Daftar pustaka A. Buku
Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum. Jakarta: PT.Chandra Pratama, 2001.
Ali, Mahrus, Dasar-dasar Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Arifin, Syamsul, Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Indonesia, Jakarta: PT. Sofmedia, 2012.
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana,
Teori-Teori Pemidanaan & Batas Ber;akunua Hukum Pidana, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002.
Ediwarman, Penegakan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kriminologi,
Yogyakarta: Ghenta Publishin, 2014.
Ekaputra, Abul Khair, Sistem Pidana Di Dalam KUHP dan Pengaturannya
Menurut Konsep KUHP Baru, Medan: USU Press, 2010.
Endro, Gunardi, Redefenisi Bisnis Suatu Panggilan Etika Keutama Aristoteles,
Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo, 1999.
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana :
Perkembangan dan Penerapa, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada :
Jakarta, 2015.
Hamdan, M., Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan Hidup, Bandung: CV.
Mandar Maju, 2000.
Hamzah, Andi, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Jakarta: Ghalia
, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia,
Jakarta: Akademika Presindo, 1983.
Hebert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, California: Starford University
Press, 1968.
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya:
Bayu Media, 2007.
Lamintang, P.A.F., Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum,
Bandung: Bina Cipta, 1987.
, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung : Sinar Baru,
1984.
Marlina, Hukum Penitensir, Bandung: PT. Refika Aditama, 2011.
Mertokusumo, Sudkno, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 1999.
Mitchell, Bruce, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2000.
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002.
Mustafa Abdulah dan Ruben Achmad, Intisari Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1983.
Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Jakarta: PT. Pradnya Paramota, 1997.
Rahmadi, Takdir, Hukum Lingkungan di Indonesia, Jakarta: PT Rajagrafindo
Persada, 2012.
Sahetapy, J. E., Victimologi (Sebuah Bunga Rampai), Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1987.
Salim, Emil, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Jakarta: Mutiara Sumber
Widya, Cetakan 10, 1995.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: PT
Aksara Baru, 1983.
, Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1982.
Silalahi, Daud, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan
Indonesia, Edisi Revisi, Bandung: Alumni, 1996.
Sudarto. Hukum Pidana I, Semarang: FH UNDIP, 1988.
Supriadi, Hukum Lingkungan Indonesia : Sebuah Pengantar, Palu: Sinar Grafika,
2005.
Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahili Dalam Perkara Pidana
(TinjauanTerhadap Pasal 44 KUHP), 1986.
Syahrin, Alvi, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, Jakarta: PT.Soft
Medi, 2009.
Utrecht, E., Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Jakarta: PT. Ichtiar Baru,
1983.
B. Majalah Hukum
Syahrin, Alvi, “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pencemaran dan
atau Kerusakan Lingkungan”, Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar
Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana/Lingkungan pada Fakultas Hukum
USU, Medan, 2003.
Rajagukguk, Erman, “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era
Globalisasi : Implikasi Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia”, Pidato
Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta, 4 Januari 1997.
Tim Penyusun Pusat Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ke-3),
Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
C. Internet
Artikel, “Pengertian, Unsur-unsur Dan Jenis-jenis Tindak Pidana” http://
materimahasiswahukumindonesia.blogspot.co.id/2015/01/pengertianuns
urdan-jenis-jenis-tindak.html,
Fabian Januarius Kuwado, Berita, “Total Ada 218 Kasus Kebakaran Hutan
dengan 204 Orang Tersangka”, http://nasional.kompas.com/read/2015/
09/29/09543371/Total.Ada.218.Kasus.Kebakaran.Hutan.dengan.204.Or
ang.Tersangka, 2015.
Indra Nugraha, Berita, “Walhi: Berikut Korporasi-korporasi di Balik Kebakaran
Hutan dan Lahan itu”, http://www.mongabay.co.id/2015/10/06/berikut-
korporasi-korporasi-di-balik-kebakaran-hutan-dan-lahan-itu/, Jakarta,
Sri Lestari, Berita, “Dampak Kabut Asap Diperkirakan Capai Rp 200 Trilliun”,
www.bbc.com/Indonesia/berita_indonesia/2015/10/151026_indonesia-k
abutasap, 2015.
WALHI Jambi, Berita, "Pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan, 22 Januari 2016
www.walhi-jambi.com/2016/01/pelaku-pembakaran-hutan-dan-lahan-st
op.html?m=1/.
Wikipedia, Artikel, Modus Operandi, id.m.wikipedia.org/wiki/Modus_operandi.
Diakses pada tanggal 12 April 2016 Pukul 02:23 WIB.
Wikipedia, Artikel, Kerusakan Lingkungan, id.m.wikipedia.org/wiki/Kerusakan
_lingkungan. Diakses pada tanggal 10 April 2016 Pukul 13:13 WIB.
D. Putusan
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA MENGENAI TINDAK PIDANA PEMBAKARAN LAHAN
A. Pertanggungjawaban Pidana Mengenai Tindak Pidana Pembakaran Lahan
Manusia merupakan makhluk yang tidak akan dapat hidup sendiri, dan
tidak akan terlepas dari orang lain. setiap manusia, pasti akan berinteraksi atau
berhubungan dengan manusia lainnya. Manusia yang merupakan subjek hukum
pidana, juga tidak akan terlepas dari peristiwa hukum, yang merupakan hasil
interaksi antar subjek hukum. Akibat berbagai faktor, manusia yang merupakan
subjek hukum, tidak sedikit yang melakukan perbuatan pidana. Perbuatan pidana
tersebut dilakukan. Salah satu perbuatan pidana yang dilakukan adalah
pembakaran hutan, yang mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.
Moeljatno berpendapat, bahwa perbuatan pidana merupakan perbuatan
yang dilarang oleh suatu aturan hukum, dimana larangan tersebut disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar
larangan tersebut.42
R. Tresna dalam buku Adami Chazawi mendefinisikan perbuatan pidana
adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan
dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya, terhadap
perbuatan mana diadakan tidakan penghukuman.43 Selain itu, syarat-syarat yang
42 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 54.
43 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana (Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori
disebutkan oleh R. Tresna terkait peristiwa pidana adalah sebagai berikut :44
1. Harus ada perbuatan manusia.
2. Perbuatan tersebut harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum.
3. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya
harus dapat dipertanggungjawabkan.
4. Perbuatan tersebut harus berlawanan dengan hukum.
5. Terhadap perbuatan itu, harus tersedua ancaman hukumannya dalam
undang-undang.
Sudikno Mertokusumo mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.45 Pelaku yang
dimaksud oleh Sudikno adalah subjek hukum pidana, baik orang perseorangan,
maupun korporasi.
Dalam doktrin hukum pidana, konsep tindak pidana dan
pertanggungjawaban pidana terbagi menjadi dua bentuk doktrin, yaitu ajaran yang
memasukan pengertian pertanggungjawaban pidana ke dalam pengertian tindak
pidana atau yang dikenal dengan doktrin ajaran monoisme, dan ajaran yang
mengeluarkan secara tegas pengertian pertanggungjawaban pidana dari pengertian
tindak pidana atau yang dikenal dengan doktrin dualisme.46
Dalam ajaran monoisme, frasa kesengajaan, kealpaan, kemampuan
bertanggungjawab, pembuat bersalah, dapat dipersalahkan, dan dapat
44 Ibid
45 Sudkno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 1999), h. 91. 46
Hanafi Amrani dan Mahrus Ali, Sistem Pertanggungjawaban Pidana : Perkembangan
dipertanggungjawabkan dimasukan sebagai bagian dari pengertian tindak
pidana.47
Manusia sebagai subjek hukum harus mempertanggungjawabkan apa yang
telah diperbuatnya secara hukum. Apabila subjek hukum melakukan sebuah
perbuatan pidana, maka subjek hukum tersebut harus mempertanggungjawabkan
apa yang telah diperbuatnya secara hukum. Moeljatno mengatakan bahwa
hubungan antara perbuatan pidana dan kesalahan dinyatakan dengan hubungan
antara sifat melawan hukumnya.
Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana), apabila
dia tidak melakukan perbuatan pidana. Orang yang tidak dapat dipersalahkan
melanggar sesuatu perbuatan pidana tidak mungkin dikenakan pidana, sekalipun
banyak orang mengerti.48
Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada waktu
melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela. Perbuatan
tersebut juga tentunya akan dapat diketahui apakah perbuatan tersebut merupakan
sebuah kesengajaan, ataupun kealpaan.
Tindak pidana pembakaran lahan merupakan tindak pidana yang
berdampak langsung kepada kehidupan masyarakat. Problem utama tiap
masyarakat modern adalah bukan menginginkan perusahaan yang besar,
melainkan apa yang dapat diharapkan terhadap perusahaan besar tersebut.49
Menurut Erman Rajagukguk, pembangunan yang komprehensif harus
memperhatikan hak-hak asasi manusia. Keduanya tidak dalam posisi yang
47 Ibid. h. 13 48
berlawanan, dan dengan demikian pembangunan akan mampu menarik partisipasi
masyarakat.50
Beranjak pada argumen dari Erman Rajagukguk, tindak pidana merupakan
salah satu perbuatan yang tidak memperhatikan hak-hak asasi manusia. Bahkan
perbuatan tersebut dapat merugikan masyarakat sekitar. Sehingga, perbuatan
tersebut seharusnya diminta pertanggungjawabannya kepada pelaku pembakaran
lahan, baik pembakaran lahan karena kesengajaan, maupun karena kealpaan
seseorang.
Dalam hal pertanggungjawaban pidana, tidak hanya orang perorangan
yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan pidana yang
dilakukan. Korporasi merupakan salah satu subjek hukum, yang juga sama halnya
dengan orang perorangan. Korporasi yang memiliki sturktur organisasi yang jelas,
serta melakukan perbuatan hukum, apabila dalam tindakan yang dilakukan oleh
orang yang berada dalam struktur organisasi tersebut dan mengatas namakan
korporasi tersebut melakukan sebuah perbuatan pidana, maka korporasi tersebut
dapat dimintakan pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Korporasi dalam ruang geraknya dimaksudkan untuk memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat luas. Korporasi dapat melakukan suatu tindak
pidana melalui pejabat seniornya yang memiliki kedudukan dan kekuasaan untuk
berperan sebagai otak dari korporasi. Pejabat senior tersebut adalah mereka yang
mengendalikan korporasi, baik sendirian maupun bersama-sama dengan pejabat
50 Erman Rajagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi :
Implikasi Bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Dalam Bidang
senior yang lain, yang mencerminkan dan mewakili pikiran atau kehendak dari
korporasi.51
Berbeda dengan orang perseorangan dalam hal pertanggungjawaban
pidana. Korporasi tidak hanya menerima sanksi yang bersifat administratif
terhadap korporasi tersebut. akan tetapi, direksi dari sebuah korporasi yang
melakukan tindak pidana juga harus diminta pertanggungjawabannya. Pasal 98
ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas,
menjadi sebuah dasar hukum yang jelas bahwa direksi dari suatu perusahaan akan
dapat bertindak atas nama perusahaan atau korporasi, baik di dalam maupun di
luar pengadilan. Hal tersebut membuktikan, bahwa direksi yang harus
bertanggungjawab atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh korporasi tersebut.
Sama halnya dengan tindak pidana pembakaran lahan, baik lahan
perkebunan, lahan kehutanan, dan bentuk tindak pidana pengerusakan lingkungan
hidup lainnya, yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana adalah orang
perorangan dan korporasi atau badan usaha yang melakukan tindak pidana
pembakaran lahan tersebut. Pasal 116 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyebutkan :
(1) Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan
usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama
Dalam Pasal 119 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, perbedaan
pertanggungjawaban pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana
lingkungan hidup, maupun korporasi yang melakukan tindak pidana lingkungan
hidup seperti pembakaran lahan, adalah bahwa korporasi dapat menerima sanksi
pidana tambahan. Berbeda dengan orang perseorangan yang melakukan tindak
pidana pembakaran lahan, yang hanya menerima sanksi berupa pidana penjara,
kurungan dan/atau denda. Pidana tambahan menurut Pasal 119 Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2009 terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud di atas berupa :
1. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
2. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan
3. Perbaikan akibat tindak pidana
4. Perwajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau
5. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang
Perkebunan, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur tentang larangan perbuatan membakar
lahan, serta mengatur bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pelaku tindak
pidana pembakaran lahan, yang merupakan manifestasi dari bentuk
Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, pada Pasal 50 ayat (3)
huruf d berbunyi “setiap orang dilarang membakar hutan”. Kata setiap orang
dalam Pasal 50 ayat (3) tersebut, diartikan sebagai subjek hukum, baik
perseorangan maupun korporasi yang melakukan pembakaran hutan. Apabila
perbuatan tersebut dikarenakan adanya unsur kesengajaan dari pelaku, maka
berdasarkan Pasal 78 ayat (3) mengancam perbuatan tersebut dengan pidana
penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak 5 Milyar Rupiah.
Sedangkan apabila kebakaran lahan tersebut terjadi akibat kelalaian dari subjek
hukum, maka perbuatan tersebut berdasarkan Pasal 78 ayat (4) Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 mengancam pelaku tersebut dengan pidana penjara paling
lama 5 tahun, dan denda paling besar 1 Milyar 5 Ratus Juta Rupiah.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 69 ayat (1) huruf h berbunyi : ”setiap orang
dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar”. pelaku
pembukaan lahan dengan cara membakar lahan tersebut berdasarkan pasal 108
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 diancam dengan pidana penjara paling
singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun. Dan pidana denda paling sedikit 3
Milyar Rupiah, paling banyak 10 Milyar Rupiah.
Dalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan pada
Pasal 56 ayat (1) memuat larangan bagi setiap pelaku usaha perkebunan dilarang
membuka dan/atau mengelola lahan dengan cara membakar. Pada pasal 108
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014, mengancam perbuatan sebagaimana yang
10 Milyar Rupiah.
KUHP mengklasifikasikan tindakan yang menimbulkan kebakaran
kedalam bab kejahatan. Pasal 187 berbunyi :
“Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjur, diancam :
1. Dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang
2. Dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain
3. Dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati”
Berbagai bentuk aturan, larangan dan sanksi pidana terhadap tindak pidana
pembakaran lahan dalam Peraturan Perundang-undangan Nasional merupakan
bentuk pertanggungjawaban pidana mengenai tindak pidana pembakaran lahan.
Peraturan Perundang-undangan tersebut dibentuk oleh pemerintah, sebagai upaya
untuk menanggulangi kejahatan khususnya di bidang pembakaran lahan, dengan
memberikan sanksi-sanksi dan larangan yang tegas.
B.Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana
Semua perbuatan yang bertentangan dengan azas-azas hukum menjadi
pelanggaan hukum. Dalam hukum pidana, suatu pelanggaran hukum disebut
perbuatan melawan hukum. Dengan kata lain, pelanggaran hukum itu terkhusus
dalam hukum pidana memuat anasir melawan hukum.52 Terkadang, perbuatan
yang dilakukan secara konkrit tidak dipandang sebagai suatu perbuatan melawan
hukum. Walaupun peraturan perundang-undangan di bidang hukum pidana telah
mengatur dan penyebutkan perbuatan tersebut merupakan suatu delik pidana.
