• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit (LCPKS)

Proses pengolahan Tandan Buah Segar (TBS) menjadi Crude Palm Oil (CPO) menghasilkan biomassa produk samping yang jumlahnya sangat besar. Tahun 2004 volume produk samping sawit sebesar 12.365 juta ton Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), 10.215 juta ton cangkang dan serat,

dan 32.257 – 37.633 juta ton limbah cair (Palm Oil Mill Effluent /POME). Jumlah ini akan terus meningkat dengan meningkatnya produksi TBS Indonesia. Produksi TBS Indonesia di tahun 2004 mencapai 53.762 juta ton dan pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 64.000 juta ton. (Mahajoeno, 2007)

Limbah dari industri kelapa sawit meliputi limbah padat, cair dan gas. Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS), ampas, batok/cangkang serta lumpur dari kolam pengolah limbah cair merupakan bentuk limbah padat. Limbah cair berasal dari pemisahan antara air dan minyak yang terkandung dalam mesokarp buah melalui proses sentrifugasi, sedangkan limbah gas dihasilkan dari penguraian bahan organik yang terkandung dalam buangan cair, serta dari gas hasil pembakaran bahan bakar pada ketel uap boiler dan incinerator. Sebagian limbah padat dibakar pada incinerator yang menghasilkan panas, dimanfaatkan sebagai energi pembangkit uap, abu yang dihasilkan dijadikan pupuk dan dicampur dengan buangan cair di dalam kolam.

Limbah cair industri kelapa sawit memiliki kadar air 95%, dengan 4,5% padatan dalam bentuk terlarut/ tersuspensi, 0.5-1% sisa minyak dan lemak emulsi (Tabel 1). Selama proses pengolahan limbah akan terjadi pelepasan asam lemak bebas. Limbah cair industri kelapa sawit juga memiliki temperatur yang tinggi, 60-80oC, yang berasal dari proses kondensasi (Harry, 1999). Nilai pH yang mencapai 4,3 menunjukkan bahwa limbah tersebut mengandung asam mineral atau asam organik. Selain itu, mengingat gas CO2 dihasilkan oleh penguraian zat organik oleh mikroorganisme, maka setelah berdifusi dengan air akan terbentuk asam karbonat yang bersifat asam.

Tabel 1. Karakteristik limbah cair dari kegiatan industri kelapa sawit (Harry, 1999)

Parameter mg/L,

kecuali pH

Baku mutu maks (mg/L) Beban pencemaran maks (ppm) pH 4.1 6-9 - TS 46.185 TSS 21170 250 0.63 COD 34720 350 0.88 BOD 21280 100 0.25

Minyak dan lemak NH4- N 3100 13 25 50 0.0631 0,125

Kapasitas air buangan menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit (1992 - 1993) volume air berkisar 1.0-1.3 m3 /ton tandan buah segar atau 2-3 ton air buangan /ton minyak (Tobing et al., 2003). Dalam produksi, industri memproses 30 ton tandan buah segar per jam sehingga kapasitas air buangan operasional maksimal 20/jam/hari dan menghasilkan limbah cair 600 – 700 m3/hari (Harry, 1999).

Kandungan zat organik yang cukup tinggi di beberapa kolam air limbah berasal dari (Harry, 1999) :

1. Air limbah kondensasi tahap sterilisasi (15% jumlah limbah cair) dan penjernihan (75% jumlah limbah cair). Hidrokson yang digunakan untuk memidahkan daging dalam batok merupakan sumber utama air limbah (10% jumlah limbah cair).

2. Sterilisasi tandan buah menghasilkan kondensat kukus dan air cucian. Air cucian dihasilkan dari pemerasan minyak biji/serat pada tahap pencucian daging buah.

3. Air panas digunakan untuk mencuci ayakan getar, sebelum tangki penjernih minyak. Air yang dipisahkan dari minyak dan dari lumpur tangki penjernih merupakan sumber utama minyak, padatan tersuspensi dan bahan organik lain.

LCPKS bersifat nontoksik karena tidak menggunakan bahan kimia dalam proses ekstraksi minyak (Ahmad et al., 2004). Perbandingan BOD dan COD yang tinggi, yaitu 0.6 menunjukkan bahwa limbah industri kelapa sawit bersifat biodegrable dan cukup baik diolah secara biologi.

Phang (1990) melaporkan bahwa LCPKS dapat digunakan untuk budidaya mikroalga S. platensis. Dengan memanfaatkan LCPKS untuk budidaya mikroalga, maka akan terjadi penguraian limbah (reduce) sekaligus pemanfaatan biomassa S. platensis yang dihasilkan untuk pakan ternak (reuse). Air bersih yang diperoleh dapat digunakan kembali untuk proses produksi (reuse &

recycle).Mikroalga ini telah berhasil dibudidayakan pada beberapa jenis limbah lain, seperti limbah pengolahan singkong dan limbah lateks pekat (Tri-Panji et al., 1994; 1995; 2007). Mikroalga yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, seperti suplemen pakan dan bahkan pangan setelah melalui uji keamanan pangan, serta sebagai sumber bahan aktif farmasetikal (Tri-Panji & Achmadi, 2000). Di samping itu, kadar bahan organik limbah akan berkurang dan kelarutan oksigen akan meningkat. Produksi biomassa S. platensis dan laju penurunan cemaran LCPKS mungkin dapat ditingkatkan melalui penggunaan fotobioreaktor yang akan diteliti pada percobaan ini.

