• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelaahan terhadap sumber-sumber litreratur berupa buku yang digunakan sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. penelaahan terhadap sumber-sumber litreratur berupa buku yang digunakan sebagai"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini merupakan pemaparan hasil studi kepustakaan yang merupakan hasil penelaahan terhadap sumber-sumber litreratur berupa buku yang digunakan sebagai pegangan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini. Kajian pustaka ini bertujuan untuk mempermudah peneliti dalam mengkaji permasalahan penelitian. Kajian pustaka ini berisi tentang pendapat-pendapat dan analisis-analisis dari berbagai sumber-sumber literatur yang didapatkan pada proses pencarian dan pengumpulan sejarah melalui sebuah penelaahan yang berkaitan dengan masalah utama penelitian yaitu mengenai peranan Bank Indonesia dalam kehidupan ekonomi Indonesia tahun 1953-1966. Kajian pustaka digunakan oleh penulis sebagai landasan berpikir dalam mengkaji dan menganalisis permasalahan mengenai perekonomian Indonesia khususnya peranan Bank Indonesia dalam menumbuhkan perekonomian Indonesia ketika Indonesia baru saja merdeka.

Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan interdisipliner, pendekatan interdisipliner ini mengacu kepada pendekatan yang melibatkan sejumlah disiplin ilmu sosial atau ilmu humaniora lainnya. Dengan pendekatan interdisipliner, kita mungkin memanfaatkan kajian sejarah, sosiologi, pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya yang seluas-luasnya. Penulisan skripsi ini mengkaji mengenai Sejarah perekonomian Indonesia pada tahun 1953-1966 terutama peranan Bank Indonesia

(2)

dalam memajukan perekonomian, dengan demikian akan dipakai suatu pendekatan dari ilmu ekonomi dan politik.

Bab ini dibagi menjadi tiga sub bab utama. Sub bab tersebut ialah, pertama mengenai kondisi sosial-politik Indonesia tahun 1953-1966. Kedua, sistem perekonomian di Indonesia, dan yang ketiga mengenai lembaga-lembaga keuangan di Indonesia.

2.1 Kondisi Sosial-Politik Indonesia 1953-1966

Dalam mengkaji pembahasan mengenai kondisi sosial politik Indonesia Tahun 1953-1966, penulis menggunakan sumber literatur yang termasuk dalam kategori sumber sekunder. Buku-buku tersebut diantaranya ialah buku karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984) yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia, buku karya M. C. Ricklefs (2007) yang berjudul Sejarah Indonesia Modern, buku karya R.E. Elson (2009) yang berjudul The Idea Of Indonesia Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Didalam buku-buku terdapat bagian yang membahas khusus tentang kehidupan perekonomian Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin.

Dalam suatu negara, kehidupan sosial-politik sangatlah penting bagi perkembangan suatu negara. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan politik menjadi faktor utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara selain dari kehidupan ekonomi yang tidak dapat lepas dari kehidupan negara tersebut. Jika suatu negara memiliki potensi kehidupan politik yang stabil maka kualitas bangsa dan rakyatnya

(3)

pun akan sejahtera. Kehidupan politik dan ekonomi merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu negara. Keduanya saling berpengaruh dan mempengaruhi karena jika kondisi politik di suatu negara stabil maka negara itu akan lebih mudah untuk mengembangkan perekonomiannya, begitupun sebaliknya. Namun bagaimana halnya dengan bangsa dan negara yang baru merdeka seperti halnya Indonesia yang baru mendeklarasikan kemerdekaannya akibat dari penjajahan Belanda dan Jepang.

Dalam hal ini tentu saja waktu dan proses menjadi faktor utama dalam membangun suatu negara yang baru merdeka, karena pertumbuhan ekonomi dan kestabilan politik yang diharapkan oleh negara tersebut memerlukan proses dan waktu yang panjang untuk mencapai hasil yang maksimal. Kehidupan ekonomi di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari kebijakan politik yang dikeluarkan oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Begitupun sebaliknya kehidupan politik di suatu negara tidak dapat lepas dari pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Seharusnya, kehidupan politik dan kehidupan ekonomi di suatu negara harus dapat berjalan seimbang. Pemerintah yang bertugas sebagai pengatur negara, seharusnya memiliki keahlian dalam menyeimbangkan kehidupan politik dan kehidupan ekonomi agar keduanya dapat saling mengisi satu sama lain.

Dalam sub-bab ini, penulis mencoba mendeskripsikan mengenai gambaran kehidupan sosial politik Indonesia pasca kemerdekaan khususnya dari tahun 1953-1966 yang akan berpengaruh pada kehidupan perekonomian Indonesia pada saat itu. Pembahasan mengenai kondisi politik Indonesia masa Demokrasi Liberal penulis

(4)

temukan dalam buku karya M. C. Ricklefs (2007) yang berjudul Sejarah Indonesia Modern. Buku ini membahas mengenai pergolakan politik Indonesia pada masa Demokrasi Liberal yang disebabkan karena struktur pemerintahan Indonesia belum stabil karena baru merdeka. Selain itu, ketidakstabilan politik Indonesia pada masa ini juga dipengaruhi oleh silih bergantinya kabinet pada masa ini karena sistem yang dianut oleh Indonesia ialah sistem parlementer. Ketidakstabilan politik ini juga berpengaruh pada ketidakstabilan ekonomi. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa sejak masa kemerdekaan kehidupan politik Indonesia ini mengalami ketidakstabilan dan dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa yang mengandung unsur politik. Kebijakan ekonomi Indonesia pada periode 1953-1966 dikeluarkan berdasarkan pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu, karena pada masa demokrasi liberal, Indonesia dipimpin oleh kabinet yang silih berganti meskipun pada masa demokrasi terpimpin pun terjadi pergantian kekuasaan.

Perubahan kekuasaan tersebut tentu saja berpengaruh terhadap kebijakan ekonomi yang dikerluarkan yang juga berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat Indonesia pada masa itu. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Tulus. T. H. Tambunan (2009) dalam buku yang berjudul Perekonomian Indonesia. Selama masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, perekonomian Indonesia tidak berjalan lancar, bahkan dapat dikatakan buruk yang ternyata disebabkan oleh ketidakstabilan politik didalam negeri yang dicerminkan kerena terjadinya beberapa pemberontakan disejumlah daerah, termasuk di Sumatera dan Sulawesi, pada dekade 1950-an yang nyaris meruntuhkan sendi-sendi ekonomi nasional. Terlihat ada suatu

(5)

dimamika pasang surut ekonomi Indonesia pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an. Hal ini sesuai yang dikemukakan oleh Tambunan (2009: 12):

Selama periode 1950-an, hanya pada tahun 1953 tercatat pertumbuhan indeks ouput agregat sebesar 22,1%, sedangkan pada tahun-tahun lainnya berkisar antara terendah -1,9% (1959) dan tertinggi 5,8% (1957) pada dekade 1960-an, kondisi perekonomian Indonesia bertambah buruk yang nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966 dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) masing-masing hanya 0,5% dan 0,6%. Kehancuran ekonomi Indonesia menjelang akhir periode orde lama juga didorong oleh hiperinflasi yang pada tahun 1966 mencapai 650%.

Didalam buku ini pun dibahas mengenai sistem perekonomian Indonesia yang digunakan pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin yang akan saya paparkan lebih lanjut dalam sub-bab berikutnya. Relevansi pembahasan dalam buku ini dengan tema penelitian yaitu pemaparan mengenai kondisi perekonomian Indonesia dan sistem perekonomian Indonesia yang berhubungan erat dengan peranan Bank Indonesia dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Kondisi perekonomian yang digambarkan tentunya menjadi acuan untuk mendeskripsikan bagaiamana peranan Bank Indonesia itu dapat berjalan sebagai bank sentral di Indonesia.