52
Aparat penegak hukum juga harus memperhatikan bagaimana bentuk
kejadian dalam peristiwa hukum tersebut, dan harus memperhatikan siapa yang
melakukan perbuatan tersebut. Tidak semua subjek hukum yang melakukan tindak
pidana dapat dijatuhi pidana, atau dimintakan pertanggungjawabannya. Sehingga,
untuk mengetahui siapa yang dapat dijatuhi pidana ataupun tidak dijatuhi pidana,
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kondisi psikis dari pelaku, apakah
pelaku tersebut merupakan orang yang mampu mempertanggungjawabkan
perbuatannya atau tidak, dan sebagainya, aparat penegak hukum harus
memperhatikan unsur-unsur pertanggungjawaban pidana sebagai berikut :
1. Unsur Kesalahan
Pertanggungjawaban pidana tindak pidana tidak akan tercipta jika pada
diri orang yang melakukan tindak pidana tidak terdapat kesalahan. Kesalahan
merupakan titik sentral dari konsep pertanggungjawaban pidana. Dengan kata lain,
menurut Cynthia H. Finn dalam buku “The Responsible Corporate Officer,
Criminal Liability, and Mens Rea, menyatakan bahwa kesalahan merupakan salah
satu karakter hukum pidana yang tidak mungkin dapat dihapus.53
Begitu sentralnya unsur kesalahan ini, sehingga meresap dan menggema
dalam hamoour semua ajaran dalam hukum pidana, sebagaimana yang dimaksud
oleh Remmelink dalam buku Hukum “Pidana Komentar atau Pasal-pasal
terpenting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia” yang dikutip oleh Hanafi
Amrani dan Mahrus Ali sebagai berikut :54
“Bagaimanapun juga, kita tidak rela membebankan derita kepada orang lain, sekedar karena orang itu melakukan tindak pidana, kecuali jika kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu. Karena itu, dapat juga diandaikan bahwa manusia dalam kondisi tidak terlalu abnormal, sepanjang ia memang menginginkannya, muncul sebagai makhluk yang memiliki akal budi serta sanggup dan mampu mentaati norma-nprma masuk akal yang ditetapkan oleh masyarakat sebagai jaminan kehidupannya. Karena itu, kesalahan adalah pencelaan yang ditunjukan oleh masyarakat yang menerapkan standar etis yang berlaku pada waktu tertentu, terhadapt manusia yang melakukan perilaku menyimpang yang sebenarnya dapat dihindari.”
Hukum pidana, selalu berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana. Teori
hukum pidana memandang, apakah pelaku atau subjek hukum tersebut dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana akibat perbuatan pidana yang dilakukan
subjek hukum tersebut, baik orang perorangan ataupun korporasi. Dalam sistem
hukum pidana Inggris, dikenal doktrin mens rea yang secara lengkap berbunyi
“actus non facit reum nisi men sit rea”. Dotktrin tersebut berari bahwa suatu
perbuatan tidak dapat membuat orang menjadi bersalah kecuali dilakukan dengan
niat jahat.55
Berdasarkan doktrin tersebut, dapat ditarik keseimpulan bahwa suatu
perbuatan akan dinilai menjadi perbuatan yang salah, apabila perbuatan tersebut
mengandung unsur-unsur :
a. Perbuatan tersebut merupakan perumusan dari kehendak
b. Adanya kondisi jiwa, dan itikad jahat yang melandasi perbuatan
tersebut.
Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa dalam doktrin mens rea tersebut
54 Ibid. 55
terdapat unsur subjektif atau unsur yang mengacu kepada pelaku kejahatan.
Doktrin mens rea tersebut ternyata diadopsi dalam hukum pidana Indonesia.
Dalam hukum pidana, dikenal dengan asas legalitas. Asas ini mengintisarikan
bahwa seseorang atau subjek hukum tidak dapat dihukum apabila tidak ada
hukum yang mengatur perbuatan tersebut sebelumnya. Artinya, apabila tidak ada
suatu hukum atau aturan yang mengatur mengenai kesalahan sebelumnya, maka
subjek hukum yang melakukan tindak pidana tersebut tidak dapat diminta
pertanggungjawaban pidana.
Kesalahan, secara umum tidak dapat diperhatikan, mengapa si pelaku
kejahatan melakukan kejahatan. S.R Sianturi mendefiniskan kesalah sebagai :
a. Mengatakan tidak benar
b. Menyatakan ketercelaan
c. Melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak dengan suatu kehendak
mengenai elanjutan perbuatannya atau akibatnya.
d. Melakukan suatu tindakan atau perbuatan terlarang sesuai dengan
kehendaknya da akibatnya itu diikutinya.
Kesalahan dalam arti luas dapat dikatakan pula sebagai
pertanggungjawaban pidana. Kesalahan dalam arti luas terdiri dari 3 unsur,
yaitu :56
a. Karena kurang sempurna berfikirnya atau sakit sehingga
menyebabkan berubah daya fikirnya (Toerekeningsvatbaaheid)
b. Kesalahan dalam arti sempit yang terdiri dari kekhilafan atau
kelalaian, dan kesengajaan.
c. Perbuatan dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuat
Terdapat tiga teori kesalahan dalam arti luas, yaitu :57
a. Teori Determinisme
Teori ini berpendapat bahwa manusia sama sekali tidak menentukan
kehendaknya secara bebas. Kehendak manusia untuk membuat sesuatu itu terlebih
dahulu ditentukan oleh beberapa faktor, yang terpenting adalah faktor lingkungan
dan faktor diri sendiri. Dalam menentukan kehendaknya, maka manusia tunduk
pada hukum kausalitas.
b. Teori Indeterminisme
Teori ini beranggapan bahwa manusia menentukan kehendaknya secara
bebas. Teori ini juga berpandangan, bahwa kehendak manusia tersebut ditentukan
oleh faktor terpenting yaitu faktor lingkungan dan faktor kehendak sendiri.
c. Teori Moderrn
Teori ini beranggapan bahwa untuk mengetahui berbagai hal kehendak
manusia, ditentukan oleh beberapa faktor seperti faktor lingkungan dan faktor
kepribadian, dan juga beranggapan bahwa kesalahan merupakan dasar dari hukum
pidana.
Dalam hukum pidana, unsur-unsur kesalahan terbagi menjadi 2, yaitu :
a. Kesengajaan (Dolus)
KUHP tidak mendefinisikan pengertian kesengajaan. Akan tetapi, dalam
Memorie van Toelichting (MvT) mengartikan kesengajaan merupakan sifat yang
57
menghendaki dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan dan beserta akibatnya58.
Orang dapat mengatakan bahwa pelanggar hukum melakukan peristiwa pidana
yang bersangkutan dengan sengaja. Apabila akibat perbuatannya dikehendakinya.
Kesengajaan yang merupakan sebagai salah satu bentuk kesalahan pidana
memiliki 3 unsur yaitu :
1) Berupa tindakan yang dilarang
2) Adanya akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya larangan
tersebut
3) Bahwa tindakan tersebut telah melanggar ketentuan yang ada.
Dalam hukum pidana, terdapat 3 tingkatan kesengajaan atau 3 degradasi
kesengajaan, yaitu :
1) Kesengajaan dengan maksud,
Pelaku memang menginginkan akibat dari perbuatan tersebut. dengan kata
lain, pelaku telah mengetahui akan perbuatan yang dilakukannya, dan dengan
perbuatannya tersebut bermaksud untuk mencapai apa yang menjadi tujuannya.
Apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembakaran lahan, pelaku telah
mengetahui apa yang menjadi akibat dari perbuatan pembakaran lahan tersebut,
dan dengan akibat tersebut pelaku dengan mudah melancarkan tujuan ataupun
maksud dari perbuatan tersebut. Misalkan dalam Undang-undang Nomor 39
Tahun 2014 tentang perkebunan pada Pasal 56 ayat (1) memuat larangan bagi
setiap pelaku usaha perkebunan dilarang membuka dan/atau mengelola lahan
dengan cara membakar lahan. Berdasarkan pasal tersebut dapat disimpulkan
bahwa pelaku pembakaran lahan membakar lahan dengan maksud untuk
membuka lahan baru, agar pelaku mendapatkan keuntungan dari lahan baru
tersebut.
