• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I Pendahuluan

E. Tinjauan Kepustakaan

4. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun

46

Meningkatnya sektor industri skala rumah tangga maupun berbadan hukum besar akan meningkatkan pula ketergangguan lingkungan dari limbah-limbah yang dihasilkannya baik pada proses produksi maupun penggunaan barang hasil produksi. Sebagai latar belakang masalah dimulai dengan pemahaman mengenai air limbah, limbah padat dan limbah bahan berbahaya dan beracun dalam lingkup tersebut yang menjadi persoalan terhadap aparatur dan masyarakat pada umumnya. Persoalan limbah biasanya hanya pada klasifikasi khusus untuk industri yang mencari tahu akan adanya aturan.47

Adapun yang dimaksud dengan limbah menurut Pasal 1 ayat 20 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai limbah ialah sebagai berikut:48

Limbah adalah sisa suatu usaha/dan atau kegiatan.

45 Ibid., hal. 120

46 Otto Soemarwoto, Op.cit., hal.259

47 Achmad Faishal, Op.cit., hal.41

48 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (20)

Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia. Adapun termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses dan oli bekas yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus.49 Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ialah sebagai berikut:50

49 Achmad Faishal, Op.cit., hal.146

50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 21

Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain..

Jadi, limbah B3 adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dapat mencemari dan merusak lingkungan hidup dan berbahaya bagi kelangsungan hidup makhluk hidup.

Beberapa macam limbah berbahaya dan beracun antara lain:51

1. Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan;

2. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api, gesekan atau sumber nyata lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama;

3. Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi;

4. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, kulit atau mulut;

5. Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfkesi penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi;

Apabila limbah B3 tersebut tidak dikelola dengan baik dan benar dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi makhluk hidup yang berada di sekitarnya. Dengan demikian harus mendapat perhatian lebih dalam pengelolaannya.52

51 Achmad Faishal, Op.cit., hal.146-147

52 Ibid., hal.147

5. Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)

Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan mencapai kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Istilah “pengelolaan”, menurut kamus Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “kelola”, dan selanjutnya dalam kata kerja mengelola, artinya mengendalikan, mengurus (perusahaan, proyek, dan sebagainya). Pengelolaan adalah proses, cara dan perbuatan mengelola; proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.53

Perencanaan pengelolaan lingkungan secara dini perlu dikembangkan untuk dapat memberikan petunjuk pembangungan apa yang sesuai di suatu daerah, tempat pembangunan itu dilakukan dan bagaimana pembangunan itu Munurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakkan hukum”

53 Helmi, Op.cit., hal.44

dilaksanakan.54 Dalam rangka mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut harus didasarkan pada norma hukum dalam bentuk perundang-undangan untuk dapat dijadikan pedoman dan landasan hukum bagi seluruh masyarakat.55

Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian. Selama tiga dekade terakhir, penggunaan dan jumlah B3 di Indonesia semakin meningkat. Penggunaan B3 yang terus meningkat dan tersebar luas di semua sektor apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup.56

Didalam melakukan pengelolaan limbah B3 harus memulai dari beberapa Tahapan. Tahapan tersebut diatur dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

Tahapan tersebut ialah sebagai berikut:57

1. Pengumpulan Limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari Penghasil Limbah B3 sebelum diserahkan kepada Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3

54 Otto Soemarwoto, Op.cit., hal.96

55 M.Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.1-2

56 Achmad Faishal, Op.cit., hal.147

57 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun Pasal 20 s/d Pasal 24

2. Penyimpanan Limbah B3 adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh Penghasil Limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara Limbah B3 yang dihasilkannya.

3. Pemanfaatan Limbah B3 adalah kegiatan penggunaan kembali, daur ulang, dan/atau perolehan kembali yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi produk yang dapat digunakan sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan bakar yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

4. Pengolahan Limbah B3 adalah proses untuk mengurangi dan/atau menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun.

