PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKTUR PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (OLI BEKAS)
(Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg)
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
MUHAMMAD TOMMY UMARO TARIGAN
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA 130200389
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2017
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKTUR PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LIMBAH
BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (OLI BEKAS) (Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor
291/Pid.Sus/2014/PN.Smg)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
NIM:130200389
MUHAMMAD TOMMY UMARO TARIGAN
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Pidana
NIP.195703261986011001 Muhammad Hamdan,S.H., M.Hum
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof.Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S
NIP.196303311987031001 NIP.197110051998011001 Dr. M.Eka Putra, S.H., M.Hum
ABSTRAKSI
*) Muhammad Tommy Umaro Tarigan
**) Alvi Syahrin
***) Mohammad Ekaputra
Korporasi pada awalnya belum dijadikan sebagai subjek hukum.
Oleh karena itu korporasi sangat sulit untuk dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatan pidana yang dilakukan atas nama korporasi. Beberapa peraturan perundang-undangan memang sudah mengatur keberadaan korporasi sebagai subjek hukum pidana. Namun kenyataannya, penegakkan hukum terhadap korporasi masih terbilang lemah dan kurangnya ketegasan Hakim untuk menjatuhkan putusan yang tegas dan adil terhadap korporasi. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur sanksi bagi korporasi yang melakukan tindak pidana terhadap lingkugan hidup.
Kendala yang dihadapi dalam pemberian sanksi terhadap korporasi adalah muncul pro kontra bagaimana sebuah korporasi dikenai pertanggungjawaban pidana. Hal ini terkait dengan wujud korporasi yang abstrak yang secara logika tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana layaknya manusia. Maka bergerak dari dasar pemikiran diatas , ada beberapa masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini yakni bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana dalam pengelolaan limbah oli bekas sebagai limbah B3 serta bagaimana pertimbangan hakim tentang pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus yang melibatkan Direktur Perseroan Terbatas PT.
Jogiarto Makmur Abadi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg).
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan teknik pengumpulan data berupa penelitian kepustakaan (library reseach) yang menitik beratkan pada data sekunder yaitu memaparkan beberapa peraturan hukum yang berkaitan dengan topik skripsi kemudian buku, artikel, majalah maupun jurnal yang membahas topik yang sama serta peraturan perundang-undangan yang terkait. Hal ini kemudian dianalisis sesuai dengan ketentuan peraturan yang ada.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam rangka upaya pencegahan terhadap tindak pidana lingkungan hidup khususnya tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas dibuat peraturan mengenai lingkungan hidup tentang pengelolaan limbah B3 dan dalam peraturan tersebut dimuat berbagai bentuk pertanggungjawaban bagi pelaku baik orang mapun korporasi dalam hal ini ialah Perseroan Terbatas yang dipimpin oleh Direktur dalam melakukan Tindak Pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas, apabila memiliki unsur-unsur kemampuan bertanggungjawab, unsur-unsur kesalahan, serta tidak adanya alasan penghapusan pidana bagi pelaku tindak pidana pengelolaan limbah B3 jenis oli bekas tersebut.
Kata Kunci : Pertanggungjawaban, Korporasi, Limbah B3
*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Pembimbing 1
***) Pembimbing 2
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Skripsi ini berjudul “PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKTUR PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (OLI BEKAS) Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis menyadari bahwa yang disajikan dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, untuk itu penulis mengharapakan saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat menjadi perbaikan dimasa yang akan datang.
Dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak baik secara moril maupun materil, untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana.
5. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin S.H.,M.S., selaku Dosen Pembimbing I.
Ucapan terima kasih sebesar-besarnya atas masukan, nasihat, bimbingan, terhadap penulisan serta bantuan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik.
6. Bapak Dr. M.Eka Putra, S.H.,M.Hum, selaku Pembimbing II. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak atas segala bantuan, kritikan, bimbingan, saran, dan dukungannya yang sangat berarti dan bermanfaat bagi penyelesaian skripsi ini.
7. Para Dosen, serta staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah berjasa mendidik dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada Orangtua yang sangat penulis sayangi dan cintai selamanya, Ayahanda Simon Tarigan dan Ibunda Sunarmi yang tiada henti memberikan semangat dan doa serta nasihat kepada penulis selama penulis berkuliah dan bisa menyelesaikan skripsi ini. Semoga selalu sehat dan bahagia di dalam hidupnya, Amin.
9. Kepada saudara-saudara penulis Sonny Abimanyu Tarigan dan Gustina Arifin Prawira, Novrida Pratiwi Tarigan dan Muhammad Rizqi Nasution yang telah memberikan dukungan kepada penulis serta memberikan motivasi kepada penulis.
10. Kepada Keponakan penulis Alfaeyza Harry Zabran Tarigan dan Khairunnisa Azzahra Nasution yang selalu memberikan kebahagian dan membuat semangat penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Kepada Tria Noverisa yang selalu memberikan semangat, masukan, kritikan serta doa untuk penulis dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih atas semangat yang engkau berikan.
12. Kepada Sahabat-Sahabat penulis Muhammad Ridwanta Tarigan, Basrief Aryanda, Ruhut Trifosa, Muhammad Arif Fadhillah, Hanif Harahap, Almunawar Sembiring, Rangga Pribadi, Fikri Nasution, Daniel Lumban Gaol, Audiraka Baskara, Rasyid Ridho, Natanael Nainggolan, Nanda Zahara Mandry, Hanna Safira Nasution dan Ridzka Permata Hati yang sejak awal masuk kuliah hingga sekarang selalu bersama-sama berjuang untuk sukses dalam kuliah dan masa depan. Terima kasih atas kebersamaan yang terjalin bersama kalian di perkuliahan. Semoga apa yang kita cita-citakan terwujud,amin.
13. Kepada abangda Gabeta Sholin dan Denny Dendi yang memberikan bantuan dan arahan kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
14. Kepada Sahabat-Sahabat penulis XII IPA 1 SMA Negeri 1 Medan yang selalu mengingatkan penulis untuk sukses di masa depan dan membahagiakan orangtua. Semoga persahabatan kita selalu terus tetap ada selamanya, amin.
