya input C atau N akibat menurunya masukan residu organik pada suatu ekosistem. Kemungkinan penyebab lainnya adalah komposisi jenis sebagai faktor penting bagi pembentukan C-organik dimana tiap jenis memiliki perbedaan dalam hal alokasi Carbon yang berimplikasi pada perbedaan kualitas input C-organik tanah. Kedua pendapat di atas sesuai dengan temuan di lapangan. Kalau diperhatikan, secara umum kandungan C-organik di seluruh plot penelitian tergolong rendah. Perbedaan kandungan C-organik pada hutan primer dan areal TPTJ sekitar 10% sampai 40%, dengan kandungan terendah pada hutan primer. Rendahnya C-organik dan N-total atau bahan organik tanah pada hutan primer terkait dengan meningkatnya proses dekomposisi yang berimplikasi pada menurunnya pool C dan N. Kemungkinan lain kandungan C-organik dan N-tot tersebut merupakan indigenous value dari ekosistem hutan primer atau dengan kata lain kandungan bahan organik tanah pada hutan primer telah mengalami keseimbangan dengan kondisi lingkungannya sehingga tidak dapat ditingkatkan tanpa merubah kondisi lingkungan tersebut. Sebaliknya kandungan C-organik dan N-total pada plot TPTJ dan To bisa jadi disebabkan oleh distribusi C dan N pada permukaan tanah yang berasal masukan serasah, akar mati dan biota sehingga meningkatkan pool C dan N. Ada tiga pool utama pemasok C ke dalam

(34)

tanah pada plot TPTJ, yaitu (a) serasah dari tajuk tanaman yang berasal dari kegiatan penyiapan lahan atau pelebaran jalur tanam, (b) akar tanaman, melalui akar-akar yang mati, ujung akar, atau respirasi akar, dan (c) biota. Kondisi lain yang turut mendukung hasil penelitian ini adalah nisbah C/N serasah di hutan primer relatif lebih rendah dibandingkan plot lainnya meskipun secara keseluruhan kalau dilihat dari besarnya atau nilainya menunjukkan bahwa proses dekomposisi sedang berlangsung (C/N > 20). Kemudahan dekomposisi bahan organik berkaitan erat dengan nisbah kadar haranya. Secara umum makin rendah nisbah C/N di dalam residu organik maka semakin mudah dan cepat terjadinya dekomposisi. Oleh karena itu kualitas bahan organik merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Selain itu, berkurangnya input serasah dapat pula menjadi faktor penyebab menurunnya C-organik. Hal ini sesuai dengan pendapat van Noordwijk et al. (1997) dan Lugo and Brown (1993) yang mengatakan bahwa perubahan kandungan bahan organik tanah terkait dengan besarnya input bahan organik dan kualitasnya.

Kegiatan pemeliharaan dalam sistem TPTJ seperti pemangkasan tanaman meranti dan penebasan tanaman di pinggir jalur tanam yang dilakukan secara intensif terus menerus mulai tanaman berumur 1 tahun menyebabkan adanya penambahan bahan organik yang berasal dari residu tanaman secara terus menerus sehingga terjadi peningkatan akumulasi bahan organik pada areal TPTJ dan kondisi ini turut membantu proses perbaikan atau pemulihan bahan organik tanah. Residu tanaman merupakan bahan organik yang terdiri dari bermacam-macam senyawa organik dan di dalam tanah akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang dilakukan oleh mikroorganisme tanah. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penanaman secara jalur dalam sistem TPTJ berpengaruh positif terhadap kandungan bahan organik tanah, antara lain melalui peningkatan masukan bahan organik dan mengurangi hilangnya bahan organik tanah melalui perannya dalam memperkecil erosi. Namun tidak tampak adanya kecenderungan peningkatan C-organik maupun N-total dengan makin bertambahnya umur tanaman.

Fenomena di atas adalah hal yang tidak umum karena yang biasa terjadi adalah adanya gangguan fisik pada hutan akan menurunkan kandungan bahan

(35)

organik tanah. Namun dalam pelaksanan sistem TPTJ tidak demikian, oleh karena dengan penebangan pada batas minimum diameter 40 cm dan pembuatan jalur tanam masih belum menunjukkan adanya penurunan terhadap bahan organik tanah, justru sebaliknya terjadi sedikit peningkatan meskipun nilainya masih berada pada kategori rendah.

