ABSTRAK
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK
(STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 1056/PID/A/2012/PN.TK)
Oleh
CHAIRINTA BUNGA AYU
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana, baik pelaku orang dewasa maupun anak-anak. Salah satu contoh dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK, pelaku yang masih tergolong anak-anak adalah Arif Saputra yang masih berumur 14 tahun. Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak untuk melakukan perbuatan cabul yang dapat dilihat dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak berdasarkan Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dalam hal pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak dalam Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK yaitu pelaku terbukti melakukan perbuatan melawan hukum melanggar Pasal 82 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pelaku dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya karena terdapat kesalahan dan memenuhi unsur tindak pidana. Hakim memperhatikan pelaku yang masih anak-anak, aturan-aturan yang mengatur tentang anak-anak, nilai-nilai keadilan, dan saran dari Balai Pemasyarakatan. Hakim menjatuhkan sanksi berupa tindakan dibina dan dididik di Panti Sosial Marsudi Putra Handayani selama 6 (enam) bulan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelaku adalah hakim mempertimbangkan pelaku yang masih anak-anak, faktor yuridis, fakta-fakta dalam persidangan dan faktor non yuridis.
Saran dalam penelitian ini adalah dalam permasalahan anak seharusnya aparat
penegak hukum mengedepankan proses Diversi atau Restorative Justice sehingga
tidak perlu sampai diproses di pengadilan. Orangtua harus mengawasi anaknya agar tidak mengulangi tindak pidana tersebut karena pengawasan terbaik adalah orangtua. Pemerintah lebih aktif memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada orangtua maupun anak-anak mengenai tindak pidana, dan hal-hal yang terlarang untuk dilakukan anak.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK
(STUDI PUTUSAN PN NOMOR:1056/PID/A/2012/PN.TK)
Oleh
CHAIRINTA BUNGA AYU
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU ANAK YANG MELAKUKAN PERBUATAN CABUL TERHADAP ANAK
(STUDI PUTUSAN PN NOMOR: 1056/PID/A/2012/PN.TK)
(Skripsi)
Oleh:
CHAIRINTA BUNGA AYU
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
DAFTAR ISI
Halaman I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7
E. Sistematika Penulisan ... 15
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanggungjawaban Pidana ... 18
B. Anak Berkonflik Dengan Hukum ... 24
C. Tindak Pidana Pencabulan ... 30
D. Dasar Pertimbangan Hakim ... 34
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 40
B. Sumber dan Jenis Data ... 41
C. Penentuan Narasumber ... 42
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 42
E. Analisis Data ... 43
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Narasumber ... 43
B. Ringkasan Putusan ... 44
Terhadap Anak (Studi Putusan PN Nomor:
1056/PID/A/2012/PN.TK) ... 54
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 61
B. Saran ... 63
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan
melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan
dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu
seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina,
memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.1 Ada beberapa bentuk
dan jenis istilah tentang pencabulan adalah:2
1. Exhibitionism seksual yaitu, sengaja memamerkan alat kelamin pada anak.
2. Voyeurism yaitu, orang dewasa mencium anak dengan bernafsu.
3. Fonding yaitu, mengelus/meraba alat kelamin seorang anak.
4. Fellatio yaitu, orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak
mulut.
Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) pada bab XIV buku ke-II yakni dimulai dari pasal 289-296 KUHP yang
dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Tindak pidana pencabulan
tidak hanya diatur dalam KUHP saja namun diatur pula pada Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
1
Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Raja Grafindo. 2005. Jakarta. Hlm. 80
2
Kartini Kartono. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Mandar Maju. 1985. Bandung.
Ketentuan Pasal 81 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menjelaskan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).”
Ketentuan Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak menjelaskan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).”
Pencabulan termasuk salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang semakin
berkembang dari waktu ke waktu dan merupakan salah satu kenyataan dalam
kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut
dikarenakan tindak pidana terhadap kesusilaan akan menimbulkan keresahan
dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya
untuk menanggulangi tindak pidana tersebut, meskipun dalam kenyataannya
sangat sulit untuk memberantas tindak pidana secara tuntas karena pada dasarnya
tindak pidana akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan
masyarakat.
Tindak pidana dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang
yang melakukan tindak pidana harus bertanggungjawab atas kesalahan yang telah
oleh orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak. Perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh anak, disebabkan oleh berbagai faktor antara lain:3 adanya dampak
negatif dari perkembangan pembangunan yang pesat, arus globalisasi dibidang
komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan
gaya hidup orangtua, serta cara mendidik anak telah membawa perubahan sosial
yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap
nilai dan perilaku anak. Seorang anak yang bergaul dengan teman yang membawa
pengaruh negatif akan meniru perbuatan negatifnya, kurangnya pemahaman
agama dan pengawasan orang tua serta pengaruh buruk teknologi akan
memudahkan terjadinya perbuatan cabul. Jika pelaku tindak pidana terhadap
kesusilaan adalah anak-anak tentunya sangat mengkhawatirkan karena apabila
anak-anak sebagai generasi muda telah teracuni pikirannya dengan hal-hal negatif
maka kualitas sumber daya generasi muda sebagai masa depan bangsa akan
menurun.
