• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Retinoblastoma Menggunakan Backpropagation Neural Network

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Identifikasi Retinoblastoma Menggunakan Backpropagation Neural Network"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penerapan metode backpropagation neural network untuk mengidentifikasi penyakit retinoblastoma.

2.1 Retinoblastoma

Retinoblastoma adalah suatu neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel batang dan kerucut) atau sel glia yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat kongenital autosom dominan bila mengenai kedua mata atau bersifat mutasi somatik bila mengenai satu mata saja. Tumor ini tumbuhnya sangat cepat sehingga vaskularisasi tumor tidak dapat mengimbangi tumbuhnya tumor sehingga terjadi degenerasi dan nekrosis yang disertai kalsifikasi (penumpukan kalsium pada jaringan tubuh) (Wijana, 1993).

(2)

Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai perkembangannya cukup lanjut sehingga sudah menimbulkan kelainan pada mata berupa pupil putih, strabismus atau peradangan (Harbour, 2001). Secara umum, semakin dini penemuan tumor dan semakin dini dilakukannya terapi tumor, semakin besar kemungkinan kita mencegah perluasan tumor melalui saraf optikus dan jaringan orbita. Retinoblastoma dapat berakibat fatal apabila tidak mendapatkan pengobatan yang tepat.

2.1.1. Penyebab retinoblastoma

Retinoblastoma disebabkan oleh adanya mutasi gen. Suatu alel di dalam satu lokus di dalam pita kromosom 13q14 mengontrol tumor tersebut, baik dalam bentuk herediter maupun non herediter (Harbour, 2001).

Gen retinoblastoma normal, yang biasa terdapat pada semua orang merupakan suatu gen supresor tumor atau anti onkogen. Individu dengan penyakit herediter memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya. Apabila alel pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit non herediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh suatu mutasi spontan (Harbour, 2001). Penyebab dari mutasi gen ini tidak diketahui dengan pasti hingga saat ini. Diduga adanya Human Papilloma Virus dalam jaringan retina yang sedang tumbuh dapat meyebabkan mutasi yang meningkatkan resiko terjadinya retinoblastoma, adapula dugaan bahwa prosedur bayi tabung dapat meningkatkan resiko terjadinya retinoblastoma pada calon bayi (Chintagumpala, et al. 2007).

(3)

koroid dan pembuluh darah yang terdapat di dalamnya kemudian menyebar secara hematogen hingga ke tulang. Selain itu tumor dapat pula bermetastase secara limfogen (Kaneko & Suzuki, 2006).

Secara mikroskopis, sebagian besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil yang tersusun rapat, bundar atau poligonal dengan inti besar berwarna gelap dan sedikit sitoplasma. Sel-sel ini kadang membentuk Rossete Flexner-Wintersteiner yang khas, yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor (Hardy, 2000).

2.1.2. Gejala retinoblastoma

Gejala subyektif sukar untuk didapatkan karena anak tidak memberikan keluhan apapun (bila dijumpai pada anak yang lebih besar, gejala subyektif yang dikeluhkan umumnya adalah penglihatan yang menurun) sehingga retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai perkembangannya cukup lanjut sampai menimbulkan gejala obyektif. Gejala obyektif pada retinoblastoma dari yang disadari hingga yang jarang disadari (Chintagumpala, et al. 2007) :

1. Leukokoria ( refleks putih pada pupil ).

Gambar 2.1. Gejala leukocoria pada anak penderita RB (Abramson, et al. 2014)

2. Amauritic cat’ eye ( bila mata kena sinar akan memantulkan cahaya

(4)

3. Strabismus atau juling.

4. Heterokromia atau perbedaan warna kedua iris mata.

5. Glaukoma atau kerusakan saraf optik akibat tekanan cairan dalam bola mata yang terlalu tinggi.

6. Hifema atau pendarahan pada mata. 7. Peradangan orbita.

2.1.3. Diagnosis retinoblastoma

Dianosis dari retinoblastoma dapat dilakukan melalui berbagai jenis pemeriksaan. Pada pemeriksaan funduskopi didapatkan gambaran tumor dengan warna putih atau krem kekuningan, dengan lesi satelit pada retina, ruang sub retina dan terdapat sel-sel tumor pada korpus vitreus (Vitreus Seeding). Untuk mendapatkan pemeriksaan funduskopi yang lebih detail sebaiknya pemeriksaan dilakukan dengan midriatil untuk melebarkan pupil (Kaneko & Suzuki, 2006). Gambar 2.2 dan Gambar 2.3 merupakan contoh citra yang menunjukkan fundus retina normal dan yang terkena retinoblastoma yang di dalamnya terdapat tumor berwarna putih atau putih kekuningan.