Pembahsan mengenai segi politik secara murni penulis temukan dalam buku karya R.E. Elson (2009) yang berjudul The Idea Of Indonesia Sejarah Pemikiran dan Gagasan. Buku ini menjelaskan bahwa jika dilihat dari sisi politik, masa awal kemerdekaan merupakan suatu masa konsolidasi. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan pada tahun 1949, struktur politik Indonesia berubah ke dalam bentuk federal yang diberi nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Bagi pemerintahan RIS, usaha yang paling penting dilakukan ialah merubah bentuk negara

(6)

federal menjadi bentuk pemerintah Negara Kesatuan, dan konstitusi RIS diganti pula menjadi Undang-Undang Dasar yang sesuai dengan Negara Kesatuan. Uasaha tersebut tercapai dengan diterimanya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950. Sejak saat itu terbentuklah Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan berdasarkan Undang Undang Dasar Sementara 1950. Dalam Undang-Undang Dasar Sementara disebutkan bahwa bentuk pemerintahan negara Republik Indonesia ialah menganut sistem parlementer dengan seorang Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan.

Konsolidasi politik yang terjadi sejak tahun 1950, pada intinya diarahkan pada tujuan agar unsur-unsur nasional dalam struktur politik Republik Indonesia tercapai. Salah satu hasil KMB yang paling penting bagi Indonesia ialah ketika masalah Irian Barat tidak tuntas terselesaikan. Masalah tersebut perlu perundingan lebih lanjut antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda yang kemudian ternyata sangat mempengaruhi perkembangan politik karena pada saat itu hubungan Indonesia dengan Belanda semakin meruncing dari tahun ke tahun, sehingga kegiatan ekonomi dan moneter berkembang di bawah pengaruh dan tekanan untuk memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Republik Indonesia (Beng To, 1991: 116).

Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) tidak hanya memutuskan mengenai masalah politik saja tetapi juga menghasilkan suatu keputusan perekonomian Indonesia yang memiliki kaitan dengan Belanda. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Oey Beng To (1991) dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958), ia menyatakan bahwa:

(7)

Konferensi Meja Bundar telah menghasilkan pula persetujuan keuangan dan perekonomian yang antara lain menetapkan bahwa pemerintah Indonesia berkewajiban untuk merundingkan hal-hal tertentu mengenai kebijakan yang fundamental di bidang ekonomi-keuangan dengan pihak Belanda terlebih dahulu, walaupun tidak perlu adanya persetujuan (Beng To, 1991: 116)

Konferensi Meja Bundar pun membahas mengenai masalah pewarisan utang-utang pemerintah Hindia-Belanda yang dibebankan kepada pemerintah Republik Indonesia karena masih banyak perusahaan dan aset milik pemerintah Hindia-Belanda di Indonesia. Selain itu, konferensi ini pun mengatur dan mengeluarkan beberapa ketentuan dalam bidang ekonomi dan keuangan yang pada intinya membatasi kebebasan pemerintah Indonesia untuk bertindak. Seperti, perubahan nilai tukar antara rupiah dengan gulden Belanda, pembatasan kebijakan devisa, pemberian kredit Bank Sirkulasi kepada pemerintah Republik Indonesia, adanya pengaturan jaminan mengenai pemindahan uang ke negeri Belanda untuk laba dan penyusutan bagi perusahaan-perusahaan Belanda, untuk biaya asuransi jiwa dan pensiun bagi warga negara Belanda yang masih atau pernah bekerja di Indonesia. Hal diatas merupakan sarana untuk melindungi kepentingan pihak Belanda tetapi juga merupakan pembatasan bagi pemerintah Indonesia dalam mengambil tindakan-tindakan pentingdi bidang ekonomi dan keuangan (Beng To, 1991: 117).

Ketidakstabilan politik didalam negeri yang juga membuat terpuruknya perekonomian Indonesia pada masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin juga diwarnai oleh perubahan kabinet selama delapan kali pada masa Demokrasi Liberal pada periode 1950-1959. Penjelasan mengenai kehidupan politik yang Indonesia pada setiap kabinet dalam masa ini dijelaskan oleh Marwati Djoened

(8)

Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984) dalam bukunya yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Buku ini membahas mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh setiap kabinet dan pemerintah tentu saja memiliki karakteristik tersendiri dalam membawa Indonesia yang baru merdeka ke arah kemajuan ekonomi meskipun pada kenyataannya perekonomian Indonesia pada masa ini tidak mengalami kemajuan yang stagnan. Sejak tahun 1950 sampai tahun 1955 terdapat empat kabinet yang memerintah, sehingga rata-rata tiap tahun terdapat pergantian kabinet. Pergantian kabinet ini akan berpengaruh terhadap kestabilan politik dalam negeri. Pernyataan ini sesuai yang dipaparkan oleh Poesponegoro (1984), yang menyatakan bahwa :

Dapat digambarkan, bahwa dalam waktu rata-rata satu tahun itu, tidak ada kabinmet yang dapat melaksanakan programnya, karena parlemen terlalu sering menjatuhkan kabinetnya sendiri. Boleh dikatakan bahwa semua kabinet, termasuk yang resminya bersifat Zaken Kabinet (yang mentetri-menterinya dianggap ahli pada bidangnya masing-masing), didukung oleh koalisi di antara berbagai partai. Inilah yang menyebabkan berkecamuknya instabilitas politik (Poesponegoro, 1984: 213).

Pemerintah Indonesia yang lahir dari Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 sebenarnya tidak dapat segera melakukan transformasi ekonomi dan politik dari ekonomi dan politik kolonial menjadi suatu ekonomi dan politik nasional karena masalah politik yang belum tuntas yaitu adanya agresi Belanda. Dapat diperkirakan titik awal transformasi ekonomi-politik kolonial ke arah ekonomi-politik nasional baru dapat terjadi pada tahun 1950 di bawah Kabinet Natsir meskipun upaya ini mengalami berbagai hambatan baik dari dalam maupun luar negeri. Di bawah kepemimpinan Kabinet Natsir, masalah ekonomi moneter yang sangat menonjol

(9)

antara lain ialah masalah nasionalisasi perusahaan milik kolonial Belanda dan masalah utang kolonial Belanda yang diwariskan pada pemerintah Indonesia berdasarkan kesepakatan dalam KMB. Hal ini tentu saja berdampak pada nilai inflasi yang semakin membesar. Tetapi pada masa ini, perekonomian Indonesia dapat dikatakan sedikit meningkat bila dibandingkan dengan masa sebelumnya karena ada keuntungan dari terjadinya Korea Boom yang menyebabkan nilai pendapatan ekspor Indonesia naik dan devisa negara pun bertambah.

Selanjutnya buku ini menjelaskan mengenai karakteristik kehidupan politik selama pergantian kabinet. Pertama selama Kabinet Sukiman defisit anggaran meningkat lagi. Keputusan penting yang diambil oleh kabinet ini adalah menasionalisasi De Javashe Bank. Namun, setelah Kabinet Sukiman jatuh Indonesia kembali mengalami krisis pemerintahan. Hal ini disebabkan karena dalam waktu yang hanya satu tahun itu sudah tentu program kabinet yang direncanakan tidak bisa terlaksana. Salah satu faktor penyebab jatuhnya kabinet-kabinet itu ialah dalam rangka sistem ekonomi parlementer yang liberal yaitu adanya sepuluh partai dan beberapa fraksi dalam parlemen yang mayoritas anggotanya berasal dari Masyumi dan PNI (Poesponegoro, 1984: 215).

Kedua, masa kabinet Wilopo berniat untuk meningkatkan anggaran berimbang dan melakukan pengetatan impor namun mengalami hambatan karena terjadinya peristiwa kudeta oleh angkatan bersenjata (Oktober 1952) yang mengalami kegagalan. Anggaran pemerintah tetap mengalami defisit walaupun jumlahnya kurang dari yang diperkirakan semula. Untuk menangani masalah defisit ini maka

(10)

pemerintah menerapkan sistem sertifikat devisa. Sedangkan dalam masalah konstelasi politik pada masa kabinet ini partai-partai kecil tetap diperhitungkan agar dapat mencapai mayoritas di parlemen. Program Kabinet Wilopo lebih ditujukan pada persiapan pelaksanaan pemilihan umum (untuk Konstituante, DPR dan DPRD), kemakmuran, pendidikan rakyat, dan keamanan. Sedangkan program luar negeri lebih ditujukan pada penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda dan pengembalian Irian Barat ke Indonesia serta menjalankan politik bebas aktif menuju perdamaian dunia (Poesponegoro, 1984: 216-217).

