TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI
TINDAK PIDANA BAGI PEMBUANGAN LIMBAH B3 (BAHAN,
BERBAHAYA, DAN BERACUN)
(Studi Putusan No.2480/Pid.B/2014/PN.Sby)
SKRIPSI
Oleh Iva Rosiana Nim. C03212043
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI TINDAK
PIDANA BAGI PEMBUANGAN LIMBAH B3 (BAHAN, BERBAHAYA,
DAN BERACUN)
(Studi Putusan No.2480/Pid.B/2014/PN.Sby)
SKRIPSI Diajukan kepada
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Ilmu Syariah dan Hukum
Oleh Iva Rosiana Nim. C03212043
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah Dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam
Surabaya
PENGESAHAN
Skipsi yang ditulis oleh Iva Rosiana NIM. C03212043 ini telah dipertahankan
di depan sidang Majelis Munaqasah Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Ampel pada hari Selasa, 8 November 2016, dan dapat diterima sebagai salah satu
persyaratan untuk menyelesaikan program sarjana strata satu dalam
Majelis Muraqasah Skripsi:
Penguji
I
Penguji tr/
f-nr.
ur*f-ra.
s.n-ii
Nip. 197803 10200501 1004
Penguji IV
011004
Surabaya, Senin 24 November 2016
Mengesahkan,
Fakultas Syariah dan Hukum
A. Mufti Khazin. M.HI
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian library research untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana pertimbangan hakim terhadap sanksi tindak pidana bagi pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan, Beracun) dalam Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan, Beracun)? Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim dalam tindak pidana bagi pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan, Beracun) dalam Putusan Nomor 2480/2014/Pid.B/PN.SBY Tentang Hukuman bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan, Beracun)?
Data penelitian diperoleh melalui dokumentasi serta kepustakaan dan mempelajari sumber-sumber data yang diperoleh dari website Pengadilan Negeri Surabaya dan bentuk dokumen berupa buku-buku litelatur yang berkaitan dengan masalah yang penulis bahas. Setelah data tersebut terkumpul, kemudian analisis dengan cara deskriptif dan verifikatif, yaitu mendeskripsikan dan menganalisis kesesuaian fakta yang terjadi mengenai tindak pidana pembuangan limbah B3 dengan tujuan untuk memperoleh kesimpulan menurut hukum pidana Islam
dengan pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY Tentang Hukuman bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan, Beracun).
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pertimbangan hukum hakim dalam putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang hukuma atau sanksi bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3, bahwa sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa, hakim terlebih dahulu akan memeprtimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa. Hukuman bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan, Beracun) berdasarkan Pasal 103 Ayat 1 jo Pasal 116 Ayat 1 huruf b Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan tuntutan hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan penajara dan denda sebesar 1 milyar rupiah hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum merupakan termasuk dalam jarimah takzir karena dalam jari>mah takzir tersebut telah terpenuhi unsur-unsurnya yang diserahkan sepenuhnya oleh keputusan hakim. Terdakwa diberikan hukuman dengan tujuan agar terdakwa menjadi jera melakukan perbuatan itu dan tidak menggulangginya lagi.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN………... ... iv
PERSEMBAHAN ... v
MOTTO ... vi
ABSTRAK ... vii
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiv
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Identifikasi dan Batasan masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 13
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15
G. Definisi Operasional ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
BAB II KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM DALAM SANKSI TINDAK
PIDANA BAGI PEMBUANGAN LIMBAH B3 (BAHAN,
BERBAHAYA, DAN BERACUN) ... 22
A. Pengertian Jarimah ... 23
B. Bentuk-bentuk Jarimah Takzir…. ... 24
C. Pengertian Takzir ... 24
D. Dasar Hukum Takzir . ... 26
E. Tujuan Takzir ... 28
F. Macam-macam Jarimah Takzir ... 29
G. Pendapat Ulama tentang Sanksi Takzir ... 39
H. Unsur-unsur Jarimah ... 45
BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SURABAYA TERHADAP TINDAK PIDANA BAGI PEMBUANGAN LIMBAH B3 ( BAHAN, BERBAHAYA DAN BERACUN) ... 46
A. Deskripsi Pengadilan Negeri Surabaya ... 46
B. Deskripsi Kasus Tindak Pidana Pembuangan Limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun) ... 47
C. Pertimbangan Hukum Hakim tentang Tindak Pidana Bagi
Pembuangan Limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun)… 66
BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM TENTANG TINDAK PIDANA BAGI PEMBUANGAN
A. Analisis Pertimbangan Hukum Hakim terhadap Sanksi Tindak
Pidana bagi Pembuangan Limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan
beracun) Putusan Pengadilan Negeri Surabaya
No.2480/Pid.B/2014/PN.Sby ... 70
B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi Tindak Pidana bagi Pembuangan Limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan beracun) Hukum Pidana Islam Pengadilan Negeri Surabaya No.2480/Pid.B/2014/PN.Sby ... 80
BAB V PENUTUP ... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 86
DAFTAR PUSTAKA ... 87
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi kelangsungan peri kehidupan dan kesejahteraan manusia
serta mahluk hidup lain.1 Pengelolaan lingkungan hidup merupakan upaya
terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan.2 yang meliputi kebijaksanaan
penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup.3
Pencegahan dan penangulangan pencemaran dan kerusakan lingkungan
memerlukan kerjasama para ahli lingkungan dari berbagai disiplin ilmu
untuk secara bahu membahu meneliti faktor-faktor yang menghambat
maupun mendorong pembinaan dan pengembangan lingkungan di Negara
kita. Kerjasama ini sekaligus diperhatikan untuk membahas permasalahan
serta memberikan pengaruhnya ke arah pengelolaan lingkungan secara serasi
dan terpadu, sesuai dengan kemampuan dan keilmuanya demi keberhasilan
pembangunan berkelanjutan.
Masalah lingkungan dapat ditinjau dari aspek planologis, teknologis,
teknik lingkungan, ekonomi dan hukum. Segi-segi hukum pengelolaan
1 Syamsul Arifin, “ Strategi untuk Mengurangi Kerusakan Lingkungan yang diakibatkan oleh
Gempa dan Glombang Tsunami”, Jurnal Arsitektur “ASTRUM”, 01(April, 2015), 28.
2
lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam di Indonesia perlu dikaji
secara intensif, karena pengelolaan lingkungan tidak mungkin dapat tanpa
pengaturan hukum. Hal imi tidak berarti bahwa ahli hukum dapat
menangani masalah lingkungan terlepas dari disiplin ilmu lain yang
berkaitan dengan bidang lingkungan.4
Kerusakan lingkungan yang paling dikhawatirkan terutama mengenai
sampah. Sampah merupakan salah satu permasalahan kompleks yang
dihadapi baik oleh negara berkembang maupun negara maju sekalipun di
dunia. Masalah sampah merupakan masalah yang umum dan merupakan
masalah yang universal di berbagai negara belahan dunia manapun. dengan
titik perbedaannya terletak pada berapa jumlah sampah yang dihasilkan.5
Islam berkali-kali telah mengingatkan kita agar menjaga lingkungan
seperti dalam firman Allah Swt. Di terangkan dalam Alquran Surah Arrum
Ayat 41 sebagai berikut:
َ ظ
َ ه
َ لاَر
َ ف
َ س
َ داَ
َِف
َ لاَ
َ بَِ رَ
َ وَ لاَ ب
َ ح
َِرَ
َ ِب
َ سكا
َ ب
َ ت
ََ اَ ي
َِد
ى
َ
َ نلا
َِسا
ََِلَ ي
َِذَ ي
َ قَ ه
َ مََ ب
ع
َ ض
ََ لا
َِذ
ى
ََ ع
َِمَ ل
َ اوَ
َ لَ عَ ل
َ هَ م
ََ يَ ر
َِج
َ عَ و
َ ن
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena disebabkan perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar manusia merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).6
Ayat di atas telah jelas bahwa kerusakan lingkungan terjadi akibat
prilaku manusia itu sendiri, seperti membuang sampah sembarangan.
