• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fluks Gas Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Fluks Gas Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

DI KECAMATAN RANCA BUNGUR, BOGOR

OLEH: ANDI SURYADI

A14070067

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

ANDI SURYADI. Fluks Gas Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) pada

Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor. Dibawah bimbingan SUWARDI dan DARMAWAN

Peningkatan suhu bumi diduga berkaitan dengan meningkatnya gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Tiga GRK yang diduga berkontribusi terhadap peningkatan fluks GRK yaitu karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan

dinitrogen oksida(N2O). Selama ini penelitian tentang fluks GRK lebih dominan

terhadap CO2, padahal potensi pemanasan global dari CH4 dan N2O lebih besar

dibandingkan CO2. Selain itu penelitian fluks GRK pada tanah mineral di daerah

tropis untuk lahan pertanian sangat jarang. Oleh karena itu penting untuk mengetahui informasi fluks CH4 dan N2O dari lahan pertanian di daerah tropis.

Penelitian ini dilakukan pada lahan jagung, kacang tanah dan singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor, Jawa Barat. Penelitian dimulai dari November 2010 sampai Februari 2011. Fluks gas CH4 dan N2O diambil dengan metode

ruang tertutup. Sedangkan untuk analisis kedua jenis gas ini menggunakan gas chromatography (GC) dengan dua jenis detektor, flame ionization detector (FID) untuk analisis CH4 dan electron capture detector (ECD) untuk analisis N2O.

Hasil penelitian menunjukan bahwa fluks CH4 pada lahan jagung, kacang

tanah dan singkong sangat kecil, dengan nilai berturut-turut sebesar -0,3 kg/ha/tahun, 1,57 kg/ha/tahun dan 1,05 kg/ha/tahun. Sedangkan total fluks N2O

pada lahan jagung, kacang tanah dan singkong terukur juga sangat kecil kecuali pada lahan jagung, berturut-turut pada lahan jagung, kacang tanah dan singkong sebesar 16,09 kg/ha/tahun, 0,76 kg/ha/tahun dan 1,52 kg/ha/tahun. Tingginya fluks N2O pada lahan jagung diakibatkan oleh pemupukan nitrogen yang

berlebihan. Pemupukan nitrogen yang berlebihan dapat dilihat dari tingginya konsentrasi ion nitrat (NO3-) dan ion amonium(NH4+) pada tanah yang ditanami

jagung.

Kata kunci: Lahan pertanian, pemanasan global, metana (CH4), dinitrogen oksida

(3)

SUMMARY

ANDI SURYADI. Flux of Methane (CH4) and Nitrous Oxide (N2O) Gases on

Corn, Peanut and Cassava Fields at Ranca Bungur, Bogor. Supervised by SUWARDI and DARMAWAN.

Increasing temperature of the earth may be related with the increase of green house gas (GHG) emission to the atmosphere. Carbon dioxide (CO2),

methane(CH4), and nitrous oxide (N2O) have been estimated to contribute of

increasing GHG emission. In recent time, researches on GHG emission were more concentrated on CO2, even though the global warming potential of CH4 and N2O

are higher than CO2. In addition, researches on GHG emission in tropical mineral

soil from agriculture fields still rarely done. Therefore, it is very important to collect information of CH4 and N2O emission from tropical agricultural land.

This research was conducted on the fields of corn, peanuts and cassava in Ranca Bungur, Bogor, West Java, starting from November 2010 until February 2011. Methane and N2O fluxes were taken by closed chamber method. Methane and

N2O were measured using gas chromatography with two detectors, flame

ionization detector (FID) for CH4 and electron capture detector (ECD) for N2O.

The results showed that the total flux of CH4 from corn field, peanut field and

cassava field are very low only -0.3 kg/ha/year, 1.57 kg/ha/year and 1.05 kg/ha/year, respectively. N2O emission were also low successively at 16.09

kg/ha/year, 0.76 kg/ha/year and 1.52 kg/ha/year. The high number of N2O

emission on corn field related with excessive fertilization of N fertilizer. The excessive N fertilizer can be shown from the high of N concentration (nitrate and ammonium) in the soil of corn field.

Key word : Agricultural land, global warming, methane (CH4), nitrous oxide

(4)

FLUKS GAS METANA (CH4) DAN DINITROGEN OKSIDA (N2O) PADA LAHAN JAGUNG, KACANG TANAH DAN SINGKONG

DI KECAMATAN RANCA BUNGUR, BOGOR

Skripsi

Sebagai Prasyarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

OLEH : ANDI SURYADI

A14070067

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Fluks Gas Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O)

pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor.

Nama Mahasiswa : Andi Suryadi

NRP : A14070067

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Suwardi, M. Agr Dr. Ir. Darmawan, MSc NIP. 19630607 198703 1 003 NIP. 19631103 199002 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc NIP. 19621113 193703 1 003

(6)

RIWAYAT HIDUP

Andi Suryadi atau biasa dipanggil (Andi) lahir di Bogor pada tanggal 14 April 1988, penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Pasangan bapak Oman H Awi dan Ibu Siti Maspupah.

Penulis menempuh pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar Negeri Muara Beres pada tahun 1995-2001, MTs Negeri Cibinong tahun 2001-2004 dan SMA

PGRI 3 Bogor tahun 2004-2007. Pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya lahan.

Selama menempuh pendidikan di IPB penulis mengikuti beberapa

organisasi. Berawal dari Tingkat Persiapan Bersama (TPB) penulis telah menjadi pengurus Ikatan Mahasiswa Muslim TPB (IKMT), lalu tahun 2008-2009 penulis telah diterima sebagai anggota Staf Penelitian dan Pengembangan HMIT IPB. Kemudian pada tahun 2009-2010 penulis bersama teman-teman merintis pembuatan rumah kompos di IPB Bogor. Penulis juga aktif di berbagi kepanitiaan,

yaitu panitia Seminar dan Lokakarya Nasional pada tahun 2008, sebagai wakil ketua Seminar Nasional “Soil and Palm Oil” pada tahun 2009, Koordinator publikasi, dokumentasi dan dekorasi dalam acara Soilidarity 2009, Koordinator Logistik dan Transportasi dalam acara Gebyar Inovasi Pemuda Indonesia 2011.

Selain kuliah dan aktif berorganisasi penulis juga aktif dalam mengisi

waktu dengan bekerja. Pekerjaan yang pernah penulis lakukkan adalah, asisten Praktikum Agrogeologi pada tahun 2008-2009, pengajar bimbingan belajar MIPA untuk SMP dan SMA pada tahun 2008-2009, asisten Pendidikan Agama Islam selama tiga semester dari tahun 2010-2011, asisten Praktikum Survei dan Evaluasi Lahan 2010-2011, motivator Keislaman SMAN 1 Dramaga pada tahun

2010, dan penulispun bekerja sebagai agen eskrim Campina pada tahun 2011. Selama di IPB, penulis pernah meraih prestasi sebagai bisnis terbaik di matakuliah Kewirausahaan 2011, ide bisnis terkreatif dalam IPB Entrepreneur Day pada tahun 2011, tiga buah judul PKM mendapat pendanaan pada tahun 2010

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh

rob semesta alam, yang selalu memberi kemudahan, kelancaran, rahmat dan nikmat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Fluks Gas Metana (CH4) dan Dinitrogen Oksida (N2O) pada Lahan

Jagung, Kacang Tanah dan Singkong di Kecamatan Ranca Bungur, Bogor”. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini dapat diselesaikan berkat bantuan,

do’a dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Ir. Suwardi, M.Agr. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, bimbingan, dukungan, nasihat, semangat serta

pengalaman kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Darmawan, MSc. Selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dan dukungan serta bimbingan kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr. Selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran untuk penulisan skripsi ini.

4. Kedua orang tua penulis Bapak Oman H. Awi dan Ibu Siti Maspupah, yang selalu memberi dukungan, do’a-do’a terbaik, kasih sayang tak terhingga dari

dulu sampai sekarang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 5. Keluarga besar penulis, Sovia Legia Wanti, Wirda Jayanti, Arif Resmana dan

Adityawan, yang selalu memberi semangat, dukungan dan do’a kepada penulis.

6. Fuyuko Hazama, Ichikura danVecky Dwi Kuswandora yang telah membantu

penulis dalam penelitian dilapang, analisis laboratorium, maupun diskusi-diskusi hangat yang membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

(8)

8. Teman-teman ITSL 44 yang telah memberi dukungan teknis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang membantu

penelitian dan penulisan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca

Bogor, 24 Juni 2012

(9)