Ketiga dan keempat, Ketika kabinet Ali Satroamidjojo bagian pertama memimpin, utang pemerintah meningkat dan cadangan Internasional terkuras. Untuk mengatasi ini, kabinet secara sepihak membatalkan bagian yang berkenaan dengan kebijakan perdagangan. Dalam pelaksanaannya, program Benteng dilakukan secara screening yang lebih ketat. Setelah itu pada tahun 1955 dibentuk kabinet Burhanuddin Harahap yang behasil menghilangkan defisit anggaran praktis dan menghapuskan sistim sertifikasi impor. Periode kabinet ini dimulai dengan dilaksanakannya pemilihan umum satu dan berakhir dengan diumumkannya Dekrit Presiden tahun 1959 tentang kembalinya ke UUD 1945 yaitu pada masa kabinet terakhir yaitu Kabinet Djuanda. Permasalahan yang timbul setelah Pemilihan Umum 1955 ialah ketika munculnya kekuatan baru yaitu NU dan PKI sebagai partai besar yang saling bersaing dengan partai lainnya.

Kelima, Pada tahun 1956 kabinet Burhanuddin digantikan oleh kabinet Ali Satroamidjojo bagian kedua. Namun tetap saja Indonesia mengalami krisis baik itu

(11)

krisis politik maupun krisis ekonomi. Masalah politik yang terjadi masih mengenai permasalahan partai koalisi maupun oposisi. Sedangkan masalah ekonomi ialah mengenai masalah defisit yang semakin membesar. Pada bulan Agustus 1956 pemerintah terpaksa meminta bantuan International Monetary Fund (IMF) dan memperoleh pinjaman sebesar US$ 55 juta. Pemerintah juga memutuskan untuk tidak lagi membayar utang kepada Negeri Belanda.

Keenam, ketika situasi politik dalam negeri semakin kacau yang disebabkan karena munculnya banyak partai-partai politik yang saling bersaing, pada bulan Maret 1957 pemerintah membentuk kabinet Djuanda di luar persetujuan parlemen. Pada masa kabinet ini pun defisit anggaran belanja negara masih membengkak. Ditambah dengan memuncaknya masalah Irian Barat, pemerintah membiarkan pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda yang bermula dengan pemogokan oleh pekerja perusahaan pelayaran. Sampai pada berakhirnya masa Demokrasi Liberal kondisi perekonomian Indonesia masih berada dalam keaadan surplus dengan inflasi dan defisit yang tinggi walaupun disamping itu terdapat pula peningkatan ekonomi yang rendah.

Selanjutnya buku karya M.C. Ricklefs (2007) yang berjudul Sejarah Indonesia Modern dijelaskan mengenai kehidupan politik Indonesia masa Demokrasi Terpimpin. Ricklefs (2007) dalam bukunya menyatakan bahwa sama halnya dengan masa Demokrasi Liberal yang telah dipaparkan diatas, pada masa setelahnya pun yakni pada masa Demokrasi Terpimpin, pasang surut perekonomian di Indonesia masih terjadi. Inflasi dan defisit masih menjadi permasalahan utama dalam

(12)

perekonomian Indonesia pada masa ini. Tetapi yang membedakan disini ialah kondisi politik yang mempengaruhi kondisi ekonomi pada saat itu. jika pada masa Demokrasi Liberal, permasalahan ekonomi ditangani oleh beberapa kabinet yang silih berganti. Tetapi pada masa Demokrasi Terpimpin ini seluruh urusan negara diatur dan ditentukan oleh kepala negara yaitu Presiden Soekarno, karena menurut Presiden Soekarno makna dari Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi yang dipimpin sehingga disini peran pemimpin sangatlah menonjol, dalam hal ini ialah Presiden Soekarno. masalah politik yang terjadi pada masa ini ialah munculnya tiga kekuatan politik besar di Indonesia yang saling bertentangan dan memiliki kepentingan masing-masing. Tiga kekuatan tersebut ialah antara Soekarno, TNI-AD dan PKI.

Dalam membahas mengenai kondisi politik Indonesia yang mempengaruhi kehidupan perekonomian Indonesia pada masa Demokrasi Terpimpin ini, akan penulis paparkan berdasarkan buku yang disunting oleh Hadi Soesastro, dkk (2005) yang berjudul Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 1959-1966. Buku ini menjelaskan mengenai hubungan antara kehidupan politik dan kehidupan ekonomi pada masa Demokrasi Terpimpin. Sama halnya dengan masa Demokrasi Liberal, pada Demokrasi Terpimpin Indonesia mengalami ketidakstabilan politik yang berpengaruh pada perekonomian Indonesia bahkan pada masa ini perekonomian Indonesia lebih memburuk lagi karena Indonesia hanya dipimpin oleh penguasa tunggal yaitu Presiden Soekarno yang lebih mementingkan permasalahan politik.

(13)

Demokrasi terpimpin dimulai sejak konsep Demokrasi Terpimpin yang diajukan oleh Presiden Soekarno diterima masyarakat. Selain itu, Demokrasi Terpimpin ditandai pula oleh Dekrit Presiden 1959 mengenai kembalinya kepada UUD 1945. Pada masa ekonomi terpimpin kepemimpinan negara berada ditangan Presiden dan dukungan ABRI dan partai-partai. Bagi pemerintah yang penting pada saat itu ialah bahwa fungsi pengawasan parlemen terhadap jumlah sirkulasi uang dihapus sehingga pemerintah dapat mencetak uang tanpa pengawasan dan tanpa batas. Laju inflasi yang sudah mulai terasa meningkat tajam pada tahun 1956 yang akhirnya mengakibatkan runtuhnya periode Demokrasi Liberal tersebut. Sedangkan ekonomi dipimpin oleh politik.

Pada awal-awal periode Demokrasi Terpimpin rupanya keadaan ekonomi akan membaik, terlihat dari adanya pemulihan keadaan produksi perkebunan-perkebunan. Misalnya disektor gula, panen dalam tahun 1959 mencapai puncak pada masa pasca kolonial. Tahun 1959 sampai 1960-1961 rupanya ada perbaikan keadaan ekonomi Indonesia karena adanya anggaran belanja seimbang dan valuta asing yang cukup besar. Walaupun pada tahun-tahun sebelumnya Indonesia masih berada dalam kondisi kekacauan politik seperti konflik tentang Irian Barat dan konfrontasi dengan Malaysia yang menyebabkan Indonesia terdorong ke dalam isolasi ekonomi yang merosotkan produksi dan investasi.

Gambaran politik Indonesia antara tahun 1960-1965 merupakan suatu kondisi yang memuncak, dimana terlihat kepentingan-kepentingan dari setiap kekuatan politik yang muncul berlomba-lomba untuk menyebarkan pengaruhnya. Pembahasan

(14)

mengenai hal ini penulis temukan dalam buku karya R. E. Elson (2009) yang berjudul The Idea Of Indonesia Sejarah Pemikiran dan Gagasan di Indonesia. Buku ini menjelaskan bahwa Pada masa demokrasi terpimpin, kegiatan poltik lebih menonjol bila dibandingkan dengan perkembangan kehidupan ekonomi. Hal ini disebabkan karena pemerintah Indonesia mengutamakan untuk menstabilkan kehidupan poltik terlebih dahulu. Pada masa demokrasi terpimpin pun peran Presiden Soekarno sangat besar dalam segala kegiatan terutama sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden tahun 1959. Selain itu, pada masa ini ketidakstabilan politik dalam negeri terlihat pada saat muncul tiga keuatan besar di Indonesia diantaranya yaitu Islam (NU), TNI-AD dan Komunis (PKI). Masalah lain yang muncul ialah dalam komposisi DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong) yang dianggap tidak sesuai berdasarkan perbandingan jumlah perwakilan dari masing-masing golongan/partai.