4
Siti Sundari Rangkuti,Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional”,
(Surabaya: Airlangga Universitas Press, 2005), 1.
5 M. Gufron, Rekonstruksi Paradigma Fikih Lingkungan, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2012), 24-25.
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Semarang: Karya Toha Semarang, 2003),
3
Terutama sampah yang dihasilkan dari sisa-sisa medis terdiri dari botol
bekas infus, beserta selang, jarum infus bekas, ampul/botol-botol obat,
jiregen bekas cuci darah (hemodialisa), sarung tangan medis (hand soon),
masker, bag/bekas kantong darah, darah dan gips. Semua sampah yang
dihasilkan sisa-sisa medis tersebut adalah sampah yang digolongkan dalam
limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun) apalagi jika tidak diolah dengan
baik.
Limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun) menurut PP Nomor 18
tahun 1999 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung
bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan atau konsentrasinya
dan atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat
mencemarkan dan atau merusak serta membahayakan lingkungan hidup.
Limbah B3 yang dibuang langsung ke lingkungan dapat menimbulkan
bahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia serta makhluk hidup
lainya.
Limbah yang termasuk limbah B-3 adalah limbah yang memenuhi salah
satu atau lebih karakteristik, yaitu: 7pertama, Limbah mudah meledak adalah
limbah yang melalui reaksi kimia dapat menghasilkan gas dengan suhu dan
tekanan tinggi yang dengan cepat dapat merusak lingkungan sekitarnya.
Contoh asam pikrat, gas hidrogen. Kedua, limbah mudah terbakar adalah
limbah yang apabila berdekatan dengan api, percikan api, gesekan atau
7 Ailauwandi, “ Tinjauan Hukum Islam dan hukum Positif tentang Limbah Bahan Berbahaya dan
4
sumber nyala lain akan mudah menyala atau terbakar dan apabila telah nyala
akan terus terbakar hebat dalam waktu lama. Contoh ammonium nitrat,
belerang, aseton. Ketiga, limbah yang bersifat reaktif adalah limbah yang
dapat menyebabkan kebakaran karena melepaskan atau menerima oksigen.
Contoh sisah pada kemasan oli. Keempat, limbah beracun adalah limbah
yang mengandung racun yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Limbah B-3 dapat menyebabkan kematian dan sakit yang serius, apabila
masuk ke dalam tubuh melalui pencernaan, kulit, atau mulut. Nilai ambang
batasnya ditetapkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan. Contoh
bahan farmasi yang sudah tidak memenuhi spesifikasi atau tidak terpakai
seperti obat kanker. Kelima, limbah yang menyebabkan infeksi sangat
berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti hepatitis dan kolera
yang ditularkan pada pekerja, pembersih jalan, masyarakat di sekitar lokasi
pembuangan limbah. Contoh cairan tubuh manusia seperti darah dari rumah
sakit. Keenam, limbah bersifat korosif dapat menyebabkan iritasi (terbakar)
pada kulit atau mengkorosikan baja. Contoh limbah asam dari baterai yang
dihasilkan dari pendaur ulangan baterai mobil (accu) bekas. Dan ketujuh,
limbah lain yang apabila diuji dengan metode toksilogi dapat diketahui
termasuk dalam jenis limbah B-3, misalnya dengan metode LD-05 (lethal).
Dalam tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan
Beracun) menurut pandangan hukum islam termasuk dalam kejahatan
hukum pidana islam. Ulama muta>’akhi>rin menghimpunnya dalam bagian
5
Pidana Islam.8 Dalam hukum pidana islam tersebut terdapat pembahasan
mengenai jenus pelanggaran atau kejahatan manusia dengan berbagai
sasaran, termasuk juga terdapat tentang lingkungan hidup. Buku atau kitab
yang diancamkan kepada pelaku perbuatan tersebut dinamakan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam mempelajari fikih Jinayah,
ada dua istilah penting. Pertama, adalah istilah Jinayah itu sendiri dan kedua
adalah jarimah.9 Istilah yang pertama, pengertian Jinayah adalah semua
perbuatan yang diharamkan. Perbuatan yang diharamkan adalah tindakan
yang dilarang atau dicegah oleh syarak (Hukum Islam).10 Istilah yang kedua,
adalah jarimah. Pada dasarnya, kata jarimah mengandung arti perbuatan
buruk, jelek, atau dosa. Jadi, pengertian jarimah secara harfiah sama halnya
dengan pengertian jinayah. Adapun pengertian jarimah sebagai berikut:
ٍرْيِزْعح ت ْوحا ٍّدحِِ احهْ نحع ُهحرحجحز ٌةَيِعْرحش ٌتاحرْوُظْحَ
Larangan-larangan syarak (yang apabila dikerjakan) diancam Allah dengan hukuman had atau takzir.11
Larangan-larangan tersebut berasal dari ketentuan syarak sehingga
hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat karena memahami maksud
ketentuan tersebut dan sanggup menerimanya.12
Perbuatan yang dikategorikan jarimah, suatu perbuatan harus memiliki
beberapa persyaratan atau beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut adalah
sebagai berikut ini:13
8 Rahmat Hakim, Hukum pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 11.
9 Ibid. 10 Ibid., 12.
11 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 9.
6
Unsur formal atau al-rukn al-shar’i> adalah adanya ketentuan syarak yang
menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang
oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya
ayat yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud.
Unsur materiil atau al-rukn al-ma>di> adalah adanya perilaku yang
membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau
adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum.
Unsur moril atau al-rukn al-adabi> (penanggungjawaban pidana) adalah
pembuat jarimah atau pembuat tindak pidana atau delik haruslah orang yang
dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Jika kerusakan yang dilakukan tidak sampai mengakibatkan bahaya
besar, maka hukuman yang bisa diterima cukup dengan mentakzir artinya
pemerintah bisa menyanksi sesuai dengan kadar kejahatannya.14 Dalam
perspektif Islam, salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan
membangun paradigma fikih lingkungan. Yaitu membangun suatu
pemahaman yang komprehensif, utuh dan terpadu terhadap ajaran Islam
yang berbicara tentang pelestarian lingkungan hidup.15 Substansi hukum
lingkungan mencakup sejumlah ketentuan-ketentuan hukum tentang dan
13 Ibid., 52.
14 Gufron, Rekonstruksi Paradigma Fikih Lingkungan (Analisis Problematika Ekologi di
Indonesia dalam perspektif fiqh al-bi’ah), (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012), 9.
7
berkaitan dengan upaya-upaya mencegah dan mengatasi masalah-masalah
lingkungan hidup.16
Bagian yang tidak ditentukan jenis pelanggarannya atau juga jenis
hukumannya, dalam terminologi fikih disebut dengan takzir. Suatu jenis
jarimah dan sanksi hukuman yang menjadi wewenang u>lu>l a>mr{{{{}}}}>i dalam
pengaturannya.17 Jarimah hudud adalah suatu suatu jarimah yang bentuknya
telah ditentukan syara sehingga terbatas jumlahnya. Jarimah qisas diyat pun telah ditentukan jenisnya maupun besar hukumannya. Jadi, jarimah ini
terbatas jumlahnya dan hukumannya pun tidak mengenal batas tertinggi
maupun terendah karena hukuman untuk jarimah ini hanya satu untuk setiap
jarimah.
