• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan mengenai Lembaga-lembaga keuangan di Indonesia pada masa kemerdekaan penulis temukan dalam buku karya Thomas Suyatno, dkk (1993) yang berjudul Kelembagaan Perbankan Edisi Pertama dan Edisi Kedua, buku karya Muchdarsyah Sinungan (1995) yang berjudul Uang & Bank, buku karya Widjananrto (1997) yang berjudul Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Buku-buku ini membahas mengenai lembaga keuangan yang ada di Indonesia yang penulis khususkan pada masa kemerdekaan dan setelahnya. Setelah Indonesia merdeka dan lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, Indonesia dituntut untuk mengatur perekonomiannya sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak luar/asing.

Pembahasan mengenai De Javasche Bank dijelaskan dalam buku kara M. Dawam Rahardjo (1995) yang berjudul Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Rahardjo (1995) dalam bukunya menjelaskan selama penjajahan Belanda keuangan dan perekonomian Indonesia diatur oleh sebuah Bank yang didirikan pemerintah kolonial Belanda yang khusus mengatur lalu lintas perekonomian Hindia-Belanda yakni De Javasche Bank. Pada jaman Hindia Hindia-Belanda De Javasche Bank ditunjuk sebagai bank sirkulasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (Naamlooze Vennootschap).

Pada jaman penjajahan Jepang, pada saat pendudukan Jepang di Indonesia lembaga keuangan yang digunakan ialah Nanpo Kaihatsu Ginko, namun De Javasche Bank masih digunakan sebagai lembaga keuangan yang mengatur keuangan Hindia-Belanda. Ketika Jepang terusir dari Indonesia pun, De Javasche Bank kembali dijadikan sebagai lembaga keuangan pusat di Hindia-Belanda disertai dengan lembaga keuangan asing milik pihak kolonial lainnya. Setelah runtuhnya kekuasaan Jepang, pihak kolonial Belanda segera memulihkan operasi dan kedudukannya yang dominan di Indonesia.

Buku karya Muchdarsyah Sinungan (1995) yang berjudul Uang & Bank menjelaskan mengenai sejarah kelembagaan Bank di Indonesia sejak masa kemerdekaan sampai masa Orde Baru. Dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka secara de facto dan de jure, pemerintah Indonesia mulai mendirikan beberapa bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mengatur perekonomian Indonesia. Ketika Indonesia baru merdeka, unsur kolonial masih kental termasuk dalam bidang perbankan. Oleh karena itu usaha untuk memasukan unsur nasional sangatlah kuat pada saat itu. Pada tahun 1950-1953, pemerintah Indonesia mulai lebih banyak memasukkan unsur nasional dalam bidang perbankan. Dalam usaha pembangunan kekuatan ekonomi nasional tersebut diwujudkan dengan pembangunan bank-bank baru baik itu bank pemerintah maupun bank swasta serta mengembangkan operasi bank-bank nasional.

Bank dianggap sebagai suatu badan usaha yang sangat penting dan diperlukan dalam suatu negara dengan tujuan untuk mengatur perekonomian negara tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2002: 103-104) bank merupakan badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa pada lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut A. Abdurrachman (LP3ES, 1995: 16) definisi bank yaitu lembaga keuangan yang melaksanakan pelbagai macam jasa, seperti pemberian pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha pengusaha dan lain-lain.

Di negara-negara yang sedang berkembang, dalam hal ini Indonesia, pemerintah pada umumnya berperan sebagai agen pembangunan dan perubahan sosial. Dalam menjalankan peranannya itu, pemerintah membutuhkan dukungan bank sentral sebagai lembaga yang berperan penting dalam pembiayaan pembangunan. Secara umum bank sentral adalah sebuah lembaga yang diserahi tugas untuk mengontrol sistem keuangan dan perbankan (Rahardjo, 1995: 17). Perekonomian Indonesia yang tidak stabil pasca kemerdekaan yang ditandai oleh inflasi dan defisit yang tinggi memicu pemerintah Indonesia untuk mendirikan suatu lembaga keuangan pusat (bank sentral) yang mampu mengatur perekonomian Indonesia.

Pemerintah Indonesia mencoba untuk mendirikan Bank Indonesia yang dengan mendirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia pada tanggal 9 Oktober 1945, sebagai langkah awal untuk membentuk satu-satunya bank sirkulasi sebagaimana yang telah ada sejak jaman Hindia-Belanda dan bank sentral pertama yang sebelumnya memang belum ada di Indonesia. Melalui Undang-Undang No. 2 Prp. Tahun 1946, Jajasan Poesat Bank Indonesia tersebut dilebur menjadi Bank Negara Indonesia, yang ditetapkan dan diharapkan dapat bekerja sebagai bank sentral milik Negara Republik Indonesia. Namun karena berbagai faktor hambatan yang dihadapi, Bank

Negara Indonesia ternyata tidak berkesempatan untuk menyelenggarakan fungsi yang telah dipikulkan kepadanya oleh undang-undang (Rahardjo, 1995: 2).

