LAMPIRAN Lampiran 1. Tekstur tanah
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Pemanasan Global
2.2. Gas Metana (CH 4 )
Gas CH4 merupakan gas yang mudah terbakar dan menghasilkan CO2
sebagai hasil sampingan. Gas CH4 relatif mudah diuraikan dan diperkirakan memiliki masa hidup di atmosfer sekitar 10 tahun. Laju peningkatan CH4 di atmosfer sekitar 0,9% pertahun (Abdullah dan Khoiruddin, 2009).
Metana merupakan salah satu gas rumah kaca utama, yang dapat menyerap radiasi infra merah sehingga berkontribusi terhadap fenomena pemanasan global. Gas CH4 bersama-sama dengan CO2, N2O, dan CFC dapat mengabsorbsi radiasi bumi pada panjang gelombang 7-14 μm yang bersifat panas sehingga mengakibatkan suhu permukaan bumi meningkat. Disamping itu gas CH4 juga memiliki waktu tinggal 8-10 tahun dan dapat juga mempengaruhi proses reaksi kimia di atmosfer yang melibatkan metan oksidasi sebagai pengendali reaksi. Metana meningkat secara cepat dalam dua abad ini dan menduduki peringkat kedua setelah CO2 sebagai GRK yang menyebabkan pemanasan global (Khalil et. al., 1991).
Konsentrasi gas CH4 yang terjadi di belahan bumi utara lebih tinggi dibandingkan dengan belahan bumi selatan. Hal ini disebabkan, sebagian besar kegiatan manusia lebih banyak berlangsung di belahan bumi utara, seperti yang terjadi pada tahun 1989 konsentrasi gas CH4 di belahan bumi utara sekitar 1700 ppbv (part per billion volume) dan di belahan bumi selatan sekitar 1670 ppbv (Husin, 1994). Konsentrasinya meningkat dari tahun ke tahun dan telah berlipat
ganda selama 200 tahun terakhir (Bouwman, 1990). Konsentrasi gas CH4 sebelum permukaan bumi didominasi oleh kegiatan manusia (200 tahun yang lalu) konsentrasi gas CH4 hanya berkisar 650-750 ppbv. Meningkatnya CH4 dalam kurun waktu 200 tahun terakhir ini disebabkan oleh meningkatnya fluks (70%) (Khalil dan Rasmussen, 1985). Pawitan et. al (2008) mengungkapkan pula bahwa pada skala global konsentrasi CH4 di atmosfer meningkat sekitar 1% setiap tahun. Konsentrasi CH4 saat ini sebesar 1,72 ppm atau lebih dari dua kali lipat konsentrasi pada era pra industri yang besarnya 0,8 ppm. Lahan basah, termasuk lahan sawah menyumbang sekitar 15-45% terhadap konsentarsi CH4 di atmosfer, sedangkan sumbangan lahan kering sekitar 3-10%.
Fluks gas CH4 bertumpu pada kegiatan antropogenik, hampir 70% CH4
berasal dari sumber antropogenik dan sekitar 30% berasal dari sumber-sumber alami. Padi sawah, ternak ruminan, pembakaran biomas, aplikasi kotoran hewan dan pemrosesan sampah organik menghasilkan CH4. Aktivitas pertanian menyumbang dua per tiga dari CH4 asal sumber antropogenik. Gas CH4
dihasilkan secara biologis oleh aktivitas mikrob yaitu aktivitas bakteri metanogen melalui penguraian atau pembusukan bahan-bahan organik yang terjadi pada lahan sawah dan fermentasi anterik pada ruminan. Gas CH4 yang berasal dari tambang batubara dan kebocoran dalam sistem distribusi gas alam serta sumur minyak dan gas merupakan sumber antropogenik lainnya. Kemudian 30% fluks CH4 yang berasal dari sumber-sumber alami, sebagian besar merupakan lahan-lahan yang tergenang secara alami (Suprihati, 2007).
Metana yang dihasilkan sebagian besar akan dibebaskan ke atmosfer baik secara difusi melalui tanah maupun diflukskan oleh tanaman. Variasi pelepasan CH4 dari suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh macam budidaya tanaman, komunitas mikrob, sifat tanah serta interaksinya. Mengetahui hubungan antara sifat tanah, sifat mikrob, dan CH4 pada berbagai macam budidaya sangatlah penting sebagai dasar untuk memahami mekanisme yang terlibat dalam produksi CH4 (Suprihati, 2007).