Sehingga hukuman bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3
(Bahan, Berbahaya, dan Beracun) dalam hukum pidana islam termasuk
dalam jarimah takzir karena dalam jarimah takzir tersebut telah terpenuhi
unsur-unsurnya secara menyeluruh, bukan termasuk dalam jarimah hudud
ataupun jarimah qisas diyat karena dalam kedua jarimah tersebut terdapat
unsur yang tidak terpenuhi sehingga tidak termasuk jarimah hudud ataupun
jarimah qisas diyat.18
Untuk menjaga lingkungan dari pencemaran terutama akibat dari
pandangan limbah B3 (Bahan, berbahaya, dan beracun) dibutuhkan
penindakan yang tegas agar para pelaku tindak pidana pembuangan limbah
16 Takdir Rhmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 26.
17 Hakim Rahmat, Hukum pidana Islam…, 140.
8
B3 (Bahan, berbahaya, dan beracun) menjadi jera seperti yang dilakukan
terdakwa Wuri Diah Handayani, S.T yang menjabat sebagai kepala Instalasi
Penyehatan Lingkungan RSUD Sidoarjo, yang sesuai dengan pertimbangan
hukum sebagai mana yang Telah disebutkan dibawah ini:
Wuri Diah Handayani, S.T sebagai terdakwa dalam kasus
penyalahgunaan tanggungjawab sebagai kepala Instalasi Penyehatan
Lingkungan di Rumah Sakit Umum Sidoarjo, terdakwa memerintah stafnya
untuk memasukkan truk kedalam Rumah Sakit dengan Nomor Pol:
L-8044-JA untuk mengambil sampah yang ada dirumah sakit untuk dibawa ke TPS
yang ada di Dusun Kedungturi, Desa Kedungkulon, Kecamatan Porong,
Kupaten Sidoarjo.
Truk dikendarai oleh Senain pada tanggal 4 Juli 2013 pada pukul 05.30
WIB. Selama diperjalanan truk mengeluarkan bau tidak sedap, sehingga
mengundang curiga polisi yang sedang berpatroli, ketika truk dihentikan
untuk diperiksa kelengkapan surat ternyata si sopir tidak bisa menunjukkan
surat-surat kelengkapan, dan dari situlah dugaan pembuangan limbah medis
dari rumah sakit yang termasuk dalam limbah B3 yang tanpa surat resmi
dilakukan.
Bahwa ia terdakwa Wuri Diah Handayani, S.T, pada hari Kamis tanggal
10 Januari 2013 sekitar pukul 12.30 WIB atau setidak-tidaknya sekitar
waktu itu dalam bulan januari 2013 bertempat di Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) Kabupaten Sidoarjo beralamatkan di jalan Mojopahit
9
di suatu tempat dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Sidoarjo, namun
oleh karena sebagian besar saksi bertempat tinggal di Surabaya, maka
berdasarkan Pasal 84 Ayat (2) KUHP, Pengadilan Negeri Surabaya
berwenang mengadili perkara ini, menghasilkan limbah B3 dan tidak
melakukan pengelolaan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 59, yang
dilakukan dengan cara antara lain sebagai berikut:
Bahwa pada tahun 1998, terdakwa mulai bekerja di Rumah Sakit Umum
Daerah Kabupaten Sidoarjo beralamatkan di jalan Mojopahit Nomor 667,
kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo dan pada bulan Oktober 2011
terdakwa diangkat menjadi kepala Instalasi Penyehatan Lingkungan di
rumah sakkit umum daerah Kabupaten Sidoarjo, Selanjutnya tugas dan
tanggungjawab terdakwa adalah kepala Instalasi Penyehatan Lingkungan Di
RSUD Kabupaten Sidoarjo tersebut adalah membuat perencanaan kegiatan
Instalasi penyehatan Lingkungan, serta mengevaluasi dan laporan kegiatan
Instalasi penyehatan lingkungan kemudian terdakwa melaporkan
pelaksanaan tugas dan tanggungjawabnya.
Putusan hakim menyatakan terdakwa Wuri Diah Handayani, S.T
tersebut di atas, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana, tidak melakukan pengelolaan limbah B3 sesuai peraturan.
Sebagaimana dalam dakwaan Pasal 103 Ayat (1) Jo Pasal 116 Ayat (1) huruf
(b) Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
10
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sejumlah Rp 1.000.000.000,- (satu
miliyar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 4 (empat) bulan kurungan,
memerintahkan terdakwa untuk ditahan.
Melalui latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian lebih lanjut dengan jelas dengan judul: “Tinjauan Hukum Pidana
Islam terhadap Sanksi Tindak Pidana Bagi Pembuangan Limbah B3 (bahan,
berbahaya, dan beracun) (Studi Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY).
apakah sanksi tersebut sudah sejalan dengan akibat yang ditimbulkan
ataukah masih belum ada kesesuaiaan antara keduanya.
Karena dalam Pasal 103 yang menjelaskan tentang larangan terhadap
seorang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengolahan,
dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama
5 tahun serta denda paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 dan paling banyak
Rp. 3.000.000.000,00. Dalam Pasal 117 yang menjelaskan tentang apabila
tuntutan diajukan kepada badan usaha atau seorang yang memberi perintah
maka diancam dengan pidana penjara dan denda diperberat sepertiga dari
denda aslinya.
Namun dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY menjatuhkan putusan kepada pimpinan instalasi
yang memberikan perintah untuk membuang limbah B3 hanya menjatuhkan
11
Dalam putusan tersebut dirasa majelis hakim menjatuhakn hukuman denda
terlalu ringan, karena sudah disebutkan dalam pasal 116 bahwa denda yang
dijatuhkan kepada pemebri perintah diperberat dengan sepertiga, artinya jika
denda asli adalah Rp. 1000.000.000,00 maka jika diperberap sepertiga
kurang-lebih menjadi Rp.3.000.000.000,00.
Inilah yang menjadi kejanggalan dalam Putusan Pengadilan Surabaya
Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY yang dirasa perlu adanya koreksi lanjutan
terhadap Pasal 103 Ayat (1) Jo Pasal 116 Ayat (1) huruf (b) UU RI Nomor
32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis
mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Pengertian lingkungan hidup serta mengenai kerusakan lingkungan hidup
2. Pengertian limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun) dan akibat yang
ditimbulkan dari tindak pidana pembuangan limbah B3 terhadap
lingkungan sekitar
3. Karakteristik yang terdapat pada limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan
Beracun)
4. Bentuk hukuman yang diberikan pada pelaku tindak pidana pembuangan
limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun).
12
6. Tinjauan hukum pidana islam terhadap pelaku tindak pidana pembuangan
limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan beracun) Nomor 2480/Pid.
B/2014/PN.SBY
Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi ruang lingkup
permasalahan yang hendak dikaji atau diteliti yaitu seputar:
1. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap pertimbangan hukum hakim
dalam putusan Analisis hukum pidana islam terhadap pertimbangan
hukum hakim dalam Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang
hukuman bagi pelaku tindak pidana bagi pembuangan limbah B3 (Bahan,
Berbahaya, dan Beracun).
2. Analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum dalam Putusan
Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang hukuman bagi pelaku tindak
pidana bagi pembuangan limbah B3 9Bahan, Berbahaya dan Beracun).
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat disimpulkan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap sanksi tindak pidana bagi
pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya dan Beracun) dalam Putusan
13
2. Bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum dalam
tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun)
dalam Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY ?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi tentang kajian atau penelitian yang
sudah pernah dilakukan, sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang sedang
dan akan dilakukan ini tidak merupakan pengulangan atau duplikasi dari
kajian atau penelitian terdahulu.