Besarnya kandungan ammonium dan nitrat pada hutan primer terjadi sebagai akibat dari tersedianya pool N labil pada hutan primer lebih besar dibandingkan dengan plot TPTJ dan pool N tersebut mengalami proses oksidasi dengan cepat. Dengan kata lain akumulasi fraksi aktif bahan organik pada hutan primer lebih tinggi dibandingkan plot TPTJ. Sebaliknya pada plot TPTJ, kemungkinan persediaan pool N labil lebih sedikit sehingga menyebabkan terjadinya penurunan suplai amonium dan nitrat rata-rata sebesar 20% sampai 61%. Selain itu, sifat tanah seperti kemantapan agregat ikut menentukan rendahnya suplai N-mineral pada areal TPTJ. Agregat pada permukaan tanah di plot TPTJ yang tidak stabil menyebabkan partikel tanah mudah lepas sehingga terbentuk lapisan padat pada permukaan yang menghambat proses difusi O2 dalam tanah. Dalam proses mineralisasi, oksigen terlibat di dalamnya. Oleh karena itu dengan terhambatnya proses difusi O2 dalam tanah maka proses tersebut juga terhambat. Mineralisasi atau kemudahan dekomposisi bahan organik juga berkaitan erat dengan nisbah kadar haranya. Makin rendah nisbah antara kadar C dan N residu organik, makin mudah dan cepat mengalami dekomposisi. Dengan memperhatikan nisbah kadar C dan N serasah pada areal TPTJ yang besarnya lebih dari 40 (Tabel 18) maka proses yang terjadi adalah imobilisasi N sehingga dapat dikatakan kemungkinan ammonium mengalami immobilisasi yang menyebabkan suplainya rendah pada plot TPTJ.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa proses mineralisasi ditentukan oleh kualitas bahan organik, populasi mikroba dan aerasi tanah. Adapun kondisi lingkungan pada lantai hutan, seperti kelembaban dan suhu tanah di lokasi penelitian, kisaran nilainya tidak menunjukkan perbedaan yang cukup besar sekitar 28% - 33% untuk kelembaban dan 24oC- 25oC untuk suhu tanah sehingga agak sulit untuk mengkaitkannya dengan proses mineralisasi

(36)

atau dengan kata lain ada pengaruh simultan dari beberapa faktor tersebut yang ikut menentukan proses mineralisasi.

Hutan primer memiliki kemampuan yang lebih besar untuk melakukan nitrifikasi atau memproduksi nitrat dibandingkan plot TPTJ dan hutan bekas tebangan 1 bulan pada kedalaman 0-10 cm dan 10-20 cm dengan perbedaan yang sangat nyata. Meningkatnya proses nitrifikasi atau suplai nitrat di hutan primer dapat juga disebabkan oleh salah satu atau kombinasi dari beberapa factor, yaitu kemungkinan penyerapan N oleh tanaman mengalami penurunan, kematian akar tanaman meningkat atau laju mineralisasi N meningkat (Van Miegroet and Jonhson 1993). Ditambahkan oleh Robertson (1989) bahwa ada dua faktor utama yang mengatur proses nitrifikasi, yakni keberadaan ammonium dan oksigen. Ammonium merupakan salah satu factor pembatas laju nitrifikasi atau produksi nitrat. Dengan demikian maka tingginya ketersediaan ammonium pada hutan primer dapat menstimulasi proses nitrifikasi. Selain itu, oleh karena nitrifikasi dimediasi oleh aktivitas biologi maka prosesnya sangat tergantung pada populasi dan kondisi lingkungan bakteri pelaku nitrifikasi dalam tanah hutan serta kondisi aerasi dalam tanah. Kemungkinan stabilnya agregat tanah di hutan primer berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen sehingga meningkatkan produksi nitrat di hutan primer.