Salah satu contoh kasus yang terjadi di Provinsi Lampung, berdasarkan data di
Pengadilan Negeri Tanjung Karang dapat diketahui bahwa telah terjadi tindak
pidana pencabulan yang dilakukan oleh anak, hal itu dapat dilihat dari Putusan
Perkara Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 1056/PID/A/2012/PN.TK
tentang kasus pencabulan yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Dalam kasus
tersebut, terdakwa Arif Saputra masih berumur 14 tahun dan masih tergolong
anak-anak dinyatakan telah dengan sengaja melakukan kekerasan memaksa anak
untuk melakukan perbuatan cabul dengannya terhadap saksi korban yang masih
berumur 5 tahun.
3
Jaksa penuntut umum menuntut terdakwa sesuai Pasal 82 Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan Pidana Penjara selama 3 (tiga)
tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Namun
pada akhirnya Hakim menjatuhkan putusan terhadap terdakwa yaitu sanksi berupa
tindakan menyerahkan terdakwa ke Panti Sosial untuk di didik dan dibina sesuai
Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Undang-Undang
Peradilan Anak.
Penjatuhan pidana terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul
terhadap anak apakah dapat dimintai pertanggungjawabannya dan bagaimanakah
pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul
mengingat terdakwa masih anak-anak dan korban yang juga masih anak-anak
sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana, yaitu sehat jiwanya, mengetahui bahwa
perbuatannya bertentangan dengan hukum serta mampu mengetahui kehendak
sesuai kesadarannya, sehingga ia dapat dipidana oleh Hakim.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka penulis hendak melakukan
penelitian dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Anak Yang
Melakukan Perbuatan Cabul Terhadap Anak (Studi Putusan Pengadilan Negeri
B. Perumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan
perbuatan cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor:
1056/PID/A/2012/PN.TK)?
b. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi
terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak (Studi
Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK)?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah putusan hakim nomor
1056/PID/A/2012/PN.TK. Dan lingkup pembahasan penelitian ini adalah
bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan
cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK) dan
pertimbangan hakim terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul
terhadap anak. Ruang lingkup tempat penelitian adalah Pengadilan Negeri
Tanjung Karang, dan Fakultas Hukum Universitas Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana
pencabulan terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor:
1056/PID/A/2012/PN.TK)
b. Untuk mengetahui dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
sanksi terhadap pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak
(Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK)
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Kegunaan Teoritis
Kegunaan penulisan ini secara teoritis adalah memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ilmu hukum pidana khususnya hukum pidana anak di Indonesia,
yaitu hal-hal yang berkaitan dengan beberapa permasalahan tentang tindak pidana
pencabulan yang dilakukan oleh anak (Studi Putusan PN Nomor:
1056/PID/A/2012/PN.TK)
b. Kegunaan Praktis
Secara praktis teori ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat dan bagi
aparat penegak hukum dalam memperluas serta memperdalam ilmu hukum
khususnya ilmu hukum pidana dan juga dapat bermanfaat bagi masyarakat
umumnya dan bagi aparatur penegak hukum pada khususnya untuk menambah
wawasan dalam berfikir dan dapat dijadikan sebagai masukan dalam rangka
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil
pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan
identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.4
Beberapa teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu:
1. Pertanggungjawaban Pidana
Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral
kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta
undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa
adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa mampu
bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor
kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan
perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak.5
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang
siapa melanggar larangan tersebut.6 Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana
adalah seseorang harus melakukan perbuatan yang aktif atau pasif seperti yang di
tentukan oleh undang-undang pidana yang melawan hukum, dan tidak adanya
alasan pembenar serta adanya kesalahan dalam arti luas (meliputi kemampuan
4
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. UI Press. 1986. Jakarta. Hlm. 125
5
Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Askara Baru.. 1999. Jakarta.
Hlm. 84
6
bertanggungjawab, sengaja atau kelalaian) dan tidak adanya alasan pemaaf. Jika
kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana (yang menyangkut segi
objektif) dan pertanggungjawaban pidana (yang menyangkut segi subjektif, jadi
menyangkut sikap batin si pembuat) maka mudahlah kita menentukan dipidana
atau dibebaskan ataupun dilepaskan dari segala tuntutan pembuat delik.7
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan
perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang
mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatannya, dilihat dari
segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan
yang telah dilakukan oleh orang tersebut.
Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga)
syarat8, yaitu:
1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan
perbuatan.
Ada beberapa alasan seseorang tidak dapat bertanggungjawab atas tindak pidana
yang dilakukan, yaitu9:
1. Jiwa si pelaku cacat.
2. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.
7
Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni.1987. Bandung. Hlm.
72
8
Roeslan Saleh. Op.cit. Hlm. 80
9
3. Gangguan penyakit jiwa.
Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya 3 (tiga)
unsur pokok, yaitu:10
1. Unsur perbuatan.
2. Unsur yang dilarang (oleh aturan hukum).
3. Unsur pidana (bagi yang melanggar larangan).
Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana diatas, terhadap anak sebagai
pelaku tindak pidana mengenai pertanggungjawaban pidana tersebut telah
tercantum didalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 bahwa
terhadap Anak Nakal dapat dijatuhkan sanksi tindakan.
2. Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim
memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa
hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun pasal 50 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan hakim dalam
memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
10
Adami Chazawi. Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya
Pasal 55 RUU KUHP Tahun 2011 menjelaskan tentang pedoman pemidananaan,
dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana.
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.
c. Sikap batin pembuat tindak pidana.
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.
e. Cara melakukan tindak pidana.
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan/atau
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan
kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto, hakim
memberikan keputusannya, mengenai hal-hal sebagai berikut:11
a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang ditujukan padanya.
b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah
dan dapat dipidana.
c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat
dipidana.
Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim
dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung
11
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum
pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP,
yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut MacKenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam
suatu perkara, yaitu:12
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban.
2. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim
akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara
pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu
putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.
12
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu
pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi
suatu perkara yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan
pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang
berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak
3. Teori Perlindungan Anak
Perlindungan Hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi generasi
penerus bangsa dimasa depan. Perlindungan ini perlu diadakan karena anak adalah
bagian dari masyarakat yang memiliki keterbatasan dari segi fisik dan mentalnya
yang belum dewasa, oleh karena itu anak membutuhkan perlindungan khusus.
Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Prinsip dari perlindungan anak adalah:13
1. Anak harus dipisahkan dari pengaruh kerusakan dari penjahat dewasa.
2. Anak nakal harus dijauhkan dari lingkungannya yang kurang baik dan
diberi perlindungan yang baik. Anak harus dijaga dengan paduan cinta dan
bimbingan.
3. Perbuatan anak harus diupayakan untuk tidak dihukum, kalaupun dihukum
harus dengan ancaman hukuman yang minimal dan bahkan penyidikan
tidak diperlukan karena terhadap anak harus diperbaiki bukan dihukum.
4. Terhadap anak nakal tidak ditentukan hukuman baginya, karena menjadi
narapidana akan membuat perjalanan hidupnya sebagai mantan orang yang
dihukum.
5. Hukuman terhadap anak hanya dijalankan jika tidak ada lagi cara lain yang
lebih baik dijalankan.
6. Penjara terhadap anak dihindarkan dari bentuk penderitaan fisik dan
buruk.
7. Program perbaikan yang dilakukan lebih bersifat keagamaan, pendidikan,
pekerjaan, tidak melebihi pendidikan dasar.
13
8. Terhadap narapidana anak diberi pengajaran yang lebih baik,
menguntungkan dan terarah pada keadaan dunia luar.
2. Konseptual
Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus, yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan
istilah yang ingin tahu akan di teliti.14
Adapun konseptual yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut :
a. Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang dipertanggungjawabkan
secara pidana terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pidana atau
tindak pidana.15
b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 butir 1
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002).
c. Pencabulan adalah suatu perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh karena
melanggar kesopanan dan kesusilaan. Pencabulan adalah segala macam
wujud perbuatan, baik yang dilakukan diri sendiri maupun dilakukan pada
orang lain mengenai dan berhubungan dengan alat kelamin atau bagian alat
tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual.16
14
Soerjono Soekanto. Op.Cit. Hlm. 132
15
Roeslan Saleh.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. 1999. Jakarta.
Hlm. 75
16
d. Korban Anak adalah anak yang menjadi korban tindak pidana yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental
dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana (Pasal 1
butir 4 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012)
e. Tindak Pidana/Perbuatan Pidana
Perbuatan Pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan
hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.17
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini bertujuan agar lebih memudahkan
dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika
penulisannya sebagai berikut:
I. PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang memuat latar belakang penulisan. Dari
uraian latar belakang ditarik suatu pokok permasalahan dan ruang lingkupnya,
tujuan dan kegunaan dari penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta
menguraikan tentang sistematika penulisan. Dalam uraian bab ini dijelaskan
tentang latar belakang tindak pidana pencabulan terhadap anak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menjelaskan tentang pengantar pemahaman pada pengertian-pengertian
umum serta pokok bahasan. Dalam uraian bab ini lebih bersifat teoritis yang
17
nantinya di gunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori yang berlaku
dengan kenyataannya yang berlaku dalam praktek. Adapun garis beras dalam bab
ini adalah menjelaskan tentang tinjauan mengenai pertanggungjawaban pidana,
anak berkonflik dengan hukum, tindak pidana pencabulan, dan teori dasar
pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini memuat pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur
pengumpulan dan pengolahan data serta tahap terakhir yaitu analisis data untuk
memperoleh data yang akurat.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini merupakan pembahasan tentang berbagai hal yang terkait langsung
dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu untuk
mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan
cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK) dan
untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap
pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak (Studi Putusan PN
Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK)
V. PENUTUP
Bab ini berisi tentang hasil akhir dari pokok permasalahan yang diteliti berupa
kseimpulan dan saran dari hasil penelitian terhadap permasalahan yang telah
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban adalah suatu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu
dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban
pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan, ini
berarti harus dipastikan terlebih dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat suatu
tindak pidana.18 Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu yang
dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan
perbuatan pidana atau tindak pidana.19
Pelaku tindak pidana dapat dipidana apabila memenuhi syarat bahwa tindak
pidana yang dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang
akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan
tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat
melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut
kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya. Dalam hal
dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan seperti melawan hukum
18
Roeslan Saleh.Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Aksara Baru. 1999. Jakarta.
