BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Citra Digital
Secara harafiah, citra (image) adalah gambar pada bidang dua dimensi.
Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi kontinu dari
intensitas cahaya pada bidang dua dimensi.sumber cahaya menerangi objek, objek
memantulkan kembali sebagian dari berkas cahaya tersebut.pemantulan cahaya ini
ditangkap oleh alat-alat optik, misalnya mata pada manusia, kamera, pemindai
(scanner), dan sebagainya, sehingga bayangan objek yang disebut citra tersebut
terekam (Munir, 2004)
Citra beraras keabuan adalah citra yang hanya menggunakan tingkat warna
abu-abu. Warna abu-abu adalah salah satunya warna pada RGB dengan komponen
merah, hijau dan biru mempunyai intesitas sama. Pada citra aras keabuan hanya
perlu dinyatakan nilai intansitas untuk setiap piksel sebagai nilai tunggal,
sedangkan pada citra warna perlu tiga nilai intensitas untuk setiap pikselnya.
Intesitas citra beraras keabuan disimpan sebai inyeger 8 bit sehingga memberikan
28 = 256 tingkat keabuan dari warna hitam sampai putih. Dengan menggunakan
pola 8 bit ini citra beraras keabuan membutuhkan ruang memori, disc, dan waktu
pengolahan yang lebih sedikit daripada citra berwarna (RGB) (Ibrahim, 2004)
2.1.1 Citra Analog
Citra analog adalah citra yang bersifat kontinu, seperti gambar pada monitor
televisi, foto sinar-X, foto yang tercetak dikertas foto, dan lain sebagainya. Citra
analog tidak dapat direpresentasikan dalam komputer sehingga tidak bisa diproses
di komputer secara langsung. Agar citra ini dapat diproses di komputer, proses
2.1.2 Citra Digital
Citra digital adalah citra yang bersifat diskrit yang dapat diolah oleh komputer
yang merupakan suatu array dari bilangan yang merepresentasikan intensitas
terang pada point yang bervariasi (pixel). Citra ini dapat dihasilkan melalui
kamera digital dan scanner ataupun citra yang telah mengalami proses digitalisasi.
Citra digital disimpan juga secara khusus di dalam file 24 bit atau 8 bit. Citra 24
bit menyediakan lebih banyak ruang untuk menyembunyikan informasi (Sutoyo,
2009).
2.1.3 Jenis - Jenis Citra Digital
Berdasarkan warna – warna penyusunannyan, citra digital dapat dibagi menjadi
tiga macam (Wildan, 2010) yaitu:
1. Citra Biner
Citra biner adalah citra yang hanya memiliki 2 warna, yaitu hitam dan putih. Oleh
karena itu, setiap pixel pada citra biner cukup direpresentasikan dengan 1 bit.
(a) (b)
Gambar 2.1 (a) Citra biner; (b) Representasi citra biner
Alasan penggunaan citra biner adalah karena citra biner memiliki sejumlah
keuntungan sebagai berikut:
a. Kebutuhan memori kecil karena nilai derajat keabuan hanya membutuhkan
representasi 1 bit.
b. Waktu pemrosesan lebih cepat di bandingkan dengan citra hitam – putih
2. Citra Grayscale
Citra grayscale adalah citra yang nilai pixel-nya merepresentasikan derajat
keabuan atau intensitas warna putih. Nilai intensitas paling rendah
merepresentasikan warna hitam dan nilai intensitas paling tinggi
merepresentasikan warna putih. Pada umumnya citra grayscale memiliki
kedalaman pixel 8 bit (256 derajat keabuan), tetapi ada juga citra grayscale yang
kedalaman pixel-nya bukan 8 bit, misalnya 16 bit untuk penggunaan yang
memerlukan ketelitian tinggi. Gambar 2.1 (a) adalah contoh citra grayscale.
3. Citra Warna
Citra warna adalah citra yang nilai pixel-nya merepresentasikan warna tertentu.
