• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaga Peradilan Sengketa Pilkada

DAFTAR PUSTAKA

D. Lembaga Peradilan Sengketa Pilkada

Berdasarkan prinsip “negara hukum demokratis” dan “negara demokratis berdasarkan atas hukum” menjadi satu alasan perlunya suatu lembaga negara yang berfungsi menangani suatu perkara tertentu dibidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi negara dilaksanakan sesuai dengan kehendak rakyat.34Pasal 1 ayat (3) UUD RI Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Kepastian hukum adalah bagian dari ciri negara hukum, negara hukum seperti yang kita ketahui adalah negara yang setiap kebijaksanaan baik yang sementara berjalan atau yang akan dilaksanakan oleh pemerintah harus berdasarkan hukum.35

Upaya yang dilakukan untuk menindaklanjuti hal tersebut adalah dengan membentuk lembaga peradilan. Lembaga peradilan (pengadilan) ini bertugas untuk memberikan sanksi terhadap pelanggaran hukum, termasuk memberikan dan memulihkan hak-hak dari pihak yang dirugikan guna mewujudkan rasa keadilan bagi setiap orang (equality before the law). Ketentuan tersebut sesuai

34

Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Sinar Garafika, 2011, hlm. 7.

35

25

dengan teori kompetensi pengadilan bahwa sebuah kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan atau memutus sesuatu, maka dalam hal ini kompetensi dari pengadilan adalah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundang-undanagn yang berlaku.36

Adapun cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui konpetensi pengadilan dalam hal memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yaitu, pertama,

melihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamnetum petedi),37 kedua, dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relative competentie atai distributie van rechmacht).38Atribusi merupakan wewenang yang diberikan oleh pemerintah oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan dan delegasi merupakan suatu hal yang berkaitan dengan pembagian kewenangannya, yang bersifat terinci (relatif) diantara badan-badan sejenis yang mengenai wilayah hukum yaitu pelimpaham wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.39 Ketiga, dengan melakukan perbedaan atas Kompetensi absolut dan kompetesi relatif yaitu kompetensi absolut berkenaan dengan kewenangan badan peradilan apa yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, sedangkan kompetensi relatif adalah

36

Sadjijono, Bab-Bab pokok Hukum Administrasi, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo, 2008, hlm. 132.

37

E. Utrrecht,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,Surabaya: Tinta Emas, hlm, 252.

38

Zairin Harahap,Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara,Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010,hlm, 28.

39

Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara, Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 102

26

kewenangan dari pengadilan sejenis mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang bersangkutan.40

Prinsip negara hukum menghendaki adanya bentuk penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas dari pengaruh pihak manapu. Pasal 24 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 menegaskan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu prinsip penting bagi Indonesia sebagai suatu negara hukum. Prinsip ini menghendaki kekuasaan kehakiman yang bebas dari campur tangan pihak manapun dan dalam bentuk apapun, sehingga dalam menjalankan tugas dan kewajibannya ada jaminan ketidakberpihakan kekuasaan kehakiman kecuali terhadap hukum dan keadilan.

Adapun asas yang digunakan dalam penyelenggaran kekuasaan kehakiman tersebut anatara lain adalah :41

a. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa;

b. Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila;

c. Semua peradilan di seluruh wilayah neraga Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang; dan

d. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat , dan biaya ringan.

Salah satu fungsi dari lembaga kekuasaan kehakiman adalah untuk mengawal pelaksanaan demokrasi, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kekuasaan kehakiman yang berwenang untuk menangani perkara

40

Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern Dalam Islam, Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang, 2010, hlm. 321.

41

27

sengketa pilkada yang merupakan bentuk dari pelaksanaan demokrasi pada level lokal. Adapun uraian tentang lembaga peradilan tersebut adalah sebagai berikut.

a. Mahkamah Agung

Berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat (1) Undang-UUD RI Tahun 1945 menyebutkan “Mahkamah Agung, berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang- undang. Lebih lanjut pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa ”Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan ole sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Mahkamah Agung memiliki kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang yaitu kewenangan untuk menangani perkara sengketa pilkada. Ketentuan tersebut diatur dalam pasal 106 ayat (1) Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004menyatakan bahwa “keberatan terhadap penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya dapat diajukan oleh pasangan calon kepada Mahkamah Agung dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah”. Keberatan tersebut berkenaan dengan hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung disampaikan kepada pengadilan tinggi untuk pemilihan kepala

28

daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepada pengadilan negeri untuk pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota.

