• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Kopi

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Letak Geografis Sumatera Utara

Sumatera Utara terletak pada 1° - 4° Lintang Utara dan 98° - 100° Bujur Timur. Batas-batas wilayah Sumatera Utara adalah sebagai berikut :

a. Sebelah utara : Aceh

b. Sebelah Barat : Samudera Hindia

c. Sebelah Selatan : Riau dan Sumatera Barat d. Sebelah Timur : Selat Malaka

Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 km2 yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 km2 atau 3.70% dari luas wilayah Republik Indonesia dan luas lautan sebesar 110.000,65 km2. Secara regional pada posisi geografisnya, Sumatera Utara berada pada jalur strategis pelayaran internasional Selat Malaka yang berbatasan dengan negara Malaysia dan Singapura sehingga menjadikan Sumatera Utara sebagai pintu gerbang perdagangan internasional di wilayah Indonesia bagian barat. Sumatera Utara tersohor karena luas perkebunannya, hingga kini perkebunan tetap menjadi primadona perekonomian Sumatera Utara, salah satu adalah komoditas kopi yang banyak diekspor ke berbagai negara termasuk ke Amerika Serikat.

Sebagai gambaran wilayah potensi pengembangan komoditi kopi Sumatera Utara yang tersebar di beberapa kabupaten-kabupaten dapat dilihat pada tabel 4.1. sebagai berikut :

Tabel 4.1. Wilayah Potensi Pengembangan Komoditi Kopi di Sumatera Utara

No Nama Daerah Luas Lahan

1 Kab. Asahan Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 21 Status Lahan : Perkebunan Rakyat

2 Kab. Dairi Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 19.000

Status Lahan : Perkebunan Rakyat Kopi Robusta 8.945 Ha dan Kopi Arabika 10.504,5 Ha

3 Kab. Deli Serdang Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 772 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 4 Kab. Humbang

Hasundutan

Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 11.315 Status Lahan : Perkebunan Rakyat

5 Kab. Karo Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 5.508 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 6 Kab. Labuhan Batu Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 53

Status Lahan : Perkebunan Rakyat 7 Kab. Labuhan Batu

Selatan

Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 10 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 8 Kab. Langkat Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 109

Status Lahan : Perkebunan Rakyat 9 Kab. Mandailing Natal Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 3.790

Status Lahan : Perkebunan Rakyat Kopi Robusta 2.145,30 Ha dan Kopi Arabika 1.642,56 Ha

10 Kab. Nias Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 103 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 11 Kab. Nias Barat Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 130

Status Lahan : Perkebunan Rakyat 12 Kab. Nias Selatan Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 55

Status Lahan : Perkebunan Rakyat 13 Kab. Nias Utara Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 293

Status Lahan : Perkebunan Rakyat 14 Kab. Padang Lawas Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 1.366

Status Lahan : Perkebunan Rakyat 15 Kab. Padang Lawas

Utara

Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 681 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 16 Kab. Pakpak Barat Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 2.046

Status Lahan : Perkebunan Rakyat Kopi Robusta 645 Ha dan Kopi Arabika 1.397 Ha

17 Kab. Samosir Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 4.094 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 18 Kab. Simalungun Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 9.612

Status Lahan : Perkebunan Rakyat Kopi Robusta 2.822,1 Ha dan Kopi Arabika 6.788,2 Ha

19 Kab. Tapanuli Selatan Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 3.036 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 20 Kab. Tapanuli Tengah Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 149

Status Lahan : Perkebunan Rakyat

21 Kab. Tapanuli Utara Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 15.371

Status Lahan : Perkebunan Rakyat Kopi Robusta 1.547,15 Ha dan Kopi Arabika 13.811,50 Ha

22 Kab. Toba Samosir Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 2.621 Status Lahan : Perkebunan Rakyat 23 Kab. Gunung Sitoli Lahan yang sudah digunakan (Ha) : 109

Status Lahan : Perkebunan Rakyat Sumber : BPS Sumatera Utara (2011)

4.2. Produksi Kopi

Menurut Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Utara (Sumut), Aspan Sofian mengatakan bahwa kopi Sumut sudah sangat dikenal di tingkat internasional sebagai yang terbaik sehingga harus didukung dengan program yang tepat. Dengan begitu produktivitasnya dapat ditingkatkan.