Penelitian tentang sanksi tindak pidana bagi pembuangan limbah B3
(Bahan, Berbahaya, Dan, Beracun), memang sangat banyak dan beragam,
namun keberagaman tema tersebut dapat memberikan refrensi yang berbeda,
baik dari objek maupun fokus penelitian. Hal ini dapat dipahami dalam
beberapa penelitian sebagai berikut:
“Kajian Air Limbah Domestic di Perumnas Bantar Kemang, Kota Bogor
dan Pengaruhnya pada Sungai Ciliwung” yang dibahas oleh Muhammad
Reza Cordova ini membahas tentang limbah domestic, memang sama
membahas tentang limbah namun terdapat perbedaan dengan tulisan penulis,
yaitu skripsi ini lebih membahas tentang hukum positifnya namun penulis
mebahas limbah dari segi hukum pidana Islamnya.19
19Muhammad Rez Cordova, “Kajian Air Limbah Dosmetik Di Perumnas Bantar Kemang Kota
14
“Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan dan Perilaku Masyarakat
dengan Kejadian Filariasis di Kecamatan Kampung Rakyat Kabupaten
Labuhan Batu Selatan” yang dibahas Erwin Saleh Pulungan ini membahas
tentang limbah juga namun berbeda dengan karya penulis karena skripsi ini
lebih membahas tengan limbah rumah tangga sedangkan penulis lebih
membahas tentang limba B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).20
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara garis besar penelitian
ini dilakukan dengan berbagai tujuan antara lain sebagai berikut:
1. Mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hukum
hakim dalam Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang hukuman
bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan,Berbahaya, dan
Beracun.
2. Mengetahui analisis hukum pidana Islam terhadap sanksi hukum dalam
Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang hukuman bagi pelaku
tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya dan Beracun.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, penulis ingin mempertegas kegunaan
hasil penelitian yang ingin dicapai dalam skripsi ini sekurang-kurangnya
dalam dua aspek yaitu:
20Erwin Saleh Pulungan, “Hubungan Sanitasi Lingkungan Perumahan Dan Perilaku Masyarakat
15
1. Aspek teoritis (keilmuan)
Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pedoman serta pengetahuan yang bermanfaat untuk penelitian selanjutnya
yang berkaitan tentang hukum pidana islam terhadap hukuman bagi
pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan
Beracun) studi Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY.
2. Aspek praktis (terapan)
Dari segi praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
acuan melakukan penelitian yang akan datang serta diharapkan dapat
menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara pidana
khususnya dalam menerapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana
pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun).
G. Definisi Operasional
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dalam memahami agar
menghindari kesalahpahaman mengartikan judul skripsi ini, maka diperlukan
untuk dijelaskan maksud beberapa istilah-istilah atau kata-kata didalam
judul di atas :
1. Hukum pidana Islam adalah hukum yang mengatur perbuatan
yang dilarang oleh syarak dan dapat menimbulkan hukuman had
16
Islam menunjuk pada kitab-kitab fikih jinayah yang ditulis oleh
para ahli atau ulama.21
2. Sanksi tindak pidana adalah akibat dari suatu perbuatan atau suatu
reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas suatu
perbuatan.
3. Pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun) adalah
buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri
maupun domestik (rumah tangga).22
H. Metode Penelitian
1. Data yang dikumpulkan
Berdasarkan masalah yang dirumuskan, maka data yang dikumpulkan
dalam penelitian ini meliputi:
a. Data tindak pidana pembuangan limbah B3 dalam Putusan Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY.
b. Pandangan hukum pidana Islam terhadap hukuman bagi pelaku tindak
pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun)
dalam Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY
21
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet II, 1997), 2.
22 Sugiarto, ”Pengertian Limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun)”, http://artonang.co.id,
17
2. Sumber data
Sumber data merupakan bagian dari skripsi yang akan menentukan
keotentikan skripsi, berkenaan dengan skripsi ini, sumber data yang
dihimpun antara lain:
a. Sumber sekunder
1. Bahan hukum primer
a. Bahan hukum primer berupa Putusan Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY Dimana data tersebut diperoleh
dari website direktori Pengadilan Negeri Surabaya.
b. UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengolaan Lingkungan Hidup.
2. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum yang digunakan peneliti dalam bentuk dokumen
berupa buku-buku literatur dan dokumen yang ada
hubungannya dengan masalah yang penulis bahas. Diantaranya:
1) Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Surabaya:
Airlangga University Press, 2005.
2) H. M. Gufron Rekonstruksi Paradigma Fiqih
Lingkungan, Surabaya: iain Sunan Ampel Press, 2012.
3) Rahmat Hakim ,Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah),
18
4) Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta:
Sinar Graha, 2005.
5) R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1996.
6) R.M. Gatot P. Soemartono, Mengenal Hukum
Lingkungan Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1991.
7) Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Jakarta:
Sinar Grafika, 2012
3. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik dokumentasi,
yakni cara yang digunakan adalah dengan pengumpulan data literatur,
yaitu dari dokumen Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY. yang
dilengkapi dengan penggalian bahan-bahan pustaka yang berhubungan
dengan bahasan hukuman bagi pelaku tindak pidanapembuangan limbah
B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun). Bahan-bahan pustaka yang
digunakan di sini adalah buku-buku yang ditulis oleh para pakar atau ahli
hukum, terutama dalam bidang hukum pidana dan hukum pidana Islam.
4. Teknik pengolahan data
Semua data yang terkumpul kemudian diolah dengan cara sebagai
berikut:
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali terhadap semua data yang telah
19
keselarasan dan kesesuaian antara data primer maupun data sekunder,23
yang berkaitan dengan tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan,
Berbahaya, dan Beracun).
b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematikan data yang diperoleh
dalam kerangka uraian yang sudah direncanakan.
c. Analyzing, yaitu analisis dari data yang telah dideskripsikan terhadap
hukuman bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan,
Berbahaya, dan Beracun) dalam Putusan Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY
5. Teknik analisis data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Deskriptif analisis, yaitu dengan cara memaparkan mengenai hukuman
yang diputuskan dalam kasus pembuangan limbah B3 (Bahan,
Berbahaya, dan Beracun) secara keseluruhan, mulai dari deskripsi
kasus, sampai dengan isi putusan.
d. Deduktif, yaitu pola pikir yang membahas persoalan yang dimulai
dengan memaparkan hal-hal yang bersifat umum berupa dalil, kaidah
fiqih, pendapat mujtahid (yakni yang berkaitan tentang hukuman bagi
pelaku pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun)
kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus dari hasil
penelitian tersebut.
20
I. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembahasan masalah yang ada dalam penelitian ini
dan agar dapat dipahami permasalahannya secara sistematis, maka
pembahasannya disusun dalam setiap bab yang masing-masing bab
mengandung sub bab, sehingga menggambarkan keterkaitan yang sistematis,
untuk selanjutnya sistematika pembahasannya disusun sebagai berikut:
Bab Pertama, menjelaskan tentang gambaran apa bagaimana, dan untuk
apa studi ini disusun, oleh karena itu dalam bab pertama ini dipaparkan
tentang: latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian,
dan sistematika pembahasan.
Bab Kedua, kerangka teoritis menguraikan tentang hukuman tindak
pidana dalam hukum pidana Islam yang meliputi: pengertian hukuman, dasar
hukum hukuman, tujuan hukuman, syarat-syarat hukuman, jenis-jenis
hukuman dan sekilas tentang hukuman takzir yang terdiri dari: pengertian
takzir, dasar hukum takzir, macam-macam tazir, sanksi perbuatan takzir.
Bab Ketiga, memuat gambaran singkat tentang kasus tindak pidana
pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun), dasar hukum
pertimbangan hakim tentang tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan,
berbahaya, dan Beracun). Amar putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana
21
Bab Keempat, Tentang analisis terhadap Putusan Pengadilan Negeri
Surabaya tentang hukuman bagi pelaku tindak pidana pembuangan limbah
B3 (Bahan, Berbahaya, dan Beracun) yang meliputi analisis putusan hukum
hakim tentang tindak pidana pembuangan limbah B3 (Bahan, Berbahaya,
dan Beracun) dalam Putusan Nomor 2480/Pid.B/2014/PN.SBY dan analisis
menurut Hukum pidana Islam terhadap Putusan Nomor
2480/Pid.B/2014/PN.SBY tentang tindak pidana pembuangan limbah B3
(Bahan, Berbahaya dan Beracun).