Setiap pixel pada citra warna memiliki warna yang merupakan kombinasi dari tiga
warna dasar RGB (red, green, blue). Setiap warna dasar menggunakan
penyimpanan 8 bit = 1 byte, yang berarti setiap warna mempunyai gradasi
sebanyak 255 warna. Berarti setiap pixel mempunyai kombinasi warna sebanyak
28.28.28 = 224 = 16 juta warna lebih. Itulah yang menjadikan alasan format ini
disebut dengan true color karena mempunyai jumlah warna yang cukup besar
sehingga bisa dikatakan hampir mencakup semua warna di alam. Gambar 2.2 (b)
adalah contoh citra warna.
(a) (b)
2.2 Pengolahan Citra
Meskipun citra kaya informasi, namun sringkali citra yang kita miliki
mengalami penurunan mutu (degradasi), misalnya mengalami cacat atau derau
(noise), warna terlalu kontras, kurang tajam, kabur (Blurring), dan sebagainya.
Tentu saja citra semacam ini menjadi lebih sulit diinterpretasi karena informasi
yang disampaikan oleh citra tersebut menjadi kurang. Agar citra yang mengalami
gangguan muda diinterpretasi baik oleh manusia maupun mesin, maka citra
tersebut perlu dimanipulasi menjadi citra lain yang kualitasnya lebih baik. Bidang
studi yang menyangkut hal ini adalah pengolahan citra (Image processing).
Pengolahan citra adalah proses citra, khususnya dengan menggunakan
komputer, menjadi citra yang kualitasnya lebih baik. (Munir, 2004).
2.3 Deteksi Tepi
Secara umum tepi dapat didefinisikan sebagai batas antara dua region (dua
piksel yang saling berdekatan) yang memiliki perbedaan yang tajam atau tinggi.
(Febriani, 2008). Tepi dapat diorientasikan dengan suatu arah, dan arah ini
berbeda-beda, tergantung dari perubahan intensitas.
Deteksi Tepi adalah proses untuk menemukan perubahan intensitas yang
berbeda nyata dalam sebuah bidang citra. Sebuah operator deteksi tepi merupakan
operasi bertanngga, yaitu sebuah operasi yang memodifikasi nilai keabuan sebua
titik yang ada di sekitarnya (tetangganya) yang masing-masing mempunyai bobot
tersendiri. (Sutoyo, 2009)
Deteksi tepi merupakan langkah pertama untuk melingkupi informasi didalam
citra. Tepi mencirikan batas-batas objek dan karena itu tepi berguna untuk proses
segmentasi dan identifikasi objek di dalam citra. Deteksi tepi pada suatu citra
memiliki tujuan sebgai berikut (Sigit,2005):
1. Menandai bagian yang menjadi detail citra
2.3.1 Metode Deteksi Tepi 2.3.1.1Metode Sobel
Metode deteksi tepi Sobel menggunakkan dua buah kernel yang berukuran
3x3 piksel untuk perhitungan Gradien sehingga perkiraan gradien berada tepat di
tengah jendela.(Sutoyo dkk, 2009).
Besaran gradien yang dihitung menggunakan operator sobel adalah sebagai
berikut.
� =���2 +�
�2
dengan. G = besaran Gradien Operator
�� = gradien Sobel arah horizontal �� = gradien Sobel arah vertikal
Dimana G merupakan besaran gradien di titik tengah kernel dan persamaan parsial
dihitung menggunakan persamaan berikut. �� = (�2+��3+�4)−(�0+��7+�6) �� = (�0+��1+�2)−(�6+��5+�4)
Di mana c adalah konstanta yang bernilai 2. �� dan �� diimplementasikan menjadi
�� = �� =
2.3.1.2Metode Roberts
Metode deteksi tepi Roberts adalah deteksi tepi yang berbasis gradien yang
menggunakkan duah buah kernel yang berukuran 2x2 piksel. Deteksi tepi ini
mengambil arah diagonal untuk penentuan arah dalam penghitungan nilai gradien,
sehingga sering disebut operator silang. (Sutoyo dkk, 2009).