15. Kepada Staff PT. Abimanyu Berkah Lestari dan Zhilenna Florist yang selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam hal perkuliahan serta untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Medan, Juni 2016 Hormat saya
Muhammad Tommy Umaro Tarigan (130200389)
ABSTRAK... i
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... ii
DAFTAR ISI... v
BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 11
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 11
D. Keaslian Penulisan... 14
E. Tinjauan Kepustakaan... 14
1. Tindak Pidana... 14
2. Pertanggungjawaban Pidana... 18
3. Perseroan Terbatas... 23
4. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)... 26
5. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)... 29
F. Metode Penelitian... 31
G. Sistematika Penulisan... 34
BAB II Pengaturan Terhadap Tindak Pidana Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas) A. Pengertian Tindak Pidana Korporasi... 37
1. Tindak Pidana Korporasi... 37
2. Tindak Pidana Direktur Perseroan Terbatas... 47
B. Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)... 53
C. Pengertian Pengelolaan Oli Bekas... 65
D. Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas)... 76
BAB III Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas) A. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas)... 84
B. Bentuk Kesalahan Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas)... 100
C. Alasan Penghapusan Pidana Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas)
... 107
D. Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas)... 114
BAB IV Penerapan Hukum Terhadap Perbuatan Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Studi Putusan Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg 1. Kronologi Kasus... 126
2. Dakwaan... 128
3. Tuntutan... 129
4. Putusan... 131
5. Analisis Putusan... 132
BAB V Penutup A. Kesimpulan... 146
B. Saran... 147
DAFTAR PUSTAKA... 150
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk hidup yang lain, yaitu tumbuhan, hewan dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain itu bukanlah sekedar kawan hidup yang hidup secara bersama secara netral atau pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat pada mereka, tanpa mereka manusia tidaklah dapat hidup. Manusia bersama tumbuhan, hewan dan jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Selain makhluk hidup, dalam ruang itu terdapat juga benda tak hidup, seperti misalnya udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cair dan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan benda tidak hidup di dalamnya disebut lingkungan hidup.1
Lingkungan hidup dalam persepektif teoretis dipandang sebagai bagian mutlak dari kehidupan manusia, tidak terlepas dari kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Michael Allaby, lingkungan hidup sebagai the physical, chemical and biotic condition surrounding and organism (lingkungan fisik, kimia, kondisi masyarakat sekelilingnya, dan organisme hidup). Dalam kamus hukum, lingkungan hidup diartikan sebagai the totally of phsycal, economic, cultural, aesthetic and social cirscumstances and fators wich surround and effect the desirability and value at property and which also effect the quality of peoples lives (keseluruhan lingkungan fisik, ekonomi, budaya, kesenian, dan lingkungan
1 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, (Jakarta:Djambatan, 2004), hal.51-52
sosial serta beberapa faktor di sekelilingnya yang mempengaruhi nilai kepemilikan dan kualitas kehidupan masyarakat).2
Ketentuan mengenai lingkungan hidup juga dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 jelas menentukan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.” Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta pelayanan kesehatan yang baik, merupakan hak asasi manusia. Sebagai imbangan adanya hak asasi setiap orang itu, berarti negara diharuskan untuk menjamin terpenuhinya hak setiap orang untuk memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat yang termasuk kategori hak asasi manusia tersebut. Disamping itu, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan pula, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Perumusan ayat (3) ini berasal dari sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dalam rapat PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh Ir.Soekarno yang kemudian dipilih secara aklamasi menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama.3
Selain itu lingkungan hidup juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Menurut Pasal 1 ayat 1 UUPPLH Lingkungan hidup adalah kesatuan
2 Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, (Jakarta:Sinar Grafika, 2013), hal.91
3 Jimly Asshiddiqie, Green Constitution, (Jakarta:Rajawali Pers, 2010), hal.90-91
ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.4
Sebagai suatu kesatuan ruang, maka lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidak mengenal batas wilayah, baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi lingkungan hidup yang berkaitan dengan pengelolaan harus jelas batas wilayah wewenang pengelolaannya. Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan hidup Indonesia. Secara hukum, lingkungan hidup Indonesia meliputi ruang tempat Negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan dan hak berdaulat serta yurisdiksinya.5
Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
6
4 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (1)
5 Siswanto Sunarso, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:Rineka Cipta, 2005), hal.43
6 Ibid., hal.44
Arah dan pendekatan pengelolaan lingkungan hidup dilandasi oleh cara pandang (visi) yang luas dan tajam jauh kedepan dengan misi yang jelas dan program-program nyata yang bermanfaat dalam rangka mewujudkan suatu kebijaksanaan program pengelolaan lingkungan hidup dengan paradigma, mengintegrasikan tuntutan penerapan hak asasi, demokrasi dan lingkungan hidup
dalam suatu kelestarian fungsi lingkungan yang menunjang ketahanan lingkungan.7
Terpeliharanya keberlanjutan fungsi lingkungan hidup merupakan kepentingan rakyat sehingga menuntut tanggung jawab, keterbukaan, dan peran anggota masyarakat, yang dapat disalurkan melalui orang perseorangan, organisasi lingkungan hidup, seperti lembaga swadaya masyarakat, kelompok masyarakat adat, dan lain- lain, untuk memelihara dan meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang menjadi tumpuan berkelanjutan pembangunan. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kesejahteraan dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dalam pengelolaan lingkungan hidup ini menjadikan dasar terhadap pengelolaan oli bekas yang harus dilakukan oleh korporasi melalui pengurus atau pimpinan dari korporasi tersebut ataupun perorangan yang usahanya berkaitan dengan pengelolaan oli bekas. Oli bekas merupakan bagian dari limbah B3, oleh karena itu dalam pengelolaan oli bekas harus mengikuti ketentuan dalam pengelolaan limbah B3 tersebut. Pengelolaan oli bekas adalah pengelolaan yang meliputi beberapa kegiatan yaitu Pengurangan, Penyimpanan, Pengumpulan, Pengangkutan, Pemanfaatan, Pengolahan, dan/atau Penimbunan.