DAFTAR ISI

I.  PENDAHULUAN ... 1 

1.1.  Latar Belakang ... 1 

1.2.  Tujuan ... 2 

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3 

2.1.  Pemanasan Global ... 3 

2.2.  Gas Metana (CH4) ... 4 

2.3.  Gas Dinitrogen Oksida (N2O) ... 7 

2.4.  Komoditas Tanaman ... 11 

III. BAHAN DAN METODE ... 13 

3.1.  Bahan dan Alat ... 13 

3.2.  Waktu dan Tempat Penelitian ... 13 

3.3.  Bahan dan Metode ... 13 

3.3.1. Pelaksanaan penelitian lapang... 14 

3.3.2. Metode Pengambilan Gas ... 15 

3.3.3. Pengukuran variabel lingkungan dan sampel tanah ... 16 

3.3.4. Perhitungan Gas ... 16 

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17 

4.1.  Fluks dan Total Fluks Gas Metana (CH4) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong ... 17 

4.1.  Fluks Gas Dinitrogen Oksida (N2O) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong ... 221 

4.2.  Total Fluks Gas Dinitrogen Oksida (N2O) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah dan Singkong ... 24 

V. KESIMPULAN ... 27 

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman

1. Luas panen, produktivitas dan produksi tanaman pangan utama Indonesia... 11

2. Total fluks CH4, konsentrasi NO3-, konsentrasi NH4+ dan WFPS pada lahan jagung, kacang tanah dan singkong ……….... 20

3 Total fluks N2O, konsentrasi NO3-, konsentrasi NH4+ dan WFPS pada lahan jagung, kacang tanah dan singkong…...………. 24

Lampiran 1. Tekstur tanah………... 32

2. Luas panen tanaman pangan di Indonesia………... 32

3. Waktu penelitian pada masing-masing lahan……….. 32

4. Siklus tanaman pada lahan yang diteliti……….. 32

5. Fluks CH4 dan variabel lingkungan selama musim tanam di lahan jagung ……….………... 33

6. Fluks CH4 dan variabel lingkungan selama musim tanam dilahan kacang tanah ………..………... 33

7. Fluks CH4 dan variabel lingkungan selama musim tanam dilahan singkong……….. 34

8. Fluks N2O dan variabel lingkungan selama musim tanam dilahan jagung……….. 35

9. Fluks N2O dan variabel lingkungan selama musim tanam dilahan kacang tanah……….………... 35

10 Fluks N2O dan variabel lingkungan selama musim tanam dilahan singkong……….. 36

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman

1. Proses pembentukan gas dinitrogen oksida (N2O)………..……. 10

2. Letak sungkup pada masing-masing lahan………... 14

3. Sungkup dan peralatan untuk mengambil sampel gas dengan metode ruang tertutup..………. 15

4. Flux CH4 pada lahan jagung……...………... 17

5. Flux CH4 pada lahan kacang tanah………... 18

6. Flux CH4 pada lahan singkong………... 18

7. Fluks N2O pada lahan jagung ………... 21

8. Flux N2O pada lahan kacang tanah………... 22

9. Flux N2O pada lahan singkong……….. 22

Lampiran 11. Lokasi tempat penelitan………... 37

12. Letak sungkup di bentang lahan yang diteliti………... 37

13. Letak sungkup di lahan jagung………... 37

14. Letak sungkup di lahan kacang tanah……….. 38

(12)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan isu global yang terus menjadi sorotan utama

belakangan ini, diduga perubahan iklim diakibatkan oleh meningkatnya gas-gas penyebab rumah kaca di atmosfer. Pembicaraan tingkat dunia mengenai perubahan iklim dimulai dengan kerjasama internasional pada Earth Summit di Rio de Jenairo, Brazil. Pada kesempatan tersebut 150 negara berikrar untuk

menghadapi masalah perubahan iklim dan setuju menerjemahkan perjanjian ini pada suatu perjanjian yang mengikat. Kemudian pada tahun 2007 di Kyoto Jepang 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat untuk menurunkan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer, yang dikenal dengan protokol Kyoto. Perjanjian ini, menyerukan kepada 30 negara-negara industri yang memegang

implementasi paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5% di bawah emisi tahun 1990 dan pengurangan ini harus sudah dicapai pada tahun 2012.

Keseriusan masyarakat dunia dalam menghadapi perubahan iklim ini karena, diprediksi efek dari perubahan iklim dapat menyebabkan berbagai

bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir, angin topan, hujan asam sampai meningkatnya tinggi muka air laut. Perubahan iklim sangat berkaitan dengan peningkatan suhu bumi. Salah satu penyebab meningkatnya suhu bumi adalah peningkatan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang tertimbun di lapisan atmosfer yang sifatnya menyerap

radiasi gelombang panjang (sinar infra merah) dan menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi, atau gas-gas yang dapat bertindak seperti rumah kaca pada sistem pertanian atau perkebunan.

Gas rumah kaca dihasilkan terutama dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara)

(13)

terhadap pemanasan global secara langsung sebesar 14%. Apabila benar, pernyataan FAO tersebut dapat mengganggu program-program ketahanan pangan dan energi terbarukan yang berasal dari sektor pertanian dan perkebunan.

Sehingga penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.

Gas rumah kaca yang diduga terbentuk pada lahan-lahan pertanian dan berkontribusi besar terhadap pemanasan global adalah; karbon dioksida (CO2),

metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Gas-gas tersebut dapat meneruskan

radiasi gelombang pendek yang berasal dari sinar matahari, mampu menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang radiasi balik yang berasal dari pancaran bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfer bumi meningkat. Namun hanya gas CO2 yang menjadi sorotan utama belakangan ini, sehingga penting untuk

melakukan penelitian gas CH4 dan N2O.

Selain itu penelitan GRK di daerah tropis khususnya di Indonesia lebih banyak dilakukan pada tanah-tanah organik (gambut). Bila dilihat dari total luasan lahan gambut di Indonesia, lahan gambut hanya 20 juta ha dari 188 juta ha daratan Indonesia. Sehingga penting untuk melakukan penelitian GRK pada tanah-tanah mineral terutama yang digunakan sebagai lahan pertanian. Sedangkan dilihat dari

komoditas tanaman pangan utama yang dibudidayakan di Indonesia jagung, kacang tanah, dan singkong termasuk lima komoditas terpenting yang di budidayakan di Indonesia.

Untuk mengetahui besarnya fluks GRK yang terbentuk pada lahan

pertanian, dilakukan penelitian tentang fluks dari lahan pertanian tanaman pangan utama yaitu jagung, kacang tanah, dan singkong. Luas panen tanaman pangan utama di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi fluks gas CH4 dan N2O dari lahan pertanian.

1.2.Tujuan

1. Menghitung total fluks CH4 dan N2O dari lahan yang ditanami jagung,

kacang tanah dan singkong di tanah mineral.

2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi fluks CH4 dan N2O dari lahan

(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanasan Global

Pemanasan global merupakan sebuah proses meningkatnya suhu muka bumi. Menurut Abdullah dan Khoiruddin (2009) pemanasan global diakibatkan oleh efek rumah kaca, yakni sebuah proses yang menyebabkan energi panas matahari yang diterima atmosfer dekat permukaan bumi lebih banyak

dibandingkan dengan energi panas yang dilepaskan kembali keangkasa. Efeknya suhu muka bumi akan meningkat. Efek rumah kaca ini diakibatkan oleh gas rumah kaca (GRK). Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang tertimbun di atmosfer yang sifatnya “menyerap” radiasi gelombang panjang (sinar infra merah) dan menyebabkan naiknya suhu muka bumi.

Energi panas yang masuk ke bumi 25% dipantulkan oleh awan dan partikel lain di atmosfer, 25% diserap awan, 45% diapsorpsi permukaan bumi, 5% dipantulkan kembali oleh permukaan bumi. Energi yang diapsorpsi, dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi infra merah oleh awan dan permukaan bumi. Namun sebagian besar infra merah yang dipantulkan bumi tertahan oleh awan dan

gas-gas rumah kaca, sehingga infra merah tersebut dikembalikan kepermukaan bumi. Dalam keadaan normal, efek rumah kaca diperlukan. Dengan adanya efek rumah kaca perbedaan suhu antara siang dan malam tidak jauh berbeda (Abdullah dan Khoirudin, 2009). Naharia (2004) mengatakan pula bahwa, gas rumah kaca

yang tersimpan di permukaan bumi secara langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan perubahan iklim secara global. Pemanasan global yang disebabkan oleh adanya efek rumah kaca merupakan suatu fenomena, sehingga gelombang pendek radiasi matahari menembus atmosfer dan berubah menjadi gelombang panjang mencapai permukaan bumi. Setelah mencapai permukaan bumi, sebagian

(15)

di atmosfer. Kondisi ini persis seperti yang terjadi di rumah kaca yang digunakan dalam kegiatan pertanian dan perkebunan.

Gas-gas yang dapat bertindak seperti rumah kaca diatmosfer sehingga

menyebabkan pemanasan global adalah; karbon dioksida (CO2), karbon

monoksida (CO), metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), khloroflouro karbon

(CFC) buatan manusia, dan uap air (H2O) (Abdullah dan Khoiruddin, 2009).

Pemanasan global dapat menyebabkan berbagai dampak lingkungan, dampak-dampak tersebut dapat berupa kekeringan berkepanjangan, banjir, angin

topan, meningkatnya permukaan air laut, mengganggu kehidupan hewan liar bahkan terhadap kesehatan manusia (Abdullah dan khoiruddin, 2009).

2.2. Gas Metana (CH4)

Gas CH4 merupakan gas yang mudah terbakar dan menghasilkan CO2

sebagai hasil sampingan. Gas CH4 relatif mudah diuraikan dan diperkirakan

memiliki masa hidup di atmosfer sekitar 10 tahun. Laju peningkatan CH4 di

atmosfer sekitar 0,9% pertahun (Abdullah dan Khoiruddin, 2009).

Metana merupakan salah satu gas rumah kaca utama, yang dapat menyerap

radiasi infra merah sehingga berkontribusi terhadap fenomena pemanasan global. Gas CH4 bersama-sama dengan CO2, N2O, dan CFC dapat mengabsorbsi radiasi

bumi pada panjang gelombang 7-14 μm yang bersifat panas sehingga mengakibatkan suhu permukaan bumi meningkat. Disamping itu gas CH4 juga

memiliki waktu tinggal 8-10 tahun dan dapat juga mempengaruhi proses reaksi kimia di atmosfer yang melibatkan metan oksidasi sebagai pengendali reaksi. Metana meningkat secara cepat dalam dua abad ini dan menduduki peringkat kedua setelah CO2 sebagai GRK yang menyebabkan pemanasan global (Khalil et.

al., 1991).