Bab Kelima, penutup yang berisi tentang kesimpulan dari pembahasan
yang telah diuraikan, serta saran-saran yang dapat penulis kemukakan terkait
BAB II
KONSEP HUKUM PIDANA ISLAM DALAM SANKSI TINDAK
PIDANA BAGI PEMBUANGAN LIMBAH B3 (BAHAN,
BERBAHAYA, DAN BERACUN)
Perbuatan manusia yang dinilai sebagai pelanggaran atau kejahatan kepada
sesamanya, baik pelanggaran atau kejahatan tersebut secara fisik atau non fisik,
seperti membunuh, menuduh, memfitnah maupun kejahatan terhadap harta benda
lainnya, dibahas dalam jarimah. Namun beberapa ulama muta’akhirin
menghimpun pembahasan semua jenis pelanggaran atau kejahatan manusia
dengan berbagai sasaran, badan, jiwa, harta benda, kehormatan, nama baik,
Negara, tatanan hidup, dan lingkungan hidup kedalam fikih jinayah ata hukum
pidana Islam.
Dalam memperlajari fikih jinayah, ada dua istilah penting yang terlebih
dahulu haruus dipahami sebelum mempelajari meteri selanjutnya. Pertama adalah
istilah jinayah itu sendiri dan kedua adalah jarimah. Kedua istilah tersebut secara
etimologis mempunyai arti dan arah yang sama. Selain itu, istilah yang ,menjadi
sinonim bagi istilah lainnya atau keduanya bermakna tunggal. Walaupun
demikian, kedua istilah berbeda dalam penerapan kesehariannya. Dengan
demikian, kedua istilah tersebut harus diperhatikan agar penggunaanya tidak
23
A. Pengertian Jarimah
Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang syarak yang
sanksinya dapat berubah hukuman had atau takzir. Menurut Imam al-
Mawardi jarimah adalah “segala larangan syarak (melakukan hal-hal yang
dilarang dan atau meninggalkan yang diwajibkan) yang diancam dengan
hukuman had atau takzir”.1
Suatu perbuatan dapat dinamai suatu jarimah (tindak pidana, peristiwa
pidana atau delik) apabila perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi
orang lain atau masyarakat baik jasad (anggota badan atau jiwa), harta
benda, keamanan, atau aturan masyarakat, nama baik, perasaan atau hal-hal
yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi keberadaannya. Artinya, jarimah
adalah dampak dari perilaku tersebut yang menyebabkan kepada pihak lain,
baik berbentuk material (jasad, nyawa atau harta benda) maupun yang
berbentuk non materi atau gabungan non fisik seperti ketenangan,
ketentraman, harga diri, adat istiadat dan sebagainya.2
Menurut Mr. Tresna “Peristiwa pidana itu adalah rangkaian perbuatan
manusia yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan
perundangan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan
penghukuman”. Menurut pengertian tersebut suatu perbuatan itu baru
dianggap sebagai tindak pidana, apabila bertentangan dengan
undang-undang dan diancam dengan hukuman. Apabila perbuatan itu tidak
1 Al- Mawardi, al Ahkam al- Sulthaniyah, ( Jakarta: Darul Falah,1973), 219.
24
bertentangan dengan hukum (undang-undang), artinya hukum tidak
melarangnya dan tidak ada hukumannya dalam undang-undang maka
perbuatan itu tidak dianggap sebagai tindak pidana.3
B. Bentuk-bentuk Jarimah
Jarimah dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis sesuai dengan
aspek yang ditonjolkan. Pada umumnya para ulama membagi jarimah
berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau
tidaknya oleh Alquran dan Hadis. Atas dasar ini mereka membaginya
menjadi tiga macam, yaitu:
a. Jarimah hudud
b. Jarimah qishash atau diya>t
c. Jarimah takzir
C. Pengertian Takzir
Seperti yang diuangkapakan oleh Imam Al-Mawardi mengenai jarimah
yaitu segala perbuatan yang melanggar syarak yang dapat diajatuhi hukuman
had atau takzir. Setiap perbuatan yang sanksinya diatur oleh alquran dan
hadis disebut dengan jarimah had, sedangkan setiap perbuatan yang
sanksinya tidak diatur oleh Alquran dan hadis disebut dengan jarimah takzir.
3 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan asas hukum pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika,
25
Takzir menurut Wahbah Zuhaili mirip dengan definisi yang
dikemukakan oleh Al-Mawardi yaitu hukuman yang ditetapkan atas
perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula
kifarat.4
Takzir berasal dari kata ‘azzara yang berarti menolak dan mencegah
kejahatan, atau berarti menguatkan, memuliakan, dan membantu. Dalam
Alquran disebutkan:
ُوُرِّزَعُ تَو ِِلوُسَرَو ِهّاِب اوُِمْؤُ تِل
ايِصَأَو ًةَرْكُب ُوُحِّبَسُتَو ُوُرِّقَوُ تَو
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)–Nya, membesarkan-Nya dan bertasbih kepadamu di waktu pagi dan petang. (Qs. Alfath: 9)5
Takzir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut
dnegan takzir karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum
untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuat jera.
Dalam takzir, hukuman itu tidak ditetapkan dengan ketentuan (dari
Allah dan Nabi-Nya), dan qa>d{i diperkenankan untuk mempertimbangkan
baik bentuk hukuman yang akan dikenakan maupun kadarnya. Pelanggaran
yang dapat dihukum dengan metode ini merugikan kehidupan dan harta serta
kedamaian dan kenyamanan masyarakat.6
Sementara berkenaan dengan meninggalkan hal-hal yang makruh, ada
dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak boleh memberikan
4 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005), 249.
5 M Hasbi Ash Shiddiqi, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Madinah: Mujamma’ Khadim Al-
Harama, 1441), 422.
26
sanksi takzir kepada seseorang yang melakukan hal yang makruh atau
seseorang yang meninggalkan sunah. Sebab tidak ada taklif (keharusan
mengerjakan atau meninggalkan) dalam hal-hal yang sunat dan makruh.
Pendapat kedua boleh memberikan sanksi takzir kepada seseorang yang
melakukan hal yang makruh atau seseorang yang meninggalkan sunah. Hal
ini didasarkan pada peristiwa dimana Umar bin Khatab menghukum
seseorang yang tidak cepat-cepat menyembelih kambing setelah kambing itu
dibaringkan, padahal perbuatan tersebut termasuk perbuatan yang makruh.7
Hakim dalam hal ini diberi kewenangan untuk menjatuhakan hukuman
bagi pelaku jarimah takzir.8 kata “Hakim” secara etimologi berarti “orang
yang memutuskan hukum.” Dalam istilah fikih hakim merupakan orang yang
memutuskan hukum yang sama maknanya dengan qa>d{i. Dalam kajian ushul
fikih, hakim juga berarti pihak penentu dalam pembuat hukum syariat secara
hakiki.9
D. Dasar Hukum Takzir
Dasar hukum disyariatkannya takzir terdapat dalam beberapa hadis
Nabi Muhammad saw, dan tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut antara
lain sebagai berikut:
7 Enceng Arif Fatzal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum Pidana Islam,
(Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), 176-177.