Dalam periode ini, terjadi pula hyperinflasi. Tingkat hyperinflasi dicapai dalam pertengahan bulan Juni tahun 1966 sebesar 650%. Sedangkan pada tahun 1965 jumlah pengeluaran negara mencapai kurang lebih Rp. 1,8 triliyun yang juga diperuntukan untuk menumpas Gestapu-PKI karena pada saat itu, menurut Menteri/Gubernur Bank Sentral yaitu Yusuf Muda mengatakan bahwa 20% (Rp 500 milyar) dari uang peredaran milik negara berada di tangan PKI.

Relevansi pembahasan dalam buku-buku diatas dengan penelitian penulis ialah bahwa dalam buku ini dipaparkan secara deskriptis kondisi dan karakteristik perekonomian Indonesia dalam masa kepemimpinan Soekarno yang terbagi kedalam dua periode yaitu periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin.

(15)

Pendeskripsian perekonomian pada kedua masa ini sangat berhubungan erat dengan periode yang penulis ambil dalam penelitian. Konsep inflasi, defisit, surplus, kebijakan moneter dan kebijakan ekonomi serta kebijakan poltik yang dikeluarkan pemerintah yang digambarkan dalam kedua buku ini menjadi acuan dalam menggambarkan peranan Bank Indonesia dalam menghadapi permasalahan perekonomian yang dihadapi Indonesia pada kedua masa ini. Selain itu, permasalahan politik yang terjadi dalam periode-peride ini menjadi suatu hal yang penting dalam proses mengembangkan ekonomi nasional. Dalam masa konsolidasi politik, perkembangan ekonomi tentunya dipengaruhi pula oleh peristiwa yang terjadi dan kepentingan-kepentingan politik tersebut.

2.2 Sistem Perekonomian Indonesia 1953-1966

Perekonomian Indonesia selama tahun 1953-1966 tidak dapat dilepaskan dari peristiwa-peristiwa politik yang terjadi pada masa ini, karena masa ini dapat dikatakan sebagai masa transisi menuju kemerdekaan Indonesia seutuhnya. Masa ini disebut sebagai masa konsolidasi politik karena pada masa ini pemerintah lebih menekankan kepentingannya terhadap permasalahan-permasalahan politik yang terjadi. Pada masa konsolidasi ini, perkembangan ekonomi tentunya dipengaruhi pula oleh tujuan-tujuan politik. Selaras dengan konsolidasi politik yang menitik beratkan pada unsur-unsur nasional, salah satu tujuan utama dalam bidang ekonomi pada masa ini pun ialah untuk mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Buku yang digunakan dalam membahas persoalan ini ialah buku karya Oey Beng To (1991)

(16)

yang berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia dan buku karya Hadi Soesastro, dkk (2005) yang berjudul Pemikiran dan Permasalahn Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir Jilid 1 (1945-1959) dan Jilid 2 (1959-1966), buku karya Mohammad Hatta (1960) yang berjudul Ekonomi Terpimpin, buku karya P.C. Suroso (1993) yang berjudul Perekonomian Indonesia.

Buku pertama yang digunakan penulis untuk melihat gambaran ekonomi ialah buku karya Oey Beng To (1991) yang berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia. Buku ini menjelaskan proses perubahan ini merupakan cikal bakal dari sistem ekonomi yang akan diterapkan Indonesia pada masa setelahnya. Dalam masa transisi antara ekonomi kolonial menuju ekonomi nasional terdapat suatu dinamika dan proses panjang untuk menentukan arah jati diri bangsa Indonesia seutuhnya. Dalam buku ini dibahas pula mengenai kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menangani pemasalahan ekonomi Indonesia pada masa konsolidasi politik ini.

Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah dalam mengubah ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional ialah pemerintah Republik Indonesia harus memberi kesempatan lebih besar kepada para pengusaha pribumi untuk mengembangkan peranannya dalam lapangan ekonomi Indonesia. Sistem ekonomi nasional yang diterapkan di Indonesia berlandaskan pada diberlakukannya kembali UUD 1945. Dalam hal ini terlihat bahwa pemerintah Indonesia menginginkan adanya suatu jati diri bangsa yang kuat dan tidak terpengaruh oleh intervensi asing dalam

(17)

pelaksanaan sistem ekonomi setelah Indonesia merdeka. Dalam buku karya Tambunan (2009) yang berjudul Perekonomian Indonesia, dijelaskan bahwa:

Soekarno sebagai Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia sangat

membenci dasar-dasar pemikiran Barat, termasuk sistem ekonomi

liberal/kapitalismenya. Soekarno menganggap sistem kapitalisme-liberalisme selama penjajahan Belanda telah benar-benar menyengsarakan rakyat Indonesia sehingga aliran ini harus dibenci dan diusir dari Indonesia. Menurut Soekarno, untuk mengusir dan mengimbangi kekuatan ekonomi Barat berlandaskan

kapitalisme-liberalisme, Indonesia harus menerapkan pemikiran dari

Marhaenisme, yaitu Marxisme (Tambunan, 2009: 11).

Namun pada masa Demokrasi Liberal, sistem ekonomi nasional berdasarkan konsepsi Presiden Soekarno itu tidak terlalu dihiraukan bahkan tidak direalisasikan, karena pada saat itu Indonesia menganut sistem parlementer sehingga tampuk kepemimpinan berada dibawah kabinet yang berkuasa. Sehingga dalam hal ini sistem ekonomi yang dijalankan di Indonesia tetap sistem ekonomi nasional, hanya saja pelaksanaannya bukan berdasarkan pada prinsip Marhaenisme melainkan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh setiap kabinet dalam masa Demokrasi Liberal. Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dikeluarkan oleh setiap kabinet yang berkuasa memiliki karakteristik tersendiri dalam membawa Indonesia ke arah perbaikan ekonomi.

Pembahasan sistem perekonomian pada masa Demokrasi Liberal penulis temukan dalam buku karya Suroso (1993) yang berjudul Perekonomian Indonesia. Buku ini menyatakan bahwa dalam masa Demokrasi Liberal, konstelasi politik yang terjadi menyebabkan nilai inflasi yang melambung tinggi baik itu disebabkan karena kekacauan politik dalam negeri seperti pemberontakan-pemberontakan di berbagai

(18)

daerah maupun pertentangan dengan pihak asing terutama Belanda. Selain itu terjadi pula kelangkaan devisa dan penurunan produktifitas ekonomi yang menyebabkan tidak mencukupinya persediaan barang konsumsi yang penting. Anngaran Belanja Pemerintah pun tidak mencukupi untuk mengatasi masalah ini bahkan dapat dikatakan sangat kurang untuk menutupinya. Oleh sebab itu, permasalahan ini menuntut pemerintah untuk menyusun rencana stabilitas ekonomi sampai rencana pembangunan ekonomi untuk mengatasa masalah ekonomi moneter tersebut.

Selain itu Suroso (1993) pun menjelaskan pemerintah dituntut untuk bertindak cepat agar permasalahan ini tidak semakin meluas ddan merambat pada permasalahan lainnya. Pada kurun waktu 1950-1953 pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan ekonomi yang dinilai sangat luar biasa dan diharapkan dapat mengatasi permasalahan diatas. Kebijakan ekonomi ini dijalankan dibawah kepemimpinan lima kabinet yaitu Mohammad Hatta (RIS), Mohammad Natsir, Soekiman Wirjosandjojo, Wilopo dan Ali Sastroamidjojo. Pada awal bulan Maret 1950 kebijakan yang dikeluarkan meliputi sistem sertifikat devisa dan penyehatan uang dengan jalan mengurangi volume uang secara serentak, dikenal sebagai tindakan “gunting Syafruddin”. Lalu dilanjutkan dengan penyeragaman berbagai jenis mata uang yang beredar dalam masyarakat dengan melakukan pergantian ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) dan jenis-jenis uang lainnya ke dalam uang baru. Kebijakan ini disertai dengan devaluasi mata uang rupiah pada tanggal 4 Februari 1952 dengan presentase yang cukup besar.

(19)

Pembahasan mengenai tindakan moneter dijelaskan dalam buku karya Oey Beng To (1991) yang berjudul Sejarah Kebijaksanaan Moneter. Buku ini membahas mengenai tindakan moneter dan peraturan devisa tersebut merupakan peristiwa penting yang telah mempengaruhi dan menentukan perkembangan ekenomi serta moneter pada tahun 1950-1953 yang juga berpengaruh pada periode-periode setelahnya. Dilihat dari sudut kebijakan moneter, maka diberlakukannya sistem sertifikat devisa dan devaluasi mata uang rupiah merupakan tindakan yang paling penting dari kebijakan moneter lainnya karena sistem dan devaluasi tersebut merupakan sarana utama bagi perkembangan ekonomi dan moneter dalam masa 1950-1953.

Sebenarnya sistem sertifikat devisa telah membuka sejarah baru dalam perkembangan moneter di Indonesia, yaitu diberlakukannya sistem multiple exchange rates (kurs berganda) yang telah digunakan bertahun-tahun sampai pada tahun 1968. Terlepas dari tujuan utamanya yaitu untuk merangsang ekspor, sistem tersebut pun telah disertai dengan sertifikat indusemen yang pada awalnya diadakan khusus untuk ekspor karet rakyat dari Kalimantan Barat pada tahun 1947. Berdasarkan buku karya Oey Beng To disebutkan bahwa setidaknya terdapat tiga tujuan dari deterapkannya sistem sertifikat devisa tersebut.

Sistem sertifikat devisa bertujuan untuk: (1) menghentikan atau sedikitnya meredakan sebanyak mungkin perkembangan inflasi didalam negeri; (2) memperbaiki perkembangan neraca pembayaran; (3) menggali sumber pendapatan bagi pemerintah untuk menutup kekurangan dalam Anggaran Belanja (Beng To, 1991: 121).

(20)

Pada tahun 1952 pun, terjadi peristiwa yang tidak muncul ke permukaan namun turut berpengaruh dalam perekonomian Indonesia yakni pembukaan kembali Bursa Efek Jakarta, setelah sebelumnya perdagangan efek seluruhnya terhenti selama perang dunia dan perjuangan fisik melawan Belanda. Perdagangan efek di Indonesia menunjukan kegiatan yang cukup aktif sebelum perang dunia kedua.

Namun kebijakan moneter yang telah dikeluarkan tersebut ternyata dihadapkan pada kondisi keamanan negara yang cukup sulit dan kacau, terutama jika dilihat dari sudut situasi politik yang kacau merupakan tindakan yang tepat dan berani. Akan tetapi, pada kenyataannya sertifikat devisa yang pada awalnya diharapkan dapat menekan nilai inflasi ternyata kandas sama sekali yang disebabkan pula oleh defisit pemerintah sejak berakhirnya pertentangan dengan Belanda. Bahkan nilai inflasi pun melambung tinggi yang juga diperparah oleh sektor ekspor yang menurun. Hal ini sesuai dengan pemaparan Poesponegoro (1984), yang menyebutkan bahwa krisis moneter yang dihadapi pemerintah ialah defisit anggaran belanja pada tahun 1952 sebanyak 3 milyar rupiah, ditambah dengan sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 milyar rupiah… (Poesponegoro, 1984: 241).

Karakteristik kebijakan ekonomi yang dikeluarkan setiap kabinet dalam masa Demokrasi Liberal, ikut pula mewarnai sistem perekonomian di Indonesia. Hal ini tergambarkan dalam buku karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1984) yang berjudul Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, di bawah Perdana Menteri Natsir, untuk menghidarkan inflasi dilakukan pengetatan anggaran pemerintah. Meskipun kabinet ini hanya memimpin selama 6 bulan tetapi dinilai

(21)

paling berdedikasi dalam menangani masalah ekonomi. Kebijakan yang dilakukan ialah meliberalisali impor akibat peningkatan pendapatan ekspor untuk membantu mengendalikan inflasi. Selain itu dikeluarkan pula berbagai kebijakan yang bersifat nasionalistis, seperti Rencana Urgensi Perekonomian dan program Benteng.

Sementara Kabinet Sukiman berusaha membatasi krisis moneter. Salah satu usaha yang ditempuh ialah dengan melakukan nasionalisasi terhadap De Javasche Bank . Sedangkan Kabinet Wilopo lebih melakukan pengetatan pada sektor impor. Kabinet Ali Sastroamidjojo bagian pertama lebih mengutamakan kebijakan Indonesianisasi, yaitu mendorong tumbuh dan berkembangnya pengusaha-pengusaha swasta nasional pribumi dalam usaha untuk mendobrak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Selama Kabinet Burhanuddin, dilakukan liberalisasi impor, kebijakan uang ketat untuk menekan laju uang beredar dan penyempurnaan Program Benteng serta memperbolehkan investasi asing masuk ke Indonesia dan pemberian bantuan terhadap pengusaha pribumi.

Pembahasan mengenai sistem ekonomi yang digunakan pada masa Demokrasi Terpimpin penulis temukan dalam buku karya Mohammad Hatta (1960) yang berjudul Ekonomi Terpimpin. Hatta dalam bukunya memaparkan bahwa pada masa Demokrasi Terpimpin, Presiden Soekarno terlihat mulai memberi penekanan pada sektor ekonomi. Dengan konsep terpimpin yang diusungnya, ia membubarkan parlemen dan kedudukan para kabinet kini digantikan oleh peranan presiden sebagai pemimpin negara yang seutuhnya. Termasuk dalam bidang ekonomi, setelah Mohammad Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada tanggal 1

(22)

Desember 1956 lantas tidak ada lagi pendamping Presiden Soekarno yang ia jadikan pula sebagai penasihat ekonomi. Oleh sebab itu, Presiden Soekarno mulai melancarkan berbagai konsep yang dianggap sebagai kebijakan yang ia keluarkan untuk mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia.

Pemaparan mengenai konsep ekonomi Presiden Soekarno, penulis temukan dalam buku yang disunting oleh Hadi Soesatro dkk (2005) yang berjudul Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 1959-1966. Buku ini merupakan kumpulan dari beberapa tulisan, yang salah satunya yaitu karya Soerjadi yang menulis tentang Ekonomi Terpimpin. Pada tahun 1957, Soekarno merencanakan “Ekonomi Terpimpin” yang lebih memperkuat lagi sistem ekonomi komando, dan selama tahun 1957-1958 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda walaupun pada tahun 1951-1953, pemerintah telah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan Belanda yaitu De Javasche Bank. Dengan perancangan Ekonomi Terpimpin, sistem politik Indonesia semakin dekat dengan haluan/pemikiran sosialis/komunis. Walaupun ideologi Indonesia Pancasila, pengaruh ideologi komunis dari negara bekas Uni Soviet dan Cina sangat kuat.

Sebenarnya pemerintah pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya memilih haluan politik yang berbau komunis hanya merupakan suatu refleksi dari perasaan antikolonialisasi, antiimperialisasi, dan antikapitalisasi pada masa itu. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, Soekarno percaya bahwa pemikiran Marxisme merupakan satu-satunya senjata yang ampuh untuk melawan kapitalisme. Pada masa itu, prinsip-prinsip individualisme, persaingan bebas dan perusahaan

(23)

swasta atau pribadi sangat ditentang oleh pemerintah dan masyarakat pada umumnya karena prinsip-prinsip tersebut sering dikaitkan dengan pemikiran kapitalis. Keadaan seperti ini membuat Indonesia semakin sulit mendapat dana dari negara-negara barat, baik dalam bentuk pinjaman maupun penanaman modal asing (PMA), sedangkan untuk membiayai rekontruksi ekonomi dan pembangunan selanjutnya Indonesia sangat membutuhkan dana yang sangat besar.

Hingga akhir tahun 1950-an, tepatnya sebelum menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, sumber utama penanaman modal asing di Indonesia berasal dari Belanda yang sebagian besar untuk kegiatan ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan serta untuk kegiatan-kegiatan ekonomi yang terkait. Dari semua perkebunan yang diandalkan untuk ekspor, tiga perempatnya jatuh ketangan Republik Indonesia dengan program nasionalisasi yang disahkan parlemen tahun 1958. Dengan demikian seluruh perekonomian kolonial bekas Hindia Belanda kini derada ditangan negara.

