• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

1. Life Skill Generik

Pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap manusia. Di zaman modern seperti ini, yang berpendidikan tinggi sekali pun masih banyak yang menganggur, bisa kita bayangkan apabila kita tidak dibekali dengan pendidikan yang cukup. Pendidikan adalah modal utama untuk membangun bangsa, tentu pendidikan yang dapat membangun suatu bangsa ialah pendidikan yang bermutu, yaitu pendidikan yang mampu mengembangkan potensi peserta didik, sehingga peserta didik mampu menghadapi dan memecahkan problema kehidupan yang dihadapinya. Dewasa ini pengembangan kurikulum lebih berorientasi pada upaya penyiapan para peserta didik yang cerdas melalui pengembangan keterampilan atau keahlian khusus sesuai dengan konsentrasi studinya. Sekolah memiliki peranan yang penting untuk mencetak manusia-manusia yang terdidik. Tyler dan Seller dalam Hakim (2009, hlm.216) mengemukakan, program pendidikan yang dilaksanakan oleh sekolah harus memberikan bekal dan pemahaman kepada siswa tentang kehidupan bermasyarakat yang mencakup dunia kerja sebab pada dasarnya tujuan dari sekolah dan program pendidikan adalah untuk membantu siswa agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Banyak harapan dari para orang tua murid yang menyekolahkan anaknya agar anaknya memiliki bekal ilmu pengetahuan, memiliki etika dan tatakrama, memiliki kemampuan dan life skill dengan harapan agar mereka dapat memiliki kehidupan yang layak nantinya.

Pengertian life skill menurut Suyono dan Hariyanto (2011, hlm.174) jangan dimaknai secara sempit hanya dengan melihat keterampilan fisik saja, tetapi juga bermakna sebagai sikap, perilaku, dan motivasi yang diperlukan para siswa untuk terampil menghadapi

9

berbagai persoalan hidup yang akan dihadapinya. Pendidikan life skill sangat luas cakupannya. Tidak hanya dari segi kesehatan, pendidikan life skill juga dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Mutu pendidikan harus terus ditingkatkan guna untuk meningkatkan mutu sumber daya manusia. Oleh karena itu pendidikan harus dapat mengembangkan potensi peserta didik untuk dapat mnghadapi berbagai masalah yang akan dihadapinya. Pendidikan life skill sangat penting diberikan kepada para siswa untuk memberikan bekal agar mereka dapat menyelesaikan berbagai macam tantangan hidup yang akan mereka hadapi nantinya. Pendidikan life skill melatih para siswa agar mereka terampil dalam memecahkan masalah-masalah yang ada karena pendidikan life skill tidak hanya bergelut pada aspek kognitif saja, namun afektif dan psikomorik pun merupakan bagian dari pendidikan life skill. Sehingga siswa akan dibekali dengan kemampuan dan life skill yang cukup.

Tim Broad Based Education Depdiknas (2003, hlm.2) menyatakan bahwa pendidikan life skill ini bukanlah suatu mata pelajaran baru, sehingga tidak perlu merubah kurikulum. Yang harus dilakukan adalah reorientasi pendidikan yang semula subject mater oriented menjadi life skill oriented. Adanya reorientasi pendidikan tersebut, diharapkan siswa dapat memiliki life skill pada dirinya. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan (2007, hlm. 356) merumuskan life skill sebagai keterampilan para siswa untuk memahami dirinya sendiri serta potensi yang mereka miliki. Sehingga siswa tahu apa tujuan hidupnya serta mereka mampu untuk memecahkan masalah serta dapat hidup bersama orang lain. Sehingga dengan adanya pendidikan life skill ini siswa diharapkan mampu memasuki kehidupan sebagai orang dewasa yang sukses.

Pendidikan life skill merupakan pendidikan yang bersifat aplikatif dan konseptual. Peserta didik tidak hanya mendapatkan ilmu, namun dengan adanya pendidikan life skill, siswa didorong untuk memiliki kemampuan lain dari ilmu yang telah mereka dapatkan. Sehingga

dengan demikian, pembelajaran di sekolah akan terasa langsung manfaatnya bahwa apa yang mereka pelajari memang benar nyata ada di sekeliling mereka dan mereka dapat mengaplikasikannya langsung.

Dengan pendidikan life skill, peserta didik dilatih untuk mengenali siapa diri mereka, mengenali lingkungan sekitar mereka. Sehingga akan terbentuk motivasi di dalam diri mereka bahwa mereka memiliki kemampuan, mereka memiliki potensi dari apa yang telah mereka pelajari, dan mereka mampu menyelesaikan masalah dan tantangan hidup mereka.

Life skill sangat penting dimiliki oleh setiap individu untuk dapat melangsungkan hidupnya. Bahkan orang pengangguran pun tetap memerlukan life skill karena akan tetap menghadapi berbagai masalah. Apalagi bagi mereka yang sedang menempuh pendidikan, sudah pasti diharuskan memiliki life skill yang mumpuni karena mereka juga memiliki permasalahan yang harus dipecahkan. Setiap manusia tentu tidak akan terlepas dari masalah. Selama ia hidup, pasti akan dihadapkan dengan masalah. Kemampuan untuk menyelesaikan masalah inilah yang akan dilatih melalui pendidikan life skill. Menurut Satori dalam Susiwi (2007, hlm.1), life skill bukan hanya memiliki kemampuan tertentu saja (vocational job), namun ia juga harus memiliki kemampuan dasar pendukungnya seperti membaca, menulis, menghitung, merumuskan dan memecahlan masalah, mengelola sumber-sumber daya yang ada, bekerja dalam tim atau kelompok, dapat menggunakan teknologi, dan masih banyak lagi lainnya.

Departemen pendidikan nasional pun turut andil dalam pengembangan pendidikan life skill. Mengutip pernyataan Barrie Hopson dan Scally dalam dokumen depdiknas (2007, hlm.5), mereka mengemukakan bahwa life skill merupakan pengembangan diri yang dilakukan oleh siswa untuk dapat bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan baik secara individu, kelompok ataupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu.

11

Menurut konsepnya, yang dirumuskan oleh depdiknas (2007, hlm.6), kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu: life skill generik, dan life skill spesifik. Kedua jenis kecakapan itu dapat dibagi lagi menjadi sub-sub life skill. Life skill generik terdiri atas kecakapan personal yang terdiri dari kecakapan mengenal diri dan kecakapan berpikir, dan kecakapan sosial yang terdiri atas kecakapan berkomunikasi dan kecakapan bekerjasama. Sedangkan life skill spesifik terdiri atas kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Secara skematik, kecakapan hidup dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.1 Skema life skill

a. Kecakapan Mengenal Diri

Kecakapan mengenal diri menurut Anwar (2012, hlm.29), yakni penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai bagian dari anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari serta mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, serta menjadikan kesemua itu sebagai modal Life skill Life skill generik Kecakapan Personal Kecakapan Mengenal Diri Kecakapan Berpikir Kecakapan Sosial Kecakapan Berkomunikasi Kecakapan Bekerjasama Life skill spesifik Kecakapan Akademik Kecakapan Vokasional

dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang memiliki manfaat bagi dirinya sendiri serta lingkungannya. Susiwi (2007, hlm.2) menambahkan, dengan mengenal diri akan mendorong seseorang bersikap jujur, memiliki kerja keras, disiplin, dapat dipercaya, memiliki toleransi untuk sesama, suka menolong serta dapat memelihara lingkungannya. Sikap tersebut dapat dikembangkan melalui pembelajaran kimia. Sikap jujur yang sesuai dengan pembelajaran kimia misalnya ketika saat melaksanakan praktikum menuliskan hasil pengamatan sesuai dengan apa yang didapat, tidak mengada-ada.

b. Kecakapan Berpikir

Manusia sebagai makhluk yang dibekali akal pasti akan selalu berpikir akan sesuatu hal. Manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya karena manusia mempunyai akal budi dan kemauan yang kuat. Dengan akal budi dan kemauan yang kuat, manusia dapat menjadi makhluk yang lebih dari makhluk lainnya. Manusia mempunyai ciri khas, ia selalu ingin tahu, dan setelah memperoleh pengetahuan tentang sesuatu, maka ia memiliki kecenderungan untuk ingin lebih tahu lagi. Susiwi (2007, hlm.2) menjelaskan, kecakapan berpikir merupakan kemampuan untuk menggunakan pikiran atau akalnya secara optimal, untuk mengasah kecakapan berpikir siswa, mereka dilatih mengenai mengenali, menggali, dan mengolah informasi, mengambil keputusan secara cerdas, dapat memecahkan masalah dengan tegas, dan kreatif.