(5)

Gambar 2.3. Fundus retina dengan Retinoblastoma.

Pada pemeriksaan fluoresen angiografi didapatkan gambaran berupa massa tumor dan neovaskularisasi pada daerah tumor, tetapi tidak dapat menampilkan gambaran Vitreus Seeding (Kaneko & Suzuki, 2006). USG pada mata dapat memberikan gambaran heterogenitas dan kalsifikasi jaringan yang identik dengan massa pada retinoblastoma. USG tidak lebih sensitif jika dibandingkan dengan Computed Tomografi (CT) yang ideal untuk mendeteksi adanya kalsifikasi intraokuler. Namun, CT dikhawatirkan dapat memperburuk mutasi gen pada penderita retinoblastoma dengan usia di bawah 1 tahun karena adanya radiasi dari alat tersebut (Chintagumpala, et al. 2007). Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan alat yang paling sensitif untuk mengevaluasi retinoblastoma karena memberikan gambaran yang paling baik yang dapat memantau ada tidaknya metastase pada nervus optikus. Pemeriksaan foto polos diindikasikan bila pada gambaran klinis didapatkan kecurigaan adanya metastase ke tulang (Chintagumpala, et al. 2007).

2.1.4. Pencegahan dan pengobatan retinoblastoma

Pencegahan dilakukan dengan skrining genetik kemudian jika di dalam keluarga terdapat riwayat retinoblastoma, sebaiknya mengikuti konsultasi genetik untuk membantu memprediksi resiko terjadinya retinoblastoma pada keturunannya.

(6)

Selain itu pencegahan dapat juga dilakukan pemeriksaan mata secara rutin sejak anak lahir.

Salah satu cara mengobati Retinoblastoma adalah menggunakan terapi laser (laser photocoagulation). Terapi sinar laser dapat digunakan untuk menghancurkan pembuluh darah yang menutrisi tumor dan menyebabkan matinya sel kanker. Pilihan terapi lainnya adalah dengan krioterapi atau terapi dingin. Terapi ini menggunakan cairan nitrogen yang sangat dingin untuk membekukan sel kanker sebelum diangkat. Proses pembekuan dan pengangkatan ini dapat dilakukan beberapa kali selama prosedur perawatan. Proses ini dilakukan hingga sel kanker mati. Selain itu, terdapat terapi panas yang merupakan kebalikan dari terapi dingin. Termoterapi menggunakan gelombang ultrasonik, gelombang mikro, atau laser untuk mengarahkan panas dan membunuh sel kanker.

(7)

2.2 Pengenalan Dasar Citra

Sebuah citra direpresentasikan sebagai fungsi f(x,y) yaitu fungsi dua dimensi, dimana x dan y adalah koordinat posisi, dan nilai f pada setiap koordinat (x,y) disebut sebagai nilai intensitas citra. Sebuah citra dinyatakan sebagai citra digital jika nilai x, y dan nilai intensitas dari f bersifat terbatas dan dalam bentuk discrit. Sebuah citra digital dibentuk oleh sejumlah elemen yang disebut sebagai piksel dimana setiap piksel tersebut memiliki posisi dan nilai tertentu (Gonzales, 2008).

2.2.1. Citra biner

Citra biner adalah citra digital yang hanya memiliki dua kemungkinan nilai piksel yaitu hitam dan putih. Hitam direpresentasikan dengan nilai intensitas 0 sedangkan putih direpresentasikan dengan nilai intensitas 1. Citra biner juga disebut dengan citra B&W (black and white) atau citra monokrom. Karena hanya dibutuhkan 1 bit untuk mewakili nilai setiap piksel dari citra biner.

