• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK (STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 1056/PID/A/2012/PN.TK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK (STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 1056/PID/A/2012/PN.TK)"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK

(STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 1056/PID/A/2012/PN.TK)

Oleh

CHAIRINTA BUNGA AYU

Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana, baik pelaku orang dewasa maupun anak-anak. Salah satu contoh dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK, pelaku yang masih tergolong anak-anak adalah Arif Saputra yang masih berumur 14 tahun. Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dapat dilihat dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak berdasarkan Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK.

(2)

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK yaitu pelaku terbukti melakukan perbuatan melawan hukum melanggar Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena terdapat kesalahan dan memenuhi unsur tindak pidana. Hakim memperhatikan pelaku yang masih anak-anak, aturan-aturan yang mengatur tentang anak-anak, nilai-nilai keadilan, dan saran dari Balai Pemasyarakatan. Hakim menjatuhkan sanksi berupa tindakan dibina dan dididik di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani selama 6 (enam) bulan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku adalah hakim mempertimbangkan pelaku yang masih anak-anak, faktor yuridis, fakta-fakta dalam persidangan dan faktor non yuridis.

Saran dalam penelitian ini adalah dalam permasalahan anak seharusnya aparat

penegak hukum mengedepankan proses Diversi atau Restorative Justice sehingga

tidak perlu sampai diproses di pengadilan. Orangtua harus mengawasi anaknya agar tidak mengulangi tindak pidana tersebut karena pengawasan terbaik adalah orangtua. Pemerintah lebih aktif memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada orangtua maupun anak-anak mengenai tindak pidana, dan hal-hal yang terlarang untuk dilakukan anak.

(3)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK

(STUDI PUTUSAN PN NOMOR:1056/PID/A/2012/PN.TK)

Oleh

CHAIRINTA BUNGA AYU

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK

(STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 1056/PID/A/2012/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh:

CHAIRINTA BUNGA AYU

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)
(6)
(7)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 18

B. Anak Berkonflik Dengan Hukum ... 24

C. Tindak Pidana Pencabulan ... 30

D. Dasar Pertimbangan Hakim ... 34

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Narasumber ... 42

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42

E. Analisis Data ... 43

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 43

B. Ringkasan Putusan ... 44

(8)

Terhadap Anak (Studi Putusan PN Nomor:

1056/PID/A/2012/PN.TK) ... 54

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 61

B. Saran ... 63

(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan

melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan

dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina,

memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.1 Ada beberapa bentuk

dan jenis istilah tentang pencabulan adalah:2

1. Exhibitionism seksual yaitu, sengaja memamerkan alat kelamin pada anak.

2. Voyeurism yaitu, orang dewasa mencium anak dengan bernafsu.

3. Fonding yaitu, mengelus/meraba alat kelamin seorang anak.

4. Fellatio yaitu, orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak

mulut.

Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) pada bab XIV buku ke-II yakni dimulai dari pasal 289-296 KUHP yang

dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Tindak pidana pencabulan

tidak hanya diatur dalam KUHP saja namun diatur pula pada Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

1

Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Raja Grafindo. 2005. Jakarta. Hlm. 80

2

Kartini Kartono. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Mandar Maju. 1985. Bandung.

(10)

Ketentuan Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00

(enam puluh juta rupiah).”

Ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00

(enam puluh juta rupiah).”

Pencabulan termasuk salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang semakin

berkembang dari waktu ke waktu dan merupakan salah satu kenyataan dalam

kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut

dikarenakan tindak pidana terhadap kesusilaan akan menimbulkan keresahan

dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya

untuk menanggulangi tindak pidana tersebut, meskipun dalam kenyataannya

sangat sulit untuk memberantas tindak pidana secara tuntas karena pada dasarnya

tindak pidana akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan

masyarakat.

Tindak pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang

yang melakukan tindak pidana harus bertanggungjawab atas kesalahan yang telah

(11)

oleh orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:3 adanya dampak

negatif dari perkembangan pembangunan yang pesat, arus globalisasi dibidang

komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan

gaya hidup orangtua, serta cara mendidik anak telah membawa perubahan sosial

yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap

nilai dan perilaku anak. Seorang anak yang bergaul dengan teman yang membawa

pengaruh negatif akan meniru perbuatan negatifnya, kurangnya pemahaman

agama dan pengawasan orang tua serta pengaruh buruk teknologi akan

memudahkan terjadinya perbuatan cabul. Jika pelaku tindak pidana terhadap

kesusilaan adalah anak-anak tentunya sangat mengkhawatirkan karena apabila

anak-anak sebagai generasi muda telah teracuni pikirannya dengan hal-hal negatif

maka kualitas sumber daya generasi muda sebagai masa depan bangsa akan

menurun.