5. Penimbunan Limbah B3 adalah kegiatan menempatkan Limbah B3 pada fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

F. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Dalam dunia riset, penelitian merupakan aplikasi atau penerapan metode yang telah ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan yang terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai ilmiah yang dihargai. Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan (yang berisi sistem dan ilmunya) dan metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut. Lebih jelasnya, dalam suatu penelitian hukum, konsep dasar tentang ilmu hukum menyangkut

sistem kerja dan isi ilmu hukum haruslah sudah dikuasai. Selanjutnya, baru penguasaan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengembangan ilmu hukum.58

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dan diajukan pada berbagai sumber peraturan perundang-undangan. Menurut Lili Rasjidi Metode Penelitian Hukum Normatif (MPHN) memiliki ciri-ciri utama: (i) bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif; (ii) memiliki tahapan; penelitian kepustakan (library reasearch), data yang dicari adalah data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier dan lain-lain; (iii) konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi landasan teotrikal penelitian mengacu kepada kaidah hukum yang ada dan berlaku pada ajaran hukum (dari pakar hukum terkemuka).

59

Dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaanya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.

2. Sifat Penelitian

60

58 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia Publishing, 2007), hal.26

59 Disertasi Parameshwara, Kriminalisasi Terhadap Direksi Dalam Pengurusan Perseroan Terbatas, hal.49

60 Skripsi Happy Day Olivia Simanjuntak, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Impor Narkotika Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Narkotika, hal.26

Penelitian deskriptif juga pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat; karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.61

Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum, yaitu penelitian terhadap bahan pustaka dan data sekunder yang terdiri dari:

3. Sumber data

62

C. Bahan Hukum Tersier yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus hukum, ensiklopedia, majalah popular dan sebagainya. Agar A. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang akan diteliti seperti: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

B. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan bahan hukum primer seperti Putusan Pengadilan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil-hasil penelitian yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

61 Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarata:PT.Raja Grafindo,1998), hal. 36

62 Ibid., hal. 116

diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), maka kepustakaan yang dicari dan dipilih ialah data yang relevan dan mutakhir.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku, serta karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.

5. Analisis Data

Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Ketika bahan hukum terkumpul dan dipandang telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengelola dan menganalisa bahan hukum. Teknis analisis bahan hukum yang dipakai adalah teknis analisis kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak bergantung dari jumlah berdasarkan angka-angka, melainkan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi atas 5 (lima) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain.

Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut:

BAB I: Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, keaslian penulisan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.

BAB II: Memuat tentang pengertian Tindak Pidana Korporasi, pengertian Tindak Pidana Direktur Perseroan Terbatas, pengertian Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pengertian Pengelolaan Oli Bekas, dan Tindak Pidana Pengelolaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas).

BAB III: Memuat dan menjelaskan mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas), Bentuk Kesalahan Korporasi Dalam Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas), Alasan Penghapusan Pidana Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas) dan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas).

BAB IV: Memuat tentang Analisis Putusan Terhadap Kasus Tindak Pidana Pengelolaan Limbah B3 Tanpa Izin Dengan Bentuk Limbah B3 Jenis Oli Bekas

terhadap seorang Terdakwa ONWARD JOKO PRASETYO,SH yang dimuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor.291/Pid.Sus/2014/PN.Smg.

BAB V: Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (OLI BEKAS)

A. Pengertian Tindak Pidana Korporasi 1. Tindak Pidana Korporasi

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.63

Menurut R.Tresna, sebab beberapa perbuatan terlarang perlu diadakan ancaman hukuman pidana tergantung dari beberapa aspek, misalnya sebagai berikut:

64

1. Besarnya kepentingan yang harus dilindungi, sehingga dipandang perlu bahwa perbuatan yang mengancam kepentingan itu hanya dapat dilindungi dengan penderitaan yang harus dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang terlarang itu;

2. Perasaan keadilan masyarakat yang tersinggung (dicederai) oleh karena perbuatan itu, yang hanya dapat dipuaskan dengan diadakannya suatu hukuman yang setimpal dengan perbuatan itu.

63 Moeljatno, Op.cit., hal.59

64 Mohammad Eka Putra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2012), hal.81

Tindak pidana dapat dibedakan dengan menggunakan berbagai kriteria.