Citra biner sering kali muncul sebagai hasil dari proses pengolahan seperti segmentasi, morfologi, ataupun dithering. Contoh citra biner dapat dilihat pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Citra Biner

2.2.2. Citra grayscale

(8)

tersebut digunakan untuk menunjukan tingkat itensitas. Warna yang dimiliki adalah warna dari hitam, keabuan, dan putih.

Tingkat keabuan disini merupakan warna abu dengan berbagai tingkatan dari hitam hingga mendekati putih. Jika citra skala keabuan memiliki jumlah 8 bit, maka jumlah warna pada citra adalah 28 atau 256, dimana nilai intensitas berkisar antara 0 - 255. Nilai 0 merupakan warna hitam, nilai 255 merupakan warna putih dan nilai diantara itu adalah warna keabuan (Fatihah, 2016). Contoh citra grayscale dapat dilihat pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Citra Grayscale

2.2.3. Citra Warna

(9)

Gambar 2.6 Citra Warna

2.3. Pengolahan Citra Digital

Pengolahan citra digital merupakan suatu teknologi yang menerapkan sejumlah algoritma komputer untuk dapat memproses citra digital. Hasil keluaran dari proses tersebut dapat berupa citra atau karakteristik yang merepresentasikan citra. Tujuan utama pengolahan citra ini yaitu untuk mendapatkan citra yang berkualitas tinggi atau deskriptif dari citra asli sehingga dapat meningkatkan informasi tentang citra tersebut (Zhou et al., 2010). Beberapa teknik pengolahan citra yang diterapkan pada penelitian ini diantaranya sebagai berikut.

2.3.1. Resize

Resize adalah suatu operasi pada pengolahan citra digital untuk mengubah ukuran citra dengan memperbesar atau memperkecil ukuran citra pada arah horizontal dan/atau vertikal.

2.3.2. Grayscaling

(10)

menjumlahkan hasil perkalian masing-masing komponen RGB dengan nilai konstantanya.

I = a x R + b x G + c x B, a + b + c = 1 (2.1) Dimana :

I = nilai intensitas keabuan sebuah piksel citra hasil grayscalling R = nilai komponen merah pada sebuah piksel

G = nilai komponen hijau pada sebuah piksel B = nilai komponen biru pada sebuah piksel a,b,c = konstanta yang penjumlahannya bernilai 1

2.3.3. Morphological operator

Morphological operator merupakan suatu teknik pengolahan citra berdasarkan pada pengolahan bentuk. Teknik ini menerapkan structuring element (SE) pada citra yang diolah dan menghasilkan citra dengan ukuran yang sama. SE merupakan sebuah operator yang dapat mempengaruhi kinerja pengolahan morphological . Nilai setiap piksel pada citra yang dimasukkan berdasarkan pada perbandingan antara piksel yang bersesuaian dari citra masukan dengan nilai piksel tetangganya. Dengan memilih ukuran dan bentuk tetangga tersebut, maka dapat membangun sebuah morphological operator untuk mengolah citra yang dimasukkan agar lebih spesifik (Kaur & Kaur, 2013).

Morphological operator mempunyai dua operasi dasar yaitu dilation dan erosion. Dilation merupakan suatu proses untuk meningkatkan batas piksel foreground sehingga pada daerah tersebut ukurannya akan bertambah dan menebal.

Dilation dilakukan dengan persamaan 2.2.

(11)

Dimana :

D = citra hasil dari dilation

A = citra masukan

B = structure element

= translasi B

Sedangkan erosion kebalikan dari dilation yang akan mengurangi batas piksel foreground sehingga pada daerah tersbut ukurannya akan berukurang dan menipis (Chudasama et al,2015). Erosion dilakukan dengan persamaan 2.3.