Sejak akhir tahun 1957 sampai 1958 ekspor Indonesia sangat kurang.

Keadaan ekonomi kacau ditambah dengan adanya pemberontakan

PRRI/PERMESTA. Namun pada tahun 1959 rupanya keadaan ekonomi akan membaik, terlihat dari adanya pemulihan keadaan produksi perkebunan-perkebunan. Misalnya disektor gula, panen dalam tahun 1959 mencapai puncak pada masa pasca kolonial. Tahun 1959 sampai 1960-1961 rupanya ada perbaikan keadaan ekonomi Indonesia karena adanya anggaran belanja seimbang dan valuta asing yang cukup besar. Selain itu, diantara tahun 1960-1965 terdapat dua dokumen politik ekonomi

(24)

yang dirancang untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang dihadapi yaitu Rencana Pembangunan Semesta 8 tahun (1961-1969) oleh Prof. Mohammad Yamin dan Deklarasi Ekonomi (1963) oleh Presiden Soekarno.

Selanjutnya dibahas mengenai konsep Deklarasi ekonomi Presiden Soekarno yang dikeluarkan pada masa Demokrasi Terpimpin. Pembahasan ini dipaparkan dalam buku yang disunting oleh Hadi Susastro, dkk (2005) yang berjudul Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 2 1959-1966. Di bagian pertama buku ini terdapat tulisan Bung Karno yang menjelaskan tentang Deklarasi Ekonomi. Pada tahun 1963, Soekarno menyampaikan konsep ekonomi yang dikenal dengan sebutan Deklarasi Ekonomi, yang berisi semacam tekad untuk menggunakan sistem ekonomi pasar, sebagai “koreksi” terhadap praktik-praktik ekonomi komando. Sayangnya, tekad ini dapat dilaksanakan karena tidak mendapat dukungan dari partai-partai politik yang ada pada saat itu, termasuk Partai Komunis Indonesia (PKI).

Prinsip-prinsip Deklarasi Ekonomi akhirnya dilupakan sebagian besar masyarakat dan hingga berakhirnya masa pemerintahan Soekarno, sistem ekonomi Indonesia yang berlaku tetap sistem ekonomi komao. Pada tahun 1957, Presiden Soekarno mencanangkan “Ekonomi Terpimpin” yang lebih memperkuat lagi sistem ekonomi komando, dan selama tahun 1957-1958 terjadi nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda (Tambunan, 2009: 13). Sebenarnya Deklarasi Ekonomi dikeluarkan demi mewujudkan cita-cita ekonomi nasional yang pada saat Demokrasi Liberal terhambat pelaksanaannya karena diterapkannya ekonomi liberal. Menurut

(25)

strategi dasar ekonomi Indonesia, maka dalam tahap pertama kita harus menciptakan susunan ekonomi yang bersifat nasional dan demokratis, yang bersih dari sisa-sisa imprealisme dan bersih dari sisa-sisa feodalisme. Sedangkan tahap kedua ialah menciptakan ekonomi sosialis Indonesia, ekonomi tanpa penghisapan manusia oleh manusia, maksudnya ialah ekonomi tanpa adanya eksploitasi manusia.

Menurut Presiden Soekarno, pada masa Demokrasi Terpimpin masyarakat Indonesia sedang berada dalam tahap penemuan kembali revolusi kita. Oleh karena itu, pada masa ini sistem ekonomi diperlukan untuk mengikis hgabis sisa-sisa imprealisme dan feodalisme di bidang ekonomi, menggerakan semua potensi nasional untuk meletakan dasar dan mempertumbuhkan suatu ekonomi nasional yang bebas dari imprealisme dan feodalisme sebagai landasan menuju masyarakat Sosialis Indonesia.

Pada pelaksanaan sistem ekonomi nasional berdasarkan Deklarasi ekonomi, Rencama Pembangunan Semesta 8 tahun pun mulai dijalankan untuk mengatasi permasalahan ekonomi jangka pendek. Namun dalam kenyataannya, pelaksanaan ini mendapat tantangan dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Tantangan dari dalam negeri itu berupa tanggapan-tanggapan atau ketidak setujuan banyak pihak dalam kabinet tentang dilaksanakannya Deklarasi Ekonomi tersebut. Pihak yang menentang tersebut beranggapan bahwa Bung Karno tidak terlalu pandai dalam mengatasi permasalahan ekonomi. Sebagian pihak tersebut menganggap bahwa konsep-konsep ekonomi yang dikeluarkan oleh Bung Karno lebih mengarah pada konsep pemikiran marxis/komunis Selain itu, kekacauan ekonomi dalam negeri yang disebabkan oleh

(26)

inflasi dan defisit ikut menentukan pelaksanaan konsep Deklarasi Ekonomi tersebut. Sedangkan tantangan dari luar negeri ialah masih banyaknya pihak asing yang menguasai perusahaan-perusahaan di Indonesia yang tentunya dapat menghambat pembangunan ekonomi Indonesia.

Namun disamping tantangan dan kekacauan yang dihadapi itu, Presiden Soekarno telah menanamkan pula semangat mandiri dan program berdikari, program swasembada pangan dan sandang, adanya program untuk memenuhi 9 bahan pokok bagi rakyat. Dua jasa besar Presiden Soekarno dalam bidang perekonomian berdasarkan konsep Deklarasi Ekonominya yakni dalam hal Pertamina dan Perkebunan. Pendobrakan yang dilakukan terhadap monopoli dan dominasi asing dalam bidang perminyakan dengan dikeluarkannya UU Perminyakan Nasional dan Pertamina merpakan usaha yang nyata. Sedangkan dalam bidang perkebunan jasa bung karno terlihat pada saat beliau tidak tunduk pada tekanan politik dan tidak menyerahkan pimpinan dan pembinaan perkebunan pada pihak PKI. Selain itu beliau berhasil mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang pengoperan manajemen perkebunan oleh pemerintah pada tahun 1965.

Keterkaitan antara pembahasan dalam buku diatas mengenai sistem ekonomi di Indonesia dengan penelitian penulis ialah terlihat dalam kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengatasi masalah perekonomian Indonesia. Kebijakan-kebijakan ini akan berhubungan langsung dengan lembaga keuangan pusat yang berttugas untuk mengaturnya dalam hal ini ialah bank sentral yang ada di

(27)

Indonesia. Pemerintah hanyalah aktor yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan tersebut, tetapi pada aplikasinya kebijakan itu dilaksanakan oleh bank sentral.

2.3 Lembaga-lembaga Keuangan di Indonesia

Pembahasan mengenai Lembaga-lembaga keuangan di Indonesia pada masa kemerdekaan penulis temukan dalam buku karya Thomas Suyatno, dkk (1993) yang berjudul Kelembagaan Perbankan Edisi Pertama dan Edisi Kedua, buku karya Muchdarsyah Sinungan (1995) yang berjudul Uang & Bank, buku karya Widjananrto (1997) yang berjudul Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Buku-buku ini membahas mengenai lembaga keuangan yang ada di Indonesia yang penulis khususkan pada masa kemerdekaan dan setelahnya. Setelah Indonesia merdeka dan lepas dari penjajahan Belanda dan Jepang, Indonesia dituntut untuk mengatur perekonomiannya sendiri tanpa ada campur tangan dari pihak luar/asing.

Pembahasan mengenai De Javasche Bank dijelaskan dalam buku kara M. Dawam Rahardjo (1995) yang berjudul Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa. Rahardjo (1995) dalam bukunya menjelaskan selama penjajahan Belanda keuangan dan perekonomian Indonesia diatur oleh sebuah Bank yang didirikan pemerintah kolonial Belanda yang khusus mengatur lalu lintas perekonomian Hindia-Belanda yakni De Javasche Bank. Pada jaman Hindia Hindia-Belanda De Javasche Bank ditunjuk sebagai bank sirkulasi yang berbentuk Perseroan Terbatas (Naamlooze Vennootschap).