Salah satu contoh kasus yang terjadi di Provinsi Lampung, berdasarkan data di

Pengadilan Negeri Tanjung Karang dapat diketahui bahwa telah terjadi tindak

pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak, hal itu dapat dilihat dari Putusan

Perkara Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1056/PID/A/2012/PN.TK

tentang kasus pencabulan yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Dalam kasus

tersebut, terdakwa Arif Saputra masih berumur 14 tahun dan masih tergolong

anak-anak dinyatakan telah dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak

untuk melakukan perbuatan cabul dengannya terhadap saksi korban yang masih

berumur 5 tahun.

3

(12)

Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa sesuai Pasal 82 Undang-Undang No. 23

Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan Pidana Penjara selama 3 (tiga)

tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Namun

pada akhirnya Hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu sanksi berupa

tindakan menyerahkan terdakwa ke Panti Sosial untuk di didik dan dibina sesuai

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Undang-Undang

Peradilan Anak.

Penjatuhan pidana terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul

terhadap anak apakah dapat dimintai pertanggungjawabannya dan bagaimanakah

pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul

mengingat terdakwa masih anak-anak dan korban yang juga masih anak-anak

sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana, yaitu sehat jiwanya, mengetahui bahwa

perbuatannya bertentangan dengan hukum serta mampu mengetahui kehendak

sesuai kesadarannya, sehingga ia dapat dipidana oleh Hakim.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan

penelitian dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Anak Yang

Melakukan Perbuatan Cabul Terhadap Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri

(13)

B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam

penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan

perbuatan cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor:

1056/PID/A/2012/PN.TK)?

b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi

terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak (Studi

Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah putusan hakim nomor

1056/PID/A/2012/PN.TK. Dan lingkup pembahasan penelitian ini adalah

bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan

cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK) dan

pertimbangan hakim terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul

terhadap anak. Ruang lingkup tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri

Tanjung Karang, dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

(14)

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana

pencabulan terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor:

1056/PID/A/2012/PN.TK)

b. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

sanksi terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak

(Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK)

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Kegunaan Teoritis

Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap

pengembangan ilmu hukum pidana khususnya hukum pidana anak di Indonesia,

yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang tindak pidana

pencabulan yang dilakukan oleh anak (Studi Putusan PN Nomor:

1056/PID/A/2012/PN.TK)

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis teori ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bagi

aparat penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum

khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat

umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah

wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka

(15)

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil

pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4

Beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:

1. Pertanggungjawaban Pidana

Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral

kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta

undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa

adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa mampu

bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor

kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan

perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah

lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak.5

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang

siapa melanggar larangan tersebut.6 Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana

adalah seseorang harus melakukan perbuatan yang aktif atau pasif seperti yang di

tentukan oleh undang-undang pidana yang melawan hukum, dan tidak adanya

alasan pembenar serta adanya kesalahan dalam arti luas (meliputi kemampuan

4

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. 1986. Jakarta. Hlm. 125

5

Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Askara Baru.. 1999. Jakarta.

Hlm. 84

6

(16)

bertanggungjawab, sengaja atau kelalaian) dan tidak adanya alasan pemaaf. Jika

kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana (yang menyangkut segi

objektif) dan pertanggungjawaban pidana (yang menyangkut segi subjektif, jadi

menyangkut sikap batin si pembuat) maka mudahlah kita menentukan dipidana

atau dibebaskan ataupun dilepaskan dari segala tuntutan pembuat delik.7

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan

perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatannya, dilihat dari

segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan

yang telah dilakukan oleh orang tersebut.

Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga)

syarat8, yaitu:

1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut

dalam pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan

perbuatan.

Ada beberapa alasan seseorang tidak dapat bertanggungjawab atas tindak pidana

yang dilakukan, yaitu9:

1. Jiwa si pelaku cacat.

2. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.

7

Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni.1987. Bandung. Hlm.