Pemanfaatan LCPKS sebagai media tumbuh S. platensis akan memiliki manfaat ganda sebagai sarana untuk produksi S. platensis dan pengolahan LCPKS. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Siew-Moi (1987) menunjukkan bahwa S. platensis dapat tumbuh dalam LCPKS yang diolah secara anaerob. Biomassa mikroalga yang diperoleh mencapai 33,8 g berat kering/ m2 per hari dengan waktu pertumbuhan lima hari. Limbah yang dihasilkan dari pengolahan ini menjadi lebih baik dan dapat digunakan kembali (didaur ulang) untuk keperluan di pabrik.

Penentuan tingkat penerimaan mikroalga S. platensis sebagai makanan atau bahan-bahan pangan diperlukan beberapa prosedur penentuan keberadaan racun. Menurut Wahyudin dan Indastri (1991), penggunaan protein sel tunggal seperti S. platensis sebagai makanan dan sumber protein pada hasil akhir perlu diperhatikan faktor-faktor berikut: 1) Daya larut, 2) Tidak berwarna atau berbau, 3) Tidak beracun, 4) Kandungan asam nukleatnya rendah, 5) Kandungan bakteri sedikit, 6) Mempunyai nilai biologis tinggi, dan 7) Mempunyai manfaat yang baik.

2.3. Fotobioreaktor

Fotobioreaktor merupakan bioreaktor yang digunakan untuk kultivasi mikroorganisme fotosintetik. Komponen utama yang membedakan kinerja fotobioreaktor adalah adanya sistem pencahayaan buatan dengan intensitas tertentu. Berdasarkan letak sumber cahaya relatif terhadap tabung reaktor, fotobioreaktor dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu fotobioreaktor dengan sistem pencahayaan dari luar tabung (external illumination) dan fotobioreaktor dengan sistem pencahayaan dari dalam tabung (internal illumination). Fotobioreaktor yang digunakan untuk pembiakan S. platensis adalah fotobioreaktor dengan sistem pencahayaan dari luar (external illumination).

Fotobioreaktor digunakan untuk memberikan asupan energi cahaya yang efektif dalam menumbuhkan kultur S. platensis. Pada budidaya mikroalga, energi sinar matahari diperlukan untuk proses fotosintesis. Gas CO2 yang diserap dalam klorofil diolah bersama air menjadi karbohidrat yang

dibutuhkan tanaman, serta oksigen yang dilepas ke udara. Keunggulan dari kultur mikroalga yang dilakukan dalam fotobioreaktor adalah kondisi steril dapat dipertahankan sehingga tingkat kontaminasi rendah, produksi terkontrol, desain dapat disesuaikan dengan kebutuhan industri, serta tidak memerlukan lahan yang luas. Fotobioreaktor merupakan sistem tertutup yang dapat mencegah penguapan air dan CO2 serta lebih mudah diamati dan dikontrol.

Beberapa model fotobioreaktor telah diteliti, diawali sejak tahun 1950an oleh Davis dan kawan-kawan (1953) di Carnegie Institution di Washington. Fotobioreaktor tersebut berkapasitas satu liter, 65% nya dalam bentuk tabung gelas maupun plastik dan sisanya berupa ruang pengendapan.

Kelemahan penggunaan tabung plastik sebagai bejana fotobioreaktor adalah ketidakstabilan tabung plastik terhadap panas dan cahaya matahari. Tabung plastik mudah rusak akibat foto degradasi, sehingga diperlukan proses sirkulasi untuk mendinginkan kultur. Akibatnya, biaya produksi untuk sistem tertutup tersebut lebih tinggi dibandingkan cara kultur konvensional. Sistem pendinginan kultur merupakan proses yang memakan biaya cukup besar. Penghilangan secara keseluruhan sistem pendinginan ini akan mengurangi investasi hingga 50%, sehingga biaya produksi alga akan sama dengan sistem terbuka (Fischer, 1956).

Fotobioreaktor juga dikembangkan oleh Gudin dan Chaumont (1983) untuk kultur

Porphyridium. Menggunakan bahan tabung polietilen berdiameter 64 mm sepanjang 1.500 m. Fotobioreaktor juga dikembangkan untuk kultur S. platensis oleh Florenzano dan kawan-kawan di

Centro di Studio dei Microorganismi Autotrofi di Florence, Italia, menggunakan tabung mika/

plexiglass (Torzillo et al., 1986).

Penelitian lebih baru (Richmond dalam Borowitzka. & Borowitzka, 1987) tentang bioreaktor tabung untuk kultur Spirulina telah dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Mikroalga, Israel. Bioreaktor berbentuk tabung ini terdiri dari (a) pompa aerasi gelembung udara/air-lift, (b) pemisah gas, (c) tabung tembus cahaya yang dipasang paralel dan dihubungkan dengan penghubung satu sama lainnya. Reaktor berbentuk pipa dari bahan polikarbonat berdiameter luar 3,2 cm dan diameter internal 3,0 cm. Disain bioreaktor ini memiliki keunggulan dibandingkan bioreaktor berbentuk tabung yang dihubungkan dengan pipa U, karena dengan disain tersebut tidak banyak kehilangan tekanan, sehingga lebih mudah dikembangkan ke skala industri.

Selain fotobioreaktor yang disusun mendatar, ada pula fotobioreaktor yang dibuat dalam bentuk kumparan (biocoil) terbuat dari tabung PVC berdiameter internal 3 cm, yang diletakkan pada landasan yang mudah dipindahkan. