• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga-Lembaga Akademik dan Penelitian

Justice di Tingkat Nasional

2. Organisasi dan Kelompok

2.3. Lembaga-Lembaga Akademik dan Penelitian

Lembaga pendidikan tinggi semasa Orde Baru dilkontrol ketat oleh penguasa. Penelitian tentang kekerasan atau hak asasi manusia tidak berkembang dan lebih banyak dilakukan oleh LSM atau peneliti independen. Situasi ini mulai berubah akhir 1990-an ketika beberapa perguruan tinggi membuka departemen khusus yang mempelajari masalah hak asasi manusia dan berbagai aspek kekerasan. Departemen Kehakiman dan HAM membantu pembentukan pusat studi hak asasi manusia di 23 universitas seluruh Indonesia.

Perhatian lembaga-lembaga ini umumnya terarah pada resolusi konflik, rekonsiliasi dan studi mengenai konflik secara umum. Studi mengenai kekerasan semasa Orde Baru masih sangat terbatas, antara lain karena adanya tuntutan untuk memahami pola konflik dan kekerasan baru yang melanda Indonesia beberapa tahun terakhir.

Center for Security and Peace Studies, Universitas Gadjah Mada (CSPS-UGM), Yogyakarta

Pusat penelitian ini dibentuk Oktober 1996 dengan tekanan pada security studies. Kegiatan awalnya adalah pelatihan di akademi kepolisian dan militer, bekerja-sama dengan beberapa instansi militer. Namun setelah 1998 lembaga ini lebih leluasa merancang dan mengembangkan programnya sendiri. Kerja sama dengan pemerintah, menurut Diah Kusumaningrum, salah seorang peneliti di lembaga ini, tetap dilanjutkan karena penyelesaian konflik dan kekerasan tidak dapat dicapai tanpa adanya keputusan politik dari pemerintah.

Di samping melakukan penelitian tentang berbagai aspek konflik lembaga ini juga mengembangkan strategi resolusi konflik yang berbasis pada korban. Metode yang digunakan adalah focus group discussion dengan kalangan korban dan stakeholders

dalam situasi konflik yang kemudian diolah lebih lanjut untuk disampaikan kepada publik dan pemerintah. Di beberapa tempat staf lembaga ini membantu proses mediasi kelompok yang bertikai. Kegiatan lainnya adalah membuat usulan-usulan reformasi struktur kepolisian yang mengedepankan konsep community policing.

Center for the Study and Promotion of Peace, Universitas Kristen Duta Wacana (PSPP-UKDW), Yogyakarta

Lembaga ini didirikan oleh UKDW dalam program pengabdian kepada masyarakat pada 1996. Awalnya kegiatan lembaga ini terbatas pada pelatihan, pendidikan dan mediasi konflik, terutama untuk menangani konflik internal di kalangan gereja. Perhatiannya mulai meluas ketika konflik mulai menyebar di berbagai wilayah Indonesia dan sampai 2002 kegiatannya menjangkau hampir seluruh daerah konflik di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya kebutuhan, program lembaga ini pun berkembang seperti pelatihan untuk trauma healing dan rekonsiliasi.

Pendeta Paulus Widjaja, direktur lembaga ini, menekankan perlunya perubahan paradigma dominan tentang konflik, korban dan rekonsiliasi. Selama ini penanganan terbatas pada segi teknis padahal yang diperlukan adalah perubahan sikap hidup secara

menyeluruh. Karena itu lembaganya mengedepankan konsep restorative justice, di mana pelaku dan korban mendapat kesempatan bersama-sama menyelesaikan masalah dan hidup dengan damai.

Dalam kegiatannya PSPP bekerja-sama dengan sejumlah lembaga lain tapi cenderung menghindari koalisi atau jaringan advokasi yang menimbulkan kesan menggalang kekuatan. Widjaja mengatakan perdamaian dan rekonsiliasi tidak akan tercapai jika para pelaku maupun korban masih terus berusaha menunjukkan kekuatan dan mencari kalah-menang dalam perjuangannya.

Pusat Studi Hak Asasi Manusia, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta

Pusat studi ini adalah salah satu produk kerja sama Menteri Urusan HAM dan perguruan tinggi pada tahun 2000.6 Kegiatannya adalah penelitian, pelatihan dan advokasi di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta. Sejauh ini ada beberapa kasus yang ditangani langsung seperti penganiayaan terhadap aktivis oleh polisi dan kelompok sipil bersenjata. Lembaga ini juga kerap menerima pengaduan dari korban tindak kekerasan yang biasanya ditindaklanjuti dengan memberi perlindungan dan rekomendasi ke lembaga lain yang dapat memberikan penanganan yang diperlukan.

Direktur lembaga ini mengatakan penanganan kasus-kasus kekerasan di masa Orde Baru sangat penting untuk merumuskan agenda reformasi yang jelas. Saat ini mereka membuat dokumentasi kesaksian kelompok korban peristiwa 1965-66 dan gerakan Usroh di Jawa Tengah. Ia menilai pengadilan pada dasarnya hanya menciptakan situasi menang-kalah tapi tidak menjamin perbaikan dalam tatanan, sementara yang diperlukan sekarang adalah rekonsiliasi di tingkat lokal yang memperhatikan keinginan korban.

Langkah yang ditempuh adalah penyelenggaraan dialog dan pendidikan publik, bekerja-sama dengan media massa seperti RRI, komunitas basis, lembaga agama serta kelompok mahasiswa. Di bidang reformasi hukum, lembaga ini terlibat dalam penyusunan RUU Keamanan Nasional dan beberapa peraturan daerah (perda) di Yogyakarta.

Center for Research on Intergroup Relations and Conflict Resolution (CERIC), Universitas Indonesia

Lembaga ini adalah badan semi-otonom di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI) yang yang mendalami masalah resolusi konflik. Kegiatan utamanya adalah penelitian, pelatihan dan pengembangan kurikulum serta silabus mengenai konflik dan penanganannya untuk perguruan tinggi. Fokus perhatiannya adalah penyelesaian konflik kontemporer, khususnya pada apa yang disebut “konflik horisontal”.

Sejak 2000 pusat penelitian ini membangun kerja sama dengan sekitar 20 perguruan tinggi dan puluhan LSM serta lembaga internasional seperti UN-OCHA, UNHCR dan UNDP. Di samping menerbitkan hasil studi dan analisis mengenai konflik

6

Pusat studi serupa dibentuk di 23 perguruan tinggi seluruh Indonesia. Namun karena keterbatasan sumber daya dan tidak adanya dukungan cukup tidak semua pusat studi dapat bekerja dengan efektif. Pusat Studi HAM UII adalah salah satu yang paling aktif.

dan penyelesaiannya, lembaga ini juga menyelenggarakan seminar dan lokakarya yang berorientasi pada penyebarluasan nilai pluralisme, perdamaian dan civic education.

Beberapa Program Lain

Di samping lembaga yang relatif mapan dan memiliki program teratur, ada bebeberapa lembaga ilmiah lain yang membentuk jaringan peneliti untuk membahas dan menangani masalah kekerasan di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) misalnya bekerja-sama dengan Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) dari Prancis membuat program Social Sciences on Conflict in Indonesia. Program ini bertujuan membantu penelitian yang berguna bagi kalangan akademik, policy makers atau unsur

civil society lainnya.

Inisiatif lain adalah Indonesian Conflict Studies Network yang merupakan buah kerja sama peneliti di Indonesia dan negara-negara Skandinavia. Sebagai jaringan peneliti, ICSN dibiayai oleh lembaga-lembaga pendukungnya dan bertujuan menyediakan bantuan dan membangun kerja sama di antara peneliti dari kedua negara. Saat ini jaringan tersebut melibatkan peneliti dari Aceh, Yogyakarta, Kepulauan Maluku, Sumatra Utara, Papua, Riau, Jawa Barat and Kalimantan Barat serta lembaga penelitian di negara-negara Skandinavia. Kegiatannya mencakup seminar untuk mengembangkan metodologi riset dan lokakarya untuk meningkatkan kerja sama di antara para peneliti. 2.4. Lembaga-Lembaga Keagamaan

Beberapa organisasi dan kelompok dalam kategori ini sejak masa Orde Baru memegang peran penting dalam penyebaran nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan dan perdamaian. Sebagian membuka unit atau program khusus untuk menangani pelanggaran hak asasi manusia dan konflik, dengan kapasitas dan orientasi yang berbeda-beda. Sekalipun merupakan wakil resmi dari institusi agama masing-masing, jangkauan kerjanya tidak selalu terbatas bagi umat yang bersangkutan.

Jumlah organisasi dan kelompok di dalam kategori ini sungguh besar dan karena keterbatasan waktu penelitian serta ruang yang tersedia, maka hanya beberapa di antaranya yang akan dibahas dalam laporan ini.

Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)

Gereja Katolik terlibat dalam upaya pembelaan hak-hak asasi manusia sejak awal Orde Baru. Usaha itu tidak selalu mendapat restu dari pemimpin lembaga karena itu sering kali dijalankan secara individual oleh para pekerja gereja dengan memberikan bantuan kemanusiaan serta pelayanan rohani kepada para tahanan politik dan korban kekerasan lainnya. Upaya itu baru mulai dilembagakan pada 1985 dengan dibentuknya Komisi Keadilan dan Perdamaian (KKP). Saat ini hampir semua keuskupan di Indonesia memiliki komisi atau sekretariat di bidang tersebut.

Felix Mahmudi, staf komisi tersebut di Jakarta, mengatakan kegiatan lembaganya lebih banyak pada promosi nilai hak asasi manusia dan pelatihan bagi umat Katolik mengenai transformasi konflik serta advokasi hukum secara umum. Di daerah-daerah dinamika kegiatan komisi berbeda-beda. KKP Jayapura misalnya dikenal sebagai lembaga yang sangat aktif baik dalam melakukan investigasi, pendidikan maupun

advokasi dan mediasi konflik. Sebaliknya ada beberapa sekretariat dan komisi yang tidak aktif karena kekurangan sumber daya maupun kapasitas untuk mengembangkan program mereka.

Kantor lain yang penting untuk disebut dalam struktur KWI adalah Sekretariat Jaringan Mitra Perempuan KWI (SJMP-KWI) yang dibentuk Desember 1995 dan resmi didirikan April 2002. Saat ini jaringannya sudah tersebar di 14 wilayah keuskupan, yang menekankan kampanye kesetaraan perempuan dan laki-laki. Berkat kerja sama dengan sejumlah LSM sekretariat ini mulai menggelar berbagai program pendidikan dan pelatihan mengenai gender dan pendampingan bagi korban ketidakadilan.

Gereja Katolik juga dikenal melahirkan sejumlah LSM dan kelompok masyarakat yang membela hak asasi manusia seperti Institut Sosial Jakarta (ISJ), Catholic Relief Service (CRS), Jesuit Refugee Service (JRS). Sementara itu organisasi sektoralnya seperti PMKRI dan Mudika di beberapa tempat terlibat aktif dalam kegiatan kampanye dan banyak di antara anggotanya menjadi staf LSM yang dibentuk oleh gereja maupun organisasi hak asasi manusia lainnya.

Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI)

Sebagai payung bagi sebagian besar gereja Protestan di Indonesia, lembaga ini memiliki cakupan wilayah ke seluruh Indonesia. Sejak awal Orde Baru pekerja gereja ini terlibat dalam kegiatan pelayanan rohani dan bantuan kemanusiaan bagi korban kekerasan serta promosi nilai hak asasi manusia. Di masa akhir kekuasaan Soeharto, kantor pusat PGI di Jakarta menjadi tempat munculnya bermacam inisiatif untuk menangani kasus-kasus kekerasan masa lalu seperti Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan (MIK), Forum Komunikasi Nasional Hak Asasi Manusia di Irian Jaya (FKN-HAM Irja) dan Komite Aksi Pembelaan Tapol/Napol (KAP T/N).

Pelembagaan kegiatan ini mulai dilakukan dengan menghimpun tenaga serta sumber daya melalui Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JK-LPK) yang dibentuk 1990. Jaringan ini bertugas membantu organisasi anggotanya untuk meningkatkan kemampuan serta mengembangkan program keadilan dan perdamaian di masing-masing daerah. Untuk kasus tertentu seperti konflik di Poso dan perlawanan rakyat terhadap perusahaan kayu di Sumatera Utara, lembaga ini membuat koalisi advokasi bersama sejumlah lembaga lain.