8 Ahmad Asrofi, “Jari>mah Ta’zi>r dalam Prespektif Hukum Pidana Islam “, http://asrofisblog.blogspot.ac.id/2015/04/jarimah-tazir-dalam-prespektif-hukum.html, diakses pada 16 April 2016
27
1. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Abi Burdah
ُلْوُقَ ي َمهلَسَو ِْيَلَع ُه ىهلَص ِه َلْوُسَر َعََِ ُهنَأ َُْع ُه َىِضَر ْىِراَصْنَْْا ًةدْرُ ب َِِأ ْنَع
ََ :
ٍّدَح ِِ هَِإ ٍطاَوْسَأ ِةَرْشَع َقْوَ ف ُدَلُُْ
.) يلع قفتم( ََاَعَ ت ِه ِدْوُدُح ْنِم
Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. Bersabda: Tidak boleh dijilid diatas sepuluh cambuk kecuali
didalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala. (Muttafaq ‘alayh)10
2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aishah
ُه َىِضَر َةَشِئاَع ْنَعَو
اَرَ ثَع ِتاَئْيَْْا ىِوَذ اْوُلْ يِقَأ : َلاَق َمهلَسَو ِْيَلَع ُه ىهلَص هِِهلا هنَأ اَهْ َع
.)ىقهيبلاو ىئاس لاو دواد وبأ و دمأ اور( َدْوُدُْْا هَِإ ْمِِِ
Dari Aishah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda: “Ampunilah orang -orang yang baik dari tergelincirnya (berbuat salah yang tidak disengaja), kecuali hukuman hudud. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud,Nasa’i, dan Baihaqi)11
Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi
takzir dalam syariat Islam. Hadis pertama menjelaskan tentang tindakan
Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana
dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua
menjelaskan tentang batas hukuman takzir yang tidak boleh lebih dari
sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud.
Dengan batas hukuman ini dapatlah diketahui mana yang termasuk
jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah takzir. para ulama
sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian,
minuman khamr, H}ira>bah, qadhab, murtad, dan pembunuhan. Selain dari
10 Ibnu Hajam al- Asqalami, Bulu>ghul Mara>m: Panduan Lengkap Masalah-Maslah Fikih, dan
Keutamaan Amal, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2010), 519.
28
jarimah tersebut berarti jarimah takzir, meskipun ada yang masih
diperdebatkan oleh para fuqaha, seperti homoseksual, lesbian, dan
lain-lain. Sedangkan hadis ketiga mengatur tentang teknis pelaksanaan
hukuman takzir yang bisa berbeda antara satu pelaku dengan pelaku
lainnya, tergantung pada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang
menyertainnya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk
jarimah dan hukuman takzir antara lain tindakan sayidina Umar bin
Khattab ketika ia melihat seseorang yang menelantarkan seekor
kambing untuk disembelih. Kemudian ia menga sah pisaunya. Sayidina
Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata: “Asah dulu
pisau itu!”12
E. Tujuan Takzir
Tujuan memberikan sanksi kepada pelaku takzir mengandung
aspek kemaslahatan bagi kehidupan masyarakat, yakni:
1. Sebagai preventif yaitu bahwa sanksi takzir harus memberikan dampak
positif bagi orang lain (orang yang tidak dikenai hukuman takzir,
sehingga orang lain selain pelaku tidak melakukan perbuatan yang sama.
2. Sebagai represif yaitu bahwa sanksi takzir harus memberikan dampak
positif bagi pelaku sehingga tidak mengulangi perbuatan yang
12 Enceng Arif Fatzal dan Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah: Asas-Asas Hukum Pidana Islam…,
29
menyebabkan pelaku dikenakan sanksi (jera). Oleh karena itu, sanksi
takzir baik dalam tujuan sanksi preventif dan represif harus sesuai
dengan keperluan, tidak lebih dan tidak kurang dengan menerapkan
prinsip keadilan.
3. Sebagai kuratif yaitu sanksi takzir harus mampu membawa perbaikan
sikap dan prilaku terhukum dikemudian hari.
4. Sebagai edukatif yaitu sanksi takzir harus mampu menumbuhkan hasrat
pelaku ataupun orang lain untuk mengubah pola hidupnya sehingga
pelaku akan menjauhi perbuatan maksiat bukan karena takut hukuman
melainkan karena tidak senang terhadap kejahatan. Dalam hal ini
pendidikan agama sebagai sarana memperkuat keimanan dan
ketakwaannya, sehingga ia menjauhi segala macam maksiat untuk
mencari keridaan Allah Swt.13
F. Macam-Macam Jarimah Takzir
Takzir adalah sanksi yang hak penetapannya diberikan kepada
khalifah. Dalam hal ini, terdapat sanksi-sanksi yang telah ditetapkan oleh
nash dengan sangat jelas, untuk tidak dijatuhkan (digunakan) sebagai
sanksi. Oleh karena itu, penguasa tidak boleh menghukum seseorang dengan
sanksi tersebut. Disisi lain, nash-nash dari Alquran dan hadis telah
menjelaskan sanksi-sanksi tertentu yang telah ditetapkan ukurannya,
disamping adanya perintah untuk menjatuhkan hukuman dengan sanksi
13 A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta: PT
30
yang telah ditentukan itu. Maka, keberadaan syariat yang telah menjelaskan
sanksi-sanksi tertentu, menunjukkan bahwa vonis berbagai macam sanksi
dalam masalah takzir dibatasi dengan sanksi yang telah dijelaskan oleh
syarak. Mengenai sanksi-sanksi yang telah digunakan syariat (sebagai
hukuman), mencakup jenis-jenis sebagai berikut:14
1. Sanksi hukuman mati
Sebagaimana diketahui, takzir mengandung arti pendidikan dan
pengajaran. Dari pengertian itu, dapat kita pahami bahwa tujuan takzir
adalah mengubah si pelaku menjadi orang yang baik kembali dan tidak
melakukan kejahatan yang sama di waktu yang lain.
Dengan maksud pendidikan tersebut, keberadaan si pelaku setelah
melakukan suatu jarimah harus dipertahankan, si pelaku harus tetap
hidup setelah hukuman dijatuhakan agar tujuan pendidikan dapat
tercapai. Oleh karena itu, hukuman yang diberikan kepada si pembuat
jarimah tidaklah sampai membinasakan pelaku jarimah, tujuan
mendidik untuk kembali kejalan yang benar, tidak akan tercapai.
Namun demikian apabila hal ini tidak mampu memberantas kejahatan,
si pelaku malah berulang kali melakukan kejahatan yang sama atau
mungkin lebih variatif jenis kejahatannya. Dalam hal ini satu-satunya
cara untuk mencegah kejahatan tersebut adalah melenyapkan si pelaku
agar dampak negatifnya tidak terus bertambah dan mengancam
kemaslahatan yang lebih luas lagi. Hukuman ini juga berlaku bagi
31
mereka yang melakukan kejahatan yang dapat membahayakan bangsa
dan negara, membocorkan rahasia negara yang sangat penting untuk
kepentingan musuh negara.
2. Hukuman jild
Dalam jarimah takzir, hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk
alquran untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang
tidak ada sanksinya. Walaupun bentuk hukumanya tercantum dalam
Surah Annisak Ayat 34 ditunjukan pada tujuan ta’di>b bagi istri yang
melakukan nus{{uz kepada suaminya. Hukuman jild juga mempunyai
dampak lebih maslahat bagi keluarga sebab hukuman ini hanya
dirasakan fisik oleh yang menerima hukuman walaupun secara moril
juga dirasakan oleh keluarga terhukum. Namun, seiring singkatnya
hukuman tersebut, dampak terhadap morilnya tersebut akan cepat
hilang. Adapun hukuman penjara menyebabkan penderitaan yang
dialami keluarga pelaku, baik moril maupun materil. Ini berarti bahwa
hukuman tersebut juga ikut dirasakan oleh keluarga yang tidak ikut
bersalah. Dari segi moril keduanya akan berpisah dalam jangka waktu
yang lama dan dapat menyebabkan ganguan kejiwaan karena kebutuhan
kamanusiaanya tidak dapat disalurkan. Dari segi materil, keluarga juga
akan menanggung resiko yang tak kalah beratnya, bahkan ini yang
sangat tampak dirasakan keluarga, terutama anak-anak. Orang yang
32
melakukan pekerjaanya. Akibatnya, keluarga harus hidup seadanya
atau istri harus mencari penghasilan kalau tidak mau mati
bersama-sama. Ada kemungkinan bagi istri, dalam upaya menghidupi
anak-anaknya, melakukan hal yang menyimpang dari kesusilaan, karena
keterbatasan keterampilan yang dimilikinya. Tentu saja ini akan
menambah masalah baru, masalah sosial yang dapat berantai.