Konsentrasi gas CH4 yang terjadi di belahan bumi utara lebih tinggi

dibandingkan dengan belahan bumi selatan. Hal ini disebabkan, sebagian besar kegiatan manusia lebih banyak berlangsung di belahan bumi utara, seperti yang terjadi pada tahun 1989 konsentrasi gas CH4 di belahan bumi utara sekitar 1700

(16)

ganda selama 200 tahun terakhir (Bouwman, 1990). Konsentrasi gas CH4 sebelum

permukaan bumi didominasi oleh kegiatan manusia (200 tahun yang lalu) konsentrasi gas CH4 hanya berkisar 650-750 ppbv. Meningkatnya CH4 dalam

kurun waktu 200 tahun terakhir ini disebabkan oleh meningkatnya fluks (70%) (Khalil dan Rasmussen, 1985). Pawitan et. al (2008) mengungkapkan pula bahwa pada skala global konsentrasi CH4 di atmosfer meningkat sekitar 1% setiap tahun.

Konsentrasi CH4 saat ini sebesar 1,72 ppm atau lebih dari dua kali lipat

konsentrasi pada era pra industri yang besarnya 0,8 ppm. Lahan basah, termasuk

lahan sawah menyumbang sekitar 15-45% terhadap konsentarsi CH4 di atmosfer,

sedangkan sumbangan lahan kering sekitar 3-10%.

Fluks gas CH4 bertumpu pada kegiatan antropogenik, hampir 70% CH4

berasal dari sumber antropogenik dan sekitar 30% berasal dari sumber-sumber alami. Padi sawah, ternak ruminan, pembakaran biomas, aplikasi kotoran

hewan dan pemrosesan sampah organik menghasilkan CH4. Aktivitas pertanian

menyumbang dua per tiga dari CH4 asal sumber antropogenik. Gas CH4

dihasilkan secara biologis oleh aktivitas mikrob yaitu aktivitas bakteri metanogen melalui penguraian atau pembusukan bahan-bahan organik yang terjadi pada lahan sawah dan fermentasi anterik pada ruminan. Gas CH4 yang berasal dari

tambang batubara dan kebocoran dalam sistem distribusi gas alam serta sumur minyak dan gas merupakan sumber antropogenik lainnya. Kemudian 30% fluks CH4 yang berasal dari sumber-sumber alami, sebagian besar merupakan

lahan-lahan yang tergenang secara alami (Suprihati, 2007).

Metana yang dihasilkan sebagian besar akan dibebaskan ke atmosfer baik secara difusi melalui tanah maupun diflukskan oleh tanaman. Variasi pelepasan CH4 dari suatu ekosistem sangat dipengaruhi oleh macam budidaya tanaman,

komunitas mikrob, sifat tanah serta interaksinya. Mengetahui hubungan antara sifat tanah, sifat mikrob, dan CH4 pada berbagai macam budidaya sangatlah

penting sebagai dasar untuk memahami mekanisme yang terlibat dalam produksi CH4 (Suprihati, 2007).

(17)

suhu udara maupun suhu tanah. Keterkaitan pembentukan CH4 dengan suhu lebih

detail diungkapkan oleh Vogels et. al. (1988), ia mengungkapkan pada tanah sawah mayoritas bakteri metanogen yang telah diisolasi bersifat mesofilik, dimana

aktivitas optimalnya terjadi pada suhu 30-40 oC.

Selain bakteri metanogen (bakteri pembentuk gas metana) terdapat pula bakteri pengoksidasi CH4 atau bakteri methanotroph. Bakteri methanotroph

adalah mikroorganisme aerobik yang dapat tumbuh dan berkembang dengan CH4

sebagai satu-satunya sumber energi. Oleh karena itu, oksidasi CH4 dapat terjadi

pada lingkungan mikro yang bersifat aerobik pada zona perakaran dan pada bagian yang bersifat oksik pada lapisan permukaan tanah. Proses oksidasi CH4

tersebut diinisiasi oleh enzim metan mono-oksigenase yang berperan dalam konversi CH4 menjadi metanol (Oremland dan Capone, 1988).

Pada budidaya lahan kering, produksi CH4 terbatas pada site-site anaerob,

dengan kondisi yang sangat menunjang pertumbuhan metanotroph, sehingga meningkatkan kapasitas serapan CH4. Serapan CH4 sebesar 0,051-0,055

mg/m2/jam pada pertanaman padi gogo dilaporkan oleh Zaenal (1997). Serapan CH4 oleh hutan di Swedia mencapai 0,6-1,6 kg CH4/ha/tahun atau 6,9-18,5 103 mg

CH4/m2/jam (Klemedtsson dan Klemedtsson, 1997).

Ernawanto et. al. (2003) melaporkan bahwa fluks CH4 sistem penanaman

padi walik jerami adalah 7,18 mg CH4/m2/jam dan sistim penanaman padi gogo

rancah adalah 1,73 mg/m2/jam, sebaliknya rosot CH4 sebesar 0,05 mg

CH4/m2/jam terjadi pada sistem pertanaman kedelai. Pada penelitian tersebut,

fluks CH4 bersih dari sistem penanaman walik jerami - kedelai - gogo rancah

diperkirakan sebesar 199,2 kg CH4/ha/tahun dengan rataan 2,3 mg CH4/m2/jam.

Sedangkan kisaran fluks CH4 dari pertanaman tebu di Australia adalah 297 hingga

1005 g C-CH4/ha atau 29,7 – 100,5 mg C-CH4/m2, sementara kisaran

konsumsinya 442 hingga 467 g C-CH4/ ha atau 44,2 – 46,7 mg C-CH4/m2 (Weier,

1999).

Fluks CH4 dari empat macam tipe penggunaan tanah (hutan tua, hutan

habis tebang, dibakar setelah tebang dan perkebunan karet) di Jambi, Sumatera berkisar antara -21,2 hingga 4,2 10-3 mg C-CH4/m2/jam (Ishizuka et. al., 2002).

(18)

liat pada kedalaman tanah 0-10 cm. Nilai tersebut mengalami peningkatan pada evaluasi berikutnya yaitu menjadi -0,053 hingga 0,049 mg C-CH4 m2/jam pada

macam penggunaan lahan yang lebih bervariasi yaitu hutan, kayu manis, karet,

kelapa sawit dan alang-alang (Ishizuka et. al., 2005).

Pembentukan CH4 juga dapat terhambat oleh pemberian pupuk nitrat

seperti yang diutarakan oleh Bouwman (1996), Ia mengungkapkan bahwa aplikasi NO3- akan menunda pembentukan CH4 hingga reduksi NO3- berakhir dan Eh

tanah telah cukup menurun bagi berlangsungnya proses reduksi lebih lanjut.

Selain itu, NO3- juga memberikan efek toksik terhadap bakteri methanogen.

Tanah yang kaya kandungan substrat organik mudah terdekomposisi (asetat, formiat, methanol, amin termetilasi) dan kandungan senyawa akseptor elektron (NO3-, Mn4+, Fe3+) rendah memiliki potensi pembentukan CH4 tinggi (Suprihati,

2007). Pada budidaya lahan kering, produksi CH4 hanya terbatas pada site-site

anaerob dan kondisinya sangat menunjang pertumbuhan metanotroph sehingga meningkatkan serapan CH4 (Suprihati, 2007). Furukawa et. al. (2005)

mengungkapkan pula bahwa rata-rata nilai fluks CH4 bernilai positif, akan tetapi

terdapat nilai yang negatif pada musim kering.

2.3.

Gas Dinitrogen Oksida (N2O)

Tanah merupakan sumber terpenting dalam pembentukan CO2 dan N2O di

atmosfer (Toma et. al., 2010). Abdullah dan Khoiruddin (2009) mengungkapkan N2O merupakan GRK yang memiliki umur sangat panjang sekitar 150 tahun.

Selain itu N2O berpotensi menimbulkan pemanasan global sebesar 298 kali

dibandingkan CO2. Oleh karena itu sekecil apapun konsentrasi N2O, dapat

meningkatkan konsentrasi GRK di atmosfer dengan laju peningkatan sebesar

0,2% per tahun. Selain itu gas N2O juga dapat merusak lapisan ozon di stratosfer

(Crutzen, 1981), Sehingga dapat meningkatkan radiasi yang sampai ke permukaan bumi (Ginting dan Eighbal, 2005).

Sumber N2O utama adalah kegiatan manusia (antropogenik) yang

berkaitan erat dengan pembakaran fosil, pembakaran biomas, dan pertanian. Berdasarkan penelitian Khalil dan Rasmussen (1992), diketahui bahwa fluks N2O

(19)

antropogenik diperkirakan sebesar 8 Tg/tahun. Kecepatan kenaikan konsentrasi rata-ratanya di atmosfer dari tahun 1960 sampai tahun 1976 sekitar 0,4 ± 0,5 ppbv/tahun, sedangkan kenaikannya dari tahun 1976 sampai tahun 1988 adalah

sekitar 0,8 ± 0,02 ppbv/tahun. Hal ini menunjukan bahwa N2O meningkat dua kali

lebih cepat pada tahun 1980-an dibandingkan pada tahun 1970-an. Menurut Batjes (1992), konsentrasi N2O sebelum masa industri sekitar 285 ppbv (part per billion

volume) sementara pada awal 90-an sekitar 310 ppbv.