8
Pengelolaan oli bekas hanya dapat berhasil menunjang pembangunan berkelanjutan, apabila administrasi pemerintah berfungsi secara efektif dan
7Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta: Sofmedia, 2009), hal.2
8 Siswanto Sunarso, Op.cit., hal.45
terpadu. Salah satu sarana yuridis administrasi untuk melindungi dan mengelola lingkungan dalam pengelolaan oli bekas harus melalui sistem perizinan.9
Perizinan adalah tindakan hukum pemerintahan berdasarkan kewenangan publik yang membolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang atau badan hukum untuk melakukan sesuatu kegiatan.10 Dalam UUPPLH, perizinan merupakan instrument preventif dalam pengendalian pengelolaan lingkungan hidup. Namun, tata prosedur perizinan pengelolaan oli bekas yang telah ditetapkan pemerintah, tidak serta merta ditaati oleh korporasi yang melakukan pengelolaan oli bekas. Oleh karena itu, kasus pencemaran limbah B3 yang umum di Indonesia adalah kasus pembuangan oli bekas sebagai limbah B3 secara ilegal. Hal ini tentunya menimbulkan resiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup. 11
Pencemaran dan perusakan lingkungan merupakan bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dari waktu ke waktu. Ekosistem dari suatu lingkungan dapat terganggunya kelestariannya oleh karena pencemaran dan perusakan lingkungan. Orang sering mencampuradukan antara pengertian pencemaran dan perusakan lingkungan, padahal antara keduanya memiliki makna yang berbeda12
1. Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
,yaitu:
9 Achmad Faishal, Hukum lingkungan Pengaturan Limbah dan Paradigma Industri Hijau, (Yogyakarta:Pustaka Yustisia, 2016), hal.60
10 Helmi, Op.cit., hal 28
11 Dr.Sukandar,S.Si,M.T: Efektivitas Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun Di Indonesia Perlu Ditingkatkan, www.itb.ac.id diakses pada tanggal 9 september 2016
12 Muhammad Erwin, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Kebijaksanaan Pembangunan Lingkungan Hidup, (Bandung: Refika Aditama,2011), hal.35
manusia, sehingga melampui baku mutu lingkungan hidup yang ditetapkan.( Pasal 1 ayat 14 UUPPLH)
2. Perusakan lingkungan adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung dan tidak langsung terhadap alat fisik, kimia dan atau hayati lingkungan hidup sehingga melampui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. (Pasal 1 ayat 16 UUPPLH)13
Perbedaan itu memang tidak terlalu prinsipil karena setiap orang melakukan perusakan lingkungan otomatis juga melakukan pencemaran dan sebaliknya. Bedanya hanya terletak pada intensitas perbuatan yang dilakukan terhadap lingkungan dan kadar akibat yang diderita oleh lingkungan akibat perbuatan tersebut.14
Sejalan dengan berkembangnya negara yang mengacu terhadap perkembangan penduduk menyebabkan meningkatnya volume kenderaan dan sektor-sektor industri yang melahirkan satu permasalahan yakni volume limbah oli bekas yang ikut melimpah. Pengusaha bengkel ataupun perusahaan-perusahaan yang menangani limbah tersebut langsung membuangnya ketanah sekitar ataupun saluran parit. Keberadaan oli bekas sudah sangat luas dari kota besar sampai ke wilayah pedesaan di seluruh Indonesia. Namun hingga saat ini, belum ada dilakukan pengawasan untuk mencegah terjadinya pencemaran lingkungan oleh limbah oli bekas tersebut. Padahal oli bekas merupakan senyawa hidrokarbon
13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (14) dan Pasal 1 ayat (16).
14 Muhammad Erwin, Loc.cit., hal.35
yang dapat merubah struktur dan fungsi tanah sehingga produktivitas tanah menjadi menurun.15
Masalah yang dihadapi terkait dengan polusi limbah B3 jenis oli bekas adalah cara penyimpanan minyak pelumas atau oli bekas yang tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Perusahaan industri dan pengusaha bengkel hanya melakukan proses penyimpanan seadanya saja. Bila bahan berbahaya ini tidak disimpan dengan baik, maka kandungan-kandungan yang terdapat didalamnya akan melekat ke dalam tanah atau bercampur dengan air. Dan, bila sudah terbawa air dan meresap kedalam tanah, maka tanah dan air tersebut sudah tercemar bahan-bahan kimia dan sisa logam dalam bentuk yang halus sehingga tidak terlihat oleh mata telanjang, namun sangat berbahaya bila masuk kedalam tubuh, baik melalui air, udara maupun aneka jenis makanan.16
Pencemaran oli bekas memang mempunyai dampak yang sangat merugikan bagi lingkungan hidup, BLH (Badan Lingkungan Hidup) mencatat terdapat 81 kasus pencemaran minyak dan oli bekas yang terjadi di Kota Surabaya, Pada tahun 2013 kasus yang paling besar ialah pencemaran sisa pengolahan minyak goreng di Pabrik Karang Pilang Surabaya. Selain itu, Kasus yang terbesar selanjutnya ialah mengenai pencemaran oli bekas yang pernah terjadi di daerah pesisir pantai barat Kota Surabaya. Mayoritas warga sekitar merupakan penambak ikan dan nelayan, kehidupan mereka harus bergantung terhadap hasil laut. Dampak pencemaran oli bekas tersebut menyebabkan
15 www.antarkaltim.com, Limbah Oli Bekas Ancam Lingkungan, diakses Pada Tanggal 15 September 2016
16 www.kupang.tribunnews.com, Kota Kupang Terancam Pencemaran Limbah B3, diakses Pada Tanggal 15 September 2016
banyaknya ikan mati, sehingga warga sekitar banyak mengalami kerugian secara materiil. Kerugian tidak saja hanya dirasakan oleh warga sekitar pantai, namun terhadap makhluk hidup yang ada disekitar lingkungan pantai tersebut. Nilai estetika dari pantai menjadi sangat rendah dan selain ikan banyak juga makhluk biota laut yang rusak dan mati. Dari hasil penyelidikan oleh petugas BLH (Badan Lingkungan Hidup), pencemaran oli bekas tersebut berasal dari Pabrik yang dikelola oleh PT. Mitra Cahaya yang tidak mempunyai sarana pembuangan limbah yang sesuai prosedur dan izin. Pihak PT. Mitra Cahaya melakukan pembuangan melalui saluran yang langsung menuju laut barat Kota Surabaya.17
Pencemaran limbah B3 jenis oli bekas ini tidak hanya terjadi di Surabaya Namun terjadi juga di beberapa daerah di Indonesia seperti kasus pencemaran limbah B3 jenis oli bekas yang terjadi di Daerah Kota Parepare Sulawesi selatan.