2) Kesengajaan dengan kepastian
Pelaku mengetahui selain dari akibat yang diinginkan dengan melakukan
perbuatan tersebut, kemungkinan akan muncul akibat-akibat lainnya dengan
perbuatan yang sama. Apabila dikaitkan dengan tindak pidana pembakaran lahan,
pelaku pembakaran lahan sengaja membakar lahan dan telah mengetahui akan
muncul akibat lain dari perbuatan tersebut. Sebagai contoh, pelaku pembakaran
lahan membakar lahan untuk membuka lahan baru, dengan maksud agar dapat
memanfaatkan lahan baru tersebut demi kepentingannya. Dengan perbuatan
tersebut, pelaku mengetahui bahwa pembakaran lahan tersebut akan menimbulkan
kabut asap yang tebal, dan merugikan masyarakat sekitar.
3) Kesengajaan dengan kemungkinan terjadi
Pelaku telah mengetahui, dengan perbuatan yang dilakukannya,
kemungkinan akan terjadi akibat lain yang belum tentu terjadi. Sebagai contoh,
pelaku pembakaran lahan telah mengetahui bahwa perbuatan mmembakar lahan
akan menimbulkan kabut asap yang tebal, dan kemungkinan akan merugikan
perusahaaan lain yang bergerak di bidang transportasi udara.
Lamintang menyebetukan kesengajaan dalam bentuk kemungkinan ini
dengan istilah dolus eventualis, yang berarti bahwa pelaku untuk menimbulkan
suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari kemungkinan
kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan
tersebut ia katakan mempunyai suatu kesengajaan.59
b. Kelalaian (Culpa)
Kelalaian merupakan salah satu unsur kesalahan dalam arti sempit. Tidak
semua akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum merupakan
sebuah kehendak dari pelaku tersebut. Akan tetapi, delik pidana secara objektif,
melihat apa yang menjadi akibat dari perbuatan tersebut. Apabila akibat dari suatu
perbuatan tersebut walaupun bukan kehendaknya tetap dimintakan
pertanggungjawabannya, maka dapat dikatakan bahwa pelaku tersebut telah lalai
atau khilaf.60
Peraturan perundang-undangan di bidang pembakaran lahan, juga
memberikan hukuman terhadap kelalaian yang dilakukan oleh subjek hukum,
yang mengakibatkan suatu keadaan yang merugikan dan harus dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum. Salah satu contoh adalah Pasal 78 ayat (4)
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, yang memberikan
hukuman kepada akibat dari kelalaiannya menyebabkan hutan terbakar, akan
dipidana penjara 5 (lima) tahun dan denda 1 Milyar 5 Ratus Juta Rupiah.
2. Kemampuan Bertanggungjawab
Simons berpendapat bahwa mampu bertanggungjawab adalah mampu
menginsafi sifat melawan hukumnya perbuatan dan sesuai dengan keinsafan itu
menentukan kehendak. Sutrisna berpendapat bahwa untuk kemampuan
bertanggungjawab maka harus ada dua unsur, yaitu : 61
a) Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik
dan buruk yang sesua dengan hukum dan yang melawan hukum.
b) Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tersebut.
Dengan kata lain, bahwa kemampuan bertanggungjawab berkaitan dengan
dua faktor terpenting, yaitu :
a) Faktor akal untuk membedakan antara perbuatan yang
diperbolehkan dan yang dilarang atau melanggar hukum
b) Faktor perasaan atau kehendak uang menentukan kehendaknya
dengan menyesuaikan tingkah lakunya dengan penuh kesadaran.
Telah dimaklumi, bahwa perbuatan pidana memiliki konsekuensi
pertanggungjawaban serta penjatuhan pidana. Maka setidaknya, ada dua alasan
untuk mengenal kejahatan, yaitu :62
a) Pendekatan yang melihat sebagai dosa atau perbuatan yang tidak
senonoh yang dilakukan oleh manusia.
b) Pendekatan yang melihat kejahatan sebagai perwujudan dari sikap
dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat jahat.
Dalam hal kemampuan bertanggungjawab, apabila dilihat dari keadaan
batin orang yang akan melakukan perbuatan pidana merupakan maslah
kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang penting untuk
61
Sutrisna, I Gusti Bagus, Peranan Keterangan Ahili Dalam Perkara Pidana
(TinjauanTerhadap Pasal 44 KUHP). Dalam Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana (Jakarta: Ghia Indonesia, 1986), h.83.
62
menentukan adanya kesalahan. Keadaan jiwa orang yang melakukan perbuatan
pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dikatakan normal. Orang yang normal
dan sehat ini dapat mengatur tingkah lakunya.63
Sebaliknya, orang yang tidak normal atau memiliki sakit fikiran, tidak
akan mampu mengatur tingkah lakunya. Ketika orang yang tidak mampu untuk
mengatur tingkah lakunya sebagai manusia, tidak dapat dimintakan
pertanggungjawabannya, walaupun secara hukum perbuatan tersebut merupakan
tindak pidana atau perbuatan pidana.
Pasal 44 KUHP, menegaskan bahwa orang yang tidak sempurna akalnya
atau karena sakit berubah akal, tidak dapat diminta pertanggungjawaban dan tidak
dapat dijatuhi pidana kepadanya. Akan tetapi, Jonkers memiliki pendapat yang
lebih luas. Menurut Jonkers, orang yang tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana, bukan hanya orang dengan memiliki pertumbuhan
akal yang tidak sehat atau orang cacat, akan tetapi manusia yang belum dewasa
juga tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Karena orang yang belum
dewasa belum memiliki kematangan dalam berfikir. Perkembangan ide, ego dan
super ego dari orang yang belum dewasa belum berkembang dengan baik.
3. Tidak Ada Alasan Pemaaf
Alasan pemaaf adalah salah satu bagian dari alasan penghapus pidana.
Pada dasarnya alasan penghapus pidana tersebut terbagi atas alasan pembenar dan
alasan pemaaf. Yang merupakan bagian dari pembahasan tentang
pertanggungjawaban pidana adalah terkait dengan tidak adanya alasan pemaaf.
63
Alasan penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan kepada hakim.
Peraturan ini menteapkan dalam keadaan apa seorang pelaku yang telah
memenuhi perumusan delik yang seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim
menempatkan wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan apakan
telah terdapat keadaan khisis seperti dirumuskan dalam alasan penghapus pidana.
Alasan-alasan penghapus pidana ini adalah alasan-alasan yang memungkinkan
orang yang melakukan perbuatan yang sebenarnya telah memenuhi rumusan delik,
tetapi tidak dipidana.
Pembicaraan mengenai alasan penghapus pidana di dalam KUHP dimuat
dalam Buku I Bab III tentang hal-hal yang menghapuskan dan memberatkan
pengenaan pidana. Alasan penghapus pidana dapat dikatakan alasan untuk
membebaskan seseorang dari pindana walaupun orang tersebut telah melakukan
tindak pidana, atau melanggar ketentuan-ketentuan hukum yang ada.
Untuk dimintakan suatu pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku
pidana, selain harus memiliki kemampuan bertanggung jawab, terhadap perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana tidak terdapat alasan penghapus pidana.
Alasan penghapus pidana pada umumnya merupakan suatu bentuk atau keadaan
yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak dapat dipidana. Alasan Penghapus
pidana terbagi menjadi 2 jenis, yaitu:
a. Alasan Pemaaf
Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
yang telah melakukan perbuatan yang mencocoki rumusan delik disebabkan
hal-hal yang menyebabkan dia tidak sepantasnya dicela itu disebut sebagai hal-hal
yang dapat memaafkannya. Jenis-jenis alasan pemaaf adalah sebagai berikut :
1) Tidak mampu bertanggungjawab
Orang yang memiliki kemampuan untuk bertanggungjawab adalah orang
yang normal dan memiliki akal sehat. Pasal 44 KUHP menjadi dasar bagi alasan
pemaaf tersebut. Dalam pasal 44 KUHP, orang yang tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana terhadap perbuatannya adalah orang yang memiliki
cacat dalam pertumbuhan, gangguan dalam kejiwaan dan berubah akal.