Hlm. 80
19
tergantung dari apakah dalam melakukan perbuatan ia mempunyai kesalahan dan
apabila orang yang melakukan perbuatan itu memang melawan hukum, maka ia
akan dipidana.
Berdasarkan hal tersebut pembuat (dader) harus ada unsur kesalahan dan bersalah
yang harus memenuhi unsur, yaitu:20
1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapatnya dipertanggungjawabkan
dari si pembuat.
2. Adanya kaitan psikis antara pembuat dan perbuatan, yaitu adanya sengaja
atau kesalahan dalam arti sempit (culpa). Pelaku mempunyai kesadaran
yang mana pelaku seharusnya dapat mengetahui akan adanya akibat yang
ditimbulkan dari perbuatannya.
3. Tidak adanya dasar peniadaan pidana yang menghapus dapatnya
dipertanggungjawabkan sesuatu perbuatan kepada pembuat.
Asas legalitas hukum pidana Indonesia yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP
menyatakan bahwa seseorang baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana
apabila perbuatannya tersebut telah sesuai dengan rumusan dalam undang-undang
hukum pidana. Meskipun orang tersebut belum tentu dapat dijatuhi hukum pidana,
karena masih harus dibuktikan kesalahannya apakah dapat
dipertanggungjawabkan pertanggungjawaban tersebut. Agar seseorang dapat
dijatuhi pidana, harus memenuhi unsur-unsur perbuatan pidana dan
pertanggungjawaban pidana.
20
Seorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana dalam menentukan
adanya pertanggungjawaban harus ada sifat melawan hukum dari tindak pidana
yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana. Sifat melawan hukum
dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa) pembuat terhadap tindak pidana yang
dilakukannya dapat berupa kesengajaan (opzet) atau karena kelalaian (culpa).
Menurut pandangan para ahli hukum pidana ada 3 (tiga) bentuk kesengajaan
(opzet), yakni:21
1. Kesengajaan sebagai Maksud
Kesengajaan ini bersifat tujuan, si pelaku dapat dipertanggungjawabkan
dan apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku
pantas di kenakan hukuman.
2. Kesengajaan dengan Keinsafan Pasti
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku (doer or dader) dengan
perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar
dari delik dan mengetahui pasti atau yakin benar bahwa selain akibat
dimaksud akan terjadi suatu akibat lain.
3. Kesengajaan dengan Keinsafan Kemungkinan (Dolus Eventualis)
Kesengajaan ini juga dsebut kesengajaan dengan kesadaran kemungkinan,
bahwa seseorang melakukan perbuatan dengan tujuan untuk menimbulkan
suatu akibat tertentu. Akan tetapi, si pelaku menyadari bahwa mungkin
akan timbul akibat lain yang juga dilarang dan diancam oleh
Undang-Undang.
21
Pada umumnya, kelalaian (culpa) dibedakan menjadi 2, yaitu:22
1. Kelalaian dengan kesadaran (bewuste schuld)
Dalam hal ini, si pelaku telah membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah tetap
timbul tersebut.
2. Kelalaian tanpa kesadaran (onbewuste schuld)
Dalam hal ini, si pelaku tidak membayangkan atau menduga akan
timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam hukuman oleh
Undang-Undang. Sedangkan ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya suatu
akibat.
Suatu perbuatan dikatakan telah melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi
pidana maka harus dipenuhi 2 (dua) unsur yakni adanya unsur perbuatan pidana
(actrus reus) dan keadaan sifat batin pembuat (mens rea). Kesalahan (schuld)
merupakan unsur pembuat delik, jadi termasuk unsur pertanggungjawaban pidana
yang mana terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya.
Dalam hal kesalahan tidak terbukti, berarti bahwa perbuatan pidana (actus reus)
sebenarnya tidak terbukti, karena tidak mungkin hakim akan membuktikan adanya
kesalahan jika ia telah mengetahui lebih dahulu bahwa perbuatan pidana tidak ada
atau tidak terbukti diwujudkan oleh terdakwa.23
22
Ibid. Hlm. 26
23
Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. 1987. Bandung. Hlm.
Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga)
syarat24, yaitu:
1. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.
2. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut
dalam pergaulan masyarakat.
3. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan
Ada beberapa alasan seseorang tidak dapat bertanggung jawab atas tindak pidana
yang dilakukan, yaitu25:
1. Jiwa si pelaku cacat.
2. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan.
3. Gangguan penyakit jiwa
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang
buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan
tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat
menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan
dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang
yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak
pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan.26
24
Roeslan Saleh. Op.Cit. Hlm. 80
25
Leden Mapaung. Ibid. Hlm. 72
26
Saifudien. Pertanggungjawaban Pidana. Diakses pada tanggal 17 September 2013.
Berdasarkan KUHP masalah kemampuan bertanggungjawab terdapat dalam Pasal
44 ayat (1) yang menyatakan bahwa:
“Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”
Apabila seseorang tidak dapat bertanggungjawab disebabkan hal lain seperti
jiwanya tidak normal dikarenakan dia masih muda, maka pasal 44 ayat (1)
tersebut tidak dapat dikenakan.
Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan
bertanggungjawab seseorang terhadap kesalahan. Setiap orang bertanggungjawab
atas segala perbuatannya, hanya kelakuannya yang menyebabkan hakim
menjatuhkan hukuman yang di pertanggungjawabkan pada pelakunya. Dalam
menjatuhkan pidana disyaratkan bahwa seseorang harus melakukan perbuatan
yang aktif atau pasif seperti yang ditentukan oleh KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana), sifat melawan hukum dan tidak adanya alasan pembenar serta
adanya kesalahan dalam arti luas yang meliputi kemampuan bertanggungjawab,
sengaja dan kelalaian dan tidak adanya alasan pemaaf.
Tanggung jawab pidana dapat diartikan sebagai akibat lebih lanjut yang harus
ditanggung oleh siapa saja yang telah bersikap tindak, baik yang selaras dengan
hukum atau yang bertentangan dengan hukum. Tanggung jawab pidana adalah
akibat lebih lanjut yang harus diterima, dibayar atau ditanggung seseorang yang
B. Anak Berkonflik Dengan Hukum
Definisi anak dalam instrument-instrumen hukum nasional berbeda-beda
batasannya. Pengertian dan batasan umur bagi seorang anak didalam beberapa
hukum positif Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat dalam Pasal 45 KUHP
bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 16 (enam belas) tahun.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak terdapat
dalam Pasal 1 ayat (2) ditentukan bahwa anak adalah seseorang yang belum
pernah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak terdapat
dalam Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa anak adalah orang yang dalam
perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) menjelaskan bahwa anak adalah seseorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
Sedangkan pengertian anak berkonflik dengan hukum adalah adanya
tindakan-tindakan anak yang bertentangan dan melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang
berlaku dan sah di Indonesia, sehingga dapat didefinisikan bahwa anak yang
berkonflik dengan hukum berarti anak-anak yang masih belum dewasa menurut
hukum dan melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan ketentuan
hukum didefinisikan sebagai anak yang disangka, didakwa atau dinyatakan
bersalah melanggar ketentuan hukum atau seorang anak yang diduga telah
melakukan atau yang telah ditemukan melakukan suatu pelanggaran hukum.27
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dalam
Pasal 1 ayat (2) menjelaskan sebagai berikut:
“Anak yang Berhadapan dengan Hukum adalah anak yang berkonflik
dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana”
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak menjelaskan sebagai berikut:
“Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur
18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dalam Pasal 1 ayat
(2) merumuskan sebagai berikut, Anak Nakal adalah:
a. Anak yang melakukan tindak pidana
b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak,
baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan
hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pengertian Anak menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, yaitu:
a. Anak pidana adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani
pidana di Lapas Anak paling lama sampai berumur 18 tahun.
27
Mohammad Farid. Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum Sesuai dengan Standar
b. Anak Negara adalah anak yang berdasarkan putusan pengadilan
diserahkan pada Negara untuk dididik dan ditempatkan di Lapas Anak
paling lama sampai berumur 18 tahun.
c. Anak sipil adalah anak yang atas permintaan orang tua atau walinya
memperoleh ketetapan pengadilan untuk dididik di Lapas Anak paling
lama sampai berumur 18 tahun.
Undang-Undang Pengadilan Anak menggunakan istilah “Anak Nakal” bagi anak
yang melakukan tindak pidana maupun perbuatan lainnya yang melanggar
peraturan tertulis maupun tidak tertulis (hukum adat). Berdasarkan ketentuan
hukum positif yang mengatur tentang anak nakal, anak yang bermasalah kelakuan
(anak berkonflik dengan hukum) disebut dengan “Anak Nakal”. Perbuatan anak
yang menyimpang dan melanggar hukum disebut “Kenakalan Anak”. Kenakalan
Anak adalah perbuatan yang dilakukan oleh anak, baik sendiri maupun
bersama-sama yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana ataupun bukan hukum
pidana maupun melakukan perbuatan oleh masyarakat dianggap sebagai
perbuatan tercela.28
Penyebab anak melakukan kenakalan, baik berupa tindak pidana maupun
melanggar norma-norma sosial (agama, susila, dan sopan santun) dipengaruhi
oleh faktor intern (dalam diri anak itu sendiri) maupun faktor ekstern (diluar diri
anak), yaitu:29
28
Tri Andrisman. Hukum Peradilan Anak. Bagian Hukum Fakultas Hukum Pidana. Universitas
Lampung. 2013. Hlm. 6
29
1. Faktor Intern:
a. Mencari identitas/jati diri.
b. Masa Puber (Perubahan hormon-hormon seksual)
c. Tidak ada disiplin diri.
d. Peniruan.
2. Faktor Ekstern:
a. Tekanan Ekonomi.
b. Lingkungan Sosial yang buruk.
Anak yang melakukan tindak pidana tidak dapat disalahkah sepenuhnya atas
perbuatannya karena dalam melakukan tindak pidana kemungkinan dipengaruhi
oleh hal-hal yang berada didalam dirinya (faktor intern) ataupun diluar dirinya
(faktor intern).