(28)

Pada jaman penjajahan Jepang, pada saat pendudukan Jepang di Indonesia lembaga keuangan yang digunakan ialah Nanpo Kaihatsu Ginko, namun De Javasche Bank masih digunakan sebagai lembaga keuangan yang mengatur keuangan Hindia-Belanda. Ketika Jepang terusir dari Indonesia pun, De Javasche Bank kembali dijadikan sebagai lembaga keuangan pusat di Hindia-Belanda disertai dengan lembaga keuangan asing milik pihak kolonial lainnya. Setelah runtuhnya kekuasaan Jepang, pihak kolonial Belanda segera memulihkan operasi dan kedudukannya yang dominan di Indonesia.

Buku karya Muchdarsyah Sinungan (1995) yang berjudul Uang & Bank menjelaskan mengenai sejarah kelembagaan Bank di Indonesia sejak masa kemerdekaan sampai masa Orde Baru. Dalam buku ini dijelaskan bahwa setelah Indonesia merdeka secara de facto dan de jure, pemerintah Indonesia mulai mendirikan beberapa bank dan lembaga keuangan lainnya untuk mengatur perekonomian Indonesia. Ketika Indonesia baru merdeka, unsur kolonial masih kental termasuk dalam bidang perbankan. Oleh karena itu usaha untuk memasukan unsur nasional sangatlah kuat pada saat itu. Pada tahun 1950-1953, pemerintah Indonesia mulai lebih banyak memasukkan unsur nasional dalam bidang perbankan. Dalam usaha pembangunan kekuatan ekonomi nasional tersebut diwujudkan dengan pembangunan bank-bank baru baik itu bank pemerintah maupun bank swasta serta mengembangkan operasi bank-bank nasional.

Bank dianggap sebagai suatu badan usaha yang sangat penting dan diperlukan dalam suatu negara dengan tujuan untuk mengatur perekonomian negara tersebut.

(29)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2002: 103-104) bank merupakan badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa pada lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Menurut A. Abdurrachman (LP3ES, 1995: 16) definisi bank yaitu lembaga keuangan yang melaksanakan pelbagai macam jasa, seperti pemberian pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha pengusaha dan lain-lain.

Di negara-negara yang sedang berkembang, dalam hal ini Indonesia, pemerintah pada umumnya berperan sebagai agen pembangunan dan perubahan sosial. Dalam menjalankan peranannya itu, pemerintah membutuhkan dukungan bank sentral sebagai lembaga yang berperan penting dalam pembiayaan pembangunan. Secara umum bank sentral adalah sebuah lembaga yang diserahi tugas untuk mengontrol sistem keuangan dan perbankan (Rahardjo, 1995: 17). Perekonomian Indonesia yang tidak stabil pasca kemerdekaan yang ditandai oleh inflasi dan defisit yang tinggi memicu pemerintah Indonesia untuk mendirikan suatu lembaga keuangan pusat (bank sentral) yang mampu mengatur perekonomian Indonesia.

Pemerintah Indonesia mencoba untuk mendirikan Bank Indonesia yang dengan mendirikan Jajasan Poesat Bank Indonesia pada tanggal 9 Oktober 1945, sebagai langkah awal untuk membentuk satu-satunya bank sirkulasi sebagaimana yang telah ada sejak jaman Hindia-Belanda dan bank sentral pertama yang sebelumnya memang belum ada di Indonesia. Melalui Undang-Undang No. 2 Prp. Tahun 1946, Jajasan Poesat Bank Indonesia tersebut dilebur menjadi Bank Negara Indonesia, yang ditetapkan dan diharapkan dapat bekerja sebagai bank sentral milik Negara Republik Indonesia. Namun karena berbagai faktor hambatan yang dihadapi, Bank

(30)

Negara Indonesia ternyata tidak berkesempatan untuk menyelenggarakan fungsi yang telah dipikulkan kepadanya oleh undang-undang (Rahardjo, 1995: 2).

Faktor politik yang terjadi pada saat itu pun ternyata memiliki pengaruh terhadap usaha pendirian suatu bank sentral di Indonesia. Pasca Indonesia merdeka tahun 1945, Indonesia tidak dapat lepas begitu saja dari pemerintah kolonial Belanda yang pernah menjajahnya. Pengaruh dari pihak kolonial tersebut masih terasa dalam bidang politik maupun ekonomi. Hal ini ditandai dengan terjadinya Agresi Militer Belanda I tahun 1947 dan Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Timbulnya berbagai pengaruh pihak kolonial pasca kemerdekaan RI ini memicu pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan jalan diplomasi. Upaya yang ditempuh ialah dengan melakukan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada tahun 1949. Hasil dari konferensi ini tidak hanya menyelesaikan permasalahan politik saja tetapi juga mencoba menyelesaikan permasalahan ekonomi Indonesia yang masih ada sangkut pautnya dengan pihak kolonial salah satunya ialah masalah De Javasche Bank.

Sejarah di nasionalisasikannya De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia penulis temukan dalam buku karya Hadi Soesastro, dkk (2005) yang berjudul Pemikiran dan Permasalahan Ekonomi di Indonesia dalam Setengah Abad Terakhir 1 1945-1959. Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) dalam bidang perekonomian ialah memutuskan bahwa De Javasche Bank yang ditunjuk sebagai bank sentral bagi Indonesia sedangkan Bank Negara Indonesia (BNI 46) ditugasi sebagai bank pembangunan (Rachbini, 2000:1). De Javasche Bank yang pada saat itu

(31)

masih berstatus sebagai bank sirkulasi dialih fungsikan menjadi bank sentral untuk negara Indonesia. Salah satu alasan ditunjuknya De Javasche Bank sebagai bank sentral di Indonesia karena De Javasche Bank dianggap sebagai bank yang telah berpengalaman dalam mengatur keuangan suatu negara, dalam hal ini ialah Hindia-Belanda. Sedangkan Bank Negara Indonesia yang baru didirikan hanya dijadikan sebagai bank pembangunan dibawah naungan bank sentral.

Status De Javasche Bank yang pada saat itu masih milik Belanda, memicu pemerintah Indonesia untuk melakukan nasionalisasi De Javasche Bank. Pada tanggal 1 Juli 1953 Bank Indonesia resmi didirikan menggantikan De Javasche Bank. Fungsinya pun dialihkan dari bank sirkulasi menjadi bank sentral. Sebenarnya, proses nasionalisasi ini telah direncanakan sejak tahun 1951 dengan membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank. Panitia itu, yang mempunyai kekuasaan untuk mengambil tindakan-tindakan persiapan dan untuk mengadakan perundingan-perundingan mengenai nasionalisasi bank atas nama pemerintah, mempunyai tugas untuk mengajukan usul-usul mengenai nasionalisasi itu kepada pemerintah pada umumnyadan untuk memajukan rencana undang-undang nasionalisasi pada khususnya (Soesastro, 2005: 95)

Setelah Bank Indonesia diresmikan sebagai bank sentral, tentu saja fungsi dan perannya pun menjadi lebih besar karena bank sentral merupakan the bankers’ bank yaitu bank dari semua bank. Salah satu fungsi dari bank sentral adalah sebagai banker pemerintah. Oleh karena itu, wajar jika bank sentral harus memenuhi kebutuhan pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah. Tetapi bentuk dan sifat dati peranan

(32)

bank sentral sebagai bankir pemerintah tersebut di negara yang sedang berkembang akan dipengaruhi oleh peranan kongkrit yang dijalankan oleh pemerintah sebagai agen pembangunan (Rahardjo, 1995: 16).

Secara umum bank sentral adalah sebuah lembaga yang diberi tugas untuk mengontrol sistem keuangan dan perbankan. Untuk menjalankan peranannya itu, pada umumnya bank sentral diberi hak monopoli untuk mengeluarkan uang dan wewenang prerogratif untuk jumlah uang beredar. Disamping itu, bank sentral juga diberi fungsi dan wewenang untuk membina dan mengawasi kegiatan perbankan sebagai lembaga perantara keuangan (financial intermediary). Dalam menjalankan fungsinya itu, bank sentral mempunyai peranan khusus dalam sistem moneter sebagai sumber peminjaman bagi bank-bank lain. Dalam fungsinya ini, bank sentral sekaligus juga berperan dalam mengembangkan sistem perkreditan yang sehat (Rahardjo, 1995: 17).