72

8

Roeslan Saleh. Op.cit. Hlm. 80

9

(17)

3. Gangguan penyakit jiwa.

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya 3 (tiga)

unsur pokok, yaitu:10

1. Unsur perbuatan.

2. Unsur yang dilarang (oleh aturan hukum).

3. Unsur pidana (bagi yang melanggar larangan).

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana diatas, terhadap anak sebagai

pelaku tindak pidana mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut telah

tercantum didalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 bahwa

terhadap Anak Nakal dapat dijatuhkan sanksi tindakan.

2. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim

memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil

pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh

Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa

hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun pasal 50 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan hakim dalam

memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,

juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili.

10

Adami Chazawi. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya

(18)

Pasal 55 RUU KUHP Tahun 2011 menjelaskan tentang pedoman pemidananaan,

dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana.

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.

c. Sikap batin pembuat tindak pidana.

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

e. Cara melakukan tindak pidana.

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana

h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban

j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan/atau

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan

mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan

kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto, hakim

memberikan keputusannya, mengenai hal-hal sebagai berikut:11

a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan

perbuatan yang ditujukan padanya.

b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan

terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah

dan dapat dipidana.

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat

dipidana.

Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim

dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung

11

Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum

(19)

pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP,

yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa

terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Menurut MacKenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam

suatu perkara, yaitu:12

1. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan

kepentingan korban.

2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari

hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan

dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim

akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara

pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu

putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

12

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar

(20)

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana

harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam

kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin

konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam

peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh

semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu

pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi

suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan

pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana

dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang

berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak

(21)

3. Teori Perlindungan Anak

Perlindungan Hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi generasi

penerus bangsa dimasa depan. Perlindungan ini perlu diadakan karena anak adalah

bagian dari masyarakat yang memiliki keterbatasan dari segi fisik dan mentalnya

yang belum dewasa, oleh karena itu anak membutuhkan perlindungan khusus.

Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup,

tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

Prinsip dari perlindungan anak adalah:13

1. Anak harus dipisahkan dari pengaruh kerusakan dari penjahat dewasa.

2. Anak nakal harus dijauhkan dari lingkungannya yang kurang baik dan

diberi perlindungan yang baik. Anak harus dijaga dengan paduan cinta dan

bimbingan.

3. Perbuatan anak harus diupayakan untuk tidak dihukum, kalaupun dihukum

harus dengan ancaman hukuman yang minimal dan bahkan penyidikan

tidak diperlukan karena terhadap anak harus diperbaiki bukan dihukum.

4. Terhadap anak nakal tidak ditentukan hukuman baginya, karena menjadi

narapidana akan membuat perjalanan hidupnya sebagai mantan orang yang

dihukum.

5. Hukuman terhadap anak hanya dijalankan jika tidak ada lagi cara lain yang

lebih baik dijalankan.

6. Penjara terhadap anak dihindarkan dari bentuk penderitaan fisik dan

buruk.

7. Program perbaikan yang dilakukan lebih bersifat keagamaan, pendidikan,

pekerjaan, tidak melebihi pendidikan dasar.

13

(22)

8. Terhadap narapidana anak diberi pengajaran yang lebih baik,

menguntungkan dan terarah pada keadaan dunia luar.

2. Konseptual

Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara

konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan

istilah yang ingin tahu akan di teliti.14

Adapun konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai

berikut :

a. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan

secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau

tindak pidana.15

b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir 1

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).

c. Pencabulan adalah suatu perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh karena

melanggar kesopanan dan kesusilaan. Pencabulan adalah segala macam

wujud perbuatan, baik yang dilakukan diri sendiri maupun dilakukan pada

orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian alat

tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual.16

14

Soerjono Soekanto. Op.Cit. Hlm. 132

15

Roeslan Saleh.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. 1999. Jakarta.