c. Kecakapan Berkomunikasi

Tidak ada satu manusia pun yang tidak berkomunikasi. Selama manusia itu hidup, pasti akan berkomunikasi. Salah satu keunikan manusia adalah kemampuannya menggunakan bahasa. Dengan kemampuannya itu, manusia mengembangkan diri dan dunia sosialnya. Kemampuan berkomunikasi inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Seperti yang dikatakan oleh Roudhonah (2007, hlm.45) pada dasarnya komunikasi adalah proses

13

penyampaian pikiran atau perasaan oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain dengan menggunakan lambang (simbol). Pikiran tersebut bisa berupa gagasan, informasi, opini, ide, peristiwa dan lainnya. Dari definisi tersebut, diperlukan teknik-teknik agar kita dapat berkomunikasi dengan baik, sehingga apa yang kita komunikasikan dapat dipahami oleh penerima pesan. Mengingat berkomunikasi itu sesuatu hal yang penting, maka kecakapan berkomunikasi harus dilatih.

Berkomunikasi dilakukan oleh semua makhluk hidup. Dalam dunia pendidikan, salah satu pelaku komunikasi ialah guru dan siswa. Dikutip dari Iriantara dan Syaripudin (2013, hlm.72) yang menyatakan bahwa komunikasi pembelajaran adalah interaksi yang dilakukan antara guru dengan siswanya di kelas. Tanya jawab adalah bagian dari proses berinteraksi. Untuk dapat berinteraksi dengan individu lain, bertanya memegang peranan yang penting agar proses interaksi dapat berjalan dengan baik. Di dalam dunia pendidikan, bertanya merupakan proses pembelajaran. Adanya tanya jawab, menunjukkan adanya suatu interaksi timbal balik antara guru dengan siswa. Ketika siswa mengajukan pertanyaan, berarti siswa tersebut memiliki keingin tahuan yang lebih yang mengindikasikan bahwa siswa tersebut merespon dengan baik selama proses pembelajaran. Namun, tidak semua siswa berani untuk mengajukan pertanyaan. Ada siswa yang cenderung aktif, ketika mereka penasaran akan sesuatu atau ada hal yang tidak sepemikiran dengan mereka, mereka akan langsung mengajukan pertanyaan. Namun tidak sedikit siswa yang tidak berani bahkan enggan untuk mengajukan pertanyaan. Hal ini menunjukkan bahwa keterampilan atau kecakapan berkomunikasi mereka masih rendah. Keterampilan bertanya haruslah dilatih. Harsanto (2007, hlm.72) mengatakan, latihan bertanya dapat dimulai dengan mengajukan pertanyaan tentang apa, siapa, di mana, mengapa, dan bagaimana.

d. Kecakapan Bekerjasama

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri. Artinya, manusia memerlukan orang lain untuk keberlangsungan hidupnya. Relasi antar individu sangat dibutuhkan demi terjalinnya hubungan yang baik antar sesama individu. Hal ini dapat terwujud apabila kita dapat bekerjasama dengan individu lain. Menurut Susiwi, (2007, hlm.3) saling pengertian, saling menghargai, dan saling membantu merupakan aspek dari kecakapan bekerjasama. Kecakapan ini dapat dikembangkan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan di dalam kelas atau laboratorium ketika melakukan suatu praktikum.

e. Kecakapan Akademik

Kecakapan akademik yang seringkali juga disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir rasional yang masih bersifat umum. Kecakapan akademik sudah lebih mengarah kepada kegiatan yang bersifat akademik/keilmuan. Kecakapan akademik mencakup antara lain kecakapan melakukan identifikasi variabel dan menjelaskan hubungannya pada suatu fenomena tertentu, merumuskan hipotesis terhadap suatu rangkaian kejadian, serta merancang dan melaksanakan penelitian untuk membuktikan sesuatu gagasan atau keingintahuan. Anwar (2012, hlm. 30)

f. Kecakapan Vokasional

Kecakapan vokasional dijelaskan oleh Aqib (2011, hlm.3). Menurutnya, kecakapan vokasional merupakan kecakapan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan yang berkembang di masyarakat. Sehingga kecakapan vokasional ini seringkali disebut kecakapan kejuruan. Sementara menurut Hakim (2009, hlm.221) setiap siswa harus memiliki kecakapan vokasional. Kecakapan vokasional ini meliputi pengetahuan, sikap dan keterampilan untuk bekerja sebagai wirausahawan. Kecakapan vokasional ini dikembangkan agar siswa memiliki motivasi dan etos kerja yang tinggi, kreatif serta mampu

15

bersaing secara sehat dan produktif. Sehingga siswa dapat membantu memperbaiki kualitas hidupnya sendiri seta meningkatkan taraf ekonominya, dengan harapan dapat menciptakan pekerjaan baru dalam masyarakat, serta memberantas kemiskinan dan mengurangi kesenjangan sosial.