Menurut Pasal 23 dan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Peradilan Anak menjelaskan bahwa terhadap anak nakal hanya dapat dijatuhkan
pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini. Penjatuhan
Pidana yang didasarkan pada 2 (dua) jenis sanksi, yang terdiri dari pidana dan
tindakan, yaitu:
a. Pidana
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. Pidana penjara;
b. Pidana kurungan
c. Pidana denda; atau
b. Tindakan
Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah:
a. Mengembalikan kepada orangtua, wali, atau orangtua asuh;
b. Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja; atau
c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menjelaskan dua hal besar dalam penyelesaian peradilan terhadap anak, yaitu
Keadilan Restoratif dan Diversi. Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara
tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan
pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara Anak dari proses
peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.30
Diversi merupakan tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan/menempatkan
pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana. Konsep dari
Diversi merupakan pengalihan penanganan kasus-kasus anak yang diduga telah
melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk mencapai perdamaian antara
korban dan anak agar penyelesaian perkara tersebut berada diluar pengadilan.
30
Wahyu Ramdhan. Analisis UU No. 11 Tahun 2012. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
Syarat penerapan diversi diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu diversi dilaksanakan
dalam hal tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara dibawah
7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Menurut Pasal 69 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak menjelaskan bahwa terhadap anak nakal hanya dapat
dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam undang-undang ini.
Penjatuhan Pidana yang didasarkan pada 2 (dua) jenis sanksi, yang terdiri dari pidana dan tindakan, yaitu:
a. Pidana
Pidana yang dapat dijatuhkan pada anak diatur dalam Pasal 71 UU SPPA sebagai
berikut:
a. Pidana peringatan.
b. Pidana dengan syarat:
1) Pembinaan di luar lembaga.
2) Pelayanan masyarakat, atau
3) Pengawasan.
c. Pelatihan kerja.
d. Pembinaan dalam lembaga, dan
e. Penjara.
b. Tindakan
Tindakan yang dapat dikenakan pada anak diatur dalam Pasal 82 UU SPPA
a. Pengembalian kepada orang tua/Wali.
b. Penyerahan kepada seseorang.
c. Perawatan di rumah sakit jiwa.
d. Perawatan.
e. Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan
oleh pemerintah atau badan swasta.
f. Pencabutan surat izin mengemudi dan/atau
g. Perbaikan akibat tindak pidana.
C. Tindak Pidana Pencabulan
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan
mana disertai ancaman/sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut. Sedangkan perbuatan pidana adalah perbuatan yang
oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu
diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau
kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang) , sedangkan ancaman pidananya
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.31
Pencabulan adalah suatu perbuatan keji dan kotor, perbuatan yang tidak senonoh
karena melanggar kesopanan dan kesusilaan. Menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) disebutkan bahwa pencabulan atau perbuatan cabul
adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan atau
perbuatan keji, semuanya itu didalam lingkungan nafsu birahi kelamin, misalnya
cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan dan sebagainya. Persetubuhan juga
31
termasuk dalam perbuatan cabul, akan tetapi didalam undang-undang disebutkan
tersendiri.32
Menurut Adami Chazawi, pengertian perbuatan cabul (ontuchtige handelingen)
adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan
kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau
bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya
mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina, memegang buah dada, mencium
mulut seorang perempuan.33
Ada beberapa bentuk dan jenis istilah tentang pencabulan adalah:34
1. Exhibitionism seksual yaitu, sengaja memamerkan alat kelamin pada anak.
2. Voyeurism yaitu, orang dewasa mencium anak dengan bernafsu.
3. Fonding yaitu, mengelus/meraba alat kelamin seorang anak.
4. Fellatio yaitu, orang dewasa memaksa anak untuk melakukan kontak
mulut.
Jenis Pencabulan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:35
a. Perbuatan cabul terhadap orang pingsan
Objek kejahatan perbuatan ini adalah orang yang pingsan atau tidak
berdaya. Segala perbuatan yang dilakukan terhadap dirinya tidak
diketahuinya. Keadaan pingsan atau tidak sadarkan diri adalah unsur
objektif yang sekaligus dituju oleh unsur kesengajaan, berupa mengetahui
32
R Soesilo.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta komentar-komentarnya lengkap pasal
demi pasal.Politea. 1989.Bogor. Hlm. 212 33
Adami Chazawi. Tindak Pidana Mengenai Kesopanan. Raja Grafindo. 2005. Jakarta. Hlm. 80
34
Kartini Kartono. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Mandar Maju. 1985. Bandung.
Hlm. 264
35
atau diketahui oleh si pembuat yang berbuat cabul karena orang pingsan
masih dapat mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya. Kejahatan ini
diatur dalam pasal 290 KUHP sebagai berikut:
1) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal
diketahuinya bahwa orang itu pingsan atau tidak berdaya.
2) Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan sesorang padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin.
3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya
harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umumya tidak jelas yang bersangkutan atau kutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.
b. Perbuatan cabul sesama kelamin (Homoseksual)
Perbuatan ini dilakukan sesama jenis kelamin, dalam perbuatan cabul tidak
mungkin terjadi pesetubuhan antara sesama jenis dan tanggung jawab
pidana dibebani kepada siapa diantara dua orang itu yang telah dewasa.