Perhitungan gradien dalam deteksi tepi Roberts adalah sebagi berikut.
� = ���2+�
�2
Dengan G = besaran gradien deteksi tepi Roberts ��= gradien Roberts arah horizontal
��= ��=
Sebenarnya, metode Roberts dalam mendeteksi tepi menghasilkan citra yang
kurang memuaskan. Mungkin dikarenakan kernel yang digunakan berukuran 2x2
piksel dan penghitungan gradien hanya mengambil arah diagonal.
2.3.1.3Metode Prewitt
Metode ini menggunakan persamaan yang sama dengan operator Sobel, hanya
saja konstanta c yang digunakan bernilai 1 sehingga bentuk kernel dari metode
Prewitt adalah. (Sutoyo dkk, 2009)
��= ��=
Berbeda dengan Sobel, metode Prewitt tidak menekankna pembonotan pada
piksel-piksel yang lebih dekat dengan titik pusat kernel.
2.4 Penipisan Citra (Image Thinning)
Operasi penipisan citra (image thinning) bertujuan untuk menguruskan objek
dalam citra. Thinning dari himpunan A dengan elemen penstruktur B
didefinisikan sebagai berikut. (Sutoyo dkk, 2009).
� ⊗ � =� −(� ∗ �) =�⋂(� ∗ �)�
Proses penipisan digunakan untuk mengekstraksi ciri daun suatu objek dengan
mengambil rangka setebal satu piksel dari citra, dengan membuang titik-titik atau
lapisan terluar dari citra sampai semua garis atau kurva hanya setebal satu piksel.
2.5 Pengenalan Pola (pettern recognition)
Pengenalan Pola merupakan proses pengenalan suatu objek dengan
menggunakan berbagai metode. Teknik penocokan pola adalah salah satu teknik
dalam pengolahan citra digital yang berfungsi untuk tiap-tiap bagian dengan citra
Metode pencocokan pola adalah salah satu teknik metode terapan dari teknik
konvolusi. Teknik konvolusi dalam penelitian ini dilakukan dengan
mengkombinasikan citra daun masukkan dengan citra daun acuan, sehingga akan
didapatkan nilai koefesien korelasi yang besarnya antara -1 dan +1. Saat koefesien
korelasi mendekati +1, bisa dikatakan citra masukkan semakin sama (mirip)
dengan acuannya. Rumus yang digunakan adalah:
�= ∑ ∑ ���� − �̅�(��� − ��)
r : Koefesien Korelasi
x : Citra acuan (template)
�̅ : Nilai rata-rata citra acuan �� : Nilai rata-rata citra masukkan
y : Citra masukkan
M,N : Jumlah citra piksel citra
2.6 Tumbuhan Karet
Tumbuhan Karet (Hevea brasiliensis Muel.-Arg) berasal dari Brazilia,
Amerika Selatan, mulai dibudidayakan di Sumatera Utara pada tahun 1903 dan di
Jawa pada tahun 1906. Tanaman ini berasal dari sedikit semai yang dikirim dari
Inggris ke Bogor pada tahun 1876, sedangkan semai-semai tersebut berasal dari
biji karet yang dikumpulkan oleh H. A. Wickman, kewarganegaraan Inggris, dari
wilayah antara Sungai Tapajoz dan Sungai Medeira di tengah Lembah Amazon.
(Semangun, 2000).
Saat ini tumbuhan karet telah banyak di tanam untuk diambil getahnya. Getah
tunaman karet atau biasa disebut lateks banyak digunakan untuk untuk di proses
menadi berbagai macam benda. Selain getah, tentunya batang tanaman karet juga
dapat di manfaatkan untuk diolah menjadi berbagai benda yang tentunya
bermanfaat, salah satunya dapat dibuat menjadi pintu rumah, jendela, dan lain
Hasil dari tumbuhan karet banyak pergunakan untuk berbagai kebutuhan
manusia, diantaranya adalah ban kendaraan. Hal inilah yang menjadi faktor
pendukung dilakukan penanaman tanaman karet dalam jumlah yang banyak.