Pencemaran oli bekas ini disebabkan oleh Bengkel Elnusa Pertamina yang merupakan anak cabang PT (Persero) Pertamina. Pencemaran oli bekas yang dilakukan oleh Bengkel Elnusa Pertamina ialah tidak adanya tempat penampungan sisa oli bekas yang dihasilkan dan hanya melakukan penimbunan oli bekas di dalam tanah. Hal ini akan berdampak terhadap pencemaran tanah yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup sekitar termasuk juga manusia.18
Melihat dari beberapa kasus pencemaran oli bekas ini, kemungkinan masih dapat terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini tentu menjadi beban bagi pemerintah karena pemerintah harus menjamin kehidupan yang baik bagi seluruh
17 www.pressreader.com, Jawa.Pos - Oli Bekas Cemari Tambak Dan Pantai, diakeses pada tanggal 17 Desember 2016
18 www.regional.kompas.com, Limbah Pertamina Cemari Tanah, Diakses Pada Tanggal 17 Desember 2016
masyarakat. Pemerintah harus melakukan pengawasan dan penindakan secara tegas terhadap tindakan pencemaran yang dilakukan oleh korporasi maupun orang yang usahanya berkaitan dengan pengelolaan oli bekas ini.
Selain itu tidak hanya peran pemerintah yang dibutuhkan terhadap penanganan pencemaran oli bekas ini tetapi masyarakat secara tidak langsung juga mempunyai peranan penting untuk menjaga lingkungan hidup dan harus melaporkan setiap tindakan pencemaran oli bekas ini kepada pihak yang berwenang.
Korporasi merupakan subjek yang paling diperhatikan dalam pencemaran oli bekas ini khususnya perusahaan berbadan hukum seperti Perseroan Terbatas, karena setiap tindakan pencemaran oli bekas seperti kasus PT. Mitra Cahaya dan Bengkel Elnusa Pertamina yang dilakukan pelaku pencemaran merupakan suruhan pihak pengurus atau pimpinan Perseroan Terbatas. Pimpinan Perseroan Terbatas ialah Direksi yang mempunyai tanggung jawab terhadap Perseroan.
Hal ini perlu menjadi perhatian terhadap produk hukum di Indonesia khususnya hukum pidana. karena mengenai sifat pertanggungjawaban korporasi (badan hukum) dalam hukum pidana terdapat beberapa cara atau sistem perumusan yang harus ditempuh oleh pembuat undang-undang, yaitu:19
c. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.
a. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan pengurusnyalah yang bertanggung jawab;
b. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus betanggungjawab;
19 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum ..., Op.cit., hal.30
Pertanggungjawaban pidana suatu badan usaha dalam kasus lingkungan hidup, diatur dalam Pasal 116 UUPPLH. Berdasarkan Pasal 116 (ayat 1) UUPPLH, pertanggungjawaban pidana badan usaha dapat dimintakan kepada badan usaha, dan atau orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.20
Berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk membahas tentang pertanggungjawaban pidana korporasi, terkhususnya dalam hal terjadinya pencemaran limbah B3 jenis oli bekas akibat pengelolaan limbah B3 yang tidak sesuai dengan izin dan prosedur . Karena penulis melihat bahwa efek dari pencemaran oli bekas yang sangat merugikan semua pihak. Maka perlu ditinjau dan dibahas bagaimana korporasi dalam hal ini Perseroan Terbatas dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya melalui pimpinan perseroan yaitu Direktur. Bab- bab selanjutnya akan membahas tentang pengaturan dalam tindak pidana pengelolaan oli bekas sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dan bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pengelolaan oli bekas sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Selanjutnya akan diuraikan dengan teori-teori dan bahan-bahan hukum yang berlaku dan akan mengimplementasikan teori tersebut dalam sebuah analisa putusan. Dimana putusan yang akan dianalisa merupakan Putusan Pengadilan Negeri Semarang terhadap Direktur PT. JOGIARTO MAKMUR ABADI yang melakukan pengelolaan limbah B3 dalam bentuk oli bekas tanpa izin dari pihak
20 Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana Dalam UU No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Jakarta:Sofmedia, 2011), hal.64
yang berwenang. Penulis juga akan menuangkan kajian uraian diatas dalam tugas akhir berupa skripsi yang berjudul:
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DIREKTUR PERSEROAN TERBATAS TERHADAP TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (OLI BEKAS). Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penulisan skripsi ini, maka terdapat permasalahan hukum yang akan menjadi pokok bahasan dalam penulisan skripsi ini. Adapun permasalahan tersebut, antara lain:
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (oli bekas)?
2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (oli bekas)?
3. Bagaimana penerapan hukum terhadap perbuatan pengelolaan oli bekas sebagai limbah B3 (Studi Putusan Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg)?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulis dalam menulis tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengaturan terhadap tindak pidana pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun yang berbentuk oli bekas.
2. Untuk mengetahui sistem pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dalam bentuk oli bekas.
3. Untuk mengetahui penerapan hukum terhadap perbuatan pengelolaan oli bekas sebagai limbah B3 (studi putusan nomor 291/Pid.Sus/
2014/PN.Smg).
Adapun yang menjadi manfaat yang akan dicapai penulis melalui penulisan skripsi ini dapat dibedakan secara teoritis dan praktis. Menurut Alvi Syahrin penelitian hukum mempunyai fungsi praktikal dan fungsi teotrikal.
Fungsi pratikal memberdayakan sistem hukum dalam menyelesaikan problem hukum yang penelitiannya menjadi dasar bagi profesi hukum untuk melegitimasi kasusnya dengan kegiatan argumentasi dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum. Sedangkan fungsi teoritikal bertujuan menghasilkan doktrin yang memberikan preskripsi tentang bagaimana interprestasi seharusnya dilakukan terhadap suatu kaidah dalam sistem hukum yang penelitiannya akan lebih banyak mengacu kepada doktrin-doktrin hukum yang dikembangkan oleh yuris terkemuka dalam rangka menghasilkan konsep/teori baru atau mempertajam konsep/teori lama dengan mengacu kepada bahan-bahan hukum seperti treatise, rechtsboek bukan wetboek, tulisan pada jurnal hukum, hasil penelitian hukum dari
para yuris.21
1. Secara Teoritis
Adapun manfaat yang hendak dicapai melalui penulisan ini antara lain:
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan bagi mahasiswa maupun bagi masyarakat pada umumnya mengenai asas pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana terhadap pengelolaan oli bekas yang tidak sesuai dengan prosedur dan peraturan lingkungan hidup Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun. Demi terwujudnya keselarasan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup di Indonesia.