Sumatera Utara memiliki dua varietas kopi andalan yakni Arabika dan Robusta. Secara umum, luasan lahan perkebunan kopi Arabika lebih besar daripada kopi Robusta karena produktivitasnya yang lebih tinggi. Luas perkebunan kopi Arabika mencapai 58.118 hektar, sementara kopi Robusta hanya 21.680 hektar. Produksi Arabika bisa mencapai 46.000 ton per tahun, sedangkan kopi Robusta 8.400 ton per tahun.

Dari kondisi tersebut, bisa dikatakan bahwa produktivitas kopi Sumut masih rendah atau cenderung turun. Ini disebabkan karena rata-rata usia tanaman kopi sudah tua atau sekitar 60% dari areal komoditas kopi merupakan tanaman tua (rata-rata sudah berumur diatas 10-25 tahun) sehingga produksinya tidak maksimal atau produksi kopi rata-rata masih sebesar 650-750 kg per hektar, sementara peremajaan minim karena terkendala modal. Untuk itu, harus ada upaya-upaya yang dilakukan seperti :

1. Program Revitalisasi Perkebunan yang mengacu pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 33 tahun 2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui

Program Revitalisasi Perkebunan, karena peranan kopi dalam menghasilkan devisa tidak berbeda jauh dari yang dihasilkan kakao yang sudah dimasukkan dalam program revitalisasi pemerintah.

2. Program Intensifikasi, khususnya pada perkebunan rakyat, baik untuk kopi Arabika maupun Robusta secara terarah, terencana dan terfokus.

3. Program Ektensifikasi pada kopi Arabika sesuai agroklimat dan keadaan lahan. Dalam program ektensifikasi ini dapat dilakukan pemanfaatan lahan konservasi melalui Program Pengelolaan Hutan Bersama (PHBM).

Namun saat ini program yang bisa berjalan adalah Program Intensifikasi, yang mana petani kopi diberikan bantuan-bantuan berupa peralatan, obat-obatan pemberantas hama, pembenah tanah organik, pupuk, benih, gunting pangkas, dan kebutuhan lainnya. Dan Simalungun, sebagai salah satu sentra produksi kopi di Sumatera Utara menjadi kabupaten yang mendapatkan program intensifikasi ini.

Program intensifikasi kopi tersebut dilakukan di 11 kecamatan di Simalungun dengan luas sekitar 1.000 hektar yang akan melibatkan 1.199 petani. Di Simalungun sendiri, terdapat 8.000 hektar tanaman kopi. Selain Simalungun, kabupaten lain seperti Langkat, Humbang Hasundutan, Tapanuli Utara, dan Dairi juga merupakan sentra penghasil kopi terbaik di Sumatera Utara.

Dengan intensifikasi tersebut, jika biasanya produktivitas kopi hanya 1,1 ton per hektar per tahun, diharapkan bisa naik menjadi 1,2 ton per hektar per tahun. Maka dari 1.000 hektar per tahun, nantinya akan bisa diproduksi sebanyak 1.200 ton per tahun.

Sesuai dengan kondisi geografis Sumatera Utara merupakan kondisi yang menguntungkan untuk pertumbuhan kopi. Kopi dibudidayakan di Sumatera Utara terutama Arabika tetapi Robusta juga ditanam oleh petani kecil/rakyat di dataran tinggi Danau Toba (Tapanuli Utara, Dairi dan Tapanuli Selatan) dan selebihnya ditanam oleh perkebunan swasta di Sidikalang dan Kabupaten Sipirok.

Kondisi saat ini perkebunan kopi telah dilakukan secara bertahap yaitu untuk meningkatkan kualitas dengan cara melakukan rehabilitasi perkebunan di Sumatera Utara yang dilakukan oleh Kantor Perkebunan di Sumatera Utara bekerjasama dengan Kamar Dagang dan Industri di Sumatera Utara. Lambatnya perkembangan kopi Arabika disebabkan karena kopi arabika tumbuhnya membutuhkan ketinggian tumbuh berkisar 800 – 1.500 m dari permukaan laut dan daerah ini pada umumnya sudah digunakan untuk budidaya tanaman sayuran dan holtikultura lainnya dengan nilai ekonomi lebih tinggi.