Hukuman jild juga dapat menghindarkan si terhukum dari akibat
sampingan hukuman penjara dan ini pada hakikatnya memberikan
kemaslahatan bagi si terhukum. Dalam hukuman jild, si terhukum
setelah hukuman selesai akan kembali ke dalam keseharian bersama
keluarga, terlepas dari pergaulan buruk sesama narapidana seperti
layaknya penjara. Sebaliknya di penjara, terhukum akan berkumpul
dengan sesama narapidana dengan berbagai keahlian kejahatan. Ini
menyebabkan akan memperoleh ilmu kejahatan yang lebih tinggi yang
dapat menjadi modal baginya setelah keluar nanti, menjadikannya lebih
berani dan percaya diri. Bahkan, teman bekas narapidana bekas di
penjara dulu, tidak jarang kemudian bergabung untuk berbuat kejahatan
bersama- sama. Oleh karena itu, penjahat-penjahat profesional banyak
dimulai dari amatiran yang telah sering keluar masuk penjara. Tenyata
sistem penjara kurang efektif dalam upaya mengembalikan si terhukum
ke arah yang lebih baik, walaupun disana diadakan pembinaan mental
spiritual terpidana secara reguler serta kegiatan-kegiatan keterampilan
33
3. Hukuman penjara
Hukuman penjara dalam hukum Islam berbeda dengan hukum
positif. Menurut hukum Islam, penjara dipandang bukan sebagai
hukuman utama, tetapi hanya dianggap sebagai hukuman kedua atau
hukuman pilihan. Hukuman pokok dalam syariat Islam bagi perbuatan
yang tidak diancam dengan hukuman had adalah hukuman jild.
Biasanya hukuman ini hanya dijatuhkan bagi perbuatan yang dinilai
ringan saja atau yang sedang-sedang saja.
Dalam syariat Islam hukuman penjara hanya dipandang sebagai
alternatif dari hukuman jild. Karena hukuman itu pada hakikatnya
untuk mengubah terhukum menjadi lebih baik. Dengan demikian,
apabila dengan pemenjaraan, tujuan tersebut tidak tercapai,
hukumannya harus diganti dengan yang lainnya yaitu hukuman jild.
Hukuman penjara dibagi menjadi dua jenis yaitu hukuman penjara
terbatas dan hukuman penjara tidak terbatas. Hukuman penjara terbatas
yaitu hukuman yang dibatasi lamanya hukuman yang dijatuhkan dan
harus dilaksakan terhukum, sedangkan hukuman penjara tidak terbatas
adalah dapat berlaku sepanjang hidup, sampai mati atau sampai si
terhukum bertaubat seperti pembunuhan, pembunuh yang terlepas dari
qisas karena suatu hal-hal yang meragukan, homoseksual, pencurian.
Jadi pada prinsipnya penjara seumur hidup itu hanya dikenakan bagi
34
4. Hukuman pengasingan
Membuang si terhukum dalam suatu tempat, masih dalam
wilayah negara dalam bentuk memenjarakannya. Sebab kalau dibuang
tidak dalam tempat yang khusus, dia akan membahayakan tempat yang
menjadi pembuangan.
5. Hukuman penyaliban
Dalam pengertian takzir, hukuman salib berbeda dengan hukuman
salib yang dikenakan bagi pelaku jarimah hudud h{ira>bah . Hukuman
salib sebagai hukuman takzir dilakukan tanpa didahului atau disertai
dengan mematikan sipelaku jarimah. Dalam hukuman salib takzir ini, si
pelaku disalib hidup-hidup dan dilarang makan dan minum atau
melakukam kewajibannya shalatnya walaupun sebatas dengan isyarat.
Adapun lamanya hukuman ini tidak lebih dari tiga hari.
6. Hukuman pengucilan
Sanksi ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan ringan. Asalnya
hukuman ini diperuntukkkan bagi wanita yang nuyuz, membangkang
terhadap suaminya, alquran memerintahkan kepada laki-laki untuk
menasehatinya. Kalau hal ini tidak berhasil, maka wanita tersebut
diisolasikan dalam kamarnya sampai ia menunjukan tanda-tanda
35
اََِِو ٍضْعَ ب ىَلَع ْمُهَضْعَ ب ُهّا َلهضَف اَِِ ِءاَسِّلا ىَلَع َنوُماهوَ ق ُلاَجِّرلا
ْمِِْاَوْمَأ ْنِم اوُقَفْ نَأ
هنُوُظِعَف هنَُزوُشُن َنوُفاَََ ِِالاَو ُهّا َظِفَح اَِِ ِبْيَغْلِل ٌتاَظِفاَح ٌتاَتِناَق ُتاَِْاهصلاَف
هنِإ ايِبَس هنِهْيَلَع اوُغْ بَ ت اَف ْمُكَْعَطَأ ْنِإَف هنُوُبِرْضاَو ِع ِجاَضَمْلا ِِ هنُوُرُجْاَو
اّيِلَع َناَك َهّا
ًيِبَك
ا Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan kar ena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah serta memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.157. Hukuman peringatan atau ancaman
Peringatan juga merupakan hukuman dalam Islam. Bahkan dalam
berbagai bidang, seseorang menerima ancaman sebagai bagian dari
sanksi. Dalam hal ini hakim cukup memanggil si terdakwa dan
menerangkan perbuatannya salah serta menasehatinya agar tidak
melakukan dikemudian hari. Sanksi peringatan merupakan sanksi
ancang-ancang bahwa dia akan menerima hukuman dalam bentuk lain
apabila melakukan perbuatan yang sama atau lebih dari itu di kemudian
hari.
8. Hukuman pencemaran
Hukuman ini berbentuk penyiaran kesalahan, keburukan
seseorang yang telah melakukan perbuatan tercela, seperti menipu dan
15 Kementrian Agama Ar-Rahim, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: Mikhrah Khasanah Ilmu,
36
lain-lain. Pada masa lalu upaya membeberkan kesalaha orang yang telah
melakukan kejahtan dilakukan dengan teriakan di pasar atau di tempat
keramaian umum. Tujuannya agar orang-orang mengetahui perbuatan
orang tersebut dan menghindari kontak langsung dengan dia supaya
terhindar dari akibatnya. Pada masa sekarang, upaya itu dapat
dilakukan melalui berbagai media masa baik cetak maupun elektronik.
Sering kita temukan dikoran-koran, pengumuman dari perusahaan yang
merasa dirugikan akibat salah satu karyawannya. Pengumuman dalam
koran itu merupakan peringatan bagi masyarakat agar berhati-hati.
9. Hukuman terhadap harta
Hukuman terhadap harta dapat berupa denda atau penyitaan
harta. Hukuman berupa denda, umpanya pencurian buah yang masih
dipohon dengan keharusan pengembalian dua kali harga asal. Hukuman
denda juga dapat dijatuhkan bagi orang yang menyembunyikan,
menghilangkan, merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja.
Perampasan terhadap harta yang diduga merupakakn hasil perbuatan
jahat atau mengabaikan hak orang lain yang ada didalam hartanya.
Dalam hal ini, boleh menyita harta tersebut bila terbukti harta tersebut
tidak dimiliki dengan jalan yang sah.
10. Sanksi-sanksi lain
Sanksi-sanksi yang disebutkan di atas itu pada umumnya dapat
dijatuhkan terhadap setiap jarimah atas dasar pertimbangan hakim.
37
dapat berupa penurunan jabatan atau pemecatan dari pekerjaan,
pemusnahan atau penghancuran barang-barang tertentu.