2. Secara Praktis
Manfaat penelitian ini secara praktis sebagai bahan masukan bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi kasus-kasus tindak pidana di Lingkungan hidup yang dilakukan korporasi khususnya pengelolaan oli bekas yang menyebabkan limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) dan juga sebagai langkah untuk pencegahan tindak pidana tersebut. Demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dan terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
21 http://alviprofdr.blogspot.co.id/2014/02/penelitian-hukum-fungsi.html, Fungsi Penelitian Hukum , Diakses Pada Tanggal 20 September 2016
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang berjudul, “Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas). Studi Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor 291/Pid.Sus/2014/PN.Smg ini belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan telah di uji bersih judulnya pada Perpustakaan Fakultas hukum Univesitas Sumatera Utara.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Oleh karena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan perkataan “straafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit”
tersebut. Perkataan Feit itu sendiri di dalam Bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu kenyataan atau “een gedeelte van de werklijkheid”, sedang “straafbar”
berarti dapat dihukum, hingga secara harafiah perkataan “straafbar feit” itu dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak akan kita
ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.22
Menurut pendapat ahli Simons, Tindak Pidana adalah suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab. Sementara itu, Moeljatno menyatakan bahwa Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan itu harus pula dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.23
Seseorang hanya dapat dipersalahkan sebagai telah melakukan tindak pidana apabila orang tersebut oleh hakim telah dinyatakan terbukti bersalah dengan memenuhi unsur-unsur dari tindak pidana yang bersangkutan, seperti yang dirumuskan di dalam undang-undang. Pemahaman terhadap unsur-unsur tindak pidana merupakan kebutuhan yang sangat mendasar berkaitan dengan penerapan hukum materiil. Secara umum unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan dua macam, yaitu:24
1. Unsur Obyektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat berupa:
a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Contoh unsur objektif yaitu perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang.
22 Paf Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,2011), hal.181
23 Erdianto Efendi, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:Refika Aditama, 2011), hal.97- 98
24 Tongat, Hukum Pidana Materiil, (Malang:UMM Press, 2003), hal.3-6
b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam tindak pidana materiil.
Contoh unsur objektif yang berupa suatu “akibat” adalah akibat- akibat yang dilarang dan diancam oleh undang-undang dan sekaligus merupakan syarat mutlak dalam tindak pidana.
c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang-undang.
2. Unsur Subyektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang berupa:
a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya oleh seseorang terhadap perbuatan yang telah dilakukan (kemampuan bertanggungjawab) b. Kesalahan atau schuld. Seseorang dapat dikatakan mampu
bertanggungjawab apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai dari akibat perbuatannya itu.
2. Keadaan jiwa orang itu sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.
3. Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana yang tidak dilarang oleh undang-undang.
Sungguh pun diketahui adanya unsur-unsur tindak pidana diatas, penentuan suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau tidak sepenuhnya tergantung kepada perumusan di dalam perundang-undangan, sebagai
konsekuensi asas legalitas yang dianut oleh hukum pidana Indonesia, bahwa tidak ada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali ditentukan dalam undang-undang.25
Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak pidana. Penggunaan sanksi pidana untuk menanggulangi kejahatan merupakan cara yang paling tua, setua dengan peradaban manusia itu sendiri.
26 Tujuan pemidanaan adalah menjadikan si penjahat menderita, dengan jalan menjatuhkan pidana sebagai pembalasan. Pembalasan tersebut dipandang sebagai suatu reaksi keras yang bersifat emosional, karena itu mempunyai sifat yang irasional.27
Teori Deterrence, menurut teori ini tujuan pemidanaan digunakan lebih terbatas pada penerapan hukuman pada suatu kasus, dimana ancaman pemidanaan tersebut membuat seseorang merasa takut dan menahan diri untuk melakukan kejahatan. Namun “the net deterrence effect” dari ancaman secara khusus kepada seseorang ini dapat juga menjadi ancaman bagi seluruh masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan.
Dalam perkembangannya pemikiran pemidanaan selanjutnya melahirkan teori deterrence (pencegahan) .
28
Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP kita terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua
25 Erdianto, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Pekan Baru: Alaf Riau, 2010), hal.55
26 Marlina, Hukum Penitensier, (Bandung:Refika Aditama, 2011), hal.27
27 Widodo, Sistem Pemidanaan Dalam Cyber Crime, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2009), hal.70
28 Marlina, Op.cit., hal.50
jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.29
Pembagian dari tindak pidana menjadi “kejahatan” dan “pelanggaran” itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita menjadi Buku ke-2 dan Buku ke-3 melainkan juga merupakan dasar bagi seluruh sistem hukum pidana di dalam perundang-undangan pidana sebagai kesuluruhan.30
Kelsen dalam bukunya, Teori Murni tentang Hukum menyatakan bahwa perbuatan manusia tertentu adalah delik karena tata hukum melekatkan kepada perbuatan ini sebagai kondisi, suatu sanksi sebagai konsekuensinya. Didalam teori hukum pidana tradisional dibuat perbedaan antara mala in se dan mala prohibitia, yakni perbuatan yang dengan sendirinya dianggap jahat dan perbuatan yang dianggap jahat hanya karena perbuatan tersebut dilarang oleh suatu tata sosial positif. Atas dasar itulah KUHP membagi jenis tindak pidana atas Kejahatan (Buku II) dan Pelanggaran (Buku III).31
Dalam hukum pidana konsep liability atau “pertanggungjawaban” itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Konsep kesalahan geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan) sebagai dasar 2. Pertanggungjawaban Pidana
29 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta:Rineka Cipta, 2015), hal.78
30 Paf Lamintang, Op.cit., hal.211
31 Erdianto Efendi, Op.cit., hal.100
untuk meminta pertanggungjawaban seseorang atau sesuatu badan hukum dikenal pula di Indonesia. Pasal 1 KUHP berbunyi:32
1. Tiada suatu perbuatan dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya.
2. Jika ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya.
Walaupun tidak secara tegas disebut dalam KUHP Indonesia tentang adanya asas tiada pidana tanpa kesalahan, namun asas tersebut diakui melalui Pasal 1 ayat 1 KUHP diatas. Bentuk kesalahan menurut konsep ilmu hukum pidana Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh konsep dan struktur ilmu hukum pidana Eropa Kontinental, membagi kesalahan pidana itu dalam dua bagian besar yaitu kesengajaan dan kealpaan.33
Sebagian besar tindak pidana yang dirumuskan di dalam KUHP memuat unsur kesengajaan (opzet). Unsur tersebut di dalam rumusan-rumusan tindak pidana menggunakan berbagai istilah. Oleh karenanya untuk dapat memahami unsur tersebut perlu diketahui istilah apa saja yang sering digunakan dalam KUHP yang menunjukkan adanya unsur kesengajaan (opzet) tersebut. Secara umum kesengajaan (opzet) mempunyai tiga bentuk yaitu:34
32 Ibid., hal.108
33 Erdianto, Op.cit., hal.63
34 Tongat, Op.cit., hal.8
1. Kesengajaan (opzet) sebagai tujuan.
Kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang dengan sengaja sedang perbuatan tersebut memang merupakan
“tujuan” dari pelaku.