(2.3)

Dimana :

E = citra hasil dari erosion

= citra masukan

= structure element = translasi B

(12)

2.3.4. Thresholding

Thresholding merupakan suatu proses untuk mengubah citra menjadi citra biner atau sering disebut dengan proses binerisasi. Proses ini menggunakan nilai batas (threshold) untuk dapat mengubah nilai piksel menjadi warna hitam atau putih. Jika nilai piksel pada citra lebih besar dari nilai threshold yang ditentukan maka nilai piksel tersebut akan diubah menjadi warna putih dan diinisialkan dengan angka biner 1. Sementara apabila nilai piksel lebih kecil dari nilai threshold maka akan diubah menjadi warna hitam dan diinisialkan dengan angka biner 0 (Febriani, 2014). Proses tersebut dilakukan dengan persamaan 2.4.

(2.4) Dimana : = piksel citra hasil biner

= piksel citra masukan = nilai threshold

2.4. Gray-Level Co-Occurrence Matrix

Gray-Level Co-Occurrence Matrix (GLCM) merupakan suatu metode yang digunakan untuk ektraksi fitur, baik fitur citra maupun data lainnya berdasarkan analisis tekstur. Ekstraksi fitur dilakukan untuk mengambil informasi pokok dari suatu data tertentu untuk sebelum digunakan pada proses tertentu. Metode GLCM ini diperkenalkan oleh Haralick di tahun 1973 yang merupakan bagian dari project yang didukung olah NASA yaitu tepatnya NASA Goddard Space Flight Center. Haralick menggunakan citra dari NASA ERTS untuk melakukan klasifikasi dengan tingkat akurasi diatas 80%. GLCM dapat juga disebut sebagai Gray Level Dependency Matrix (Gadkari, 2004).

(13)

keabuan (histogram) dengan mengukur tingkat kekontrasan, granularitas, dan kekasaran suatu daerah dari hubungan ketetanggaan antar pixel untuk tabulasi tentang frekuensi kombinasi nilai pixel yang muncul pada suatu citra. Matrix GLCM dihitung dari nilai pixel yang berpasangan dan memiliki nilai intensitas tertentu. Misalkan d adalah jarak antara dua pixel yaitu (x1,y1) dan (x2,y2) dan Ѳ didefinisikan sebagai sudut antara keduanya, maka matrix GLCM merupakan distribusi spasial dari Pd Ѳ(i,j). Jarak dinyatakan dalam pixel dan orientasi dinyatakan dalam derajat. Orientasi dibentuk dalam empat arah sudut dengan interval sudut 45º, yaitu 0º, 45 º, 90 º, dan 135 º.

Beberapa fitur statistik pada GLCM diantaranya energy atau Angular Second Moment (ASM) digunakan untuk mengukur keseragaman tekstur dari suatu objek, menghighlight geometri dan kemenerusan lapisan. Entropy digunakan untuk mengukur ketidakteraturan atau kompleksitas dari suatu objek. Contrast menunjukkan variasi pasangan keabuan pada sebuah citra. Homogeneity atau Inverse Difference Moment digunakan untuk mengukur keseragaman dari suatu objek. Dissimilarity untuk menghitung nilai ketidakmiripan suatu tekstur. Persamaan untuk mengukur nilai masing-masing dapat dilihat pada persamaan 2.5, 2.6, 2.7, 2.8, 2.9.

(2.5)

(2.6)

(2.7)

(2.8)

(14)

2.5. Jaringan Saraf Tiruan (JST)

Jaringan saraf tiruan merupakan sistem yang memiliki komputasi dengan kesamaan tertentu dengan cara kerja sistem saraf manusia. JST mengadaptasi cara kerja sistem saraf manusia dengan beberapa asumsi yaitu sebagai berikut (Darmawan, 2010).

1. Unit pemroses informasi disebut dengan neuron.

2. Sinyal ditransmisikan antar neuron melalui penghubung (sinapsis).

3. Setiap penghubung memiliki bobot dimana akan dilakukan operasi perkalian antara sinyal yang disalurkan dengan bobot.

4. Setiap neuron memiliki fungsi aktivasi yang memproses input sehingga menghasilkan output tertentu.

Komponen utama pada jaringan saraf tiruan adalah sebagai berikut.

1. Neuron

Neuron atau node merupakan tempat untuk memproses informasi. Setiap neuron akan menerima input, memproses input lalu menghasilkan sebuah output (Purnamasari, 2013).