Faktor politik yang terjadi pada saat itu pun ternyata memiliki pengaruh terhadap usaha pendirian suatu bank sentral di Indonesia. Pasca Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia tidak dapat lepas begitu saja dari pemerintah kolonial Belanda yang pernah menjajahnya. Pengaruh dari pihak kolonial tersebut masih terasa dalam bidang politik maupun ekonomi. Hal ini ditandai dengan terjadinya Agresi Militer Belanda I tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Timbulnya berbagai pengaruh pihak kolonial pasca kemerdekaan RI ini memicu pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan diplomasi. Upaya yang ditempuh ialah dengan melakukan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tahun 1949. Hasil dari konferensi ini tidak hanya menyelesaikan permasalahan politik saja tetapi juga mencoba menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia yang masih ada sangkut pautnya dengan pihak kolonial salah satunya ialah masalah De Javasche Bank.

Sejarah di nasionalisasikannya De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia penulis temukan dalam buku karya Hadi Soesastro, dkk (2005) yang berjudul Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959. Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam bidang perekonomian ialah memutuskan bahwa De Javasche Bank yang ditunjuk sebagai bank sentral bagi Indonesia sedangkan Bank Negara Indonesia (BNI 46) ditugasi sebagai bank pembangunan (Rachbini, 2000:1). De Javasche Bank yang pada saat itu

masih berstatus sebagai bank sirkulasi dialih fungsikan menjadi bank sentral untuk negara Indonesia. Salah satu alasan ditunjuknya De Javasche Bank sebagai bank sentral di Indonesia karena De Javasche Bank dianggap sebagai bank yang telah berpengalaman dalam mengatur keuangan suatu negara, dalam hal ini ialah Hindia-Belanda. Sedangkan Bank Negara Indonesia yang baru didirikan hanya dijadikan sebagai bank pembangunan dibawah naungan bank sentral.

Status De Javasche Bank yang pada saat itu masih milik Belanda, memicu pemerintah Indonesia untuk melakukan nasionalisasi De Javasche Bank. Pada tanggal 1 Juli 1953 Bank Indonesia resmi didirikan menggantikan De Javasche Bank. Fungsinya pun dialihkan dari bank sirkulasi menjadi bank sentral. Sebenarnya, proses nasionalisasi ini telah direncanakan sejak tahun 1951 dengan membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank. Panitia itu, yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil tindakan-tindakan persiapan dan untuk mengadakan perundingan-perundingan mengenai nasionalisasi bank atas nama pemerintah, mempunyai tugas untuk mengajukan usul-usul mengenai nasionalisasi itu kepada pemerintah pada umumnyadan untuk memajukan rencana undang-undang nasionalisasi pada khususnya (Soesastro, 2005: 95)

Setelah Bank Indonesia diresmikan sebagai bank sentral, tentu saja fungsi dan perannya pun menjadi lebih besar karena bank sentral merupakan the bankers’ bank yaitu bank dari semua bank. Salah satu fungsi dari bank sentral adalah sebagai banker pemerintah. Oleh karena itu, wajar jika bank sentral harus memenuhi kebutuhan pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi bentuk dan sifat dati peranan

bank sentral sebagai bankir pemerintah tersebut di negara yang sedang berkembang akan dipengaruhi oleh peranan kongkrit yang dijalankan oleh pemerintah sebagai agen pembangunan (Rahardjo, 1995: 16).

Secara umum bank sentral adalah sebuah lembaga yang diberi tugas untuk mengontrol sistem keuangan dan perbankan. Untuk menjalankan peranannya itu, pada umumnya bank sentral diberi hak monopoli untuk mengeluarkan uang dan wewenang prerogratif untuk jumlah uang beredar. Disamping itu, bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk membina dan mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary). Dalam menjalankan fungsinya itu, bank sentral mempunyai peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank lain. Dalam fungsinya ini, bank sentral sekaligus juga berperan dalam mengembangkan sistem perkreditan yang sehat (Rahardjo, 1995: 17).

Sejak disahkannya Bank Indonesia menjadi bank sentral Indonesia, fungsi dan peranannya pun menjadi lebih luas dan kompleks. Tidak hanya mengatur perekonomian negara tetapi juga difungsikan sebagai bank dari semua bank yang dapat menaungi bank-bank lain yang didirikan di Indonesia. Fungsi dan peranannya sebagai bank sentral tersebut, diatur dalam undang-undang Bank Indonesia. Untuk lebih mengetahui mengenai fungsi dan peranan Bank Indonesia dalam perekonomian di Indonesia yang penulis batasi sejak berdirinya hingga berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin, penulis temukan dalam buku karya Oey Beng To (1991) yang berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I: 1945-1958. Selain itu, dalam mengkaji

perkembangan Bank Indonesia yang didalamnya mendeskripsikan tentang peranan Bank Indonesia dalam mengatasi permasalahan ekonomi di Indonesia sejak tahun 1953-1966, penulis temukan dalam kedua buku karya Tim Penulis Bank Indonesia (2000) yang berjudul perkembangan Bank Indonesia periode Demokrasi Liberal 1950-1959 dan perkembangan Bank Indonesia periode Demokrasi terpimpin 1959-1965. Dijelaskan bahwa Bank Indonesia didirikan sebagai upaya menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka seutuhnya. Sehingga Indonesia pun dituntut untuk dapat mengatur perekonomiannya sendiri. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga keuangan sentral untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang biasa dihadapi oleh negara yang baru merdeka.