2. Kesengajaan (opzet) dengan tujuan pasti atau keharusan.
Bentuk kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan mempunyai tujuan untuk menimbulkan suatu akibat tertentu, tetapi disamping akibat yang dituju itu pelaku insyaf atau menyadari, bahwa dengan melakukan perbuatan untuk menimbulkan akibat yang tertentu itu, perbuatan tersebut pasti akan menimbulkan akibat lain. (yang tidak dikehendaki).
3. Kesengajaan (opzet) kesadaran atau kemungkinan
Kesengajaan ini akan terjadi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan dengan maksud menimbulkan suatu akibat tertentu, tetapi orang tersebut sadar, bahwa apabila ia melakukan perbuatan untuk mencapai akibat yang tertentu itu, perbuatan tersebut mungkin akan menimbulkan akibat lain yang juga dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang. Terhadap akibat lain mana bukan merupakan tujuan yang dikehendaki, tetapi hanya disadari kemungkinan terjadinya.
Meskipun pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan diperlukan adanya kesengajaan, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping kesengajaan itu orang juga sudah dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk kealpaan. Sebagaimana halnya dengan kesengajaan mengenai kealpaan ini juga
diterangkan dalam KUHP tentang artinya. Karena itu maka kita harus melihat pada teori atau ilmu pengetahuan untuk memberi pengertian nya ini.35
Menurut Van Hamel mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu:36
1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum.
2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Seseorang juga dapat dikatakan mempunyai culpa (kealpaan) di dalam melakukan perbuatannya apabila orang tersebut telah melakukan perbuatannya tanpa disertai “de nodige en mogelijke voorzichtigheid en oplettendheid” atau tanpa disertai kehati-hatian dan perhatian seperlunya yang mungkin ia dapat berikan. Oleh karena itu maka menurut Professor Simons, culpa (kealpaan) itu pada dasarnya mempunya dua unsur masing-masing “het gemis aan voorzichtigheid” dan “het gemis van de voorzienbaarheid van het gevolg” atau masing-masing “tidak adanya kehati-hatian” dan “kurangnya perhatian terhadap akibat yang dapat timbul”.37
Dapat dipidananya delik culpa hanya bersifat perkecualian (eksepsional) apabila ditentukan secara tegas oleh undang-undang. Sedangkan pertanggungjawaban terhadap akibat-akibat tertentu dari suatu tindak pidana yang oleh undang-undang diperberat ancaman pidananya, hanya dikenakan kepada
35 Moeljatno,Op.cit., hal.215
36 Ibid.
37 Paf.lamintang, Op.cit., hal 336
terdakwa apabila ia sepatutnya sudah dapat menduga kemungkinan terjadinya akibat itu atau apabila sekurang-kurangnya ada kealpaan.38
Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvatbaar), bilamana pada umumnya:
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, maka pertanggungjawaban hukum yang harus dibebankan kepada pelaku pelanggaran hukum pidana berkaitan dengan dasar untuk menjatuhkan sanksi pidana. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab- pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau rechvaardigingsgrong atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang “mampu bertanggungjawab” yang dapat dipertanggungjawab (pidana) kan.
39
a. Keadaan jiwanya:
1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair) 2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile,dan sebagainya) dan 3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotism, amarah yang meluap, pengaruh
bawah-sadar/reflexe beweging, melindur/slap-wandel, mengigau karena demam/koorts, nyidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam keadaan sadar.
38 Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta:Prenada Media, 2011), hal.90-91
39 Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, (Jakarta:Storia Grafika, 2012), hal.249
b. Kemampuan jiwanya:
1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya
2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak dan,
3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Ringkasnya, Kanter dan Sianturi menyimpulkan bahwa bilamana kita hendak menghubungkan petindak dengan tindakannya dalam rangka mempertanggungjawab-pidanakan petindak atas tindakannya, agar supaya dapat ditentukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibuktikan bahwa:40
a. Subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang b. Terdapat kesalahan pada petindak
c. Tindakan harus bersifat melawan hukum
d. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang (dalam arti luas)
e. Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat,waktu dan keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.
3. Perseroan Terbatas (PT)
Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
40 Erdianto Efendi, Op.cit., hal:125
saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.41
Sebagai sebuah badan hukum, Perseroan Terbatas telah memenuhi unsur- unsur sebagai badan hukum sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT). Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:42
a. Memiliki pengurus dan organisasi teratur.
b. Dapat melakukan perbuatan melawan hukum (recht handeling) dalam hubungan-hubungan hukum (rechts betrekking), termasuk dalam hal ini dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan
c. Mempunyai harta kekayaan sendiri.
d. Mempunyai hak dan kewajiban.
Menurut ketentuan Pasal 1 UUPT, Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris. Adapun pengertian dari 3 organ perseroan tersebut ialah sebagai berikut:43
1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), adalah organ perseroan yang tidak dapat dipisahkan dari perseroan (korporasi, perusahaan). Melalui RUPS tersebutlah pemegang saham sebagai pemilik (eigenaar, owner) melakukan control terhadap kepengurusan yang dilakukan direksi maupun terhadap kekayaan serta kebijakan kepengurusan yang dijalankan manajemen perseroan (korporasi, perusahaan).
41 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 ayat (1)
42 Mulhadi, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), hal.83
43 M.Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta:Sinar Grafika,2009), hal 345
2. Direksi, tugas dan fungsi utama Direksi, menjalankan dan melaksanakan
“pengurusan” (beheer, administration or management) perseroan. Direksi berwenang dan bertanggungjawab penuh atas “pengurusan” perseroan untuk kepentingan perseroan (korporasi, perusahaan).