Pathak (1999) mengungkapkan bahwa karbon organik, oksigen, dan

senyawa NO3- didalam tanah merupakan tiga komponen penting dalam

peningkatan fluks N2O. Faktor yang paling dominan dari ketiga komponen diatas

adalah faktor oksigen. Kandungan air tanah membatasi oksigen berada di pori-pori tanah. Air tanah juga mempengaruhi terjadinya pelepasan karbon organik melalui siklus pembasahan dan pengeringan. Karbon organik menyebabkan ion

NO3- tersedia melalui proses mineralisasi/imobilisasi. Ketersediaan ion NO3

-dipengaruhi proses difusional oleh kadar air tanah. Tekstur dan struktur tanah dapat mempengaruhi fluks N2O di dalam tanah, akhirnya respirasi mikroba

dengan tersedianya karbon organik secara dramatis mempengaruhi kadar oksigen ditingkat mikro. Hasil penelitian arcara et. al (1999) mendapatkan bahwa

penggunaan slury (bahan organik) dari limbah ternak meningkatkan kehilangan N sebagai N2O, melalui fluks langsung dan denitrifikasi. Fluks N2O dari tanah

dibedakan menjadi fluks dari denitrifikasi dan fluks langsung yang merupakan hasil samping nitrifikasi yang berlangsung pada kondisi oksidasi kurang optimal.

Kombinasi slury dengan pupuk urea pada takaran N yang sama yaitu sebesar 225 kg N/ha membebaskan gas N2O paling tinggi dari tanah dibanding dengan

perlakuan tunggal pupuk urea maupun perlakuan slury.

Menurut Suprihati (2007) pemberian pupuk organik yang memiliki kandungan karbon tinggi serta mudah termineralisasi, seperti pupuk kandang

diduga mampu meningkatkan biomasa mikroba sehingga meningkatkan fluks N2O

(20)

Kehilangan N dalam bentuk N2O meningkat pada tanah yang dipupuk

dengan pupuk organik. Dampak aplikasi slury sapi dalam jangka panjang mampu menurunkan pH tanah dibanding perlakuan pupuk kandang. Penurunan pH tanah

tersebut akan mempengaruhi sejumlah reaksi biokimia yang berdampak pada biomas mikroba dan kandungan karbon organik tanah. Hal ini ditandai dengan lebih tingginya kandungan karbon organik tanah serta biomas mikroba pada tanah yang dipupuk dengan pupuk kandang dibanding perlakuan slury. Tingginya biomas mikroba dan karbon organik tanah memicu fluks N2O, fluks pada

perlakuan pupuk kandang meningkat 2 kali dibanding perlakuan yang lain yaitu sebesar 4,9 kg N-N2O ha/thn melalui denitrifikasi dan fluks langsung sebesar 5,3

kg N-N2O ha/thn (Mogge et. al., 1999).

Aplikasi slury dengan cara disemprotkan yang banyak dipraktekan di Amerika Serikat bagian Timur memberikan dampak peningkatan kehilangan N

melalui fluks N2O. Pemberian slury mampu meningkatkan ketersediaan N dan

kelembaban tanah, kombinasi faktor tersebut memacu reaksi reduksi nitrat. Kehilangan N dalam bentuk N2O selama 8 hari sebesar 8,5 mg N-N2O/m2, nilai

tersebut lebih rendah dibanding perlakuan urea yang dikombinasikan dengan glukose sebagai sumber karbon cepat tersedia yang mencapai 20,8 mg N-N2O/m2,

diduga pada slury tersebut mengandung senyawa yang mempengaruhi komunitas mikroba yang bekerja pada siklus N. Fluks N2O berkaitan erat dengan dosis N

yang diberikan, pada penelitian tersebut digunakan 150 kg N/ha. Hal yang perlu diwaspadai adalah terjadinya fluks N2O yang hebat oleh residu nitrat yang

terakumulasi pada tanah tersebut, potensial terdenitrifikasi dengan meningkatnya kelembaban tanah (Whalen, 2000).

Selain itu Wrage et. al. (2001), mengungkapkan gas dinitrogen oksida dapat terbentuk oleh proses nitrifikasi maupun denitrifikasi, NH4+ dapat

teroksidasi dalam keadaan aerob melalui proses nitrifikasi menjadi senyawa NO3-.

Pada proses perubahan ini, N2O dapat terbentuk dalam jumlah yang kecil sebagai

hasil sampingan. Sedangkan, senyawa NO3- dapat tereduksi melalui proses

denitrifikasi dalam keadaan sedikit aerob menjadi N2O, pada proses ini N2O

(21)
(22)

pembasahan dan pengeringan. Bagaimanapun yang terpenting dari tingginya kelembaban tanah adalah membatasi adanya O2 pada pori tanah sehingga N2O

mudah terbentuk dalam keadaan sedikit anaerobik. Produksi N2O meningkat baik

melalui proses nitrifikasi maupun melalui proses denitrifikasi ketika tanah diberi aplikasi pupuk-N.

Namun peningkatan unsur N baik dalam bentuk NH4+ maupun NO3- di

dalam tanah dapat berasal dari: (1) mineralisasi N dari bahan organik dan immobilisasinya, (2) fiksasi N dari udara oleh mikroorganisme (penambatan N

dari udara oleh bakteri simbiotik maupun bakteri non simbiotik), (3) pemupukan (Soepardi, 1983; Leiwakabessy, 1988).

Temperatur juga memiliki pengaruh yang penting terhadap pembentukan N2O. Didapatkan N2O meningkat dari suhu 50C sampai 400C. Akan tetapi suhu

optimum untuk terjadinya proses denitrifikasi yaitu antara 600C sampai 700C. Saat

suhu mencapai keadaan optimum, terjadi kombinasi antara proses biologi dan proses kimia sehingga N2O yang terbentuk dapat optimum (Pathak, 1999). Akan

tetapi memperhitungkan fluks N2O secara rinci di tingkat global dari dalam tanah

tidak dapat di pastikan keakuratannya (Katayangi et. al., 2008).

2.4. Komoditas Tanaman

Di Indonesia, berbagai komoditas tanaman pangan dapat dibudidayakan. Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistika, Biro pusat statistika mencatat tanaman

pangan utama yang ditanam di Indonesia secara berturut-turut adalah padi, jagung, singkong, kacang tanah dan ubi jalar. Berikut rincian luas panen, produktivitas serta produksi dari tanaman-tanaman pangan utama yang ada di Indonesia.

Tabel 1. Luas panen, produktivitas dan produksi tanaman pangan utama Indonesia.

No Jenis Tanaman Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/ha) Produksi (ton)

1 Padi 13.201.316 49,80 65.740.946

2 Jagung 3.861.433 45,65 17.629.033

3 Singkong 1.182.637 203,02 24.009.624

4 Kedelai 620.928 13,59 843.838

5 Kacang Tanah 539.230 12,81 690.949

6 Ubi Jalar 177.857 123,26 2.192.242

(23)

Berdasarkan Tabel 1 diatas, dapat kita ketahui bahwa, dengan cukup luasnya lahan yang ditanami jagung, kacang tanah dan singkong di Indonesia, maka penting untuk melakukan penelitian tentang fluks gas CH4 dan N2O pada ketiga

(24)

III. BAHAN DAN METODE 3.1. Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel gas dan

sampel tanah pada masing-masing lahan yang diambil secara berkala. Alat-alat yang digunakan adalah; peralatan untuk pengambilan sampel gas (Chamber, Syringe, botol kedap udara), peralatan untuk pengambilan sampel tanah (Ring Sample, skup, palu kayu) dan alat pengukur variabel lingkungan di lapang

(termo-higrometer digital, dan portabel temperature probe), alat analisis laboratorium (gas chromatography, oven, timbangan analitik, dan peralatan destilasi).

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bantar Kambing, Kecamatan Ranca Bungur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, lokasi kebun secara rinci dapat dilihat pada lampiran 11. Lokasi penelitian merupakan lokasi yang sangat intensif dipergunakan untuk budidaya pertanian. Dari berbagai komoditas pertanian yang ditanam oleh petani di lokasi ini, kami memilih tanaman jagung, kacang tanah dan

singkong sebagai komoditas yang di teliti, karena ketiga komoditas ini merupakan komoditas penting yang dibudidayakan di Indonesia. Sedangkan siklus tanam yang biasa dilakukan petani di lokasi penelitian dapat di lihat pada lampiran 4.

Pengukuran fluks CH4 dan N2O serta variabel iklim dilakukan dari bulan

November 2010 sampai bulan Februari 2011.

3.3. Metode

Metode penelitian meliputi pemilihan tempat penelitian, persiapan peralatan dan bahan, pelaksanaan penelitian lapang dan analisis data. Untuk mengetahui fluks gas pada lahan-lahan pertanian dipilih lahan yang intensif dipergunakan untuk budidaya pertanian sepanjang tahun. Sedangkan untuk mengetahui perbedaan fluks gas pada lahan-lahan pertanian, dipilih lahan yang

(25)

tanah dilokasi ini diklasifikasikan kedalam Typic Dystrudept sedangkan tekstur tanah dilokasi penelitian dapat di lihat pada lampiran 1.

3.3.1. Pelaksanaan Penelitian Lapang

Pengukuran fluks CH4 dan N2O pada masing-masing lahan dimulai sejak

masa tanam sampai panen, namun untuk lahan singkong diambil sampel gas, variable iklim dan sampel tanah pada tiga lahan singkong yang memiliki usia

tanam berbeda, yakni singkong yang berusia 0-3 bulan, 3-6 bulan dan 6-9 bulan. Pengambilan sampel gas pada lahan singkong dengan usia berbeda dilakukkan untuk mengetahui fluks CH4 dan N2O pada kondisi lingkungan (cuaca/curah

hujan) yang sama. Untuk mendapatkan total fluks, variable iklim dan sampel tanah yang mewakili variabilitas, pada setiap lahan ditempatkan tiga buah

sungkup. Penempatan sungkup pada lahan jagung dan singkong dua buah diletakan di baris tanaman dan satu buah diletakan di baris antar tanaman, karena pada kedua penggunaan lahan terdapat baris tanaman dan baris antar tanaman. Sedangkan penempatan sungkup pada lahan kacang tanah tiga buah sungkup diletakan di baris tanaman karena pada lahan kacang tanah jarak tanam sangat

rapat, sehingga tidak memungkinkan untuk menempatkan sungkup pada baris antar tanaman. Peletakan sungkup pada setiap lokasi lahan penelitian dapat di lihat pada gambar 2 di bawah ini, atau lebih jelas dapat dilihat pada lampiran 13,14 dan 15.