Jika dikaitkan dengan permasalahan penelitian, maka didasarkan atas kondisi Indonesia pada saat yang baru merdeka dari penjajahan kolonial dan Jepang. Oleh sebab itu kondisi politik dan kondisi ekonomi dalam negeri pun belum stabil. Sehingga harus ada upaya untuk menstabilkan kondisi tersebut terutama kondisi perekonomian untuk mensejahterakan masyarakatnya. Salah satu upaya yang dilakukannya itu ialah dengan nasionalisasi De Javasche Bank. Namun proses penasionalisasian ini dirasa terlalu cepat dan tidak dengan perencanaan yang matang sehingga tugas, fungsi dan peranannya setelah menjadi Bank Indonesia pun sempat tidak berjalan dengan lancar. Perjalanan dan perkembangan dari Bank Indonesia ini dapat penulis temukan dalam buku karya Tim Penulis LP3ES (1995) yang berjudul Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa dan buku karya Noek Hartono (1976) yang berjudul Bank Indonesia: Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya. Dijelaskan

bahwa sejak didirikannya Bank Indonesia semua permasalahan ekonomi menjadi tugas dan fungsi dari Bank Indonesia.

Perjalanan Bank Indonesia menjadi bank sentral tentunya berkaitan erat dengan tugas dan perannya yang erat kaitannya dengan kebijakan moneter untuk mengatasi permasalahan ekonomi di Indonesia. Di awal kemerdekaan, Indonesia telah mengalami hyperinflasi dan defisit pada anggaran belanja negara. Selain itu, kas negara yang masih belum tercukupi untuk membiayai proses produksi menjadi faktor utama dalam pentingnya mengeluarkan suatu kebijakan moneter yang seharusnya diatur pemerintah dalam ketentuan bank sentral. Kebijakan-kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia penulis temukan dalam buku karya Oey Beng To (1991) yang berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I: 1945-1958. Selain itu, penulis juga mengkaji laporan-laporan tahunan Bank Indonesia yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dalam penelitian ini, laporan yang penulis gunakan ialah laporan yang dikeluarkan sejak Bank Indonesia berdiri hingga tahun 1966.

Buku karya M. Dawam Rahardjo (1995) yang berjudul Bak Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa juga menjelaskan mengenai bank dan lembaga keuangan lainnya yang ada di Indonesia yang turut mengatur perekonomian Indonesia. Buku ini memaparkan bahwa selain Bank Indonesia yang menjadi lembaga keuangan sentral di Indonesia, terdapat pula bank dan lembaga keuangan milik pemerintah lainnya yang pada saat itu ikut berperan aktif dalam perekonomian Indonesia. Diantaranya ialah Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahun 1946 dan

diperkuat oleh pendirian Bank Industri Negara (BIN) pada bulan April 1950 yang bertujuan untuk membantu dalam pembangunan Negara dan kemajuan bangsa Indonesiadalam lapangan perkebunan, perindustrian dan pertambangan.

Sampai tahun 1957, dari segi kepemilikan, terdapat 68 bank terdiri dari 6 bank milik negara 54 bank swasta dan 8 bank asing, yaitu nationale Handelsbank NV, Nedelandsche Handel Mij. NV, Escompto Bank, Great Eastern Banking Corp. Ltd., The Chartered Bank Ltd., Overseas Chinese Banking Corporasion, Bank of China, dan The Hongkong & Shanghai Banking corp. tiga bank Belanda di atas, setelah berada pengawasan, dilakukan tindakan nasionalisasi.

Pada perkembangannya, Bank Dagang Negara (BDN) dan Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) berdasarkan UU No. 30 Prp. Tahun 1960, tanggal 16 Agustus 1960 berada dibawah suatu Dewan Pembangunan, Bank Koperasi, Tani dan Nelayan diintegrasikan ke dalam Indonesia berdasarkan Penpres No. 9 Tahun 1965, selanjutnya Bank Umum Negara (BUNEG), Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Negara Indonesia (BNI) turut diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia berdasarkan Penpres No. 10, No. 11 dan No. 13 Tahun 1965. Adapun perusahaan-perusahaan negara (sekarang disebut Badan Usaha Milik Negara atau BUMN) turut melengkapi lembaga keuangan di Indonesia (Rahardjo, 1995: 125-126).

Dokumen terkait