3. Dewan Komisaris, adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi manfaat nasihat kepada direksi.
Perseroan terbatas dipimpin oleh direksi yang bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun diluar pengadilan. Hubungan antara direksi dan perseroan adalah hubungan saling ketergantungan. Satu dengan yang lain saling tergantung, sebagai organ yang dipercayakan untuk melakukan Pengurusan Perseroan. Perseroan merupakan sebab adanya direksi. Tanpa perseroan, direksi tidak pernah ada. Begitu juga direksi, tanpanya perseroan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.44
direksi adalah organ kepercayaan perseroan dan wajib menjalankan tugas pengurusan tersebut dengan berpegang teguh pada kepercayaan yang diterimanya (Fiduciay Duty). Dengan konsep tersebut, direksi dalam tugas kepengurusan wajib senantiasa bertindak atas dasar itikad baik, bertindak dengan sungguh- sungguh sesuai keahliannya, mengutamakan kepentingan perseroan, bukan kepentingan pemegang saham semata-mata dan menjaga diri agar terhindar dari
44 Adrian Sutedi, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hal.22.
tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara Perseroan dan Direksi.45
Semua makhluk hidup memproduksi bahan sisa metabolisme, pada hewan dan manusia bahan sisa itu berbentuk gas, tinja, dan air seni. Pada manusia, bahan sisa tidak hanya berasal dari metabolisme tubuhnya, melainkan juga dari aktivitas hidup yang lain. Pada waktu ini pertumbuhan penduduk terjadi bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang melahirkan industri.
4. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
46
Meningkatnya sektor industri skala rumah tangga maupun berbadan hukum besar akan meningkatkan pula ketergangguan lingkungan dari limbah- limbah yang dihasilkannya baik pada proses produksi maupun penggunaan barang hasil produksi. Sebagai latar belakang masalah dimulai dengan pemahaman mengenai air limbah, limbah padat dan limbah bahan berbahaya dan beracun dalam lingkup tersebut yang menjadi persoalan terhadap aparatur dan masyarakat pada umumnya. Persoalan limbah biasanya hanya pada klasifikasi khusus untuk industri yang mencari tahu akan adanya aturan.47
Adapun yang dimaksud dengan limbah menurut Pasal 1 ayat 20 Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai limbah ialah sebagai berikut:48
Limbah adalah sisa suatu usaha/dan atau kegiatan.
45 Ibid., hal. 120
46 Otto Soemarwoto, Op.cit., hal.259
47 Achmad Faishal, Op.cit., hal.41
48 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 1 ayat (20)
Suatu limbah digolongkan sebagai limbah B3 bila mengandung bahan berbahaya atau beracun yang sifat dan konsentrasinya, baik langsung maupun tidak langsung, dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan manusia. Adapun termasuk limbah B3 antara lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses dan oli bekas yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus.49 Menurut Pasal 21 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengenai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) ialah sebagai berikut:50
49 Achmad Faishal, Op.cit., hal.146
50 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140) Pasal 21
Bahan berbahaya dan beracun yang selanjutnya disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau komponen lain yang karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lain..
Jadi, limbah B3 adalah sisa dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang menghasilkan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang dapat mencemari dan merusak lingkungan hidup dan berbahaya bagi kelangsungan hidup makhluk hidup.
Beberapa macam limbah berbahaya dan beracun antara lain:51
1. Limbah mudah meledak adalah limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan;
2. Limbah mudah terbakar adalah limbah yang bila berdekatan dengan api, percikan api, gesekan atau sumber nyata lain akan mudah menyala atau terbakar dan bila telah menyala akan terus terbakar hebat dalam waktu lama;
3. Limbah reaktif adalah limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi;
4. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Limbah B3 dapat menimbulkan kematian atau sakit bila masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan, kulit atau mulut;
5. Limbah yang menyebabkan infeksi adalah limbah laboratorium yang terinfkesi penyakit atau limbah yang mengandung kuman penyakit, seperti bagian tubuh manusia yang diamputasi dan cairan tubuh manusia yang terkena infeksi;
Apabila limbah B3 tersebut tidak dikelola dengan baik dan benar dapat merusak lingkungan dan berbahaya bagi makhluk hidup yang berada di sekitarnya. Dengan demikian harus mendapat perhatian lebih dalam pengelolaannya.52
51 Achmad Faishal, Op.cit., hal.146-147
52 Ibid., hal.147
5. Pengelolaan Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya manusia untuk berinteraksi dengan lingkungan guna mempertahankan kehidupan mencapai kesejahteraan dan kelestarian lingkungan. Istilah “pengelolaan”, menurut kamus Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar “kelola”, dan selanjutnya dalam kata kerja mengelola, artinya mengendalikan, mengurus (perusahaan, proyek, dan sebagainya). Pengelolaan adalah proses, cara dan perbuatan mengelola; proses melakukan kegiatan tertentu dengan menggerakkan tenaga orang lain; proses yang membantu merumuskan kebijaksanaan dan tujuan organisasi; proses yang memberikan pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan pencapaian tujuan.53
Perencanaan pengelolaan lingkungan secara dini perlu dikembangkan untuk dapat memberikan petunjuk pembangungan apa yang sesuai di suatu daerah, tempat pembangunan itu dilakukan dan bagaimana pembangunan itu Munurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
“Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakkan hukum”
53 Helmi, Op.cit., hal.44
dilaksanakan.54 Dalam rangka mengatur penyelenggaraan dan pengelolaan lingkungan hidup tersebut harus didasarkan pada norma hukum dalam bentuk perundang-undangan untuk dapat dijadikan pedoman dan landasan hukum bagi seluruh masyarakat.55
Meningkatnya kegiatan pembangunan di Indonesia dapat mendorong peningkatan penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di berbagai sektor seperti industri, pertambangan, pertanian. Selama tiga dekade terakhir, penggunaan dan jumlah B3 di Indonesia semakin meningkat. Penggunaan B3 yang terus meningkat dan tersebar luas di semua sektor apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka akan dapat menimbulkan kerugian terhadap lingkungan hidup.56
Didalam melakukan pengelolaan limbah B3 harus memulai dari beberapa Tahapan. Tahapan tersebut diatur dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Tahapan tersebut ialah sebagai berikut:57
1. Pengumpulan Limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari Penghasil Limbah B3 sebelum diserahkan kepada Pemanfaat Limbah B3, Pengolah Limbah B3, dan/atau Penimbun Limbah B3
54 Otto Soemarwoto, Op.cit., hal.96
55 M.Hamdan, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hal.1-2
56 Achmad Faishal, Op.cit., hal.147
57 Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun Pasal 20 s/d Pasal 24
2. Penyimpanan Limbah B3 adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh Penghasil Limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara Limbah B3 yang dihasilkannya.