Dalam pasal 44 KUHP ini, tampaknya pembentuk undang-undang
membuat peraturan khusus bagi pelaku yang tidak dapat mempertanggungjawab
kan perbuatannya, karena sakit jiwa atau kurang sempurna akalnya pada saat
perbuatan itu dilakukan.
Berdasarkan Pasal 44 ayat (3) KUHP, kewenangan untuk tidak
menghukum pelaku berdasarkan sakit jiwa hanya diberikan kepada hakim. Akan
tetapi, dalam menentukan apakah pelaku memang benar memiliki penyakit jiwa
atau sakit berubah akal, hakim harus merujuk terhadap keterangan saksi ahli
dalam bidang ilmu kejiwaan. Meskipun hakim harus merujuk terhadap keterangan
saksi ahli dalam bidang ilmu kejiwaan (psikiatri), hakim dalam memberikan
putusannya tidak terkait dengan keterangan yang diberikan oleh saksi ahli tersebut.
penerumaan maupun penolakan hakim ini tentunya harus diuji berdasarkan
kepatutan atau kepantasan.
2) Daya Paksa
tidak dapat dilawan. Titik tolak dari daya paksa ini adalah adanya keadaan-
keadaan yang eksposional yang secara mendadak menyerang pembuat atau pelaku,
buka ketegangan psikis, melainkan keharusan melakukan perbuatan pidana untuk
mencapai tujuan yang adil. Alasan pemaaf karena daya paksa diatur dalam pasal
48 KUHP.
Setiap paksaan dapat dijadikan alasan penghapus pidana. Akan tetapi,
hanya paksaan yang benar-benar tidak dapat dilawan atau di elakkan lagi oleh
pelaku, sehingga oleh sebab adanya paksaan itulah ia melakukan tindak pidana.
Paksaan yang dimaksud adalah paksaan absolut.
3) Pembelaan Terpaksa
Dalam pembelaan terpaksa, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu :
a) Harus ada situasi pembelaan terpaksa yang berarti suatu situasi
dimana pembelaan raga, kehormatan, kesusilaan, atau harta benda
terhadap serangan seketika bersifat melawan hukum menjadi
keharusan.
b) Pelampauan batas dari keharusan pembelaan, harus merupakan
akibat langsung dari kegoncangan jiwa hebat dapat mencakup
berbagai jenis emosi, Yaitu takut, marah, dan panik. Kebencian
yang sudah ada terlebih dahulu yang tidak disebabkan oleh
serangan, tidak dapat dipakai untuk memaafkan. Selain itu,
guncangan jiwa yang hebat itu tidak disebabkan oleh serangan,
tetapi karena pengaruh alcohol atau narkotika.
Maksud perbuatan yang melampaui batas adalah perbuatan dengan
sekonyong-konyong dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada
saat itu juga. Perbuatan tersebut tidak dapat dijatuhi pidana.
Dalam hal ini, hakim berperan dalam menentukan apakah benar terdapat
hubungan sebab akibat antara suatu peristiwa yang mengakibatkan kegoncangan
jiwa pelaku sehingga ia melakukan suatu pembelaan yang melampaui batas,
sedangkan itu sesungguhnya merupakan tindak pidana. Dengan alasan tersebut,
pelaku tetap melakukan perbuatan melawan hukum. Akan tetapi kesalahan dalam
perbuatan tersebut dihapuskan, sehingga tidak dapat dijatuhi pidana.
4) Melakukan perintah jabatan yang tidak sah dianggap sah
Pelaku yang melakukan perintah yang tidak sah namun di anggap sah
dapat dihapuskan pidanannya apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Perintah itu dipandangnya sebagai perintah yang sah
b)Dilakukan dengan itikad baik
c) Pelaksanaannya dalam ruang lingkup tugas-tugasnya.
Jika perintah itu tidak meliputi ruang lingkup tugas-tugasnya yang biasa ia
lakukan, maka itikad baiknya dalam melakukan perintah itu diragukan. Jadi,
dalam hal ini (pembuat) undang-undang menjaga “kepatutan buta” dari orang
yang mendapatkan tugas atau yang menerima perintah yang dapat membawa
akibat pemidanaan terhadap dirinya sendiri.
b. Alasan Pembenar
Apabila tidak dipidananya seseorang yang telah melakukan perbuatan
tidak adanya sifat melawan hukumnya perbuatan, maka dikatakanlah hal tersebut
sebagai alasan pembenar. Perbuatan yang pada umumnya dipandang sebagai
perbuatan yang keliru, dalam kejadian yang tertentu itu dipadnang sebagai
perbuatan yang dibenarkan, bukanlah perbuatan yang keliru. Salah satu contoh
alasan pembenar adalah :
1) Keadaan Darurat
Seseorang dikatakan berada dalam keadaan darurat apabila seseorang
dihadapkan pada suatu dilema untuk memilih antara melakukan delik atau
merusak kepentingan yang lebih besar. Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak
pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang
menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu perbenturan
antara dua kepentingan hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu
perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang
sama melanggar kepentingan hukum yang lain, begitu pula sebaliknya
perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban. Dalam hal ini pelaku
dihadapkan pada keadaan apakan harus melindungi kepentingan hukum dan
kewajiban hukum. Dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum
tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang
lain, begitu pula sebaliknya. Dalam keadaan tersebut di atas, tindak pidana yang
dilakukan hanya dibenarkan jika :
a) Tidak ada jalan lain
b) Kepentingan yang dilindungi secara objektif bernilai lebih tinggi
2) Pembelaan Terpaksa
Pembelaan terpaksa, dimuat dalam pasal 49 ayat (1) KUHP. Dalam pasal
49 ayat (1) KUHP, yang diisyaratkan sebagai pembelaan terpaksa adalah :
a) Adanya serangan mendadak atau seketika itu terhadap raga,
kehormatan, kesusilaan atau harta benda
b) Serangan itu bersifat melawan hukum
c) Pembelaan merupakan keharusan
d) Cara pembelaan adalah patut
3) Melaksanakan Ketentuan Undang-Undang
Apabila seseorang yang melakukan perbuatan pidana, akan tetapi
perbuatan tersebut merupakan salah satu bentuk perintah atau ketentuan
undang-undang, maka pelaku tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban
terhadap perbuatan tersebut. karena, kesalahan terhadap perbuatan tersebut telah
dihapuskan. Dalam hal ini, terdapat perbenturan antara kewajiban hukum dengan
kewajiban hukum lainnya. Artinya, bahwa untuk melakukan kewajiban hukumnya,
seseorang harus melanggar kewajan hukum lainnya. Dalam melaksanakan
ketentuan undang-undang tersebut, kewajiban yang terbesar harus diutamakan.
Alasan pembenar tentang melaksanakan ketentuan undang-undang ini diatur
dalam pasal 50 KUHP.
Dalam penjelasan ini menentukan pada prinsipnya orang yang melakukan
suatu perbuatan meskipun itu merupakan tindak pidana. Akan tetapi karena
dihukum, walaupun perbuatan tersebut merupakan tindak pidana. Selain itu,
perbuatan tersebut harus mementingkan kepentingan umum, dan bukan
kepentingan pribadi.
4) Menjalankan Perintah Jabatan Yang Sah
Seorang bawahan melakukan suatu perbuatan, apabila perbuatan tersebut
merupakan perintah dari jabatan yang diberikan oleh atasannya, maka walaupun
perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum, pelaku yang
melakukan perbuatan tersebut tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Hal tersebut diatur dalam pasal 51ayat (1) KUHP.
Dengan kata lain, yang memberikan perintah adalah orang yang
berwenang, dan yang diperintahkan harus sesuai dengan atau berhubungan dengan
pekerjaannya. Suatu hal yang tidak boleh di lupakan bahwa dalam hal
melaksanakan ooeruntah jabatan, harus diperhatikan asas keseimbangan,
kepatutan, kelayakan dan tidak boleh melampaui dari batas keputusan dari orang
yang memerintah.