JK-LPK juga terlibat dalam penanganan masalah Ambon, Timor Leste, Papua dan Aceh bersama sejumlah LSM. Kegiatan kampanye mereka terarah pada umat Kristen di berbagai daerah agar memahami substansi konflik yang sering kali dibungkus dengan sentimen agama. Menurut Delmyser Makadoku, salah satu hambatan terbesar bagi lembaganya untuk terlibat lebih aktif adalah label Kristen yang di beberapa wilayah seperti Maluku dan Sulawesi Tengah menjadi masalah serius.

Muhammadiyah

Fokus utama organisasi ini adalah pendidikan agama Islam, dan baru setelah 1998 tampak ada komitmen khusus untuk “menuntaskan kasus-kasus besar yang berkenaan dengan pelanggaran hak asasi manusia”. Sekalipun tidak memiliki divisi untuk menangani masalah ini, komitmen tersebut dijabarkan oleh LSM yang berafiliasi di

bawahnya. Kegiatan utamanya adalah menyebarluaskan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi dasar bagi sistem demokratik dan melindungi hak asasi manusia.

Kalangan muda yang terhimpun dalam Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) mengembangkan program pendidikan bagi anggota mengenai hak asasi manusia. Selama 1999 IRM mengadakan serangkaian pelatihan yang menyinggung masalah kekerasan oleh negara dan juga teknik gerakan non-kekerasan untuk mengatasinya. Di lembaga pendidikan tinggi, organisasi juga mengembangkan kurikulum yang menekankan pluralisme dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Beberapa pemimpin lembaga ini juga menyatakan komitmen mereka untuk mengungkap kekerasan masa lalu, walaupun dalam wawancara mengatakan bahwa langkah itu sebaiknya dilakukan perlahan agar tidak menimbulkan gejolak politik. Di tubuh Muhammadiyah sendiri menurut mereka masih ada perbedaan pendapat mengenai sikap terhadap masa lalu. Karena itu sebagian besar memilih bekerja di luar organisasi masing-masing dan bergabung dengan sejumlah LSM yang bergerak di wilayah tersebut.

Nahdlatul Ulama (NU)

Di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) organisasi yang berbasis pesantren di pedesaan mengambil beberapa langkah penting guna menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Organisasi pemuda, mahasiswa dan LSM yang berafiliasi dengan NU aktif melakukan kampanye dan pendidikan di tingkat komunitas mengenai nilai-nilai hak asasi manusia, keadilan dan demokrasi. Para pemimpin dan tokoh organisasinya sementara itu terlibat dalam berbagai gerakan masyarakat sipil yang signifikan dalam perjuangan hak asasi manusia.

Bagaimanapun, perdebatan masih terus berlangsung mengenai sikap terhadap keterlibatan sejumlah tokoh organisasi ini dalam pembasmian gerakan kiri 1965-66. Sebagian ulama menolak langkah itu dengan alasan akan membuka perpecahan dan mengundang gejolak politik yang tidak perlu. Sebaliknya tokoh-tokoh muda mengatakan bahwa langkah mengungkap keterlibatan NU dalam peristiwa itu dan meminta maaf secara nasional adalah langkah maju justru untuk memperkuat keberadaan organisasi itu dan sekaligus membentuk kehidupan bangsa yang lebih sehat.

Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber-Daya Manusia (LKPSM) bekerja-sama dengan SYARIKAT dan LKiS yang berbasis di Yogyakarta untuk meneliti sejumlah kasus pembunuhan massal di wilayah Jawa Tengah. Gerakan Pemuda Ansor yang merupakan sayap pemuda NU di wilayah itu mengakui keterlibatan para pendahulu mereka dalam kekerasan 1965-66 dan menyatakan dukungannya terhadap upaya tersebut. Langkah konkret yang diambil adalah mengadakan pertemuan rekonsiliasi di tingkat basis antara ulama, pemimpin pesantren dengan korban kekerasan 1965-66 yang sudah berlangsung di beberapa kota.

Organisasi perempuan, Fatayat NU, sementara itu membentuk beberapa Lembaga Konsultasi dan Pemberdayaan Perempuan (LKP2) yang berbasis di pedesaan untuk menyediakan pelatihan trauma counseling, penyadaran dan advokasi bagi perempuan. Gerakan serupa dilakukan oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), yang melatih ulama dan santri untuk mengembangkan pemikiran mengenai demokrasi, keadilan dan hak asasi manusia di masing-masing komunitas.