Menurunnya net mineralisasi berpengaruh terhadap besarnya produksi nitrat pada plot TPTJ. Selain itu, dengan mengacu pada pendapat Boer and Kowalchuk (2001), kemungkinan lainnya adalah hadirnya penghambat potensial terhadap bakteri pelaku nitrifiksi pada tanah dengan pH rendah.

Ada kecenderungan yang konsisten mengenai keberadaan nitrat dan ammonium pada plot TPTJ. Sebagai contoh, pada tanaman umur 4 tahun, kandungan ammonium dan nitrat adalah yang tertinggi dan sebaliknya pada tanaman umur 2 tahun. Nitrat pada plot TPTJ mengalami peningkatan yang proporsional bila dikaitkan dengan keberadaan ammonium. Hal ini mengindikasikan bahwa proses pencucian nitrat pada plot TPTJ belum berlangsung, yang disebabkan karena adanya tutupan lahan oleh tanaman dalam jalur. Sebagaimana diketahui bahwa transformasi ammonium menjadi nitrat, sebagai salah satu kemungkinan proses yang terjadi, merupakan faktor krusial.

(37)

Pencucian N merupakan alasan paling penting yang umumnya melibatkan bentuk nitrat. Bentuk anion ini bersifat lebih mobil dibandingkan ammonium dan mudah tercuci jika tidak diserap oleh tanaman.

Nisbah antara N-tersedia dan N-total menunjukkan kemampuan lahan dalam menyediakan pool N-labil atau pool N-stabil. Nilai nisbah tersebut pada seluruh plot penelitian berada pada kisaran antara 13.5%-51.2% dan cenderung meningkat menurut kedalaman (Tabel 19). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan sistem TPTJ terjadi penurunan nisbah N-tersedia dan N-total sebesar 29%-67% dibanding hutan primer pada kedalaman 0-10 cm dengan penurunan terbesar pada tanaman umur 3 tahun (TJ3) dan terkecil pada tanaman umur 1 tahun (TJ1). Implikasi dari perbedaan nisbah tersebut adalah hutan primer lebih mampu untuk melakukan proteksi atau konservasi pada bahan organik tanah labil dibandingkan plot TPTJ. Hal ini memberikan makna bahwa hutan primer memiliki cadangan terhadap komponen N labil serta kemampuan menyuplai pool N labil lebih besar. Oleh karena itu dalam konsep kelestarian ketersediaan komponen bahan organik labil perlu diperhatikan.

Kondisi aktual penutupan lahan yang sudah mulai rapat diduga merupakan faktor yang mendukung aktivitas mikroorganisme sehingga kandungan C-mic-pada plot TJ3 dan TJ4 tinggi. Namun menurunnya kandungan C-mic C-mic-pada tanaman umur 5 tahun sulit untuk dijelaskan. Studi yang berkaitan dengan C-mic adalah sesuatu yang bersifat kompleks oleh karena adanya proses yang terjadi secara simultan, seperti suhu tanah, kelembaban tanah, pH, tekstur serta adanya keragaman mikroorganisme dan aktivitasnya yang turut mengendalikan proses tersebut.

Jika indikator C-mic dan C-organik total digunakan untuk melihat perubahan bahan organik tanah, maka secara umum dapat dikatakan terjadi peningkatan C-mic sebesar 101% pada TJ3 dan 123% pada TJ4, sedangkan untuk C-organik hanya mengalami peningkatan sebesar 67% pada TJ3 dan 23% pada TJ4 dibandingkan hutan primer. Plot lainnya menunjukkan kecenderungan yang sama. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa respon C-mic terhadap perubahan bahan organik tanah ternyata lebih besar dibandingkan dengan C-organik. Dalam

(38)

kaitannya dengan penelitian ini, maka C-mic merupakan indikator penting untuk menilai perubahan lingkungan jangka pendek.