C. Analisis Putusan Pengadilan Negeri Kabupaten Pelalawan Nomor 118/ Pid. Sus/ 2014/ PN Plw
1. Kasus Posisi64
Terdakwa Suhadi Als Adi Bin Hamzah terbukti bersalah melakukan tindak
pidana sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara pembakaran yang
berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Terdakwa
melakukan pembakaran lahan bertujuan untuk membuka lahan baru yang akan
64
ditanami tumbuhan karet. Dengan melakukan pembukaan lahan dengan cara
membakar, dapat meningkatkan pH tanah, sehingga mudah untuk ditanamkan
tanaman baru dengan baik, tanpa menggunakan kapur. Lahan yang dibakar oleh
terdakwa seluas 1,6 Ha pada tanggal 26 Februari 2014, yang merupakan tanah
perizinan PT. Arara Abadi Distrik Sorek, Kabupaten Pelalawan.
Sebelum melakukan pembakaran lahan, terdakwa telah melakukan
penebasan tumbuhan bawah, menebang pohon di areal yang dibakar. Pada saat
proses pembakaran lahan, terdakwa tidak memberikan sekat api, yang bertujuan
untuk mencegah pembakaran lahan yang lebih luas. Terdakwa bermaksud untuk
melakukan pembakaran lahan, dan ditanami tumbuhan karet seluas 1,3 Ha.
Sebelum melakukan pembakaran lahan, terdakwa diketahui melakukan
pembukaan lahan dengan cara membakar lahan tersebut pada bulan Agustus 2013.
Perbuatan pembakaran lahan pada tanggal 26 Februari 2014 yang
dilakukan oleh terdakwa, diketahui oleh 3 orang petugas PT. Arara Abadi, yang
menjadi saksi pada persidangan, yaitu Jhon Hendri, Beni Siagian dan Jonori.
Ketiga saksi sedang melakukan patroli pada tanggal 26 Februari 2014 pukul 15:00
WIB, dan menemukan gumpalan asap, serta menemui terdakwa di tempat
kejadian perkara. Saksi yang melihat terdakwa bersama kayu akasia bekas dibakar,
menanyakan siapa yang melakukan pembakaran tersebut kepada terdakwa.
Terdakwa mengaku kepada saksi bahwa benar terdakwalah yang melakukan
pembakaran lahan tersebut dengan menggunakan alat Ministriker HONDA.
Terdakwa setelah beberapa saat melarikan diri karena mengetahui saksi
Menurut Saksi Ahli, selama pembakaran, telah dilepaskan 0,7 ton Karbon,
0,63 ton CO2, 0,002 ton CH4, 0,0013 ton NOX, 0,0006 ton NH3, 0,003 ton O3
dan 0,05 ton CO serta 0,03 ton partikel. Untuk memulihkan lahan gambut yang
rusak akibat kebakaran lahan seluas 1,3 Ha, dibutuhkan biaya sebesar Rp.
1.961.820.520 (Satu Milyar Sembilan Ratus Enam Puluh Satu Juta Delapan Ratus
Dua Puluh Ribu Lima Ratus Dua Puluh Rupiah).
2. Dakwaan65
Penuntut Umum membentuk surat dakwaan yang bersifat alternatif.
Adapun yang menjadi dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa pada putusan
nomor 118/Pid.sus/2014/Pn Plw adalah sebagai berikut :
Kesatu :
Perbuatan terdakwa diancam pidana dengan Pasal 108 jo Pasal 69 ayat (1) huruf h
Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Atau Kedua
Perbuatan terdakwa diancam pidana dengan Pasal 108 jo Pasal 48 ayat (1) jo Pasal
26 Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan.
3. Tuntutan Pidana66
Dalam surat dakwaan, penuntut umum mendakwakan terdakwa dengan
surat dakwaan alternatif. Jaksa penuntut umum, menuntut terdakwa sesuai dengan
dakwaan alternatif pertama. Setelah mendengar dan melihat fakta-fakta hukum
65 Ibid 66
dalam persidangan, melalui surat tuntutan jaksa penuntut umum, terdakwa
dituntut dengan pidana sebagai berikut :
a. Menyatakan terdakwa Suhadi Als Adi Bin Hamzah bersalah
melakukan Tindak Pidana “sengaja membuka dan/atau mengolah
lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadinya
pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup.
b. Menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa selama 1 (satu)
tahun 6 (enam) bulan dan membayar denda sebesar RP.
1.961.820.520 (satu milyar Sembilan ratus enam puluh satu juta
delapan ratus dua puluh ribu kima ratus dua puluh rupiah) subsidair
6 (enam) bulan kurungan dikurangi selama terdakwa berada dalam
tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
c. Menetapkan barang bukti berupa 2 (dua) buah kayu bekas dibakar
dirampas untuk dimusnahkan.
d. Menetapkan terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2000
(dua ribu rupiah)
4. Putusan67
Dalam Amar Putusan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten
Pelalawan dengan putusan Nomor 118/PID.SUS/2014/PN. Plw, memutuskan :
a. Menyatakan terdakwa Suhaidi Als Adi Bin Hamzah telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dengan
sengaja membuka lahan dengan cara pembakaran yang berakibat terjadi
pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan hidup
b. Menjatuhkan Pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.962. 820.
520 (satu milyar Sembilan ratus enam puluh dua juta delapan ratus dua
puluh ribu lima ratus dua puluh rupiah) dengan ketentuan apabila denda
tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
c. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
d. Memerintahkan terdakwa tetap berada di dalam tahanan.
e. Membebani terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 5000
(lima ribu rupiah).
5. Analisis68
a. Fakta Hukum
Dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/Pn Plw, Fakta-fakta hukum yang
muncul dalam persidangan adalah sebagai berikut:
1) Terjadi kebakaran di areal IUPHHK-HTI PT. Arara Abadi Petak
9207 (03) Resort Malako Distrik Sorek, Desa Lubuk Raja, tersebut
pada hari Rabu Tanggal 26 Februari 2014 pada pukul 16.00 WIB
2) Bahwa benar yang melakukan pembakaran lahan di atas lahan
perizinan PT. Arara Abadi adalah seorang yan mengaku bernama
Adi.
3) Saksi yang bernama Jondri pada saat melakukan patroli
menemukan terdakwa yang berada di dalam areal yang sedang
terbakar, dan orang tersebut mengumpulkan batang akasia yang
tertebang dan selanjutnya ikut dibakar.
4) Telah terbukti bahwa terdakwa memang membakar lahan pada
tanggal 26 Februari 2014, dan telah terbukti bahwa terdakwa telah
membuka lahan dengan cara membakar pada bulan Agustus 2014.
5) Terdakwa melakukan penebangan pohon akasia dengan
menggunakan parang, dan membakar pohon yang ditebang tersebut
bersama dedaunan kering dengan menggunakan mancis.
6) Terdakwa melakukan penebangan pohon dan membakar lahan
tersebut dengan tujuan untuk membuka lahan agar digunakan
untuk membuat kebun karet.
7) Lahan yang ditebang dan dibakar terdakwa seluruhnya seluas lebih
kurang 1 ha.
8) Kondisi lahan tersebut ada terdaoat tanaman kayu akasia dan
terdakwa hanya menebang sisa pohon akasia yang masuh berdiri
karena lahan tersebut sebelumnya sudah terdakwa bersihkan juga
dengan ditebang dan dibakar sekitar bulan Agustus tahun 2013.
b. Pertimbangan Hakim
Surat dakwaan yang dibuat merupakan surat dakwaan alternatif, sehingga
hakim hanya mempertimbangkan salah satu dari dakwaan yang paling dianggap
relevan. Hakim mempertimbangkan dakwaan alternatif kedua, dengan melihat
18 Tahun 2004 Tentang Perkebenunan.
Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 26
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, menurut majelis
hakim telah terpenuhi oleh perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Adapun
unsur-unsur yang dimaksud sebagai berikut :
1) Setiap Orang
2) Dengan sengaja membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara
pembakaran
3) Berakibat terjadinya pencemaran dan kerusakan fungsi lingkungan
hidup
Dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/PN.Plw, Majelis Hakim
menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa dengan menggunakan Undang-undang
Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. Sebagaimana yang diketahui,
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 Tentang
Perkebunan, yang juga mencabut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004. Hal
tersebut dijelaskan pada pasal 115 yang berbunyi “Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 25 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411) dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku”.