Anwar (2012, hlm. 20) menyatakan, program pendidikan life skills merupakan suatu program yang dapat memberikan bekal keterampilan yang berguna terkait dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi atau industri yang ada berkembang di masyarakat pada era ini. Untuk mewujudkan siswa yang memiliki sikap dan keterampilan untuk bekerja sebagai wirausahawan, dilakukan kegiatan pembelajaran dengan pendekatan chemo-entrepreneurship.

Arifin, (2011, hlm.241) menjelaskan tujuan diadakannya pendidikan life skill ini. Tujuannya adalah menggali potensi peserta didik, memberikan wawasan yang luas mengenai pengembangan karier peserta didik, memberikan bekal dengan diselenggarakannya latihan dasar tentang nilai-nilai yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari, sekolah diberi kesempatan untuk mengembangkan pembelajaran yang fleksibel dan kontekstual, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang ada di lingkungan sekolah dengan prinsip manajemen berbasis sekolah (school-based management), dan mengembangkan kualitas hidup para siswa untuk menjaga kelangsungan hidupnya.

2. Kewirausahaan berbasis Kimia (Chemo-entrepreneurship)

Kewirausahaan telah menjadi penggerak utama dalam perekonomian global. Para pembuat kebijakan di seluruh dunia menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan terletak di tangan para wirausahawan, yakni orang-orang yang dinamis dan yang berkomitmen untuk meraih kesuksesan dengan menciptakan serta memasarkan berbagai produk dan jasa baru yang inovatif. Ali dan Faizin (2010, hlm.11) menjelaskan, pada awal abad ke-17 dan 18 muncul istilah-istilah ekonomi

dalam bahasa Perancis. Istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan individu-individu yang gemar berpetualang untuk meningkatkan ekonomi dengan menemukan cara yang lebih baik dan cara yang baru, istilah tersebut dikenal sebagai entrepreneur. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Suryana dan Bayu (2011, hlm. 24) yang menyatakan bahwa, entrepreneurship berawal dari bahasa Perancis yaitu ‘entreprende’ yang memiliki arti petualang, pencipta, dan pengelola usaha. Selanjutnya Suryana (2009, hlm. 2) juga menjelaskan, entrepreneurship adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dimiliki oleh seseorang yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menuju sukses.

Seperti catatan dalam mempelajari entrepreneurship menurut Astamoen (2008, hlm. 67), entrepreneur itu dibuat, bukan masalah bakat atau turunan. Dulu, kewirausahaan dianggap hanya dapat dilakukan melalui pengalaman langsung di lapangan dan merupakan bakat yang dibawa sejak lahir, sehingga kewirausahaan dianggap tidak dapat dipelajari dan diajarkan. Namun sekarang, kewirausahaan bukan hanya urusan lapangan, tetapi merupakan disiplin ilmu yang dapat dipelajari dan diajarkan.

Pendidikan kewirausahaan sangat penting untuk diberikan pada peserta didik untuk mengasah keterampilan, kreativitas, dan kecakapan mereka. Pendidikan kewirausahaan ini dapat diberikan melalui pembelajaran di sekolah. Pengetahuan mengenai kewirausahaan harus masuk dalam kurikulum pendidikan bahkan sejak sekolah dasar. (Kementrian Perindustrian Republik Indonesia, 2016).

Seiring berkembangnya zaman, kurikulum pun ikut berkembang. Dimulai dari Kurikulum tahun 1976, Kurikulum 1994 (KBK), Kurikulum 2006 (KTSP), dan sekarang yang sedang berjalan Kurikulum 2013. Perubahan ini meemiliki maksud dan tujuan sesuai dengan perkembangan dan tuntutan kebutuhan masyarakat seperti ilmu pengetahuan, sains, teknologi, sosial, seni, keterampilan/prakarya dan bidang lainnya. Pada kurikulum 2013 ini pemerintah berupaya untuk memberikan pendidikan

17

kewirausahaan yakni dengan adanya mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan guna untuk menyiapkan peserta didik agar dapat mengeksplorasi dirinya menjadi manusia yang kreatif, inovatif, dan mandiri sebagai bekal untuk kelangsungan hidupnya. Di samping mata pelajaran Prakarya dan Kewirausahaan, mata pelajaran lain pun dapat digunakan untuk berkontribusi menciptakan peserta didik yang memiliki jiwa entrepreneur, terutama pelajaran yang kontekstual seperti sains khususnya kimia.

