• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI

ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI

A. Aspek Hukum Tindakan Penyadapan

Tindak Pidana korupsi saat ini merupakan salah satu kejahatan yang menjadi sorotan utama di Indonesia. Berbagai peraturan dan tindakan hukum dilakukan untuk mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsi tersebut. Munculnya lembaga independen yang berkonsentrasi dalam memberantas tindak pidana korupsi menjadi satu tanda bahwa pemerintah telah melakukan suatu tindakan nyata untuk memberantas korupsi termaksud. Upaya pemberantasan korupsi sebagai salah satu kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara ini tentu saja memerlukan metode penegakan hukum yang luar biasa,. Oleh karena itu, telah dibentuk badan khusus yang kemudian dikenal dengan nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat mandiri, independen dan bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi ini, yang pelaksanaannya harus dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.

Pencegahan atau upaya preventif terhadap kejahatan merupakan bagian dari politik kriminal, sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum45

45

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 113.

. Oleh karena itu sangatlah penting membangun moral yang kokoh walaupun tetap dapat membuka jalan terjadinya

(2)

kejahatan46

Setiap tindakan yang dibuat oleh penyidik harus memiliki dasar hukum dan pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan, begitu pula dengan KPK yang memiliki kewenangan tertentu dalam menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia. Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum dan pertimbangan, antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang KPK mengatur

tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya penyadapan adalah telah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walaupun KPK secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan, tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, dalam hal ini

. Saat ini, telah ada sebuah lembaga independen yang dibuat berdasarkan undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut KPK), yang dilandasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang KPK). KPK, dalam perkembangannya telah berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia.

46

J.E. Sahetapi, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Bandung, 1993, hal. 12. Catatan pada halaman ini kalimat panjang

(3)

harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan penyadapan.

Pro dan kontra atas kewenangan KPK pun telah sering diperdebatkan, walaupun pada akhirnya sampai pada simpulan bahwa terhadap kasus korupsi selain penyidik polisi dan jaksa, diakui pula berdasarkan undang-undang di atas adanya KPK yang bertindak sebagai penyidik. Pada proses penyidikan terhadap kasus korupsi oleh KPK ini, juga harus tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Sebelum adanya penyidikan, tentu saja KPK pun harus mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang kuat bahwa kasus yang dihadapi benar-benar merupakan kasus korupsi, oleh karenanya KPK tidak diberi kewenangan untuk mengeluarkan Surat Penghentian Penyelidikan Perkara (SP3). Ada berbagai cara yang telah dilakukan KPK untuk mendapatkan bukti atas suatu kasus korupsi ini, antara lain melalui tindakan penyadapan telepon/komunikasi yang mana hasil penyadapan tersebut dijadikan bukti pada peradilan pidana kasus korupsi itu.

Menurut Penjelasan UU ITE, Pasal 31 disebutkan bahwa :

“Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

(4)

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy, atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Selain itu, yang dimaksud dengan sistem elektronik menurut pasal 1 angka 5 adalah serangkaian perangkat atau prosedur elektronik yang berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan, mengumumkan, mengirimkanda/atau menyebarkan informasi elektronik. Dengan demikian, tindakan penyadapan yang dilakukan telah oleh KPK, seperti pada penyadapan percakapan Artalyta dengan pejabat Kejaksaan Agung merupakan tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 31 UU ITE di atas.

Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, yang dimaksud dengan penyadapan informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan

(5)

pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut.

KPK dalam kinerjanya telah menggunakan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi yang juga tidak menutup kemungkinan terdapat tindak pidana lainnya seperti tindak pidana penyuapan sebagaimana telah terjadi pada kasus Artalyta. Ada yang berpendapat bahwa interception atau penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hak privasi individu sebagai bagian dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang. Pendapat tersebut didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumahtangganya dan surat-menyuratnya. Selanjutnya pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau korespondensinya. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, begitu pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menegaskan hal yang sama. Berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan No. 006/PUUI/ 2003 tentang pengujian konstitusionalitas Undang-Undang KPK,

(6)

dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hak-hak yang terdapat dalam Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28J ayat (2). Pembatasan itu diperlukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas kepada mereka yang diduga terlibat korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.0000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 huruf C juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK. Namun demikian, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan dalam penyadapan dan perekaman, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud.

Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KPK sama sekali tidak berhubungan dengan pengurangan hak warga negara untuk mendapatkan rasa aman. Prinsipnya, penyadapan diperbolehkan sebagai bagian dari tindakan penyidikan yang dilakukan oleh aparat penyidik. terhadap suatu tindak pidana. Belum adanya aturan yang jelas bukan berarti Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK menjadi bertentangan dengan konstitusi, karena persoalan sesungguhnya terletak pada impelementasi prosedur dan tata cara penyadapan dan perekaman.

(7)

Apalagi KPK telah membuat aturan internal yang berkaitan dengan penyadapan dan perekaman.

Penyadapan dan perekaman dilakukan untuk menemukan bukti dalam rangka membuat terang suatu peristiwa pidana atau bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harafiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model dalam sistem peradilan pidana,

bewijsvoering ini cukup mendapatkan perhatian47. Pada due process model, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka), sehingga seringkali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan karena alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut dengan istilah

unlawful legal evidence48

47

Due Process Model oleh Herbert L. Packer seperti yang telah diutarakan di atas dapatlah dikatakan mendominasi sistem peradilan pidana di Amerika. Bahkan pada suatu titik yang paling ekstrim, ketika seorang polisi menangkap tersangka dan ia lupa membacakan hak-hak tersangka yang dikenal dengan istilah Miranda Warning, memberi konsekuensi tersangka dapat dilepaskan.

48

Eddy O.S Hiariej, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2008, hal.37

Catatan : dari buku mana sdr kutip

. Bewijsvoering lebih menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formilistis sehingga mengesampingkan kebenaran dan fakta yang ada. Berbeda dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun tidak sepenuhnya, namun paling tidak didominasi oleh crime control model dalam beracara, dalam hal ini teknis penyelidikan dan penyidikan dalam rangka menemukan tersangka dan barang serta alat bukti dapat menyimpang ketentuan umum yang diatur oleh KUHAP selama ada undang-undang khusus yang mengatur tentang itu. Pada proses pengungkapan kasus korupsi, penyelidikan dan

(8)

penyidikan secara khusus seperti penyadapan dan perekaman pembicaraan dapat dibenarkan, sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai unlawful legal evidence karena sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Selain itu, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun, kecuali untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Selanjutnya pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penyad`apan merupakan tindakan yang sah secara hukum, dengan mendasarkan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK menyebutkan bahwa dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan

(9)

penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia pada perkara luar biasa (extra ordinary cases), termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan.

B. Mekanisme Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tindakan penyadapan dapat dilakukan dengan mengacu pada dua standar internasional yaitu :49

1. European Telecommunications Standards Institute (ETSI),

berasal dari Perancis yang telah diakui dunia internasional.

2. Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea),

berasal dari Amerika.

Interception menurut ETSI merupakan kegiatan penyadapan yang sah

menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/akses provider/service

provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap digunakan untuk

kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum.

Sementara itu, Di Eropa maupun Amerika, persyaratan terperinci dalam pelaksanaan penyadapan berbeda antar satu yuridiksi dengan yuridiksi lainnya, tetapi dalam pelaksanaan penyadapan itu terdapat satu persyaratan umum yang sama, bahwa sistem penyadapan yang disediakan harus melaksanakan pemotongan pada prosesnya dan pokok materi harus tidak sadar atau tidak terpengaruh selama aksi pemotongan ini.

49

Penyadapan Secara Sah Menurut Hukum

(10)

Teknik yang digunakan dalam implementasi penyadapan ini adalah penyadapan aktif dan penyadapan semi aktif. Penyadapan aktif yaitu penyadapan yang dilakukan secara langsung, sedangkan penyadapan semi aktif serta penyadapan pasif adalah penyadapan yang dilakukan secara tidak langsung. Namun demikian, secara teknis kebanyakan penyadapan yang dilakukan adalah dengan mengimplementasikan penggabungan teknis aktif dan pasif. Di Indonesia, penyadapan ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006. Tanggal 22 Februari 2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Begitu pula dengan KPK, pada prakteknya, melakukan penyadapan berdasarkan pada mekanisme yang telah ditentukan, antara lain dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor 11 Tahun 2006 di atas.