Dalam pasal 117 Undang-undang Nomor 39 Tahun 2009 menyatakan
bahwa undang-undang tersebut mulai berlaku pada saat setelah 2 tahun
Nomor 39 Tahun 2014 berlaku pada tahun 2016. Melihat tempus delicti dari
perbuatan yang dilakukan terdakwa, perbuatan terdakwa dilakukan pada tanggal
26 februari 2014. Pada saat itu, Undang-undang yang mengatur mengenai
Perkebunan diatur oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004. Maka pantaslah
Majelis Hakim menggunakan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004.
Dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/PN.Plw, tertuang dakwaan dari
penuntut umum. Berdasarkan dakwaan dari penuntut umum, unsur “setiap
orang“ yang terdapat dalam Pasal 48 ayat (1) jo Pasal 26 Undang-undang Nomor
18 Tahun 2004 telah terpenuhi. Bahwa terdakwa merupakan orang perseorangan
yang normal, tidak memiliki cacat kejiwaan, serta cakap hukum, sehingga
terdakwa dapat mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Terdakwa
diketahui tidak memiliki suatu hubungan tertentu dengan korporasi manapun.
Tidak ada satu alasan pun yang dapat menghapuskan pidana dari terdakwa.
Pada tanggal 26 Februari 2014, terdakwa melakukan pembakaran lahan,
dengan sengaja, dan perbuatan tersebut diakui terdakwa untuk membuka suatu
lahan perkebunan karet. Sehingga, unsur kedua dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2014 telah terpenuhi.
Sebagaimana yang diketahui, pembakaran lahan termasuk kedalam delik
materil, yaitu delik yang melihat akibat dari perbuatan tersebut. Akibat dari
pembakaran lahan sebagaimana keterangan saksi ahli, menimbulkan gumpalan
asap yang berisikan gas-gas berbahaya seperti NH3, CO, dan sebagainya. Tentu
saja gas-gas berbahaya tersebut akan merusak lingkungan hidup. Berdasarkan hal
Tahun 2004 Tentang Perkebunan telah terpenuhi.
Hakim dalam memberikan putusan, seharusnya memperhatikan dan
mempertimbangkan apa yang menjadi hal yang dapat memberatkan serta yang
dapat meringankan hukuman terdakwa. Yang menjadi hal-hal yang memberatkan
serta meringankan bagi terdakwa dalam putusan nomor 118/Pid.sus/2014/Pn. Plw
adalah :
a. Hal-hal yang memberatkan :
1) Perbuatan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah yang
ingin memberantas kegiatan illegal loging.
2) Perbuatan terdakwa mengakibatkan berkurangnya kawasan hutan
yang pemanfaatannya tidak sesuai dengan ketentuan.
b. Hal-Hal yang meringankan :
1) Terdakwa telah menyesali perbuatannya dan berjanji tidak
mengulangi lagi.
2) Terdakwa sebagai kepala keluarga memiliki tanggungan anak dan
istri.
Atas dasar pertimbangan hakim yang meringankan dan memberatkan,
hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa selama satu tahun. Dalam
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004, tidak menyatakan adanya hukuman
minimum dari perbuatan pembakaran lahan tersebut. Undang-undang hanya
memberikan batasan hukuman maksimum dari perbuatan tersebut. Akan tetapi,
memorie van toelichting (MvT) menegaskan bahwa hukuman pidana terhadap
hakim yang melihat unsur sosiologis, menggunakan logika hukum deduktif, sudah
sangat tepat.
Sebagaimana yang diketahui, perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa
berakibat terjadinya pembakaran lahan dengan luas 1,3 Ha, diareal IUPHHK-HTI
(Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman Industri) milik PT.
Arara Abadi. Penuntut umum dan majelis hakim menuntut dan menjatuhi pidana
kepada terdakwa berdasarkan Undang-undang Perkebunan Nomor 18 Tahun 2004
Tentang Perkebunan. Apabila dilihat dari perbuatan tersebut, terdakwa melakukan
pembakaran lahan kehutan, yang seharusnya dituntut dan didakwakan dengan
Undang-undang Kehutanan akan tetapi hakim menuntut terdakwa dengan
Undang-undang Perkebunan.
Alasan hakim dan penuntut umum menuntut dan menjatuhkan pidana
berdasarkan Undang-undang perkebunan adalah dengan melihat apa tujuan dari
perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Berdasarkan fakta di persidangan,
terdakwa melakukan pembakaran lahan tersebut bertujuan untuk membuka lahan
dan menjadikan lahan tersebut menjadi lahan perkebunan karet.
Berdasarkan Pasal 48 ayat (1), perbuatan yang dipidana adalah perbuatan
tersebut “membakar lahan”. Hutan Tanaman Industri merupakan salah satu jenis
atau salah satu bentuk lahan. Dan melihat akibat dari perbuatan terdakwa yaitu
untuk membuka lahan perkebunan karet, unsur-unsur dalam pasal 48 ayat (1)
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 terpenuhi.
Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004, ancaman pidana terhadap
hanya selama 1 tahun penjara. Putusan hakim tersebut sudah tepat. Karena, luas
areal yang dibakar sebesar 1,3 Ha. Luas lahan yang dibakar dan kerugian yang
diderita sebanding dengan pidana yang dijatuhkan terhadap terdakwa. Selain itu,
pada saat pemeriksaan di pengadilan, terdakwa mengakui bahwa memang benar ia
yang melakukan pembakaran lahan, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dari
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan
1. Kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh berbagai faktor. Diantaranya
adalah karena pembakaran lahan, pembalakan liar, dan perbuatan-
perbuatan manusia lainnya. Terkait tindak pidaa pembakaran lahan, diatur
di dalam beberapa ketentuan yaitu pada KUHP yang termuat pada Pasal
187 KUHP, yang memberikan hukuman tehadap perbuatan yang disengaja
mengakibatkan kebakaran, ledakan atau banjir. Selanjutnya, ketentuan
tersebut diatur juga dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 termuat
dalam Pasal 78 ayat (3) yang memberikan hukuman maksimal 15 Tahun
dan denda 5 Milyar Rupiah bagi siapa saja yang sengaja melakukan suatu
perbuatan yang membakar lahan. ketentuan lain yang mengatur adalah
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan lingkungan hidup, yang tercantum pada Pasal 108, yang
memberikan hukuman minimal penjara selama 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun bagi pelaku yang melakukan pembakaran lahan.
Peraturan Perundang-undangan terbaru yang mengatur mengenai tindak
pidana pembakaran lahan, juga termuat dalam Undang-undang Nomor 18
Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang termuat dalam Pasal 48, yang
memberikan hukuman paling singkat 10 (sepuluh) tahun pidana penjara
2. Setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana, harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Untuk dimintakan
pertanggungjawaban kepada pelaku tindak pidana, perlu melihat apa yang
mendasari dari perbuatan tersebut. apakah perbuatan tersebut merupakan
perbuatan yang didasari dengan adanya kesengajaan, ataupun karena suatu
kealpaan. Dalam tindak pidana pembakaran lahan, juga harus diperhatikan
unsur-unsur tindakan dan pertanggungjawaban dari pelaku pembakaran
lahan. Untuk dimintakan suatu pertanggungjawaban pidana dari
pembakaran lahan, harus diperhatikan unsur-unsur pertanggungjawaban
pidana dari perbuatan tersebut. pelaku pembakaran lahan akan dimintakan
pertanggungjawaban apabila pelaku tersebut melakukan perbuatan tersebut
apabila memiliki unsur-unsur kemampuan bertanggungjawab, unsur-unsur
kesalahan, serta tidak adanya alasan pemaaf bagi pelaku pembakaran
lahan.