3. Pemanfaatan Limbah B3 adalah kegiatan penggunaan kembali, daur ulang, dan/atau perolehan kembali yang bertujuan untuk mengubah limbah B3 menjadi produk yang dapat digunakan sebagai substitusi bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan bakar yang aman bagi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
4. Pengolahan Limbah B3 adalah proses untuk mengurangi dan/atau menghilangkan sifat bahaya dan/atau sifat racun.
5. Penimbunan Limbah B3 adalah kegiatan menempatkan Limbah B3 pada fasilitas penimbunan dengan maksud tidak membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
F. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Dalam dunia riset, penelitian merupakan aplikasi atau penerapan metode yang telah ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan yang terjaga sehingga hasil penelitian yang dilakukan memiliki nilai ilmiah yang dihargai. Dua syarat utama yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian ilmiah dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan yakni peneliti harus lebih dulu memahami konsep dasar ilmu pengetahuan (yang berisi sistem dan ilmunya) dan metodologi penelitian disiplin ilmu tersebut. Lebih jelasnya, dalam suatu penelitian hukum, konsep dasar tentang ilmu hukum menyangkut
sistem kerja dan isi ilmu hukum haruslah sudah dikuasai. Selanjutnya, baru penguasaan metodologi penelitian sebagai pertanggungjawaban ilmiah terhadap komunitas pengembangan ilmu hukum.58
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang dilakukan dan diajukan pada berbagai sumber peraturan perundang- undangan. Menurut Lili Rasjidi Metode Penelitian Hukum Normatif (MPHN) memiliki ciri-ciri utama: (i) bersifat deskriptif analitis dengan pendekatan yuridis normatif; (ii) memiliki tahapan; penelitian kepustakan (library reasearch), data yang dicari adalah data sekunder dengan menggunakan bahan hukum primer, sekunder, tersier dan lain-lain; (iii) konsep, perspektif, teori, paradigma yang menjadi landasan teotrikal penelitian mengacu kepada kaidah hukum yang ada dan berlaku pada ajaran hukum (dari pakar hukum terkemuka).
59
Dalam skripsi ini penulis menggunakan penelitian yang bersifat deskriptif, yaitu mengungkapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum sebagai objek penelitian. Demikian juga hukum dalam pelaksanaanya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek penelitian.
2. Sifat Penelitian
60
58 Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:Bayumedia Publishing, 2007), hal.26
59 Disertasi Parameshwara, Kriminalisasi Terhadap Direksi Dalam Pengurusan Perseroan Terbatas, hal.49
60 Skripsi Happy Day Olivia Simanjuntak, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Impor Narkotika Tanpa Hak Atau Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Narkotika, hal.26
Penelitian deskriptif juga pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat; karakteristik-karakteristik atau faktor-faktor tertentu.61
Penelitian ini diarahkan sebagai penelitian hukum, yaitu penelitian terhadap bahan pustaka dan data sekunder yang terdiri dari:
3. Sumber data
62
C. Bahan Hukum Tersier yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus-kamus hukum, ensiklopedia, majalah popular dan sebagainya. Agar A. Bahan Hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan mencakup peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang akan diteliti seperti: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
B. Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang berkaitan dengan bahan hukum primer seperti Putusan Pengadilan, hasil karya ilmiah para sarjana, hasil- hasil penelitian yang berhubungan dengan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
61 Bambang Sugono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarata:PT.Raja Grafindo,1998), hal. 36
62 Ibid., hal. 116
diperoleh informasi yang terbaru dan berkaitan erat dengan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Oli Bekas Sebagai Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), maka kepustakaan yang dicari dan dipilih ialah data yang relevan dan mutakhir.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun buku-buku, serta karya ilmiah lainnya yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.
5. Analisis Data
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Ketika bahan hukum terkumpul dan dipandang telah cukup lengkap, maka tahap selanjutnya adalah mengelola dan menganalisa bahan hukum. Teknis analisis bahan hukum yang dipakai adalah teknis analisis kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak bergantung dari jumlah berdasarkan angka- angka, melainkan mengumpulkan data dari bahan hukum yang telah disebutkan sebelumnya, mengkualifikasikan, menghubungkannya dengan masalah yang dibahas, kemudian menarik kesimpulan dari penelitian.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini secara keseluruhan terbagi atas 5 (lima) bab dan terdiri dari beberapa sub bab yang menguraikan permasalahan dan pembahasan secara tersendiri dalam konteks yang saling berkaitan satu sama lain.
Sistematika penulisan skripsi ini secara terperinci adalah sebagai berikut:
BAB I: Berisikan pendahuluan yang didalamnya memaparkan mengenai latar belakang penulisan skripsi, keaslian penulisan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, yang mengemukakan berbagai definisi, rumusan dan pengertian dari istilah yang terkait dengan judul untuk memberi batasan dan pembahasan mengenai istilah-istilah tersebut sebagai gambaran umum dari skripsi ini, metode penulisan dan terakhir dari bab ini diuraikan sistematika penulisan skripsi.
BAB II: Memuat tentang pengertian Tindak Pidana Korporasi, pengertian Tindak Pidana Direktur Perseroan Terbatas, pengertian Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pengertian Pengelolaan Oli Bekas, dan Tindak Pidana Pengelolaan Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas).
BAB III: Memuat dan menjelaskan mengenai Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas), Bentuk Kesalahan Korporasi Dalam Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas), Alasan Penghapusan Pidana Dalam Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas) dan Pertanggungjawaban Pidana Direktur Perseroan Terbatas Terhadap Tindak Pidana Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Oli Bekas).
BAB IV: Memuat tentang Analisis Putusan Terhadap Kasus Tindak Pidana Pengelolaan Limbah B3 Tanpa Izin Dengan Bentuk Limbah B3 Jenis Oli Bekas
terhadap seorang Terdakwa ONWARD JOKO PRASETYO,SH yang dimuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang Nomor.291/Pid.Sus/2014/PN.Smg.
BAB V: Berisikan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN (OLI BEKAS)
A. Pengertian Tindak Pidana Korporasi 1. Tindak Pidana Korporasi
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam hal itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.63
Menurut R.Tresna, sebab beberapa perbuatan terlarang perlu diadakan ancaman hukuman pidana tergantung dari beberapa aspek, misalnya sebagai berikut:
64
1. Besarnya kepentingan yang harus dilindungi, sehingga dipandang perlu bahwa perbuatan yang mengancam kepentingan itu hanya dapat dilindungi dengan penderitaan yang harus dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang terlarang itu;
2. Perasaan keadilan masyarakat yang tersinggung (dicederai) oleh karena perbuatan itu, yang hanya dapat dipuaskan dengan diadakannya suatu hukuman yang setimpal dengan perbuatan itu.
63 Moeljatno, Op.cit., hal.59
64 Mohammad Eka Putra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2012), hal.81