11. Kafarat
Kaffarat pada hakikatnya adalah suatu sanksi yang ditetapkan
untuk menebus perbuatan dosa pelakunya. Hukuman ini diancam atas
perbuatan-perbuatan yang dilarang syarak karena perbuatan itu sendiri
dan mengerjakannya dipandang sebagai maksiat. Ditinjau dari segi
terdapat dan tidak terdapatnya nas dalam Alquran atau hadis, Hukuman
dibagi menjadi dua, yaitu:16
1. Hukuman yang ada nasnya, yaitu hudud, qishash, diya>t, dan
kafarat. Misalnya, hukuman-hukuman bagi pezina, pencuri,
perampok, pemberontak pembunuh, dan orang yang menzihar
istrinya (menyerupakan istrinya dengan ibunya).
2. Hukuman yang tidak ada nasnya, hukuman ini disebut takzir,
seperti percobaan melakukan jarimah, jarimah-jarimah hudud dan
qishas atau diat yang tidak selesai, dan jarimah-jarimah takzir itu
sendiri.
Ditinjau dari sudut pandang kaitan antara hukuman yang satu
dengan hukuman lainya, terbagi menjadi empat:17
1) Hukuman pokok (al-‘uqu>ba>t al-asl}iyah), yaitu hukuman utama
bagi suatu kejahatan, hukuman mati bagi pembunuh yang
membunuh dengan sengaja, hukuman diyat bagi pelaku
16Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam…,67.
38
pembunuhan tidak sengaja, dera (jild) seratus kali bagi pezina
ghairah muhsan.
2) Hukuman pengganti (al-uqu>ba>t al-badaliyah), hukuman yang
menggantikan kedudukan hukuman pokok (hukuman asli) dan
karena suatu sebab tidak bisa dilaksanakan, sepeti hukuman takzir
dijatuhkan bagi pelaku karena jarimah had yang didakwakan
mengadung unsur-unsur kesamanaan atau subhad atau hukuman
diat dijatuhkan bagi pembunuhan sengaja yang dimaafkan keluarga
korban. Dalam hal ini hukuman takzir merupakan hukuman
pengganti dari hukuman pokok yang tidak bisa dijatuhkan,
kemudian hukuman diat sebagai pengganti dari hukuman qisas
yang dimaafkan.
3) Hukuman tambahan (al-‘uqu>ba>t al-taba’biyah), yaitu hukuman
yang dikenakan yang mengiringi hukuman pokok. Seorang
pembunuh pewaris, tidak mendapat warisan dari harta si terbunuh.
4) Hukuman pelengkap (al-‘uqu>ba>t al-takmi<liyah), yaitu hukuman
untuk melengkapi hukuman pokok yang telah dijatuhkan, namun
harus melalui keputusan tersendiri oleh hakim. Hukuman
pelengkap itu menjadi pemisah dari yang hukuman tambahan tidak
memerlukan putusan tersendiri seperti, pemecatan suatu jabatan
bagi pegawai karena melakukan tindakan kejahatan tertentu atau
39
Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat
ringannya hukuman. Hukuman dibagi atas dua macam:18
1) Hukuman yang mempunyai batas tertentu, yaitu hukuman yang telah
ditentukan besar kecilnya. Dalam hal ini hakim tidak dapat menambah
atau mengurangi hukuman tersebut atau menggantinya dengan
hukuman lain. Ia hanya bertugas menerapkan hukuman yang telah
ditentukan tadi seperti, hukuman yang termasuk kedalam kelompok
jarimah hudud dan jarimah qishash,diya>t.
2) Hukuman yang merupakan alternatif karena mempunyai batas tertinggi
dan terendah. Hakim dapat memilih jenis hukuman yang dianggap
mencerminkan keadilan bagi terdakwa. Kebebasan hakim ini, hanya ada
pada hukuman-hukuman yang termasuk kelompok takzir. Hakim dapat
memilih apakah si terhukum akan dipenjarakan atau didera (jild),
mengenai penjara pun hakim dapat memilih, berapa lama dia
dipenjarakan.19
G. Pendapat Ulama tentang Penerapan sanksi Takzir
Menurut mahzab Hanafi penerapan sanksi takzir itu diserahkan
kepada pemerintah termasuk batas minimal dan maksimalnya. Dalam hal ini
harus tetap dipertimbangkan variasi hukumannya sesuai dengan perbedaan
jarimah dan perbedaan pelakunya. Perbedaan jarimah dalam kaitannya
18 Abdurrahmanal-Maliki, Sistem Sanksi Dalam Islam, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002),
221.
40
dengan penerapan sanksi takzir artinya bahwa sanksi itu harus disesuaikan
dengan jarimah yang dilakukan terhukum. Sebagaimana telah dijelaskan
bahwa bila jarimah takzir yang dilakukan itu berkaitan dengan jilid, maka
jilidnya harus kurang dari batas jild had zina. Akan tetapi, bila jarimah
takzir yang dilakukan itu bukan jarimah hudud, maka diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah sesuai dengan tuntutan kemaslahatan
umum.
Perbedaan pelaksanaan jarimah takzir juga harus dipertimbangkan.
Hal ini berarti bahwa dalam menentukan sanksi takzir itu harus
mempertimbangkan pelakunya, karena kondisi pelakunya itu tidak selalu
sama, baik motif tindakannya maupun kondisi psikisnya. Disamping itu,
untuk menjerahkan si pelaku sudah tentu harus tidak sama antara orang
yang satu dengan orang yang lainnya ada yang harus dijilid, ada harus
dikurung, ada yang harus dicela, dan sebagainnya. Menurut ulama mazhab
Hanafi dalam penerapan sanksi ini harus diperhatikan stratifikasi manusia,
yakni ada empat:20
1. al-‘Asharaf (orang-orang yang paling mulia), yaitu para ulama. Mereka
cukup diberi peringatan oleh hakim atau diajukan ke meja hijau, dan hal
ini baginya sudah tentu pelajaran yang pahit.
2. Al-Kari>mn (orang-orang yang mulia), yaitu para pemimpin yang harus
diberi sanksi yang lebih berat dari pada sanksi yang diberikan kepada
41
para ulama, yakni bisa dengan peringatan yang keras atau dihadirkan di
depan pengadilan.
3. al-Awsat} (pertengahan), bisa dengan peringatan keras atau penjara.
4. al-Akhs}a (rendah), bisa dengan dipenjara atau dijild
Derajat-derajat ini sesungguhnya hanya merupakan klasifikasi
manusia dalam kaitannya dengan pengaruh sanksi bagi dirinya, dan tidak
dimaksudkan untuk membeda-bedakan manusia di depan hukum, karena
semuannya dikena hukuman, hanya saja dalam rangka untuk mencapai
tujuan hukuman, maka stratifikasi ini diperlukan. Hal ini dibuktikan oleh
Ibn Abidin yang menyatakan bila orang yang mulia mengulang lagi
kejahatannya, maka bisa dikenai sanksi jilid seperti orang kebanyakan.
Jadi menurut ulama mazhab Hanafi bahwa yang diserahkan kepada
ulil amri itu adalah tentang penentuan jenis takzir yang akan diterapkan.
Hanya saja seperti telah dikemukakan bila jarimah takzirnya berkaitan
dengan jarimah hudud, maka jilidnya tidak boleh melampaui batas had, dan
bisa sanksi takzir itu tidak berupa jild, maka batas terendah dan
tertingginya diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri.21
Di kalangan mazhab Maliki, ada prinsip bahwa sanksi takzir itu
berbeda-beda jenisnya, jumlahnya, dan sifatnya karena perbedaan kondisi
pelakunnya, bahkan al-Qarafi< menambahkan bahwa perbedaan kondisi
pelakunya, bahkan al-Qarafi< menambahkan bahwa perbedaan waktu dan
42
tempat terjadinya kejahatan itu membawa perbedaan