Berdasarkan penjelasan Brady (1992, hlm. 22), ilmu kimia merupakan cabang ilmu yang sangat dekat dengan kehidupan manusia. Semua bahan-bahan yang sehari-hari dapat dipegang, dilihat, dan dicium baunya merupakan bahan-bahan kimia. Batu-batuan, pasir, besi, emas, perak, tembaga, katun, wol, gula, garam, dan masih banyak lagi lainnya merupakan bahan-bahan kimia. Bahan-bahan kimia inilah yang digunakan sebagai bahan utama untuk membuat tempat tinggal, pakaian, dan makanan.

Ilmu kimia merupakan cabang ilmu yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Menurut Oxtoby, Gillis, dan Nachtrieb (2001, hlm.5) kimia bukanlah hanya sekedar seperangkat fakta dan rumus yang tertutup, kimia bukanlah hanya sekedar teori, kimia merupakan metode yang hidup yang terus berkembang mengikuti perubahan zaman.

Menurut Chang (2005, hlm.4) kimia merupakan suatu ilmu yang logis kaya akan gagasan dan dapat diaplikasikan dengan menarik. Kita dapat bereksperimen atau mengaplikasikan teori-teori kimia yang ada untuk membuat suatu produk yang dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta kecakapan kita.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan mengenai entrepreneurship dan ilmu kimia dari pandangan beberapa ahli, dapat disimpulkan bahwa kita dapat berinovasi mengasah keterampilan dan kecakapan kita untuk bereksperimen membuat suatu produk. Sehingga sangat dimungkinkan untuk menjadi seorang entrepreneur yang berdasarkan pada konsep kimia yang populer dengan istilah chemo-entrepreneurship.

Pendidikan entrepreneurship menjadi sangat penting, ada dua tahapan umum dalam pendidikan entrepreneurship, yakni mengajarkan dan mencoba. Pada tahapan mengajarkan, dilakukan pengajaran secara tradisional menggunakan buku pelajaran oleh pengajar. Materi yang diajarkan menyangkut hal-hal mendasar entrepreneurship, seperti pembuatan laporan, keuangan, pemasaran, dan lain-lain. Sedangkan tahap mencoba, siswa diajak untuk berperan aktif, terjun langsung mencoba menjadi seorang entrepreneur. Crispin, Dibben, Auley, Hoell, dan Miles (2013, hlm.104) menggabungkan kedua tahapan tersebut dan merumuskan tahapan pendekatan pendidikan entrepreneur menjadi 4 tahapan: (1) mempelajari, (2) melakukan, (3) mencerminkan, (4) meninjau kembali.

Tahapan yang pertama, mempelajari, siswa diarahkan untuk mempelajari inti dari entrepreneurship, dimulai dari menentukan produk, alat dan bahan, menyesuaikan anggaran belanja, dan memilih pasar. Selanjutya, pada tahap melakukan, siswa membuat produk yang dapat dijadikan sebagai usaha. Siswa mengkaji lebih dalam lagi produk yang dibuat agar usahanya lebih efektif (sesuai dengan konten kimia) pada tahap mencerminkan. Tahapan yang terakhir, yakni meninjau kembali, siswa mempresentasikan hasil percobaannya.

Dengan metode ini, siswa di sekolah diajarkan untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki, mengasah keterampilan dan kecakapan hidup mereka untuk mengolah suatu bahan menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis. Pembuatan produk akan memotivasi minat belajar siswa sehingga siswa bisa mengingat lebih banyak konsep atau proses kimia yang dipelajari. Salah satu materi kimia yang sesuai adalah materi koloid karena pada materi tersebut dijelaskan berbagai macam contoh olahan yang dapat diaplikasikan untuk membuat berbagai macam produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis.

Dengan bekal kecakapan hidup yang baik, diharapkan para lulusan akan mampu memecahkan problema kehidupan yang dihadapi, termasuk mencari atau menciptakan pekerjaan bagi mereka yang tidak melanjutkan

19

pendidikannya. Orientasi pembelajarannya mengikuti alur konsep pengajaran kecakapan hidup (life skill) yang meliputi materi-materi kecakapan berpikir, kecakapan individu, kecakapan sosial, kecakapan akademik, dan kecakapan vokasional. Fokus akhirnya terletak pada pemberian kecakapan vokasional.