Sejak disahkannya Bank Indonesia menjadi bank sentral Indonesia, fungsi dan peranannya pun menjadi lebih luas dan kompleks. Tidak hanya mengatur perekonomian negara tetapi juga difungsikan sebagai bank dari semua bank yang dapat menaungi bank-bank lain yang didirikan di Indonesia. Fungsi dan peranannya sebagai bank sentral tersebut, diatur dalam undang-undang Bank Indonesia. Untuk lebih mengetahui mengenai fungsi dan peranan Bank Indonesia dalam perekonomian di Indonesia yang penulis batasi sejak berdirinya hingga berakhirnya masa Demokrasi Terpimpin, penulis temukan dalam buku karya Oey Beng To (1991) yang berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I: 1945-1958. Selain itu, dalam mengkaji

(33)

perkembangan Bank Indonesia yang didalamnya mendeskripsikan tentang peranan Bank Indonesia dalam mengatasi permasalahan ekonomi di Indonesia sejak tahun 1953-1966, penulis temukan dalam kedua buku karya Tim Penulis Bank Indonesia (2000) yang berjudul perkembangan Bank Indonesia periode Demokrasi Liberal 1950-1959 dan perkembangan Bank Indonesia periode Demokrasi terpimpin 1959-1965. Dijelaskan bahwa Bank Indonesia didirikan sebagai upaya menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka seutuhnya. Sehingga Indonesia pun dituntut untuk dapat mengatur perekonomiannya sendiri. Oleh karena itu diperlukan suatu lembaga keuangan sentral untuk mengatasi permasalahan ekonomi yang biasa dihadapi oleh negara yang baru merdeka.

Jika dikaitkan dengan permasalahan penelitian, maka didasarkan atas kondisi Indonesia pada saat yang baru merdeka dari penjajahan kolonial dan Jepang. Oleh sebab itu kondisi politik dan kondisi ekonomi dalam negeri pun belum stabil. Sehingga harus ada upaya untuk menstabilkan kondisi tersebut terutama kondisi perekonomian untuk mensejahterakan masyarakatnya. Salah satu upaya yang dilakukannya itu ialah dengan nasionalisasi De Javasche Bank. Namun proses penasionalisasian ini dirasa terlalu cepat dan tidak dengan perencanaan yang matang sehingga tugas, fungsi dan peranannya setelah menjadi Bank Indonesia pun sempat tidak berjalan dengan lancar. Perjalanan dan perkembangan dari Bank Indonesia ini dapat penulis temukan dalam buku karya Tim Penulis LP3ES (1995) yang berjudul Bank Indonesia dalam Kilasan Sejarah Bangsa dan buku karya Noek Hartono (1976) yang berjudul Bank Indonesia: Sejarah Lahir dan Pertumbuhannya. Dijelaskan

(34)

bahwa sejak didirikannya Bank Indonesia semua permasalahan ekonomi menjadi tugas dan fungsi dari Bank Indonesia.

Perjalanan Bank Indonesia menjadi bank sentral tentunya berkaitan erat dengan tugas dan perannya yang erat kaitannya dengan kebijakan moneter untuk mengatasi permasalahan ekonomi di Indonesia. Di awal kemerdekaan, Indonesia telah mengalami hyperinflasi dan defisit pada anggaran belanja negara. Selain itu, kas negara yang masih belum tercukupi untuk membiayai proses produksi menjadi faktor utama dalam pentingnya mengeluarkan suatu kebijakan moneter yang seharusnya diatur pemerintah dalam ketentuan bank sentral. Kebijakan-kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dalam mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia penulis temukan dalam buku karya Oey Beng To (1991) yang berjudul Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I: 1945-1958. Selain itu, penulis juga mengkaji laporan-laporan tahunan Bank Indonesia yang dikeluarkan setiap tahunnya. Dalam penelitian ini, laporan yang penulis gunakan ialah laporan yang dikeluarkan sejak Bank Indonesia berdiri hingga tahun 1966.

Buku karya M. Dawam Rahardjo (1995) yang berjudul Bak Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa juga menjelaskan mengenai bank dan lembaga keuangan lainnya yang ada di Indonesia yang turut mengatur perekonomian Indonesia. Buku ini memaparkan bahwa selain Bank Indonesia yang menjadi lembaga keuangan sentral di Indonesia, terdapat pula bank dan lembaga keuangan milik pemerintah lainnya yang pada saat itu ikut berperan aktif dalam perekonomian Indonesia. Diantaranya ialah Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI) tahun 1946 dan

(35)

diperkuat oleh pendirian Bank Industri Negara (BIN) pada bulan April 1950 yang bertujuan untuk membantu dalam pembangunan Negara dan kemajuan bangsa Indonesiadalam lapangan perkebunan, perindustrian dan pertambangan.

Sampai tahun 1957, dari segi kepemilikan, terdapat 68 bank terdiri dari 6 bank milik negara 54 bank swasta dan 8 bank asing, yaitu nationale Handelsbank NV, Nedelandsche Handel Mij. NV, Escompto Bank, Great Eastern Banking Corp. Ltd., The Chartered Bank Ltd., Overseas Chinese Banking Corporasion, Bank of China, dan The Hongkong & Shanghai Banking corp. tiga bank Belanda di atas, setelah berada pengawasan, dilakukan tindakan nasionalisasi.

Pada perkembangannya, Bank Dagang Negara (BDN) dan Bank Pembangunan Indonesia (BAPINDO) berdasarkan UU No. 30 Prp. Tahun 1960, tanggal 16 Agustus 1960 berada dibawah suatu Dewan Pembangunan, Bank Koperasi, Tani dan Nelayan diintegrasikan ke dalam Indonesia berdasarkan Penpres No. 9 Tahun 1965, selanjutnya Bank Umum Negara (BUNEG), Bank Tabungan Negara (BTN) dan Bank Negara Indonesia (BNI) turut diintegrasikan ke dalam Bank Indonesia berdasarkan Penpres No. 10, No. 11 dan No. 13 Tahun 1965. Adapun perusahaan-perusahaan negara (sekarang disebut Badan Usaha Milik Negara atau BUMN) turut melengkapi lembaga keuangan di Indonesia (Rahardjo, 1995: 125-126).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai data dasar tentang struktur anatomi akar yang memiliki fungsi khusus yang berbeda dan bermanfaat sumber belajar bagi

Desain gritcone alternatif yang optimal adalah gritcone yang mengalami pengurangan ketebalan dinding gritcone paling kecil, yaitu dengan radius bawah 0.365 m

Selain itu terdapat adanya kesamaan pertimbangan hakim dalam putusan yang menyatakan bahwa tujuan Majelis Hakim tidaklah semata-mata hanya menghukum orang yang bersalah

Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap stabilitas fisik dan kandungan flavonoid lotion penumbuh rambut ekstrak biji kemiri sehingga

Di dalam penelitian ini akan dibahas apakah terdapat perbedaan skor rasa sakit, durasi kesembuhan dan perubahan ukuran lesi SAR pada kelompok yang diberikan terapi

245 TK MARDIRINI 1 WONOSALAM KECAMATAN WONOSALAM 246 TK MARDIRINI 2 WONOSALAM KECAMATAN WONOSALAM 247 TK MARDISIWI MRANGGEN KECAMATAN MRANGGEN 248 TK MARGO UTOMO

KERJASAMA KABAG KERJASAMA KASUBBAG DALAM NEGERI STAF PELAKSANA ARSIPARIS Fakultas/ unit kerja Surat permohonan dan berkas kelengkapan Mendata surat masuk disposisi

11 Tahun 2000 tentang Pengaturan Pedagang Kaki Lima (PKL) belum mengakomodir asas kemanusiaan dan keadilan. Sekretaris Dewan Kehormatan KP2KKN Dwi Saputro,