Gambar 2. Letak sungkup pada masing-masing lahan.

Pengambilan gas dilakukan secara berkala setiap minggu pada setiap lahan. Pengambilan sampel juga dilakukan serta pengambilan dilakukan pulasebelum dan setelah lahan diberi pupuk atau setelah dilakukan pengolahan

(26)
(27)

Sumber: Toma dan Hatano, 2007

Gambar 3. Sungkup dan peralatan untuk mengambil sampel gas dengan metode ruang tertutup

Setelah Sampel gas didapat, kemudian gas dianalisis menggunakan gas chromatography (GC), digunakan dua jenis detektor GC untuk menganalisis

kedua jenis gas ini yaitu flame ionization detector (FID) untuk analisis CH4 dan

electron capture detector (ECD) untuk analisis N2O. Semua analisis ini dilakukan

di Universitas Hokkaido, Jepang.

3.3.3. Pengukuran Variabel Lingkungan dan Sampel Tanah

Selain mengambil sampel gas, dilakukan pula pengukuran variabel lingkungan seperti suhu udara, suhu tanah, kelembaban relatif udara, serta sampel tanah untuk dianalisis sifat kimia dan fisik tanahnya. Untuk pPengukuran suhu

udara dan kelembaban relatif kami mengdigunakan termo-higrometersedangkan,

untuk mengetahui suhu tanah menggunakandigunakan portabel temperature probe dengan kedalaman 5 cm sedangkan dan untuk mengambil sampel tanah

kami menggunkandigunakan ring sampel.

3.3.4. Perhitungan Gas

Rumus yang digunakan untuk mendapatkan fluks CH4 dan N2O dari

sampel gas yang didapat adalah sebagai berikut:

Fluks (C-CH4) =

ρ

(CH4) X HC X

C

X X C

Fluks (N-N2O) =

ρ

(N2O) X HC X

C

X X N

Keterangan :

ρ

(CH4)= masa jenis CH4(g)(106mg m-3)

ρ

(N2O)= masa jenis N2O(g)(106mg m-3)

HC = tinggi sungkup (m)

Cd = perbedaan konsentrasi gas (m3 m-3) dt = perbedaan waktu (jam)

T = suhu udara (K) N = bobot atom N C = bobot atomC CH4 = bobot molekul CH4

(28)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Fluks dan Total Fluks Gas Metana (CH4) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong

Pada Gambar 4, 5 dan 6 menunjukkan fluks CH4 pada lahan jagung,

kacang tanah dan singkong. Terdapat dua buah fluks CH4 pada lahan jagung dan

lahan singkong, sedangkan pada lahan kacang tanah 0hanya terdapat satu buah

fluks CH4. Fluks pada lahan kacang tanah hanya satu buahPada lahan kacang tanah hanya terdapat satu buah fluks karena ketiga sungkup diletakan pada baris tanaman, sehingga hasil fluks dari ketiga sungkup tersebut dapat dirata-ratakan.

Sedangkan, Dua dua buah fluks pada lahan jagung dan singkong terdiri dari baris

antar tanaman dan rata-rata (dua buah contoh) fluks CH4 pada baris tanaman. Fluks pada lahan kacang tanah merupakan rata-rata fluks dari tiga buah sungkup

di baris tanaman. Fluks pada ketiga lahan sangat kecil, hampir semua fluks berada di bawah 1 mg C-CH4/m2/hari, dengan selang fluks CH4 di lahan jagung -0,73

sampai 1,23 mg C-CH4/m2/hari, lahan kacang tanah -0,27 sampai 0,89 mg

C-CH4/m2/hari, dan lahan singkong -1,19 sampai 2,95 mg C-CH4/m2/hari. Berikut

gambar yang menunjukan fluks pada ketiga penggunaan lahan.

Gambar 4. Fluks CH4 pada lahan jagung

-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1 1,5

1 8 15 22 29 36 43 50 57

fluks g

as

CH

4

(m

g

C-C

H4

/m

2/hari)

(29)

Gambar 5. Fluks CH4 pada lahan kacang tanah

Gambar 6. Fluks CH4 pada lahan singkong.

Gas metana merupakan gas yang terbentuk pada tanah-tanah anaerob dengan redoks potensial -220 volt. Suprihati (2007) menguangkapkan, gas CH4

dihasilkan secara biologis oleh aktivitas mikrob yaitu aktivitas bakteri metanogen Hari

rata-rata kacang tanahrata-rata fluks pada lahan kacang tanah

-2

(30)

melalui penguraian atau pembusukan bahan-bahan organik yang terjadi pada lahan sawah dan fermentasi anterik pada ruminan. Zaenal (1997) mengungkapkan, pada budidaya lahan kering CH4 dapat terbentuk pada site-site anaerob.

Berdasarkan hal-hal tersebut dapat diketahui, pembentukan gas CH4 sangat

berkaitan dengan aktifitas bakteri metanogen yang membutuhkan bahan organik dan lingkungan yang anaerob. Sehingga pembentukan gas CH4 pada lahan kering

tanaman jagung, kacang tanah dan singkong yang diteliti ini diakibatkan oleh site-site anaerob dengan bahan organik yang sedang terdekomposisi. Hal tersebut

menimbulkan suasana yang sesuai untuk aktifitas bakteri metanogen.

Dari Gambar 4,5 dan 6 kita dapat melihat fluks gas CH4 bernilai negatif.

Nilai fluks CH4 yang negatif pada lahan kering yang diteliti ini dapat diakibatkan

oleh aktifitas bakteri metanogen maupun aktifitas bakteri metanotrof. Aktifitas bakteri metanogen pada lahan-lahan kering sangat terbatas, bakteri ini hanya dapat

beraktifitas pada site-site anaerob yang sangat sempit dengan bahan organik yang cukup. Pada site-site anaerob yang sempit ini ada kemungkinan CH4 terbentuk

pada masa awal pengambilan sampel gas (waktu 0 menit), kemudian pada masa-masa pengambilan berikutnya (waktu 20 menit dan 40 menit) gas tersebut tidak diproduksi lagi oleh metanogen, dikarenakan site-site yang sesuai untuk

pembentukan gas ini sudah tidak tersedia lagi. Sehingga ketika pada masa awal (0 menit) terukur terdapat konsentrasi gas CH4 namun pada masa pengambilan yang

kedua (20 menit) dan pengambilan yang ketiga (40 menit) konsentrasi tidak kontinu bertambah bahkan cenderung turun, menyebabkan nilai fluks CH4

tersebut bernilai negatif.

Selain bakteri metanogen (bakteri pembentuk gas metana) terdapat pula bakteri pengoksidasi CH4 atau bakteri metanotrof. Bakteri metanotrof adalah

mikroorganisme aerobik yang dapat tumbuh dan berkembang dengan CH4 sebagai

satu-satunya sumber energi. Oleh karena itu, oksidasi CH4 dapat terjadi pada

lingkungan mikro yang bersifat aerobik pada zona perakaran dan pada bagian yang bersifat oksik pada lapisan permukaan tanah. Proses oksidasi CH4 tersebut

diinisiasi oleh enzim metan mono-oksigenase yang berperan dalam konversi CH4

menjadi metanol (Oremland dan Capone, 1988). Pembentukan gas CH4 pada

(31)

aktifitas bakteri metanotrof, sehingga gas CH4 yang terbentuk pada site-site

terbatas tersebut dapat dimanfaatkan oleh metanotrof. Hal tersebut menyebabkan konsentrasi gas CH4 terus berkurang dan mengakibatkan nilai fluks negatif. Nilai

fluks negatif pada budidaya lahan kering didapatkan pula oleh para peneliti sebelumnya. Tercatat nilai fluks pada budidaya kedelai -0,05 mg C-CH4/m2/jam

(Ernawanto et. al, 2003), Fluks CH4 dari empat macam tipe penggunaan tanah

(hutan tua, hutan habis tebang, dibakar setelah tebang dan perkebunan karet) di Jambi, Sumatera berkisar antara -21,2 hingga 4,2 10-3 mg C-CH4/m2/jam

(Ishizuka et. al., 2002).

Dari fluks gas CH4 per hari dapat diketahui total fluks CH4 per tahun.

Total fluks diperoleh dengan cara menghitung areal fluks di bawah kurva selama priode penelitian. Terhitung tTotal fluks CH4 tertinggi terdapat di lahan kacang

tanah, yaitu sebesar 1,57 kg C-CH4/ha/tahun, sedangkan total fluks terendah

terdapat pada lahan singkong sebesar -0,3 kg C-CH4/ha/tahun (Tabel 1),

sedangkan data mengenai fluks CH4 dan variable lingkungan pada setiap

pengambilan sampel dapat di lihat pada lampiran 5, 6 dan 7.

Tabel 2.Total fluks CH4, konsentrasi NO3-, konsentrasi NH4+ dan WFPS pada

lahan jagung, kacang tanah dan singkong

Komoditas Total fluks CH4

(mgC/ha/hari)

STDEV

Konsentrasi NO3

-(mg NO3-/kg)

Konsentrasi NH4+

(mg NH4+/kg)

WFPS (%)

Jagung -0,30 0,64 31,69 15,79 46,39

Kacang Tanah 1,57 1,24 15,91 8,13 36,92

Singkong 1,05 0,50 14,37 5,82 43,37

Keragaman data fluks CH4 dari ketiga lahan tanaman tersebut sangat

besar. Keragaman yang besar ini menandakan kemungkinan tidak ada perbedaan fluks yang signifikan dari ketiga penggunaan lahan tersebut. Bila dibandingkan

total fluks CH4 dari lahan jagung, kacang tanah dan singkong dibandingkan

dengan total fluks pada lahan padi sawah, nilai fluks yang terukur sangat kecil.