B.Saran
1. Perlu diadakannya suatu upaya pre-entif dan preventif dengan memberikan
pengetahuan kepada masyarakat luas tentang bahayanya membakar lahan,
karena mengingat faktor utama pembakaran lahan adalah faktor manusia
yang kurang sadar terhadap pelestarian lingkungan.
2. Memberikan aturan-aturan yang lebih tegas kepada pelaku pembakaran
lahan, dan memberikan sanksi yang berat kepada pelaku pembakaran lahan.
Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan batasan minimum
perundang-undangan yang terkait. Mengingat, sanksi pidana merupakan
salah satu bentuk pertanggungjawaban pidana bagi pelaku pembakaran
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN
Hukum merupakan sebuah instrumen yang dibentuk oleh pemerintah yang
berwenang, yang berisikan aturan, larangan, dan sanksi yang bertujuan untuk
mengatur kehidupan manusia. Peraturan perundang-undangan, juga menjamin
keadilan bagi masyarakat, serta memberikan kemanfaatan guna melindungi
kepentingan semua orang.
Pemerintah juga membentuk suatu peraturan perundang-undangan di
bidang hukum pidana. Sebagaimana yang diketahui, bahwa hukum pidana
merupakan hukum yang mengatur mengenai perbuatan pidana dan pemberian
sanksi terhadap perbuatan pidana tersebut. Dalam hukum pidana, terdapat
beberapa unsur seperti adanya tindak pidana, adanya pertanggungjawaban pidana,
serta ada sanksi yang merupakan aplikasi dari bentuk pertanggungjawaban pidana
atas perbuatan pidana seseorang.
Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah sebuah perbuatan yang
bertentangan dengan norma-norma berlaku. Tindak pidana juga merupakan
perbuatan yang akan merugikan orang lain. Sehingga, pemerintah membentuk
peraturan perundang-undangan untuk menentukan sebuah perbuatan tersebut
merupakan perbuatan yang melanggar hukum atau melanggar norma-norma, dan
juga untuk menentukan apakah perbuatan tersebut merupakan tindakan yang
dilakukan karena kesengajaan ataupun kelalaian.
Dalam sistem peradilan pidana, terdapat beberapa proses untuk
pidana atau tidak. Penetapan pertanggungjawaban pidana tersebut juga harus
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Karena, hukum
Indonesia menganut sistem civil law. Dalam sistem hukum civil law, hakim
menetapkan sebuah pertanggungjawaban atas perbuatan pidana berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum Indonesia lebih
mengutamakan peraturan perundang-undangan sebagai sumber hukum,
dibandingkan dengan sumber hukum lainnya. Berbeda dengan sistem hukum yang
dianut oleh negara-negara yang menggunakan sistem hukum common law yang
lebih mengedepankan atau mengutakan case law dari pada peraturan
perundang-undangan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai
tindak pidana sangat diperlukan dalam sistem hukum nasional.
Berbicara mengenai hukum pidana, tidak akan terlepas dari perbuatan
pidana atau tindak pidana, dan juga pertanggungjawaban pidana. Setiap orang
atau korporasi yang melakukan tindak pidana, harus mempertanggungjawabkan
atas perbuatannya tersebut. Bentuk pertanggungiawaban pidana adalah dengan
menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Secara sederhana,
sanksi dapat diartikan sebagai suatu ganjaran yang bersifat negatif.
Sanksi adalah perbuatan sebuah akibat ataupun konsekuensi yang harus
diterima dan dilaksanakan oleh pelaku tindak pidana sebagai bentuk
pertanggungjawabannya dalam koridor hukum. Orang yang melakukan perbuatan
pidana akan di pidana apabila dia mempunyai kesalahan yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut :30
1. Mampu bertanggungjawab
2. Dengan sengaja atau alpa
3. Tidak ada alasan pemaaf.
Sanksi haruslah dipandang sebagai salah satu unsur yang esensial, bila kita
melihat hukum sebagai kaidah. Hampir semua yuris yang berpandangan dogmatik,
memandang bahwa hukum sebagai kaidah bersanksi yang didukung oleh otoritas
tertinggi di dalam masyarakatnya.31
Sedangkan pidana dapat pula diartikan sebagai hukuman. Van Hammel
mengatakan pidana merupakan suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah
dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama
negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang
pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu
peraturan hukum yang harus ditegakkan.32
Simons berpendapat bahwa pidana merupakan suatu penderitaan yang oleh
Undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggar terhadap suatu norma
yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.33
Dapat dikatakan bahwa, sanksi pidana merupakan bentuk ganjaran yang
diberikan oleh penguasa melalui peraturan perundang-undangan kepada pelaku
tindak pidana. Pemberian sanksi pidana tersebut pada umumnya bertujuan untuk
memberikan efek jerah kepada pelaku tindak pidana. Roger Hood berpendapat
bahwa sasaran pidana di samping untuk mencegah si terpidana atau pembuat
Aksara Baru, 1983), h. 10.
31 Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum (Jakarta: PT.Chandra Pratama ), h. 62.
32 P.A.F. Lamintang, Hukum Pidana I : Hukum Pidana Material Bagian Umum (Bandung: Bina Cipta, 1987), h. 17. Dalam Marlina, Op.cit. h. 16.
potensial melakukan tindak pidana juga untuk :34
1. Memperkuat kembali nilai-nilai sosial
2. menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan
Roeslan Saleh berpendapat bahwa pada hakikatnya ada dua poros yang
menentukan garis hukum pidana, yaitu :35
1. Dari segi prevensi, yaitu bahwa hukum pidana adalah hukum sanksi,
suatu upaya untuk dapat mempertahankan kelestarian hidup bersama
dengan melakukan pencegahan kejahatan.
2. Dari segi pembalasan, yaitu baha hukum pidana sekaligus merupakan
pula menentuan hukum, merupakan koreksi dan reaksi atas sesuatu ang
bersifat melawan hukum. Sehingga dapat dikatakan bahwa pidana
adalah merupakan perlindungan terhadapt masyarakat dan pembalasan
atas perbuatan melawan hukum.
Sanksi pidana merupakan salah satu cara untuk menanggulangi tindak
pidana. Herbert L. Packer menyatakan :36
1. The criminal law sanction is indispensable, we could not now or in the
foreseeable feauture, without is. (Sanksi pidana sangatlah diperlukan.
Kita tidak dapat hidup sekarang maupun di masa yang akan datang
tanpa pidana).
2. The criminal law sanction is the best available device we have for
dealing with gross and immediate harms and threats of harm. (Sanksi
pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia yang kita miliki
34 Ibid. h. 24. 35
untuk menghadapi bahaya-bahaya besar dan segera serta untuk
menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya).
3. The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatened
of human freedom. Used providentially and humanely, it is guarantor ;
used indiscriminately and coercively, it is threatener. (sanksi pidana
suatu ketika merupakan penjamin yang utama atau terbaik dan suatu
ketika merupakan pengancam yang utama dari kebebasan manusia. Ia
merupakan penjamin apabila digunakan secara hemat, cermat dan
secara manusiawi, ia merupakan pengancam apabila digunakan secara
sembarangan dan secara paksa).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
sanksi pidana merupakan unsur terpenting dalam hukum pidana, karena berisikan
ancaman pidana atau ancaman hukuman terhadap pelaku yang melakukan tindak
pidana, baik orang perorangan, maupun korporasi.
Berdasarkan Pasal 10 KUHP, bentuk-bentuk pidana terdiri atas :
1. Pidana Pokok
a. Pidana Mati
b. Pidana Penjara
c. Pidana Kurungan
d. Pidana denda
2. Pidana Tambahan
a. Pencabutan hak-hak tertentu