Pembagian jenis tindak pidana ini dapat didasarkan kepada berat/ringannya ancaman, sifat, bentuk dan cara perumusan suatu tindak pidana, cara melakukan tindak pidana, dll. Tindak pidana dapat terjadi karena (a) melakukan suatu tindakan yang dilarang, disebut sebagai delik komisi (commssie delict), (b) tidak melakukan suatu tindakan yang diharuskan, disebut sebagai delik omisi (ommissie-delict), atau (c) melakukan suatu tindakan yang sekaligus mencakup pengertian melakukan sambil tidak melakukan suatu tindakan yang dilarang dan diharuskan, disebut sebagai delik campuran komisi dan omisi (delicta commisionis per ommissionem commisceo). 65

Rumusan tindak pidana di dalam Buku Kedua dan Ketiga KUHP biasanya dimulai dengan kata barangsiapa. Ini mengandung arti bahwa yang dapat melakukan tindak pidana umumnya adalah manusia.66

Subjek dalam tindak pidana dapat dibedakan atas beberapa hal, adalah sebagai berikut:

67

a. Delik Khusus (Delicta Properia)

Subjek dari delik khusus antara lain disebut pegawai negeri, nakhoda, militer, laki-laki, wanita pedagang dan lain sebagainya. Artinya hanya orang-orang/golongan tertentu itulah pada umumnya yang dianggap sebagai pelaku dari tindak pidana khusus;

65 Ibid., hal. 101

66 Teguh Prasetyo,Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineka Cipta, 2015), hal. 54

67 Mohammad Eka Putra, Op.cit., hal.102

b. Delik Umum (Commune Delicten)

Commune delicten adalah tindak pidana (delik) yang dapat dilakukan oleh setiap orang pada umumnya. Subjek dari delik umum di dalam undang-undang hukum pidana pada umumnya dirumuskan dengan

“barang siapa” artinya siapa saja (setiap orang)

Dalam perkembangan hukum pidana selanjutnya bukan hanya manusia yang dianggap sebagai subjek dalam melakukan tindak pidana namun juga badan hukum. Subjek hukum adalah setiap pembawa hak (recht, right) dan kewajiban (verplicht obligation) dalam badan hukum. Subjek hukum meliputi manusia (natuurlijkepersoon) dan badan hukum (rechtpersoon). Badan hukum memperoleh status subjek hukum bukan karena sifat bawaan melainkan diberi oleh undang-undang.68

Konsep RUU Hukum Pidana Nasional yang sekarang ini tampaknya telah memuat badan hukum sebagai subjek dalam hukum pidana dengan isitilah

“Korporasi”, yang berarti termasuk juga bentuk-bentuk perusahaan yang bukan badan hukum. Pengaturan hal ini terdapat dalam Pasal 45 (Konsep RUU KUHPidana yang disusun oleh Panitia Penyusun RUU Bidang Hukum Pidana BPHN tahun 1991/1992), yang berbunyi “Korporasi sebagai subjek hukum pidana”. Sedangkan selama ini didalam KUHPidana (wetboek van Strafrecht) tidak ada mengatur/menyatakan hal seperti tersebut, bahwa korporasi atau badan

68 Tan Kamelo dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Orang dan Keluarga, (Medan:USU Press,2011), hal.20

hukum merupakan subjek tindak pidana sehingga dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana.69

Menurut pandangan klasik berpendapat bahwa subjek tindak pidana adalah orang pribadi, meskipun ia berkedudukan sebagai pengurus atau pimpinan suatu badan hukum. Namun, menurut perkembangan zaman subjek tindak pidana dirasakan perlu diperluas termasuk badan hukum. Tentu saja bentuk tindak pidana terhadap pribadi tidak dapat diterapkan pada badan hukum, kecuali jika yang harus dipidana adalah pribadi pengurus atau pimpinan badan hukum tersebut.70

Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana dilatarbelakangi oleh sejarah dan pengalaman yang berbeda di setiap negara termasuk juga di Indonesia.

Pengaturan korporasi sebagai subjek hukum pidana, dapat dilihat terutama di dalam ketentuan-ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP71 seperti dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat 32 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.72

Di dalam perkembangan akhir-akhir ini, terutama di dalam bidang ekonomi dan lingkungan hidup, badan hukum dapat terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak ataupun Negara. Dari

“Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.”