,diketahui bBerdasarkan penelitian Setyanto (2004) fluks CH4 pada lahan sawah

(32)

pada sistem penanaman walik jerami – kedelai - padi gogo rancah diperkirakan sebesar 199,2 kg/ha/tahun dengan rataan 2,3 mg/m2/jam.

Berbagai data hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa lahan kering

yang ditanami oleh jagung, kacang tanah dan singkong yang diteliti memiliki total fluks CH4 sangat kecil, bahkan mungkin dapat diabaikan bila dibandingkan

dengan total fluks CH4 yang terbentuk dari lahan-lahan yang tergenang (anaerob).

4.1. Fluks Gas Dinitrogen Oksida (N2O) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah, dan Singkong

Berdasarkan hasil pengukuran, pengamatan dan analisis sampel udara yang dilakukan, terlihat fluks gas dinitrogen oksida (N2O) pada lahan jagung,

kacang tanah dan singkong pada gambar 7, 8 dan 9.

Gambar 7. Fluks N2O pada lahan jagung

Keterangan

= Hujan

= Aplikasi Pupuk

-5 0 5 10 15 20 25 30 35 40

1 8 15 22 29 36 43 50 57

Fluks

N

2

O

(mg N/m

2/d

(33)

Gambar 8. Fluks N2O pada lahan kacang tanah

Gambar 9. Fluks N2O pada lahan singkong

Pada Gambar 7, 8 dan 9 terukur range fluks untuk lahan jagung jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan range fluks dari lahan kacang tanah maupun lahan singkong. Pada lahan jagung fluks N2O dapat mencapai 20 mg N-N2O/m2/hari

pada awal penanaman, lahan kacang tanah 0,52 mg N-N2O/m2/hari dan pada lahan

singkong terlihat fluks NO maksimal sebesar 5 mg N-N O/m2/hari.

Keterangan  

(34)

Pada lahan jagung terlihat fluks pada baris tanaman, terutama pada awal-awal penanaman, lebih tinggi dibandingkan pada baris antar tanaman. Fluks N2O

pada baris tanaman di lahan singkong tidak terlihat perbedaan yang signifikan

dengan fluks pada baris antar tanaman.

Berdasarkan data tersebut Dapat dapat dilihat pula bahwa fluks N2O

meningkat dengan penambahan pupuk, penambahan pupuk pada gambaryang

ditunjukan dengan garis tegak lurus berwarna merah. Peningkatan fluks lebih signifikan terlihat setelah dilakukkan penambahan pupuk dan terjadi hujan,hal ini

terjadi pada fluks N2O dilahan singkong.Peningkatan fluks N2O di lahan singkong

lebih signifikan terlihat setelah dilakukan penambahan pupuk dan terjadi hujan.

Tingginya fluks N2O pada baris tanaman dimasa awal penanaman jagung

dapat diakibatkan oleh pemupukan yang biasa dilakukkan pada baris tanaman saja. Hal ini menyebabkan konsentrasi unsur N lebih tinggi pada baris tanaman

dibandingkan dengan baris antar tanaman. Pemupukan juga menyebabkan peningkatan produksi N2O pada lahan. Suprihati (2007) mendapatkan pula bahwa

fluks N2O pada lahan jagung tertinggi pada masa-masa awal penanaman, hal ini

disebabkan karena pada masa awal penanaman petani biasa mengaplikasikan pupuk organik serta pupuk N sehingga menciptakan lingkungan yang sesuai untuk

pembentukan N2O. Hal serupa diunkapkan oleh Pathak (1999), bahwa produksi

N2O meningkat, baik melalui proses nitrifikasi maupun melalui proses

denitrifikasi ketika tanah diberi aplikasi pupuk-N.

Pada lahan singkong terlihat peningkatan fluks yang signifikan setelah

lahan singkong dipupuk dan terjadi hujan. Peningkatan ini terjadi karena hujan meningkatkan kadar air tanah. Air tanah ini dapat mempengaruhi proses denitrifikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara: (1) air tanah membuat lingkungan yang sesuai untuk mikroorganisme berkembang dan beraktivitas; (2) membatasi tersedianya O2 pada pori-pori mikro tanah; dan (3)

mudahnya pelepasan substrat C dan N melalui siklus pembasahan dan pengeringan. ;namun Namun bagaimanapun yang terpenting dari peran air tanah

yang terpenting adalah membatasi adanya O2 pada pori tanah, sehingga N2O

(35)

mendorong terjadinya proses denitrifikasi yang menghasilkan N2O lebih tinggi.

Wrage et. al. (2001) menyatakan bahwa NH4 dapat teroksidasi dalam keadaan

aerob melalui proses nitrifikasi menjadiNO3, pada proses perubahan iniN2O dapat

terbentuk dalam jumlah yang kecilNH4+ dapat teroksidasi menjadi NO3- melalui

proses nitrifikasi dengan menghasilkan N2O dalam jumlah yang kecil.

sedangkanSedangkan NO3- dapat tereduksi melalui proses denitrifikasi dalam

keadaan sedikit aerob menjadi N2O, pada proses ini N2O banyak terbentuk.

4.2. Total Fluks Gas Dinitrogen Oksida (N2O) pada Lahan Jagung, Kacang Tanah dan Singkong

Total fluks N2O dari lahan jagung, kacang tanah dan singkong didapat

dengan cara menghitung luas areal dibawah kurva fluks selama priode penelitian. Total fluks N2O pada lahan jagung sebesar 16,9 kg N-N2O/ha/tahun, lahan kacang

tanah sebesar 0,6 kg N-N2O/ha/tahun dan lahan singkong sebesar 1,52 kg

N-N2O/ha/tahun (Tabel 3), sedangkan untuk data mengenai fluks N2O dan variable

lingkungan ketika pengambilan sampel dapat dilihat pada lampiran 8, 9 dan 10.

Tabel 3.Total fluksN2O, konsentrasiNO3-, konsentrasiNH4+ danWFPS pada lahan

jagung, kacang tanah dan singkong

Komoditas Total fluks N2O

(kg N/ha/thn)

STDEV Konsentrasi NO3

-(mg NO3-/kg)

Konsentrasi NH4+

(mg NH4+/kg)

WFPS (%)

Jagung 16,09 4,70 31,69 15,79 46,39

Kacang Tanah 0,76 0,67 15,91 8,13 36,92

Singkong 1,52 0,50 0,58 5,82 43,37

Dari tabel diatas terlihat konsentrasi unsur N dalam bentuk NO3- lebih

tinggi dibandingkan dengan konsentrasi unsure N dalam bentuk NH4+. Hal ini

menandakan bahwa proses nitrifikasi berjalan dengan baik dan menghasilkan NO3-. Tersedianya NO3- dalam jumlah besar menimbulkan potensi terbentuknya

N2O lebih tinggi, karena melalui proses denitrifikasi dengan keadaan WFPS

mendekati 60% menimbulkan lingkungan yang sangat sesuai untuk terbentuknya

N2O dari lahan pertanian.

Wrage et. al. (2001) menyatakan bahwa, senyawa NH4+ dapat teroksidasi

(36)

perubahan ini N2O dapat terbentuk dalam jumlah yang kecil, sedangkan NO3

-dapat tereduksi melalui proses denitrifikasi dalam keadaan sedikit aerob menjadi N2O, pada proses ini N2O banyak terbentuk.

Berdasarkan total fluks yang terukur, fluks pada lahan jagung jauh lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kacang tanah maupun lahan singkong. Perbedaan fluks yang mencolok pada lahan jagung dapat diakibatkan oleh berbagai faktor.Salah satu faktor penyebab tingginya fluks N2O pada lahan jagung

adalah konsentrasi unsur N di tanah. Terukur pPada lahan jagung rata-rata

konsentrasi unsur N dalam bentuk NH4+ maupun NO3- lebih tinggi dua kali lipat

dibandingkan dengan lahan kacang tanah maupun lahan singkong (Tabel 3). Konsentrasi unsur N dalam bentuk NH4+ maupun dalam bentuk NO3- di

lahan pertanian dapat ditingkatkan dengan aplikasi pupuk N. Aplikasi pupuk N pada lahan jagung sepertinya berlebih. Berlebihnya unsur N pada lahan jagung,

selain dapat dilihat dari tingginya unsure N dalam bentuk NH4+ maupun NO3- di lahan jagung, kelebihan dapat dilihat pula dari banyaknya tanaman jagung yang

mengalami roboh di lahan yang diteliti. Robohnya tanaman diakibatkan oleh sekulensi yang disebabkan karena tanaman mengalami kelebihan unsur N.

Hal berbeda terlihat pada lahan kacang tanah dan singkong. Konsentrasi unsur N dalam senyawa NH4+ maupun senyawa NO3- di lahan kacang tanah lebih

tinggi dibandingkan lahan singkong (Tabel 3), namun total fluks N2O pada lahan

singkong lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kacang tanah (Tabel 3). Hal ini dapat terjadi karena faktor pembentukan N2O tidak hanya berdasarkan konsentrasi

unsur N saja, namun pembentukan N2O dipengaruhi pula oleh faktor-faktor

lingkungan. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi peningkatan pembentukan N2O dari lahan pertanian adalah water filled pore space (WFPS).

Pada tabel 3 terlihat rata-rata WFPS pada lahan singkong hampir 7 (tujuh) poin lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kacang tanah.