Berbagai pihak telah berusaha mengaktifkan rehabilitasi kopi Arabika, AEKI Sumatera Utara adalah asosiasi dari para eksportir kopi di Sumatera Utara juga telah mencoba membantu para petani kopi untuk rehabilitasi kopi ini dengan cara mempromosikan dan memyediakan produktivitas yang baik dan tinggi kopi Arabika melalui Proyek Pembibitan Kopi Arabika. Lokasi proyek ini adalah di Kecamatan Lintong Nihuta dan Kabupaten Tapanuli Utara. Proyek ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan dari para petani dalam teknik budidaya kopi dan peningkatan kualitas kopi, khususnya kopi dari Lintong dan Mandailing. Selain itu AEKI juga banyak memberi kontribusi yang baik untuk eksportir-eksportir di Sumatera Utara dengan program dan berbagai kegiatan yang dilakukan, antara lain : pembinaan dan pengarahan untuk menjadi eksportir yang

profesional; membina kerjasama di bidang pemasaran dalam negeri maupun di luar negeri; promosi dan penetrasi pasar kopi ke negara-negara konsumen; pelayanan dan penyajian informasi dan data perkopian; kerjasama dengan instansi terkait dalam rangka program perkopian nasional; mendukung peningkatan produksi serta perbaikan mutu kopi; dan peningkatan konsumsi kopi di dalam negeri.

4.3. Ekspor

Ditilik dari sejarah perkembangan kopi di Sumatera Utara, sejak kopi menjadi salah satu komoditi andalan Pemerintah Hindia Belanda pada awal 1900-an, kopi-kopi yang dihasilkan oleh perkebunan yang dikelola Pemerintah Hindia Belanda hampir semuanya diekspor, sedangkan kopi-kopi yang berkualitas dijual di dalam negeri atau diberikan kepada rakyat dan buruh kebun untuk dijadikan minuman.

Ekspor kopi banyak mengalami fluktuasi baik jumlah maupun pendapatan devisanya, mengikuti perkembangan pasar kopi internasional yang sejak tahun 1962 dikendalikan oleh Organisasi Kopi Internasional (ICO). Karenanya ekspor kopi internasional dapat diikuti menurut masa-masa sebagai berikut :

1. Periode 1962-1972

Dalam persetujuan kopi internasional tahun 1962, Indonesia mendapat jatah kuota sebesar 1.176.000 karung @ 60 kg atau 70.560 ton yang meliputi 2,57% dari seluruh kuota ekspor. Tahun 1968 kuota yang diperoleh 1.357.000 karung atau 82.420 ton. Ketentuan kuota tersebut membatasi ekspor kopi Indonesia terutama Sumatera Utara ke pasar-pasar kuota, maka usaha lain yang dilakukan

untuk mengembangkan ekspor ke pasar-pasar non kuota. Namun usaha tersebut menghadapi kendala harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasaran kuota. Dalam masa ini ekspor kopi Indonesia mencapai jumlah tertinggi 104.413 ton, kemudian pada tahun 1971 turun menjadi 73.309 ton.

2. Periode 1972-1980

Pada tahun 1972, terjadi lonjakan harga kopi di pasar dunia karena timbulnya penyakit kopi Brazilia (kota Parana dan San Paulo). Hal ini menyebabkan ICO tidak memberlakukan kuota kopi, dan hal ini berlangsung sampai tahun 1976. Tercatat ekspor tertinggi pada tahun 1975-1976, meliputi sekitar 130.000 ton/tahun, namun permasalahan yang harus dihadapi Indonesia pada waktu itu adalah citra negatif mengenai aspek mutu kopi yang tergolong rendah dan terdapat di bawah kopi-kopi dari negara lain.

Dokumen terkait