Data menunjukkan bahwa kandungan C-mic pada tanaman umur 1 tahun terendah dibandingkan plot lainnya. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi penutupan lahan pada tanaman umur 1 tahun masih relatif lebih terbuka sehingga masukan bahan organik segar ke dalam plot tersebut rendah, berimplikasi pada ketersediaan substrat berkurang. Kondisi demikian merupakan salah satu faktor yang kurang mendukung bagi perkembangan dan aktivitas mikroba tanah yang berakibat pada rendahnya C-mic. Pada kondisi lahan yang relatif terbuka menyebabkan terjadinya perubahan suhu dan kadar air tanah yang sangat berpengaruh terhadap kandungan C-mic (Ross 1987 dalam Anderson and Domsch 1989). Kandungan C-mic rendah biasanya mengindikasikan kandungan bahan organik pada tanah tersebut rendah (Insam and Haselwandter 1989). Ditambahkan oleh Sparling (1997) bahwa tanah yang terdegradasi atau terganggu akan mengalami penurunan pool C mikroba lebih cepat sehingga nisbah C-mic/C-org juga akan turun.

Selain berpengaruh terhadap kadar C-mic, kondisi penutupan tanaman meranti pada umur yang lebih tua juga berpengaruh terhadap ketersediaan substrat segar, ditunjukkan oleh nisbah C-mic/C-organik yang lebih tinggi dibandingkan tanaman meranti yang masih muda. Lahan tanaman meranti dengan umur tanaman relatif lebih muda mempunyai ketersediaan substrat lebih rendah. Secara tidak langsung nisbah yang relatif lebih tinggi menandakan ketersediaan substrat segar yang lebih tinggi. Menurut Insam and Haselwandter (1989) kondisi tersebut (nisbah C-mic/C-org yang lebih relatif tinggi) dapat diartikan sebagai tahap awal proses suksesi dari suatu ekosistem. Jika dikaitkan dengan proses regenerasi maka kemungkinan proses pemulihan tanah mulai berlangsung pada tanaman umur 3 dan 4 tahun.

Berdasarkan 4 gerombol yang dihasilkan terungkap adanya perbedaan dalam hal kualitas tanah di dalam plot TPTJ. Plot TJ1 (gerombol I) serta TJ2 dan TJ5 (gerombol II) adalah plot-plot TPTJ yang kualitas tanahnya masih perlu

Gambar

Tabel 20.  Kandungan Cmic, C-org dan nisbah Cmic/C-org pada hutan primer dan  areal TPTJ kedalaman tanah 0-10 cm dan 10-20 cm
Gambar  14  menunjukkan  bahwa  berdasarkan  ukuran  kedekatan  indikator  kualitas  tanah  maka  plot  TPTJ dikelompokkan  atas  4  gerombol
Gambar  16.  Diagram  umpan  balik  hubungan  lebar  jalur,  tanah,  iklim  dan  riap  diameter tanaman meranti
Diagram  Alir  Keterkaitan  Antara  Lebar  Jalur,  Tanah,  Iklim  dan  Riap  Diameter Meranti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Para penganut po!iteisme ini memiliki kecencle-rungan memilih dewa-clewa yang mereka percayai untuk diangkat, dilebihkan, clan diutamakan, yang dianggap sebagai Yang Maha

Peserta didik yang mampu mengerjakan soal-soal uraian terstruktur memiliki ketuntasan belajar R batas KKM, yaitu 60% (2) kesulitan peserta didik dalam mengerjakan soal-soal uraian

Menurut Rukiyah (2009), Intranatal merupakan serangkaian kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi cukup bulan, disusul dengan pengeluaran plasenta dan selaput

Giyarni. Jurusan Pendidikan Akuntansi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1)

Kerusakan sekunder tim'ul 'e'erapa aktu setelah trauma men&amp;usul kerusakan primer. Dapat di'agi men%adi pen&amp;e'a' sistemik dari intrakranial. Dari 'er'agai gangguan

Bahwa yang menjadi dasar hukum terhadap Rekapitulasi surat suara baik pada tingkat TPS hingga Tingkat Kabupaten Indragiri Hulu adalah merujuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum RI

Metode yang digunakan yaitu Teams Games Tournament dengan langkah sebagai berikut : Class-Presentation (penyajian/Presentasi kelas) Pada awal pembelajaran, guru

Secara umum kondisi sistem komunikasi pada area kebisingan di KRI sekarang masih menggunakan sistem komunikasi melalui alat komunikasi yang diperuntukan untuk peran tempur yang