Water filled pore space sangat berkaitan dengan kelembaban tanah.

menurut Menurut Pathak (1999), kelembaban tanah mempengaruhi pembentukan N2O karena menyebabkan kondisi yang sesuai untuk mikroorganisme beraktivitas

dan berkembang, membatasi O2 berada pada pori-pori mikro, dan memungkinkan

(37)

Pembentukan N2O dipengaruhi oleh iklim mikro tanah, N2O banyak terbentuk

pada pori-pori tanah yang terisi air, sedangkan pada pori yang tidak terisi air gas N2O sangat kecil terbentuk. Lind dan Doran (1984) menyatakan pula bahwa fluks

N2O maksimum ketika WFPS mencapai 60%, karena bila WFPS melebihi 60%

yang terbentuk bukan gas dinitrogen oksida (N2O) melainkan gas nitrogen (N2).

Berdasarkan hal-hal tersebut maka WFPS dapat menggambarkan berapa banyak tempat yang dapat memproduksi N2O di tanah dalam keadaan sedikit anaerob

melalui proses denitrifikasi.

Berdasarkan data tersebut dapat terlihat N2O banyak terbentuk ketika

petani melakukan aplikasi pupuk-N yang berlebihan. Dampak dari aplikasi pupuk yang berlebihan selain membentuk N2O, juga dapat merusak tanaman dan

(38)

V. KESIMPULAN

1. Total fluks gas CH4 pada penggunaan lahan yang ditanami jagung, kacang

tanah, dan singkong sangat kecil. Pada lahan singkong 1,57 kg C-CH4/ha/thn,

jagung -0,3 kg C-CH4/ha/thn, dan kacang tanah 1,05 kg C-CH4/ha/thn.

2. Fluks CH4 terlihat sangat kecil, hal ini terjadi hal ini terjadi karena CH4 baru

dapat terbentuk dalam keadaan anaerob, sedangkan lahan yang diteliti merupakan lahan kering yang aerob.

3. Untuk Total fluks N2O pada penggunaan lahan yang ditanami jagung, kacang

tanah dan singkong terukur kecil pula, kecuali pada lahan yang ditanami

jagung. Berturut-turut total fluks N2O pada lahan jagung, kacang tanah dan

singkong sebesar 16,9 kg N-N2O/ha/thn, 0,76 kg N-N2O/ha/tahun, 1,52 kg

N-N2O/ha/thn.

4. Faktor yang mempengaruhi fluks N2O adalah konsentrasi NO3- dan NH4+ di

dalam tanah, serta emisi N2O dipengaruhi pula oleh kelembapan tanah /

(39)

VI. DAFTAR PUSTAKA

Abdulllah dan Khoiruddin. 2009. Efek rumah kaca dan pemanasan global. Biocelebes. Volume 3, No.1

Arcara, P. G., C. Gamba, D. Bidini., R. Marchetti. 1999. The effect of urea and pig slurry fertilization on denitrification, direct nitrous oxide emission, volatile fatty acids, water-soluble carbon and anthrone-reactive carbon inmaize-cropped soil from the Po Plain (Modena Italy). Biol Fertil Soils 29:270-276.

Batjes, N. H. 1992. Methane. In N. H. Batjes and E. M. Bridges. A review of soil factors and processes that control fluxes of heat, moisture and greenhouse gases.Technical paper 23, International Soil Reference and Information Centre, Wageningen, pp.33-66.

Bouwman, A. F. 1990. Exchange of greenhouse gases between terrestrial ecosystem and the atmosphere. 61-97. In A. F. Bowman (ed). Soil and The Green House Effect. John Wiley & Sonds Ltd. Chichester.

Bouwman. A. F. 1996. Direct emissions of nitrous oxide from agricultural soils. Nutr. Cycl. Agroecosyst. 46: 53–70

BPS (Biro Pusat Statistik / Indonesian Statistics Berau). 2012. Food Croop Statistics. BPS Statistics of Indonesia.

Conrad. R. 1989. Continuous record on the influence of daytime season and fertilizer treatment on methane emission rate from an Italian rice paddy field. Journal of Geophysical Research. 94: 16405-16416

Crutzen. P. J. 1970. The influence of nitrogen oxides on the atmospheric ozone content. Quart. J. Roy. Meteorol Soc. 96: 320–325.

Ernawanto, Q. D., M. Sri Saeni, A. Sastiono, S. Partohardjono. 2003. Dinamika metana pada lahan sawah tadah hujan dengan pengolahan tanah, varietas, dan bahan organik yang berbeda. Forum Pascasarjana IPB, Bogor. 26 (3): 241-255.

Furukawa, Y., K. Inubushi, M. Ali, A. M. Itang, and H. Tsurata. 2005. Effect of changing ground water levels caused by land-use changes on greenhouse gas fluxes from tropical peat land. Nutrient Cycling in Agroecosystems. 71: 81–91

(40)

Husin, Y. A. 1994. Methane flux from Indonesian wetland rice: The effects of water management and rice variety. A Dissertation. Post Graduate Program, Bogor Agricultural University. pp 201

Ishizuka, S., A. Iswandi, Y. Nakajima, S. Yonemura., S. Sudo., H. Tsuruta, D. Murdiyarso. 2005. Spatial patterns of greenhouse gas emissions in a tropical rainforest in Indonesia. Nutr Cycl Agroecosyst 71:55-62.

Ishizuka, S., H. Tsuruta, D. Murdiyarso. 2002. An intensive field study on CO2,

CH4, and N2O Emissions from soils at four land-use types in Sumatera,

Indonesia. Global Biogeochem Cycles 16 (3): 22-1 – 22-11.

Katayangi. N, T. Sawamoto, A. Hayakawa, and R. Hatano. Nitrous oxide and nitric oxide fluxes from corn field, grassland, pasture and forest in a water shed in Southern Hokkaido, Japan. Soil Science and Plant Nutrition. 54: 662–680

Khalil, M. A. K. and R. A. Rasmussen. 1992. The global sources of nitrous Oxide. J. Geophys. Res., 97: 14651 -14660.

Khalil, M.I., A.B. rosenani, O. Van Cleemput, P. Boeckx, J. Shamshuddin, C.I. Fauziah. 2002. Nitrous oxide production from an ultisol of humid tropics treated with different nitrogen sources and moisture regimes. Biol Fertil Soils 36:59-65.

Klemedtsson, A. K., L. Klemedtsson. 1997. Methane uptake in Swedish forest soil in relation to liming and extra N-deposition. Biol Fertil Soils 25:296-301.

Leiwakabessy, F. M. 1988. Kesuburan tanah. Departemen Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Bogor

Lim. D. M. and J. W. Doran.1984. Effect water-filled pore space on carbon dioxide and nitrous oxide production in tilled and non tilled soil. Soil Science Society of America Journal. 48: 1267-1272

Mosier A.R. 1998. Soil processes and global change. Biol Fertil Soils.27: 221– 229

Mogge, B., E., Kaiser, J. Munch. 1999. Nitrous oxide emissions and denitrification N-losses from agricultural soils in the Bornhöved Lake region: influence of organic fertilizers and land-use. Soil Biol Biochem 31:1245-1252.

Naharia, O. 2004.Teknologi pengairan dan pengolahan tanah pada budidaya padi sawah untuk mitigasi gas metana (CH4).Disertasi. Sekolah Pasca

(41)

Pawitan, H., A. K. Makarim, A. Iswandi, P. Setyanto, I. Amien, Wahyunto, E. Surmaini, H. L. Susilawati and P. Muchsin. 2008. Laporan akhir update dan penajaman data emisi dan penyerapan gas rumah kaca (GRK) sub sektor tanaman pangan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

Setyanto P., H. Burhan, A. Suharsih and N. Orbanus. 2003.The effect of water regime in soil management on methane emission from rice field. Laporan kerja saman penelitian dengan Syingenta R and D Station , Cikampek dan Loka Penelitian Pencemaran Lingkungan Jakenan

Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Bogor, IPB. Bogor

Soil survey staff. 2000. Keys to soil taxonomy, Eleventh Edition. NRCS-USDA, Washington DC

Suprihati. 2007. Populasi mikroba dan fluks metana (CH4) serta Nitrous Oksida

(N2O) pada Tanah Sawah : Pengaruh Pengelolaan Air, Bahan Organik

dan Pupuk Nitrogen. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.

Toma, Y. and R. Hatano. 2007. Effect of crop residue C:N ratio on N2O emission

from Graylowland Soil in Mikasa Hokkaido Japan. Soil Science and Plant Nutrition. 53: 198-205

Toma, Y., S. Kimoro, H. Yamada, Y. Hirose, K. Fujiwara,K. Kusa, and R. Hatano. 2010. Effects of environmental factors on temporal variation in annual carbon dioxide and nitrous oxide emissions from an unfertilized bare field on Gray Lowland soil in Mikasa, Hokkaido, Japan. Soil Science and Plant Nutrition. 56: 663–675

Tyler, S. 1991. The global methane budget.In Rogers, J. and W. Whitman, editors. Microbial production and consumption of greenhouse gases: methane, nitrogen oxides, and halomethanes. American Society of Microbiology.Washington, DC, USA, pp.7-38.

Pathak. H. 1999. Emission of nitrous oxide from soil.Current Science. Vol 77, No.3

Weier, K. L. 1999. N2O and CH4 emission and CH4 consumption in a sugarcane

soil after variation in nitrogen and water aplication. Soil Biol Biochem 31:1931-1941.