Hlm. 75

16

(23)

d. Korban Anak adalah anak yang menjadi korban tindak pidana yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental

dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1

butir 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012)

e. Tindak Pidana/Perbuatan Pidana

Perbuatan Pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.17

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan

dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika

penulisannya sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari

uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya,

tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta

menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan

tentang latar belakang tindak pidana pencabulan terhadap anak.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian

umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang

17

(24)

nantinya di gunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku

dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis beras dalam bab

ini adalah menjelaskan tentang tinjauan mengenai pertanggungjawaban pidana,

anak berkonflik dengan hukum, tindak pidana pencabulan, dan teori dasar

pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur

pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data untuk

memperoleh data yang akurat.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung

dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk

mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan

cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK) dan

untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap

pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak (Studi Putusan PN

Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK)

V. PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa

kseimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu

dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini

berarti harus dipastikan terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu

tindak pidana.18 Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang

dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan

perbuatan pidana atau tindak pidana.19

Pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila memenuhi syarat bahwa tindak

pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam

Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang

akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan

tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat

melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut

kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung

jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya. Dalam hal

dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan seperti melawan hukum

18

Roeslan Saleh.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. 1999. Jakarta.

Hlm. 80

19

(26)

tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan ia mempunyai kesalahan dan

apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melawan hukum, maka ia

akan dipidana.

Berdasarkan hal tersebut pembuat (dader) harus ada unsur kesalahan dan bersalah

yang harus memenuhi unsur, yaitu:20

1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapatnya dipertanggungjawabkan

dari si pembuat.

2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja

atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Pelaku mempunyai kesadaran

yang mana pelaku seharusnya dapat mengetahui akan adanya akibat yang

ditimbulkan dari perbuatannya.

3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya

dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.

Asas legalitas hukum pidana Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP

menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana

apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang

hukum pidana. Meskipun orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi hukum pidana,

karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat

dipertanggungjawabkan pertanggungjawaban tersebut. Agar seseorang dapat

dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan

pertanggungjawaban pidana.

20

(27)

Seorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana dalam menentukan

adanya pertanggungjawaban harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana

yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Sifat melawan hukum

dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang

dilakukannya dapat berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa).

Menurut pandangan para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan

(opzet), yakni:21

1. Kesengajaan sebagai Maksud

Kesengajaan ini bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan

dan apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku

pantas di kenakan hukuman.

2. Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti

Kesengajaan ini ada apabila si pelaku (doer or dader) dengan

perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar

dari delik dan mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat

dimaksud akan terjadi suatu akibat lain.

3. Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (Dolus Eventualis)

Kesengajaan ini juga dsebut kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan,

bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan

suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin

akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh

Undang-Undang.

21

(28)

Pada umumnya, kelalaian (culpa) dibedakan menjadi 2, yaitu:22

1. Kelalaian dengan kesadaran (bewuste schuld)

Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan

timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap

timbul tersebut.

2. Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld)

Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan

timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh

Undang-Undang. Sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu

akibat.

Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi

pidana maka harus dipenuhi 2 (dua) unsur yakni adanya unsur perbuatan pidana

(actrus reus) dan keadaan sifat batin pembuat (mens rea). Kesalahan (schuld)

merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana

yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya.

Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus)

sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya

kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada

atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa.23

22

Ibid. Hlm. 26

23

Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. 1987. Bandung. Hlm.

(29)

Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga)

syarat24, yaitu:

1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.

2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut

dalam pergaulan masyarakat.

3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan

Ada beberapa alasan seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas tindak pidana

yang dilakukan, yaitu25:

1. Jiwa si pelaku cacat.

2. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.

3. Gangguan penyakit jiwa

Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan

perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan

tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat

menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan

dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang

yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik

buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak

pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.26

24

Roeslan Saleh. Op.Cit. Hlm. 80

25

Leden Mapaung. Ibid. Hlm. 72

26

Saifudien. Pertanggungjawaban Pidana. Diakses pada tanggal 17 September 2013.

(30)

Berdasarkan KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal

44 ayat (1) yang menyatakan bahwa:

“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam

pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”

Apabila seseorang tidak dapat bertanggungjawab disebabkan hal lain seperti

jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal 44 ayat (1)

tersebut tidak dapat dikenakan.

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan

bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Setiap orang bertanggungjawab

atas segala perbuatannya, hanya kelakuannya yang menyebabkan hakim

menjatuhkan hukuman yang di pertanggungjawabkan pada pelakunya. Dalam

menjatuhkan pidana disyaratkan bahwa seseorang harus melakukan perbuatan

yang aktif atau pasif seperti yang ditentukan oleh KUHP (Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana), sifat melawan hukum dan tidak adanya alasan pembenar serta

adanya kesalahan dalam arti luas yang meliputi kemampuan bertanggungjawab,

sengaja dan kelalaian dan tidak adanya alasan pemaaf.