Diatur dalam Pasal 292 KUHP, yakni:
“Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain
sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya
belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun”
c. Perbuatan cabul dengan cara menggerakkan orang belum dewasa untuk
melakukan perbuatan cabul
Perbuatan ini dilakukan dengan cara memberi uang atau merayu seseorang
yang umumnya dibawah 15 tahun untuk melakukan perbuatan cabul.
Diatur dalam Pasal 293 KUHP, yakni:
“Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,
dengan penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan dia, padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun.”
d. Perbuatan cabul terhadap anak, anak tirinya dan lain sebagainya
Perbuatan ini dilakukan dengan orang dibawah umur yang tidak cacat
kelakuannya, yang diketahuinya atau patut dapat disangkakannya masih
dibawah umur, melakukan perbuatan cabul dengan anak sendiri. Diatur
dalam pasal 294 KUHP, yakni:
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, tirinya, anak
angkatnya, anak di bawah pengawannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaanya, pendidikan atau penjagaannya diannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
Tindak pidana pencabulan diatur dalam KUHP pada Pasal 289 sampai 296, tetapi
peraturan didalam KUHP hanya ditujukan kepada pelaku usia dewasa.
Ketentuan dalam Pasal 289 KUHP menentukan:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
Ketentuan dalam Pasal 296 KUHP menentukan:
“Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu
Sanksi pidana mengenai perbuatan cabul terhadap anak diatur pula didalam
Undang diluar KUHP, yaitu terdapat dalam Pasal 81 dan 82
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Ketentuan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa:
1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi
setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Ketentuan Pasal 82 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 menjelaskan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dengan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak sebagai peraturan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.
Hal ini dilakukan demi menjaga perkembangan mental dan pembentukan pribadi
anak sebagai penerus gerenasi bangsa, sehingga perlu dibedakan perlakuannya
didalam hukum acara dan juga acara pidananya dan untuk lebih melindungi dan
D. Dasar Pertimbangan Hakim
Hakim mempunyai peran yang penting dalam penjatuhan pidana, meskipun hakim
memeriksa perkara pidana di persidangan dengan berpedoman dengan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pihak kepolisian dan dakwaan yang diajukan oleh
Jaksa Penuntut Umum. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa
hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun pasal 50 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan hakim dalam
memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu,
juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili.
Pasal 55 RUU KUHP Tahun 2011 menjelaskan tentang pedoman pemidanaan,
dalam pemidanaan hakim wajib mempertimbangkan:
a. Kesalahan pembuat tindak pidana.
b. Motif dan tujuan melakukan tindak pidana.
c. Sikap batin pembuat tindak pidana.
d. Apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana.
e. Cara melakukan tindak pidana.
f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana.
g. Riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana
h. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana
i. Pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban
j. Pemaafan dari korban dan/atau keluarganya dan/atau
k. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Putusan hakim harus memerhatikan segala aspek didalamnya, yaitu mulai dari
formal maupun materil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya.
Suatu putusan hakim yang baik dan sempurna hendaknya putusan tersebut diuji
dengan empat criteria dasar pertanyaan (the 4 way test) berupa:36
1) Benarkah putusanku ini?
2) Jujurkah aku dalam mengambil putusan?
3) Adilkah bagi pihak-pihak yang bersangkutan?
4) Bermanfaatkah putusanku ini?
Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
mengenai salah tidaknya seseorang atau benar tidaknya suatu peristiwa dan
kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto, hakim
memberikan keputusannya, mengenai hal-hal sebagai berikut:37
a. Keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang ditujukan padanya
b. Keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah
dan dapat dipidana
c. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat
dipidana.
Aspek pertimbangan-pertimbangan yuridis terhadap tindak pidana yang
didakwakan merupakan konteks yang paling penting dalam putusan hakim. Pada
pertimbangan yuridis merupakan pembuktian unsur-unsur (bestanddelen) dari
suatu tindak pidana apakah perbuatan terdakwa tersebut telah memenuhi dan
sesuai dengan tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa/penuntut umum. Dalam
36
Lilik Mulyadi. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana. Bandung. Citra Aditya Bakti. 2007.
Hlm. 136
37
Sudarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan
praktik peradilan pada putusan hakim sebelum pertimbangan-pertimbangan
dibuktikan maka hakim terlebih dahulu akan menarik fakta-fakta dalam
persidangan dan dari keterangan para saksi. Setelah fakta-fakta dalam persidangan
diungkapkan, pada putusan hakim kemudian akan dipertimbangkan terhadap
unsur-unsur (bestanddelen) dari tindak pidana yang telah didakwakan oleh
jaksa/penuntut umum. Sebelum mempertimbangkan unsur-unsur tersebut,
dipertimbangkan tentang hal-hal bersifat korelasi antara fakta-fakta, tindak pidana
yang didakwakan dan unsur kesalahan terdakwa.38
Masalah penjatuhan pidana sepenuhnya merupakan kekuasaan dari hakim. Hakim
dalam menjatuhkan pidana wajib berpegangan pada alat bukti yang mendukung
pembuktian dan keyakinannya, sebagaimana diatur dalam pasal 183 KUHAP,
yaitu:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Menurut MacKenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat
dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam
suatu perkara, yaitu:39
1. Teori Keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan adalah keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
38
Lilik Mulyadi. Ibid. Hlm. 193
39
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar
keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan
kepentingan korban.