(42)

Yanai. Y, Toyota. K, Morishita.T, Takakai. F, R.Hatano, H. S. Limin, U. Darung, and S. Dohong. 2007. Fungal N2O production in an arable peat soil in

central kalimantan, Indonesia. Soil Science and Plant Nutrition(2007).53: 806–811

Zaenal, Anwar Zen. 1997. Serapan metana (CH4) pada pertanaman padi gogo

(43)

LAMPIRAN Lampiran 1. Tekstur tanah

Lampiran 2. Luas panen tanaman pangan di Indonesia

Tahun

Luas Panen (105 ha) Padi Jagung Singkong Kedelai Kacang

Tanah

Kacang Hijau

Ubi Jalar

2000 117,9 35 12,8 8,2 6,8 3,2 1,9

2005 118,3 36,2 12,1 6,2 7,2 3,1 1,7

2009 128,8 41,6 11,7 7,2 6,2 2,9 1,8

(Biro Pusat Statistika, 2010)

Lampiran 3.Waktu penelitian pada masing-masing lahan.

Waktu Penelitian

Komoditas Tanggal

Jagung 6 Desember 2010- 6 Februari 2011

Kacang tanah 5 Desember 2010-27 Januari 2011

Singkong 0 bulan-3 bulan 27 November 2010- 25 Februari 2011

Singkong 3 bulan-6 bulan 18 Desember 2010-22 februari 2011

Singkong 6 bulan-9 bulan 27 November-22 February 2011

Lampiran 4. Siklus tanam pada lahan yang diteliti

SIKLUS TANAM

Padi (3,5 bln) Umbi Jalar (3,5 bln) Umbi Jalar (3,5 bln)

Umbi Jalar (3,5 bln) Padi (3,5 bln) Kangkung (25 hari)

Jagung (2 bln) Umbi Jalar (3,5 bln) Padi (3,5 bln)

Singkong (9 bln) Jagung (2 bln) Bengkuang (5 bln)

padi (3,5 bln) Padi (3,5 bln) Kacang Tanah (2,5 bln)

Padi (3,5 bln)

Lahan %pasir %liat %debu

Singkong 0 bulan 4,15 61,04 34,81

Singkong 3 bulan 4,92 60,17 34,91

Singkong 6 bulan 3,42 72,48 24,11

Kacang tanah 4,39 56,50 39,11

(44)

Lampiran 5. Fluks CH4 dan variabel lingkungan selama musim tanam di lahan

06/12/2010 0 0,250 0,250 27,73 81,87 25,37 37,09

07/12/2010 0,463 -0,733 -0,135 30,23 77,67 25,98 59,00

12/12/2010 -0,145 -0,109 -0,127 33,17 69,47 27,77 46,15

16/12/2010 0,500 -0,432 0,034 26,43 77,97 24,85 69,45

21/12/2010 0,066 -0,214 -0,074 33,10 84,17 29,30 27,42

25/12/2010 0,602 0,053 0,327 36,97 80,57 31,95 54,86

27/12/2010 0,220 0,289 0,255 32,33 63,80 26,90 41,12

30/12/2010 0,538 -0,393 0,073 30,63 87,40 26,38 36,06

04/01/2011 1,231 -0,328 0,452 30,97 86,43 26,67 33,99

16/01/2011 0,451 -0,579 -0,064 27,80 89,90 25,13 54,66

22/01/2011 0,305 0,025 0,165 27,40 96,67 25,45 43,19

27/01/2011 0,085 -0,410 -0,162 34,93 69,27 26,33 41,75

06/02/2011 0,693 -0,237 0,228 32,07 80,17 25,90 58,36

Rata-rata 0,417 -0,217 0,094 31,059 80,411 26,768 46,394

Lampiran 6. Fluks CH4 dan variabel lingkungan selama musim tanam dilahan

kacang tanah

05/12/2010 -0,204 32,43 61,27 27,98 35,06

12/12/2010 0,209 32,70 70,70 27,80 37,06

21/12/2010 0,440 34,33 69,20 28,22 24,33

25/12/2010 -0,115 36,93 73,40 30,87 36,50

27/12/2010 -0,270 28,43 84,73 25,32 33,42

30/12/2010 0,896 21,63 79,97 24,76 38,37

04/01/2011 0,501 33,50 81,73 28,90 43,56

22/01/2011 0,097 26,90 94,07 25,17 54,31

27/01/2011 -0,078 30,47 77,03 25,05 29,63

(45)
(46)

Lampiran 8. Fluks N2O dan variabel lingkungan selama musim tanam

antar baris dalam baris

rata-rata

Rata-rata 4,552 2,026 3,293 31,059 80,411 26,76

8

46,39 4

Lampiran 9. Fluks N2O dan variabel lingkungan selama musim tanam dilahan

kacang tanah

05/12/2010 0,287 32,43 61,27 27,98 35,06

12/12/2010 0,109 32,70 70,70 27,80 37,06

21/12/2010 0,221 34,33 69,20 28,22 24,33

25/12/2010 0,466 36,93 73,40 30,87 36,50

27/12/2010 0,526 28,43 84,73 25,32 33,42

30/12/2010 0,166 21,63 79,97 24,76 38,37

04/01/2011 0,467 33,50 81,73 28,90 43,56

22/01/2011 0,247 26,90 94,07 25,17 54,31

27/01/2011 0,280 30,47 77,03 25,05 29,63

(47)

Lampiran 10. Fluks N2O dan variabel lingkungan selama musim tanam di lahan

rata-rata 0,696 0,412 0,554 26,32

0 82,904

30,41 5

(48)

Lampiran 11. Lokasi tempat penelitan

Lampiran 12. Letak sungkup di bentang lahan yang diteliti

(49)

Lampiran 14.Letak sungkup di lahan kacang tanah.

Lampiran 15. Letak sungkup di lahan singkong.

         

(50)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Perubahan iklim merupakan isu global yang terus menjadi sorotan utama

belakangan ini, diduga perubahan iklim diakibatkan oleh meningkatnya gas-gas penyebab rumah kaca di atmosfer. Pembicaraan tingkat dunia mengenai perubahan iklim dimulai dengan kerjasama internasional pada Earth Summit di Rio de Jenairo, Brazil. Pada kesempatan tersebut 150 negara berikrar untuk

menghadapi masalah perubahan iklim dan setuju menerjemahkan perjanjian ini pada suatu perjanjian yang mengikat. Kemudian pada tahun 2007 di Kyoto Jepang 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat untuk menurunkan konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer, yang dikenal dengan protokol Kyoto. Perjanjian ini, menyerukan kepada 30 negara-negara industri yang memegang

implementasi paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5% di bawah emisi tahun 1990 dan pengurangan ini harus sudah dicapai pada tahun 2012.

Keseriusan masyarakat dunia dalam menghadapi perubahan iklim ini karena, diprediksi efek dari perubahan iklim dapat menyebabkan berbagai

bencana alam seperti kekeringan berkepanjangan, banjir, angin topan, hujan asam sampai meningkatnya tinggi muka air laut. Perubahan iklim sangat berkaitan dengan peningkatan suhu bumi. Salah satu penyebab meningkatnya suhu bumi adalah peningkatan gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Gas rumah kaca merupakan gas-gas yang tertimbun di lapisan atmosfer yang sifatnya menyerap

radiasi gelombang panjang (sinar infra merah) dan menyebabkan meningkatnya suhu permukaan bumi, atau gas-gas yang dapat bertindak seperti rumah kaca pada sistem pertanian atau perkebunan.

Gas rumah kaca dihasilkan terutama dari kegiatan manusia yang berhubungan dengan penggunaan bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara)

(51)

terhadap pemanasan global secara langsung sebesar 14%. Apabila benar, pernyataan FAO tersebut dapat mengganggu program-program ketahanan pangan dan energi terbarukan yang berasal dari sektor pertanian dan perkebunan.

Sehingga penting untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya.

Gas rumah kaca yang diduga terbentuk pada lahan-lahan pertanian dan berkontribusi besar terhadap pemanasan global adalah; karbon dioksida (CO2),

metana (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O). Gas-gas tersebut dapat meneruskan

radiasi gelombang pendek yang berasal dari sinar matahari, mampu menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang radiasi balik yang berasal dari pancaran bumi yang bersifat panas, sehingga suhu atmosfer bumi meningkat. Namun hanya gas CO2 yang menjadi sorotan utama belakangan ini, sehingga penting untuk

melakukan penelitian gas CH4 dan N2O.

Selain itu penelitan GRK di daerah tropis khususnya di Indonesia lebih banyak dilakukan pada tanah-tanah organik (gambut). Bila dilihat dari total luasan lahan gambut di Indonesia, lahan gambut hanya 20 juta ha dari 188 juta ha daratan Indonesia. Sehingga penting untuk melakukan penelitian GRK pada tanah-tanah mineral terutama yang digunakan sebagai lahan pertanian. Sedangkan dilihat dari

komoditas tanaman pangan utama yang dibudidayakan di Indonesia jagung, kacang tanah, dan singkong termasuk lima komoditas terpenting yang di budidayakan di Indonesia.

Untuk mengetahui besarnya fluks GRK yang terbentuk pada lahan

pertanian, dilakukan penelitian tentang fluks dari lahan pertanian tanaman pangan utama yaitu jagung, kacang tanah, dan singkong. Luas panen tanaman pangan utama di Indonesia dapat dilihat pada lampiran 2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi fluks gas CH4 dan N2O dari lahan pertanian.

1.2.Tujuan

1. Menghitung total fluks CH4 dan N2O dari lahan yang ditanami jagung,

kacang tanah dan singkong di tanah mineral.

2. Mengetahui faktor yang mempengaruhi fluks CH4 dan N2O dari lahan

Gambar

Gambar 1. PrGroses pembeentukan gas ddinitrogen okksida (N2O)
Tabel 1. Luas panen, produktivitas dan produksi tanaman pangan utama
Gambar 2. Letak sungkup pada masing-masing lahan.
gambar yang menunjukan fluks pada ketiga penggunaan lahan.
+7

Referensi

Dokumen terkait