4. Tinjauan Pembelajaran Materi Koloid

Dalam kurikulum 2013 tentang Kompetensi Dasar, untuk materi koloid pada KI 3 tercantum pada KD 3.15 yakni menganalisis peran koloid dalam kehidupan berdasarkan sifat-sifatnya. Sedangkan pada KI 4 tercantum pada KD 4.15 yakni mengajukan ide/gagasan untuk memodifikasi pembuatan koloid berdasarkan pengalaman membuat beberapa jenis koloid. Berdasarkan KD tersebut, dapat dibuat indikator yang mendukung pengembangan life skill siswa melalui pendekatan chemo-entrepreneurship yakni membuat produk dengan sistem koloid dengan menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar.

“Dalam pembicaraan larutan telah dikenal adanya perbedaan antara campuran homogen dan heterogen. Ternyata pembedaan tersebut tidak tepat betul. Ada sistem yang tidak dapat dikategorikan homogen maupun heterogen; senyawa tersebut dikenal sebagai koloid.” (Sastrohamidjojo, 2010, hlm.244)

Menurut Brady (1992, hlm.597) “Koloid adalah campuran yang berada antara larutan sejati dan suspensi.” Istilah koloid pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Graham (1861) berdasarkan pengamatannya terhadap gelatin yang merupakan kristal tetapi sukar mengalami difusi, padahal umumnya kristal mudah mengalami difusi. Koloid berasal dari kata “kolia”, yang artinya lem.

Agar bahan dapat digolongkan sebagai koloid, satu atau lebih dimensinya (panjang, lebar, atau tebal) harus berukuran di antara 1 sampai 100 nm. Jika semua dimensi kurang dari 1 nm, partikel berada dalam kisaran ukuran molekul. Jika semua dimensi lebih dari

100 nm, partikel, berukuran makroskopis (walaupun hanya dapat dilihat di bawah mikroskop).” (Petrucci, 1985, hlm. 80)

“Keadaan koloid merupakan keadaan antara suatu larutan dan suatu suspensi. Bila suatu bahan berbeda dalam keadaan subdivisi ini, bahan itu memperagakan sifat-sifat yang menarik dan penting yang tidak merupakan ciri dari bahan dalam agregat yang lebih besar”. Keenan (1984, hlm 455). Sistem koloid perlu kita pelajari karena berkaitan erat dengan hidup dan kehidupan kita sehari–hari. Cairan tubuh, seperti darah adalah sistem koloid; bahan makanan, seperti susu, keju, nasi dan roti adalah sistem koloid; cat, berbagai jenis obat, bahan kosmetik, tanah pertanian juga merupakan sistem koloid.

a. Sifat Sistem Koloid 1) Efek Tyndall

Menurut Petrucci (1985, hlm. 80), “Untuk menentukan larutan sejati atau koloid, digunakan metode silika koloid. Jika cahaya melewati larutan sejati, pengamat yang melihatnya dari arah tegak lurus terhadap sinar tidak melihat cahaya. Tetapi, dalam suspensi koloid cahaya dibaurkan ke segala arah dan dapat dilihat dengan mudah.”

Gambar 2.2 Penghamburan Cahaya Efek Tyndall

Kita dapat mengenali suatu sistem koloid dengan cara melewatkan seberkas cahaya (sinar) kepada obyek yang akan kita kenali. Bila dilihat tegak lurus dari arah datangnya cahaya, maka akan terlihat sebagai berikut :

21

a) Jika obyek adalah larutan, maka cahaya akan diteruskan (transparan).

b) Jika obyek adalah koloid, maka cahaya akan dihamburkan dan partikel terdispersi-nya tidak tampak.

c) Jika obyek adalah suspensi, maka cahaya akan dihamburkan tetapi partikel terdispersinya dapat terlihat kelihatan

Terhamburnya cahaya oleh partikel koloid disebut efek Tyndall. Partikel koloid dan suspensi cukup besar untuk dapat menghamburkan sinar, sedangkan partikel-partikel larutan berukuran sangat kecil sehingga tidak dapat menghamburkan cahaya.

Keenan (1984, hlm. 458) mengungkapkan, “efek tyndall dapat digunakan untuk memperbedakan dispersi koloid dan suatu larutan biasa, karena atom, molekul kecil, ataupun ion yang berada

Dokumen terkait