2. Bobot

Bobot atau weight merupakan nilai yang merepresentasikan koneksi antar neuron (Purnamasari, 2013). Pada setiap penghubung akan dilakukan operasi perkalian bobot dengan sinyal yang melewati penghubung tersebut.

3. Fungsi Aktivasi

(15)

Gambar 2.7. Fungsi Aktivasi Neuron (Negnevitsky, 2005)

Step function dan sign function disebut sebagai fungsi pembatasan kasar yang digunakan secara umum pada permasalahan klasifikasi dan pengenalan pola. Sigmoid function digunakan pada jaringan propagasi balik dan dapat mengubah input yang memiliki jangkauan nilai [-∞, ∞] menjadi output dengan jangkauan nilai [0.0, 1.0]. Linear activation function digunakan pada pendekatan linear dan dapat menghasilkan output yang sama dengan input yang diterima oleh neuron.

4. Layer

Layer merupakan lapisan pada JST. Pada arsitektur JST terdapat dua tipe layer yaitu jaringan layer tunggal dan jaringan layer jamak. Jaringan layer tunggal terdiri dari lapisan input dan output. Sementara jaringan layer jamak terdiri dari lapisan input, output dan lapisan tersembunyi yang terletak di antara lapisan input dan output.

(16)

2.6.Backpropagation

Backpropagation merupakan salah satu metode pelatihan jaringan saraf tiruan yang terawasi (supervised learning) yang melakukan pengubahan bobot-bobot penghubung antarneuron pada lapisan tersembunyi (Priyani, 2009). Backpropagation berusaha menyeimbangkan kemampuan jaringan dalam mengenali pola selama waktu pelatihan dan melatih jaringan agar menghasilkan output yang benar berdasarkan pola masukan yang tidak sama dengan pola yang dipakai pada saat pelatihan (Purnamasari, 2013).

Metode backpropagation terdiri atas dua fase , yaitu fase perambatan maju (feedforward) dan fase arah mundur (backward). Metode backpropagation melakukan pengubahan nilai bobot-bobot pada fase arah mundur dengan menggunakan error output. Fase perambatan maju harus dilalui terlebih dahulu untuk dapat memperoleh nilai output tersebut. Pada fase perambatan maju, setiap neuron diaktifkan oleh fungsi aktivasi (Priyani, 2009).

Arsitektur backpropagation dapat dilihat pada Gambar 2.8.

(17)

Berikut adalah algoritma backpropagation untuk jaringan dengan satu layer tersembunyi dengan fungsi aktivasi yang digunakan adalah sigmoid biner (Purnamasari, 2013).

Langkah 0 : Inisialisasi semua bobot (gunakan bilangan kecil secara acak). Langkah 1 : Jika belum terdapat kondisi untuk berhenti, lakukan langkah 2-9. Langkah 2 : Lakukan langkah 3-8 untuk setiap pasang data pelatihan.

Fase I : Propagasi Maju (feed forward)

Langkah 3: Tiap unit masukan menerima sinyal dan meneruskan sinyal tersebut ke unit selanjutnya (lapisan tersembunyi).

Langkah 4: Hitung semua keluaran di unit tersembunyi (j = 1, 2, ..., p)

(2.10)

(2.11)

Langkah 5: Hitung seluruh output jaringan pada unit ( k = 1,2,…, m).

(2.12)

(2.13)

Fase II: Propagasi Mundur (backward)

Langkah 6: Hitung faktor ∂ unit keluaran berdasarkan kesalahan di setiap unit keluaran ( k = 1,2,…, m).

(18)

� merupakan unit kesalahan yang digunakan untuk mengubah bobot layer pada langkah selanjutnya (langkah 7).

Kemudian hitung suku perubahan bobot (yang akan digunakan untuk memperoleh bobot yang baru) dengan learning rate menggunakan persamaan 2.14.

(2.15)

Langkah 7: Hitung faktor ∂ unit tersembunyi berdasarkan kesalahan di setiap unit tersembunyi (j = 1, 2, ..., p)

(2.16) Faktor ∂ unit tersembunyi

(2.17)

Hitung suku perubahan bobot � (yang dipakai nanti untuk mengubah bobot � )

(2.18)

Fase III: Perubahan Bobot

Langkah 8: Hitung semua perubahan bobot.