Tanggung jawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus

ditanggung oleh siapa saja yang telah bersikap tindak, baik yang selaras dengan

hukum atau yang bertentangan dengan hukum. Tanggung jawab pidana adalah

akibat lebih lanjut yang harus diterima, dibayar atau ditanggung seseorang yang

(31)

B. Anak Berkonflik Dengan Hukum

Definisi anak dalam instrument-instrumen hukum nasional berbeda-beda

batasannya. Pengertian dan batasan umur bagi seorang anak didalam beberapa

hukum positif Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat dalam Pasal 45 KUHP

bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 16 (enam belas) tahun.

2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak terdapat

dalam Pasal 1 ayat (2) ditentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum

pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak terdapat

dalam Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa anak adalah orang yang dalam

perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum

mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa anak adalah seseorang

yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih

dalam kandungan.

Sedangkan pengertian anak berkonflik dengan hukum adalah adanya

tindakan-tindakan anak yang bertentangan dan melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang

berlaku dan sah di Indonesia, sehingga dapat didefinisikan bahwa anak yang

berkonflik dengan hukum berarti anak-anak yang masih belum dewasa menurut

hukum dan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan

(32)

hukum didefinisikan sebagai anak yang disangka, didakwa atau dinyatakan

bersalah melanggar ketentuan hukum atau seorang anak yang diduga telah

melakukan atau yang telah ditemukan melakukan suatu pelanggaran hukum.27

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam

Pasal 1 ayat (2) menjelaskan sebagai berikut:

“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik

dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan sebagai berikut:

“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur

18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 ayat

(2) merumuskan sebagai berikut, Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindak pidana

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,

baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan

hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, yaitu:

a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani

pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.

27

Mohammad Farid. Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum Sesuai dengan Standar

(33)

b. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan

diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak

paling lama sampai berumur 18 tahun.

c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya

memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling

lama sampai berumur 18 tahun.

Undang-Undang Pengadilan Anak menggunakan istilah “Anak Nakal” bagi anak

yang melakukan tindak pidana maupun perbuatan lainnya yang melanggar

peraturan tertulis maupun tidak tertulis (hukum adat). Berdasarkan ketentuan

hukum positif yang mengatur tentang anak nakal, anak yang bermasalah kelakuan

(anak berkonflik dengan hukum) disebut dengan “Anak Nakal”. Perbuatan anak

yang menyimpang dan melanggar hukum disebut “Kenakalan Anak”. Kenakalan

Anak adalah perbuatan yang dilakukan oleh anak, baik sendiri maupun

bersama-sama yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana ataupun bukan hukum

pidana maupun melakukan perbuatan oleh masyarakat dianggap sebagai

perbuatan tercela.28

Penyebab anak melakukan kenakalan, baik berupa tindak pidana maupun

melanggar norma-norma sosial (agama, susila, dan sopan santun) dipengaruhi

oleh faktor intern (dalam diri anak itu sendiri) maupun faktor ekstern (diluar diri

anak), yaitu:29

28

Tri Andrisman. Hukum Peradilan Anak. Bagian Hukum Fakultas Hukum Pidana. Universitas

Lampung. 2013. Hlm. 6

29

(34)

1. Faktor Intern:

a. Mencari identitas/jati diri.

b. Masa Puber (Perubahan hormon-hormon seksual)

c. Tidak ada disiplin diri.

d. Peniruan.

2. Faktor Ekstern:

a. Tekanan Ekonomi.

b. Lingkungan Sosial yang buruk.

Anak yang melakukan tindak pidana tidak dapat disalahkah sepenuhnya atas

perbuatannya karena dalam melakukan tindak pidana kemungkinan dipengaruhi

oleh hal-hal yang berada didalam dirinya (faktor intern) ataupun diluar dirinya

(faktor intern).

Menurut Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Peradilan Anak menjelaskan bahwa terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan

pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini. Penjatuhan

Pidana yang didasarkan pada 2 (dua) jenis sanksi, yang terdiri dari pidana dan

tindakan, yaitu:

a. Pidana

Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. Pidana penjara;

b. Pidana kurungan

c. Pidana denda; atau

(35)

b. Tindakan

Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh;

b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan

latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan

latihan kerja.