Pada dasarnya, tindakan penyadapan yang dilakukan KPK didasarkan pada asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3 Peraturan menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/ 2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, dikatakan bahwa penyadapan terhadap informasi dianggap (lawful interception) apabila dilaksanakan untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan terhadap suatu peristiwa tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh KPK sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 huruf (a)

(11)

Undang-Undang KPK, melalui alat dan/atau perangkat penyadapan informasi. Alat dan/atau perangkat tersebut meliputi penyadap antar muka (interface)

penyadapan, pusat pemantauan (monitoring centre) dan sarana serta prasarana transmisi penghubung (link transmission).

Konfigurasi teknis alat dan/atau perangkat penyadapan di atas harus sesuai dengan standar internasional, dalam hal ini European Telecommunications Standards Institute (ETSI) dan Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea). Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan penyadapan termasuk oleh KPK untuk kepentingan penyidikan kasus korupsi, antara lain :

1. KPK harus mengirim identifikasi sasaran kepada penyelenggara telekomunikasi baik secara elektronis maupun non elektronis;

2. Penyadapan terhadap telekomunikasi harus dilakukan oleh KPK sesuai dengan Standar Operasional Prosedur penyadapan yang telah ditentukan dengan tidak mengganggu kelancaran telekomunikasi dan pengguna telekomunikasi serta harus dilaporkan oleh KPK kepada Direktorat Jenderal Pos dan telekomunikasi.

3. Penyelenggara telekomunikasi wajib membantu KPK dalam melakukan penyadapan secara sah menurut hukum dengan mempersiapkan kapasitas paling banyak 2% dari yang terdaftar dalam Home Location Register (HLR) untuk seluler dan paling banyak 2% dari kapasitas terpasang untuk setiap sentral lokal Public Switch Telepone Network (PSTN).

(12)

4. Untuk menjamin transparansi dan independensi dalam penyadapan, maka dibentuk tim pengawas terdiri dari direktorat jenderal pos dan telekomunikasi, KPK dan penyelenggara telekomunikasi yang bersangkutan, dengan tugas dan kewenangan sesuai surat perintah yang dibawa KPK.

5. Informasi yang diperoleh dari penyadapan bersifat rahasia, sehingga tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan atau disebarluaskan dengan cara apapun, kecuali oleh KPK sesuai ketentuan hukum yang berlaku dalam upaya mengungkap suatu tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi.

6. Biaya atas alat dan/atau perangkat penyadapan informasi ditanggung oleh KPK, sedangkan biaya atas kapasistas rekaman berupa HLR dan PSTN ditanggung oleh penyelenggara telekomunikasi.

Demikian mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh KPK dalam mengungkap kasus korupsi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang KPK serta Peraturan menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi.

Catan : pada Bab ini sdr menguraikan aspek hukum penyadapan untuk dijadikan bukti dan mekanisme penyadapan, sedangkan permasalahan pertama sdr tentang kewenangan KPK, oleh sesbab itu coba sdr lihat kembali apakah dapat menjawab prmaslahan pertama sdr.

Referensi

Dokumen terkait

2 Dalam penelitian ini, penulis melakukan penelitian langsung ke lapangan yaitu di BMT Mubarakah Undaan Lor Kudus untuk mendapatkan data yang konkret mengenai risiko

Dengan adanya penanganan dan pengolahan tomat yang baik, menggugah kami untuk menuangkan ide menciptakan produk baru yaitu makanan tradisional yang banyak digemari olah

Komunikasi Antara Suami Istri Dalam Penyelesaian Konflik Di Usia Pernikahan Di Bawah 5 Tahun dapat penulis susun dan selesai sebagai wujud pertanggung jawaban atas

Pendidikan Jiwa (al-Tarbiyah al-Nafs) adalah Suatu upaya untuk membina, medidik, memelihara, menjaga, membimbing dan membersihkan sisi dalam diri manusia (Jiwa)

Data-data yang diperoleh dari penelitian baik melalui pengamatan (observasi), wawancara, tes, atau dengan menggunakan metode yang lain kemudian diolah dengan analisis

Kemudian nilai yang ada pada variabel hslkrng ini dikurangi dengan bilangan 100, jika status carry flag-nya sama dengan low maka program akan lompat ke modul label2.. jika

menurut pengalaman bujukan yang paling cepat untuk mereka terima adalah bujukan dari teman pergaulannya. Oleh karena itu dibutuhkan perhatian dan pengawasan lebih dari

Realitas di masyarakat jelas menunjukkan bahwa manusia itu bermacam-macam. Masing-masing dari mereka memiliki karakteristik yang berbeda dari orang lain dalam