Seiring dengan perkembangan teknologi, saat ini telah banyak dikembangkan
berbagi jenis (klon) tanaman karet. Namun, dari berbagai jenis (klon) yang telah
ditemukan tentu tidak semua mampu memproduksi getah yang maksimal. Hal
inilah yang menjadi faktor pendukung dikembangkannya penelitain pada tanaman
karet. Penelitian banyak dilakukan pada upayah meningkatkan produksi getah
secara maksimal.
Berdasarkan data dari Balai penelitian Sungei Putih Pusat Penelitian Karet, saat
ini terdapat 14 jenis (klon) yang menjadi anjuran untuk medapatkan produksi
getah maksimal. Jenis (klon) tanaman karet yang menjadi anjuran tentunya
memiliki sepsifikasi yang berfariasi baik itu jumlah produksi getah maupun
ukuran batang. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu diantaranya
adalah ketinggian dataran tempan penanaman dari permukaan laut. Jenis (klon)
tanam karet yang menjadi anjuran beserta potensi produksi dari setiap jenis (klon)
dapat di lihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jenis (klon) Tanaman Karet Anjuran
No
Jenis (klon)
Produksi Komulatif (kg/ha) Rataan
(kg/ha/th) 5 th 10 th 15 th
Klon penghasil getah (lateks)
1 IRR 104 9938 21860 41240 2083
2 IRR 112 10973 21770 32242 2149
3 IRR 118 9856 19985 30860 2057
4 IRR 220 10511 20086 32865 2191
6 PB 260 9989 21996 30946 2063
7 PB 330 9699 19306 29180 1945
8 PB 340 10900 19220 30074 2005
Klon penghasil getah (lateks) dan kayu
9 IRR 5 8046 18370 30986 2066
10 IRR 39 7273 15485 28862 1924
11 IRR 42 8488 15924 29700 1980
12 IRR 107 9080 17370 31422 2095
13 IRR 119 8350 16870 30085 2006
14 RRIC 100 6690 21010 29963 1998
Dari Tabel 2.1 terlihat bahwa jenis (klon) unggul tanaman karet dapat di
kelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu jenis (klon) yang hanya menghasilkan getah
(lateks) dan jenis (klon) yang menghasilkan geta (lateks) beserta kayu.
2.7 Daun
Daun adalah organ-organ khusus yang mempunyai fungsi sebagai tempat
proses fotosintesis, dalam pengertian ini dapat disebutkan bahwa daun merupakan
bagian tanaman yangmempunyai fungsi sangat penting. Karena semua fungsi
yang lain sangat tergantung pada daun secara langsung ataupun tidak langsung.
(Heddy, 1987).
Daun adalah organ fotosintesis utama bagi tumbuhan, meskipun batang yang
berwarna hijau juga melakukan fotosintesis. Bentuk daun sangat bervariasi,
namun pada umumnya terdiri dari suatu helai daun (blade) dan tangkai daun.
Pada tanaman karet, sekilas terlihat bahwa daun tanaman karet tidak memiliki
beberapa perbedaan bentuk tepi pada daun karet. Hal inilah yang mendorong
penulis untuk melakukan penelitian ini.
(a) (b)
Gambar 2.2 (a) gambar jenis (klon) IRR 105. (b) gambar jenis (klon) PB 340
Pada Gambar 2,2 terlihat pada helai daun kedua (tengah) antara jenis (klon)
IRR 115 dengan jenis (klon) PB 340 memiliki sedikit perbedaan, yaitu dari bentuk
tepi daun jenis (klon) IRR 105 lebih melengkung dibanding dengan jenis (klon)
Pb 340 dan juga jenis (klon) IRR 105 memiliki sisi yang lebih tajam pada ujung