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

menjelaskan dua hal besar dalam penyelesaian peradilan terhadap anak, yaitu

Keadilan Restoratif dan Diversi. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara

tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan

pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses

peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.30

Diversi merupakan tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan/menempatkan

pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Konsep dari

Diversi merupakan pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah

melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk mencapai perdamaian antara

korban dan anak agar penyelesaian perkara tersebut berada diluar pengadilan.

30

Wahyu Ramdhan. Analisis UU No. 11 Tahun 2012. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.

(36)

Syarat penerapan diversi diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu diversi dilaksanakan

dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah

7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Menurut Pasal 69 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa terhadap anak nakal hanya dapat

dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.

Penjatuhan Pidana yang didasarkan pada 2 (dua) jenis sanksi, yang terdiri dari pidana dan tindakan, yaitu:

a. Pidana

Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak diatur dalam Pasal 71 UU SPPA sebagai

berikut:

a. Pidana peringatan.

b. Pidana dengan syarat:

1) Pembinaan di luar lembaga.

2) Pelayanan masyarakat, atau

3) Pengawasan.

c. Pelatihan kerja.

d. Pembinaan dalam lembaga, dan

e. Penjara.

b. Tindakan

Tindakan yang dapat dikenakan pada anak diatur dalam Pasal 82 UU SPPA

(37)

a. Pengembalian kepada orang tua/Wali.

b. Penyerahan kepada seseorang.

c. Perawatan di rumah sakit jiwa.

d. Perawatan.

e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan

oleh pemerintah atau badan swasta.

f. Pencabutan surat izin mengemudi dan/atau

g. Perbaikan akibat tindak pidana.

C. Tindak Pidana Pencabulan

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

mana disertai ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang

melanggar aturan tersebut. Sedangkan perbuatan pidana adalah perbuatan yang

oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu

diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau

kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang) , sedangkan ancaman pidananya

ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.31

Pencabulan adalah suatu perbuatan keji dan kotor, perbuatan yang tidak senonoh

karena melanggar kesopanan dan kesusilaan. Menurut Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa pencabulan atau perbuatan cabul

adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan atau

perbuatan keji, semuanya itu didalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya

cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan dan sebagainya. Persetubuhan juga

31

(38)

termasuk dalam perbuatan cabul, akan tetapi didalam undang-undang disebutkan

tersendiri.32

Menurut Adami Chazawi, pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen)

adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan

kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau

bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya

mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina, memegang buah dada, mencium

mulut seorang perempuan.33

Ada beberapa bentuk dan jenis istilah tentang pencabulan adalah:34

1. Exhibitionism seksual yaitu, sengaja memamerkan alat kelamin pada anak.

2. Voyeurism yaitu, orang dewasa mencium anak dengan bernafsu.

3. Fonding yaitu, mengelus/meraba alat kelamin seorang anak.

4. Fellatio yaitu, orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak

mulut.

Jenis Pencabulan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:35

a. Perbuatan cabul terhadap orang pingsan

Objek kejahatan perbuatan ini adalah orang yang pingsan atau tidak

berdaya. Segala perbuatan yang dilakukan terhadap dirinya tidak

diketahuinya. Keadaan pingsan atau tidak sadarkan diri adalah unsur

objektif yang sekaligus dituju oleh unsur kesengajaan, berupa mengetahui

32

R Soesilo.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya lengkap pasal

demi pasal.Politea. 1989.Bogor. Hlm. 212 33

Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Raja Grafindo. 2005. Jakarta. Hlm. 80

34

Kartini Kartono. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Mandar Maju. 1985. Bandung.

Hlm. 264

35

(39)

atau diketahui oleh si pembuat yang berbuat cabul karena orang pingsan

masih dapat mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya. Kejahatan ini

diatur dalam pasal 290 KUHP sebagai berikut:

1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal

diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.

2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan sesorang padahal

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.

3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya

harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

b. Perbuatan cabul sesama kelamin (Homoseksual)

Perbuatan ini dilakukan sesama jenis kelamin, dalam perbuatan cabul tidak

mungkin terjadi pesetubuhan antara sesama jenis dan tanggung jawab

pidana dibebani kepada siapa diantara dua orang itu yang telah dewasa.

Diatur dalam Pasal 292 KUHP, yakni:

“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain

sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya

belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”

c. Perbuatan cabul dengan cara menggerakkan orang belum dewasa untuk

melakukan perbuatan cabul

Perbuatan ini dilakukan dengan cara memberi uang atau merayu seseorang

yang umumnya dibawah 15 tahun untuk melakukan perbuatan cabul.