2. Pendekatan Seni dan Intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan
dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim
akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara
pidana. Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu
putusan, lebih ditentukan oleh intuisi dari pada pengetahuan dari hakim.
3. Teori Pendekatan Keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana
harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam
kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin
konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam
peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh
semata-mata atas dasar intuisi sesemata-mata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu
pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi
suatu perkara yang harus diputuskannya.
4. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya
dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan
dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang
berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat.
5. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum didasarkan pada metode, artinya semua kegiatan yang meliputi
persiapan penelitian, proses penelitian, dan hasil penelitian menggunakan
cara-cara yang secara-cara umum diakui dan berlaku pada ilmu pengetahuan.40 Pendekatan
masalah yang dipergunakan pada penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan
masalah dengan cara yuridis normatif dan yuridis empiris. Suatu bentuk usaha
dalam melakukan gerakan untuk mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah
yang diajukan.
Pendekatan yuridis normatif (Library Reaserch) adalah pendekatan masalah yang
didasarkan pada peraturan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-konsep
yang berhubungan dengan penulisan penelitian ini. Penelitian ini dilakukan
dengan menganalisa, dan menelaah berbagai peraturan perundang–undangan serta
dokumen yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini.Sedangkan
pendekatan yuridis empiris (Field Research) adalah pendekatan masalah yang
diadakan langsung dilapangan, yaitu dengan melihat fakta-fakta yang ada dalam
praktik dan berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang
melakukan perbuatan cabul terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor:
1056/PID/A/PN.TK).
40
B. Sumber dan Jenis Data
Data yang dipergunakan oleh penulis dalam penelitian ini berupa data sekunder
dan data primer:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan melalui
wawancara dengan terhadap aparat penegak hukum yang terkait dengan
pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul
terhadap anak (Studi Putusan PN Nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK).
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan, data
sekunder diperoleh dengan mempelajari dan mengkaji literatur-literatur, dan
perundang-undangan. Data sekunder ini menghasilkan bahan hukum sekunder.41
Sumber data dari data sekunder ini berupa:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan
hukum mengikat, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
3. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak
5. Kitab Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekukasaan
Hakim.
41
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan
bahan primer, seperti buku-buku yang berkenaan dengan penelitian ini.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum penunjang atau bacaan lain yang
mencakup bahan-bahan yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus dan karya ilmiah.
B. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah orang yang menjadi sumber informasi (informan)42. Untuk
penulisan skripsi ini penulis mengambil narasumber penelitian yang ada kaitannya
dengan permasalahan yang akan dibahas. Adapun informan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang = 2 orang
b. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila = 2 0rang
Jumlah = 4 orang
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengelolaan Data 1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan penelitian ini dilakukan
dengan dua cara, yaitu:
a. Studi Kepustakaan adalah untuk memperoleh data sekunder dengan cara
membaca, mencatat, mengutip berbagai literatur dari buku-buku, media
massa yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti.
42
b. Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer melalui
wawancara dengan para responden yang telah di rencanakan sebelumnya
dilapangan (lokasi).43
2. Prosedur Pengolaan Data
Setelah data terkumpul baik dari studi kepustakaan maupun studi lapangan
melalui wawancara selanjutnya diolah dengan metode sebagai berikut:
a. Editing, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakah masih
terdapat kesalahan dan memeriksa kembali mengenai kelengkapan,
kejelasan dan kebenarannya.
b. Interprestasi, yaitu menghubungkan, membandingkan dan
mengklasifikasikan data serta mendeskripsikan data dalam bentuk uraian,
untuk kemudian ditarik kesimpulan.
c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada
tiap-tiap pokok permasalahannya sehingga memudahkan pembahasan.
D. Analisis Data
Data yang telah diolah kemudian dianalisis dengan cara kualitatif dengan
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang dihasilkan dari penelitian
dilapangan kedalam bentuk penjelasan dengan cara sistematis sehingga memiliki
arti, mudah dibaca, dimengerti dan dapat ditarik kesimpulan. Dari analisis tersebut
dapat disimpulkan dengan cara induktif yaitu cara berfikir dalam menguraikan
data yang diperoleh dengan menempatkan hasil-hasil analisis secara khusus,
kemudian ditarik kesimpulan secara umum.
43
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini, penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana pelaku anak yang melakukan perbuatan cabul
terhadap anak dalam putusan nomor: 1056/PID/A/2012/PN.TK terdakwa Arif
Saputra dapat dimintai pertanggungjawabannya karena terdakwa telah
memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu perbuatan, diancam
pidana, perbuatan melawan hukum dan dilakukan dengan unsur kesalahan.
Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan melawan hukum melakukan
tindak pidana pencabulan yang tercantum dalam Pasal 82 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Terdakwa mampu untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya karena melakukan tindak pidana
pencabulan dengan sadar dan adanya kesengajaan dalam perbuatannya dan
tidak adanya alasan pemaaf. Perbuatan terdakwa telah sesuai dengan asas
kesalahan dalam hukum pidana yaitu suatu p