69 M.Hamdan, Op.cit., hal. 62

70 Teguh Prasetyo, Loc.cit., hal.59

71 Mohammad Eka Putra, Op.cit., hal.28-29

72 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (32).

hasil-hasil penelitian tentang kejahatan korporasi atau badan hukum, menunjukkan bahwa pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh korporasi dapat digolongkan dalam enam jenis, yaitu: pelanggaran hukum administratif, pencemaran lingkungan, finansial, perburuhan, manufacturing dan persaingan dagang yang tidak fair.73

Dengan melihat gejala pelanggaran hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum seperti tersebut diatas, yang mempunyai dampak negatif yang sangat luas terhadap setiap bagian kehidupan masyarakat maka kedudukan badan hukum mulai diperhatikan untuk tidak saja menjadi subjek hukum perdata, tetapi juga menjadi subjek dalam hukum pidana, sehingga dapat dituntut dan dijatuhi hukuman/sanksi pidana.74

Tentang ketentuan mengenai pemidanaan terhadap suatu badan hukum atau perserikatan dapat dijelaskan antara lain:75

a. Bahwa badan hukum itu pada prinsipnya bukan diarah-tujukan kepada badan hukum atau perserikatan, tetapi sebenarnya kepada sekelompok manusia yang bekerja sama untuk sesuatu tujuan atau yang mempunyai kekayaan bersama untuk sesuatu tujuan yang tergabung dalam badan tersebut

b. Adanya beberapa ketentuan yang harus menyimpang dari penerapan hukum-pidana (umum), terhadap badan tersebut dalam hal badan-badan itu dapat dipidana, atau dalam hal tujuan dari badan-badan-badan-badan itu terlarang dan dapat dipidana, seperti tidak mungkinnya menjatuhkan

73 M.Hamdan, Op.cit., hal. 63

74 Ibid.

75 Kanter, Op.cit., hal.221

pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara, tutupan, kurungan; dan tidak mungkinnya pidana-denda diganti dengan pidana kurungan dan lain sebagainya)

Singkatnya penentuan atau perluasan badan hukum sebagai subjek tindak pidana, adalah karena sesuatu kebutuhan, terutama dalam soal perpajakan, perekonomian, dan keamanan negara. Namun pada hakekatnya, manusia yang merasakan/ menderita pemidanaan itu.76

Pembahasan mengenai pemidanaan terhadap korporasi sesungguhnya harus tetap terpusat pada masalah syarat-syarat pemidanaan, yang pada umumnya meliputi persyaratan yang menyangkut segi perbuatan dan segi pembuat yang dalam hal ini bisa orang atau pengurus korporasi atau korporasi itu sendiri sebagai pembuat delik yang harus diatur dan ditentukan dalam suatu perundang-undangan.

Pengaturan pidana dan pemidanaan dalam ketentuan perundang-undangan adalah merupakan penerapan asas legalitas yang dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia, yang bertujuan untuk memastikan bahwa perbuatan tindak pidana yang dilakukan adalah benar-benar merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan dapat dipidana.77

76 Ibid., hal.222

77 Rufinus Hotmaulana Hutauruk, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, (Jakarta:Sinar Grafika, 2014), hal.91

Hukum pidana mempunyai peranan penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan terhadap tindak pidana perusakan ataupun pencemaran dalam lingkungan hidup yang mengganggu keseimbangan kehidupan makhluk hidup.

Ketentuan pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (sebelum diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) dimaksudkan untuk melindungi lingkungan hidup dengan memberikan ancaman sanksi pidana. Untuk membahas tindak pidana lingkungan tersebut perlu diperhatikan konsep dasar tindak pidana lingkungan hidup yang ditetapkan sebagai tindak pidana umum (delic genus) dan mendasari pengkajiannya pada tindak pidana khususnya (delic species).78

Berdasarkan Pasal 41 UUPLH sampai dengan Pasal 44 UUPLH, tindak pidana lingkungan yaitu berupa:79

1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan:

a. Pencemaran, dan/atau;

b. Perusakan lingkungan hidup.

2. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan:

Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat.

3. Melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa:

a. Melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di dan/atau ke dalam tanah, ke dalam udara, atau ke dalam air;

78 Alvi Syahrin, Beberapa Isu ..., Op.cit., hal.19

79 Ibid., hal.22

b. Impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau

b. Impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan, menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau

Dokumen terkait