Diatur dalam Pasal 293 KUHP, yakni:

“Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

(40)

dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama

lima tahun.”

d. Perbuatan cabul terhadap anak, anak tirinya dan lain sebagainya

Perbuatan ini dilakukan dengan orang dibawah umur yang tidak cacat

kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkakannya masih

dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan anak sendiri. Diatur

dalam pasal 294 KUHP, yakni:

“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak

angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”

Tindak pidana pencabulan diatur dalam KUHP pada Pasal 289 sampai 296, tetapi

peraturan didalam KUHP hanya ditujukan kepada pelaku usia dewasa.

Ketentuan dalam Pasal 289 KUHP menentukan:

“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”

Ketentuan dalam Pasal 296 KUHP menentukan:

“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu

(41)

Sanksi pidana mengenai perbuatan cabul terhadap anak diatur pula didalam

Undang diluar KUHP, yaitu terdapat dalam Pasal 81 dan 82

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa:

1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi

setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Ketentuan Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dengan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Anak sebagai peraturan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.

Hal ini dilakukan demi menjaga perkembangan mental dan pembentukan pribadi

anak sebagai penerus gerenasi bangsa, sehingga perlu dibedakan perlakuannya

didalam hukum acara dan juga acara pidananya dan untuk lebih melindungi dan

(42)

D. Dasar Pertimbangan Hakim

Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim

memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil

pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh

Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa

hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun pasal 50 Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan hakim dalam

memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,

juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili.

Pasal 55 RUU KUHP Tahun 2011 menjelaskan tentang pedoman pemidanaan,

dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:

a. Kesalahan pembuat tindak pidana.

b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.

c. Sikap batin pembuat tindak pidana.

d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.

e. Cara melakukan tindak pidana.

f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.

g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana

h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana

i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban

j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan/atau

k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.

Putusan hakim harus memerhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai dari

(43)

formal maupun materil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.

Suatu putusan hakim yang baik dan sempurna hendaknya putusan tersebut diuji

dengan empat criteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa:36

1) Benarkah putusanku ini?

2) Jujurkah aku dalam mengambil putusan?

3) Adilkah bagi pihak-pihak yang bersangkutan?

4) Bermanfaatkah putusanku ini?

Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan

mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan

kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto, hakim

memberikan keputusannya, mengenai hal-hal sebagai berikut:37

a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan

perbuatan yang ditujukan padanya

b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan

terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah

dan dapat dipidana

c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat

dipidana.

Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang

didakwakan merupakan konteks yang paling penting dalam putusan hakim. Pada

pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari

suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan

sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dalam

36

Lilik Mulyadi. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2007.

Hlm. 136

37

Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan

(44)

praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan

dibuktikan maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam

persidangan dan dari keterangan para saksi. Setelah fakta-fakta dalam persidangan

diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap

unsur-unsur (bestanddelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh

jaksa/penuntut umum. Sebelum mempertimbangkan unsur-unsur tersebut,

dipertimbangkan tentang hal-hal bersifat korelasi antara fakta-fakta, tindak pidana

yang didakwakan dan unsur kesalahan terdakwa.38

Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim

dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung

pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP,

yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Menurut MacKenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat

dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam

suatu perkara, yaitu:39

1. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara

syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang

tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya

38

Lilik Mulyadi. Ibid. Hlm. 193

39

Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar

(45)

keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan

kepentingan korban.

2. Pendekatan Seni dan Intuisi

Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari

hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan

dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim

akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara

pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu

putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.

3. Teori Pendekatan Keilmuan

Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana

harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam

kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin

konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam

peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh

semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu

pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi

suatu perkara yang harus diputuskannya.

4. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya

dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan

(46)

dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang

berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.

5. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang

mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang

disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan

dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam

penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi

yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak

(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum didasarkan pada metode, artinya semua kegiatan yang meliputi

persiapan penelitian, proses penelitian, dan hasil penelitian menggunakan

cara-cara yang secara-cara umum diakui dan berlaku pada ilmu pengetahuan.40 Pendekatan

masalah yang dipergunakan pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan

masalah dengan cara yuridis normatif dan yuridis empiris. Suatu bentuk usaha

dalam melakukan gerakan untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah

yang diajukan.