Gas metana biasa terbentuk oleh aktivitas bakteri metanogen pada lingkungan anaerob dengan redoks potensial -220 volt. Menurut Conrad (1987) Selain lingkungan anaerob pembentukan CH4 dipengaruhi pula oleh suhu, baik
suhu udara maupun suhu tanah. Keterkaitan pembentukan CH4 dengan suhu lebih detail diungkapkan oleh Vogels et. al. (1988), ia mengungkapkan pada tanah sawah mayoritas bakteri metanogen yang telah diisolasi bersifat mesofilik, dimana aktivitas optimalnya terjadi pada suhu 30-40 oC.
Selain bakteri metanogen (bakteri pembentuk gas metana) terdapat pula bakteri pengoksidasi CH4 atau bakteri methanotroph. Bakteri methanotroph adalah mikroorganisme aerobik yang dapat tumbuh dan berkembang dengan CH4
sebagai satu-satunya sumber energi. Oleh karena itu, oksidasi CH4 dapat terjadi pada lingkungan mikro yang bersifat aerobik pada zona perakaran dan pada bagian yang bersifat oksik pada lapisan permukaan tanah. Proses oksidasi CH4
tersebut diinisiasi oleh enzim metan mono-oksigenase yang berperan dalam konversi CH4 menjadi metanol (Oremland dan Capone, 1988).
Pada budidaya lahan kering, produksi CH4 terbatas pada site-site anaerob, dengan kondisi yang sangat menunjang pertumbuhan metanotroph, sehingga meningkatkan kapasitas serapan CH4. Serapan CH4 sebesar 0,051-0,055 mg/m2/jam pada pertanaman padi gogo dilaporkan oleh Zaenal (1997). Serapan CH4 oleh hutan di Swedia mencapai 0,6-1,6 kg CH4/ha/tahun atau 6,9-18,5 103 mg CH4/m2/jam (Klemedtsson dan Klemedtsson, 1997).
Ernawanto et. al. (2003) melaporkan bahwa fluks CH4 sistem penanaman padi walik jerami adalah 7,18 mg CH4/m2/jam dan sistim penanaman padi gogo rancah adalah 1,73 mg/m2/jam, sebaliknya rosot CH4 sebesar 0,05 mg CH4/m2/jam terjadi pada sistem pertanaman kedelai. Pada penelitian tersebut, fluks CH4 bersih dari sistem penanaman walik jerami - kedelai - gogo rancah diperkirakan sebesar 199,2 kg CH4/ha/tahun dengan rataan 2,3 mg CH4/m2/jam. Sedangkan kisaran fluks CH4 dari pertanaman tebu di Australia adalah 297 hingga 1005 g C-CH4/ha atau 29,7 – 100,5 mg C-CH4/m2, sementara kisaran konsumsinya 442 hingga 467 g C-CH4/ ha atau 44,2 – 46,7 mg C-CH4/m2 (Weier, 1999).
Fluks CH4 dari empat macam tipe penggunaan tanah (hutan tua, hutan habis tebang, dibakar setelah tebang dan perkebunan karet) di Jambi, Sumatera berkisar antara -21,2 hingga 4,2 10-3 mg C-CH4/m2/jam (Ishizuka et. al., 2002). Nilai fluks negatif menunjukkan rosot dan berkorelasi nyata dengan kandungan
liat pada kedalaman tanah 0-10 cm. Nilai tersebut mengalami peningkatan pada evaluasi berikutnya yaitu menjadi -0,053 hingga 0,049 mg C-CH4 m2/jam pada macam penggunaan lahan yang lebih bervariasi yaitu hutan, kayu manis, karet, kelapa sawit dan alang-alang (Ishizuka et. al., 2005).
Pembentukan CH4 juga dapat terhambat oleh pemberian pupuk nitrat seperti yang diutarakan oleh Bouwman (1996), Ia mengungkapkan bahwa aplikasi NO3- akan menunda pembentukan CH4 hingga reduksi NO3- berakhir dan Eh tanah telah cukup menurun bagi berlangsungnya proses reduksi lebih lanjut. Selain itu, NO3- juga memberikan efek toksik terhadap bakteri methanogen. Tanah yang kaya kandungan substrat organik mudah terdekomposisi (asetat, formiat, methanol, amin termetilasi) dan kandungan senyawa akseptor elektron (NO3-, Mn4+, Fe3+) rendah memiliki potensi pembentukan CH4 tinggi (Suprihati, 2007). Pada budidaya lahan kering, produksi CH4 hanya terbatas pada site-site anaerob dan kondisinya sangat menunjang pertumbuhan metanotroph sehingga meningkatkan serapan CH4 (Suprihati, 2007). Furukawa et. al. (2005) mengungkapkan pula bahwa rata-rata nilai fluks CH4 bernilai positif, akan tetapi terdapat nilai yang negatif pada musim kering.