Mahkamah Agung memutus sengketa hasil penghitungan suara sebagaimana paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh pengadilan negeri/pengadilan tinggi/Mahkamah Agung yang bersifat final dan mengikat, dalam hal ini Mahkamah Agung dalam melaksanakan kewenangannya dapat mendelegasikan kepada pengadilan tinggi untuk memutus sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten dan kota dengan ketentuan putusan bersifat final. Kewenangan penyelesaian sengketa pilkada diberikan kepada Mahkamah Agung, karena pilkada oleh pembentuk undang-undang dikategorikan sebagai rezim hukum pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UUD RI 1945 dan bukan sebagai rezim hukum pemilihan umum yang diatur dalam pasal 22E UUD RI 1945, sebagaimana pemilu presiden dan pemilu legislatif.42

Salah satu bentuk sengketa pilkada adalah sengketa administratif, dimana sengketa administratif ini muncul pada saat pelaksanan pilkada berlangsung. Sengketa administrasi pilkada dapat terjadi karena penyelenggaraan pilkada dilakasanakan oleh KPUD sebagai penyelenggara pemilu ditingkat daerah, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 22E ayat (5) UUD RI Tahun 1945 dan Pasal 1 angka 7 dan angka 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu yang menjelaskan bahwa “Komisi Pemilihan Umum provinsi dan Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota, selanjutnya disebut KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota, adalah penyelenggara pemilu di provinsi dan

42

Maria Farida, Sengketa Pemilukada,Putusan Mahkamah Konstitusi dan Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Konstitusi Press, 2013, hlm. 51-52.

29

kabupaten/kota. Berdasarkan ketentuan tersebut maka keberadaan KPU sebagai penyelenggara pemilu secara konstitusional dalam UUD RI Tahun 1945, dan kedudukannya dianggap sederajat dengan lembaga-lembaga negara lain yang dibentuk dengan undang-undang.43

KPUD mempunyai tugas dan wewenang berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 diantaranya adalah mengeluarkan keputusan administrasi, keputusan mengenai penetapan jadwal pilkada, keputusan penetapan calon, penetapan hasil rekapitulasi hasil perhitungan, serta keputusan yang berkaitan dengan pilkada, sehingga keputusan tersebut telah memenuhi unsur sebagai Keputusan Administrasi Negara atau Keputusan Tata Usaha Negara. Pasal 1 angaka 9 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Paradilan Tata Usaha Negara menjelaskan bahwa “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.

Sengketa pilkada yang muncul karena adanya keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD juga merupakan bagian dari keputusan administrasi negara dan keputusan tersebut adalah keputusan tata usaha negara. Oleh karenanya keputusan yang dikeluarkan oleh KPUD memungkinkan terjadinya, pertama, pertentangan dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku. Kedua, KPUD pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain atau

43

Jimly Assiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 234.

30

penyelahgunaan wewenang. Ketiga, keputusan KPUD mengandung perbuatan atau tindakan sewenang-wenang (willekuer).44

Semua sengketa pilkada berpotensi menjadi obyek sengketa dalam Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali keputusan KPUD yang terkait dengan hasil pilkada. Ketentuan tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara Pasal 2 huruf g yang menyebutkan bahwa Tidak termasuk dalam Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) menurut undang- undang ini adalah “Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum”. Artinya selain perhitungan suara, semua tahapan pemilu memiliki peluang untuk digugat melalui mekanisme hukum. Hal ini dikarenakan semua tahapan pemilu memiliki tahaan hukum seperti Surat Keputusan (SK) KPU, dan SK KPU itulah yang berpotensi untuk dijadikan obyek perkara dalam PTUN.

Kompetensi PTUN dalam penanganan perkara pilkada juga didasarkan pada paragraph 2 Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Mengenai Pilkada bahwa pelaksanaan penyelenggaraan pilkada di lapangan, sebelum meningkat pada tahap pemungutan suara dan perhitungan suara, telah dilakukan berbagai tahapan, misalnya tahap pendaftaran, tahap pencalonan peserta, tahap masa kampanye, dan lain sebaginya. Setiap tahap-tahap tersebut di atas, sudah ada keputusannya yang diterbitkan oleh Pejabat Tata Usah Negara (beschikking, yaitu pada keputusan Komisi Pemilihan Umum Pusat dan Dareah).

44

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Gaja Mada University Press, 1993, hlm. 319-320.

31

Berdasarkan ketentuan paragraph 4-5 SEMA Nomor 7 Tahun 2010 menyebutkan bahwa pada paragraph 4 berbunyi “keputusan-keputusan tersebut yang belum ada atau tidak merupakan hasil pemilihan umum dapat digilongkan sebagai keputusan dibidang urusan pemerintahan, dan oleh sebab itu, maka apabila keputusan tersebut memenuhi unsur dan criteria pasal 1 butir 3 Undang- Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang PTUN, maka menjadi kewenangan PTUN dalam hal mengadilinya. Hal ini terjadi karena keputusan tersebut berada di luar jangkauan pengecualian pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan “keputusan-keputusan yang berisi mengenai hasil pemilihan umum adalah pengecualian yang dimaksud oleh Pasal 2 huruf g sehingga tidak menjadi kewenangan PTUN.

Berdasarkan ketentuan SEMA Nomor 7 Tahun 2010 tersebut maka kepastian Kompetensi PTUN sebagai salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung merupakan bentuk kewenangan yang bersifat absolut dalam hal memeriksa, mengadili, dan memutus sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara seorang calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang merasa haknya dirugikan atau badan hukum perdata yang dalam hal ini adalah partai politik dengan pejabat tata usaha negara, dimana pejabat tata usaha negara disini yang dimaksud adalah KPUD baik provinsi atau kabupaten/kota.45

45

Ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sengketa tata usaha negara terdiri dari beberapa unsur anata lain yaitu: a. sengkete yang timbul dalam bidang tata usaha negara; b. sengketa tersebut antara orang ataau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usah negara; c. sengketa yang dimaksud sebgai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Dalam R. Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Kedua, Jakarta: 2009, hlm. 6.