Pendekatan yuridis normatif (Library Reaserch) adalah pendekatan masalah yang

didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep

yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan

dengan menganalisa, dan menelaah berbagai peraturan perundang–undangan serta

dokumen yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini.Sedangkan

pendekatan yuridis empiris (Field Research) adalah pendekatan masalah yang

diadakan langsung dilapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam

praktik dan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang

melakukan perbuatan cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor:

1056/PID/A/PN.TK).

40

(48)

B. Sumber dan Jenis Data

Data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini berupa data sekunder

dan data primer:

1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui

wawancara dengan terhadap aparat penegak hukum yang terkait dengan

pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul

terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK).

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, data

sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur, dan

perundang-undangan. Data sekunder ini menghasilkan bahan hukum sekunder.41

Sumber data dari data sekunder ini berupa:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan

hukum mengikat, antara lain:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

2. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak

5. Kitab Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekukasaan

Hakim.

41

(49)

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan

bahan primer, seperti buku-buku yang berkenaan dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang atau bacaan lain yang

mencakup bahan-bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus dan karya ilmiah.

B. Penentuan Narasumber

Narasumber adalah orang yang menjadi sumber informasi (informan)42. Untuk

penulisan skripsi ini penulis mengambil narasumber penelitian yang ada kaitannya

dengan permasalahan yang akan dibahas. Adapun informan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

a. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang

b. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 2 0rang

Jumlah = 4 orang

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data 1. Pengumpulan Data

Pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan penelitian ini dilakukan

dengan dua cara, yaitu:

a. Studi Kepustakaan adalah untuk memperoleh data sekunder dengan cara

membaca, mencatat, mengutip berbagai literatur dari buku-buku, media

massa yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.

42

(50)

b. Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer melalui

wawancara dengan para responden yang telah di rencanakan sebelumnya

dilapangan (lokasi).43

2. Prosedur Pengolaan Data

Setelah data terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun studi lapangan

melalui wawancara selanjutnya diolah dengan metode sebagai berikut:

a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih

terdapat kesalahan dan memeriksa kembali mengenai kelengkapan,

kejelasan dan kebenarannya.

b. Interprestasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan

mengklasifikasikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian,

untuk kemudian ditarik kesimpulan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada

tiap-tiap pokok permasalahannya sehingga memudahkan pembahasan.

D. Analisis Data

Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan cara kualitatif dengan

mendeskripsikan atau menggambarkan data yang dihasilkan dari penelitian

dilapangan kedalam bentuk penjelasan dengan cara sistematis sehingga memiliki

arti, mudah dibaca, dimengerti dan dapat ditarik kesimpulan. Dari analisis tersebut

dapat disimpulkan dengan cara induktif yaitu cara berfikir dalam menguraikan

data yang diperoleh dengan menempatkan hasil-hasil analisis secara khusus,

kemudian ditarik kesimpulan secara umum.

43

(51)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis

menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul

terhadap anak dalam putusan nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK terdakwa Arif

Saputra dapat dimintai pertanggungjawabannya karena terdakwa telah

memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan, diancam

pidana, perbuatan melawan hukum dan dilakukan dengan unsur kesalahan.

Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum melakukan

tindak pidana pencabulan yang tercantum dalam Pasal 82 Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa mampu untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya karena melakukan tindak pidana

pencabulan dengan sadar dan adanya kesengajaan dalam perbuatannya dan

tidak adanya alasan pemaaf. Perbuatan terdakwa telah sesuai dengan asas

kesalahan dalam hukum pidana yaitu suatu p

Referensi

Dokumen terkait

Evolution of the number of total citation per document and external citation per document (i.e. journal self- citations removed) received by a journal's published documents during

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi retinoblastoma melalui analisis citra fundus retina dengan menggunakan Backpropagation Neural Network..

Ada beberapa keunggulan penerapan kinerja balanced scorecard (BS) dibanding- kan dengan kinerja tradisional yang hanya fokus pada aspek keuangan saja, yaitu: (1) Pengukuran

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Indonesia adalah salah satu negara yang trend dengan toko online atau online.. shop , hal ini dapat dilihat mulai bermunculan banyaknya toko online atau

Puisi ini ditulis berdasarkan pengalaman hidup Chairil Anwar sendiri. Puisi tersebut mengisahkan seseorang yang sudah begitu lama ingin menggapai sesuatu yang sangat