Perubahan bobot pada unit keluaran ditunjukkan pada persamaan 2.18.

(2.19)

Perubahan bobot menuju unit tersembunyi ditunjukkan pada persamaan 2.18.

(19)

sigmoid biner. Apabila dilakukan penggantian fungsi aktivasi, maka persamaan 2.11 dan persamaan 2.13 harus disesuaikan. Penggantian fungsi aktivasi akan mempengaruhi output yang akan dihasilkan, oleh karena itu langkah selanjutnya (langkah 6 dan langkah 7) harus disesuaikan.

2.7. Penelitian Terdahulu

Penelitian dengan memanfaatkan fundus retina dari kamera fundus sebelumnya sudah diterapkan dalam mengidentifikasi retinoblastoma dengan menggunakan Gaussian Filter, Fast Fourier Transform, kemudian dilakukan Log Transform untuk mengkompres light pixels image (Balasundari et al., 2016 ). Selain itu penelitian juga pernah dilakukan melalui citra iris mata dengan menggunakan metode wavelet transform setelah sebelumnya dilakukan preprocessing image enhancement median filtering. Selanjutnya dilakukan histogram equalization dan thresholding untuk membedakan mata yang terkena kanker dan yang tidak terkena kanker (Gupta et al., 2015).

Penelitian berikutnya yaitu mendeteksi adanya leukocoria melalui sejumlah gambar yang diambil melalui camera handphone. Deteksi dilakukan melalui iris mata dengan menggunakan convolutional neural network tanpa adanya proses preprocessing dari citra digital mata ( kecuali rescaling). Penelitian ini memberikan hasil yang cukup akurat dengan hanya menggunakan learning process (Henning et al., 2014) .

(20)

Penelitian dengan menerapkan algoritma propagasi balik seperti yang akan penulis lakukan pada penelitian ini sebelumnya sudah dilakukan pada pendeteksian ganguan lambung (Priyani, 2009).

Penelitian terdahulu yang telah penulis paparkan akan diuraikan secara singkat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No Peneliti Judul Penelitian Tahun Metode

1 Perea et al. Finding the smallest circle

3 Gupta et al. Finding Retinoblastoma Cancer Using Image Processing dengan Syaraf Tiruan Propagasi Balik

(21)

Gambar

Gambar 2.1. Gejala leukocoria pada anak penderita RB (Abramson,
Gambar 2.3. Fundus retina dengan Retinoblastoma.
Gambar 2.4.
Gambar 2.5 Citra Grayscale
+5

Referensi

Dokumen terkait

Hasil tersebut juga menunjukkan bahwa kadar phospat IPAL RSUD Kelet belum memenuhi standar untuk dibuang ke badan air, karena kadar phospat masih tinggi pada titik pertama sampai

Hasil penelitian ini adalah sebuah purwarupa yang berbentuk aplikasi yang dapat melakukan identifikasi presensi kehadiran yang memanfaatkan chip pada e-KTP sebagai

lembaga atau yayasan yang dapat memberikan anak berkebutuhan khusus seperti. anak tunanetra sebuah pelatihan

20 TUJUAN SISTEM MANAJEMEN INFORMASI REGULASI UPAYA KESEHATAN PERORANGAN & MASYARAKAT PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SUMBER DAYA MANUSIA PEMBIAYAAN FARMASI, ALKES, MAKANAN.

Dalam sistem informasi eksekutif ini menghasilkan suatu sistem yang memberikan kemudahan dalam penyediaan informasi yang dibutuhkan oleh pihak eksekutif dengan output berupa

Selanjutnya bagian yang kedua adalah persepsi responden dimana didalamnya terdapat 5 dimensi dan terdiri dari beberapa atribut untuk mengetahui pendapat tentang seberapa

Dari hasil ekstrak kental metanol buah kapulaga (Amomum cardamomum Willd.) sebanyak 20,10 g dilakukan partisi menggunakan corong pisah dengan pelarut berturut-turut

Under CC, we are given an approval election E = ( C, V ), a committee size k , and our goal is to find a committee of size k such that as many voters as possible approve at least one