32

Dalam konsteks ini PTUN merupakan salah satu lembaga peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yang berarti bahwa apabila PTUN menangani perkara pilkada hal tersebut juga merupakan bagian dari kewenangan Mahkamah Agung. Oleh karena itu, hal tesebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung merupakan lembaga yang telah memiliki kewenangan absolut untuk menangani sengketa administif pilkada yakni melalui Peradilan Tata Usaha Negara.

b. Mahkamah Konstitusi

Pemilu yang demokratis tercermin dalam pemilihan hukum (electoral laws)

dan proses pemilihannya (electoral process) dan dalam hal ini Mahkamah Konstitusi mempunyai peranan penting untuk menentukan apakah suatu ketentuan mengenaielectoral lawsdemokratis atau tidak melalui uji konstitusional undang- undang pemilu terhadap UUD RI Tahun 1945, sedangkan mengenai electoral process Mahkamah Konstitusi berperan melalui peradilan perselisihan hasil pemilu yang akan menilai benar tidaknya hasil perhitungann suara yang dilakukan oleh KPU.46 Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi selain sebagai pengawal konstitusi, penafsir konstitusi, juga sebagai pengawal demokrasi konstitusi (the guardian and the sole interpreter of the constitution,as well as the guardian of the process of democratization).47

46

A.Mukthie Fadjar, Pemilu yang Demokratis dan Berkualitas; Penyelesaian Hukum Penyelesaian Pemiludan PHPU,Jurnal Konstitusi Vol 6 Nomor 1, April 2009, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,2009, hlm. 23.

47

Jimly Asshidiqie, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negaara, Jakarta : Konstitusi Press,2009, hlm. 95

33

Ketentuan pasal 24 ayat (2) perubahan ketiga UUD RI Tahun 1945 telah mempertegas keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan yang ada di Indonesia. Rumusan pasal tersebut juga menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan konstitusi yang mempunyai wewenang untuk melakukan constitutional review

atas produk perundang-undangan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstititusi.48 Sebagai pelaku kekuasan kehakiman, fungsi konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah Kontitusi adalah fungsi peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Fungsi Mahkamah Konstitusi dapat ditelusuri dari latar belakang pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstiusi, oleh karenanya ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan Mahkamah Konstitusi adalah konstitusi itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekedar sebagai kumpulan norma dasar, melainkan juga dari prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip Negara hukum dan demokrasi, prinsip perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan hak konstitusional warga negara.49

Setelah Perubahan Ketiga UUD RI Tahun 1945, kewenangan Mahkamah Konstitusi yang dirumuskan dalam pasal 24C adalah sebagai berikut:

1) Mahkamah Konstitusi, berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

48

Abdul Hakim G Nusantara da.lam Fakhturohman, Dian Aminudin, Sirajuddin, Memahami keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia,Bandung: Citra Aditya Bakti Bakti, 2004, hlm. 4.

49

34

dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2) Mahkamahh Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. 3) Mahkamah Konstitusi mempunyai Sembilan orang anggota hakim

konstitusi yang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing- masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh presiden.

4) Ketua dan Wakil Ketuan Mahakamh konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi.

5) Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,adil, negaarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat Negara.

6) Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan undang-undang.

Oleh karena itu, dengan diberlakukannya ketentuan dalam UUD RI Tahun 1945 tersebut, maka Mahkamah Konstitusi memiliki beberapa kewenangan sebagai berikut:50

1. Menguji undang-undng terhadap Undang-Undang Dasar;

2. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;

3. Memutus pembubaran partai politik; dan

4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;

5. Memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela;

6. Memutus pendapaat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Berkenaan dengan kewenangan memutus perselisihan hasil pemilu, maka dalam hal ini berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang

50

Jimly Asshiddqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Poluler kelompok Gramedia, 2009, hlm. 306.

35

Nomor 8 Tahun 2011 (LN RI Nomor 70 Tahun 2011, TLN RI Nomor 5226) tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, dan dalam undang-undang lain yang terkait seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menjelaskan bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan dalam hal menangani sengketa pemilu anggota DPR, DPD, DPRD, presiden dan wakil presiden, serta pemilihan kepala daerah dan wakil kepal daerah.

Bahwa pengaturan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam menangani sengketa pemilihan kepala daerah saat ini telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Peubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang Pasal 157 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi sampai dibentuknya badan peradilan khusus”. Berkenaan dengan mekanisme penangannaya telah ditegaskan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2015 tentang tahapan, Kegiatan, dan Jadual Penanganan Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, serta Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 6 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Satu Pasangan Calon, dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2015 tentang pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

36

III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan ini adalah penelitian hukum normatif, atau sering dikenal dengan istilah pendekatan yuridis normatif.51 Penelitian hukum yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji dan meneliti bahan-bahan pustaka berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Dokumen terkait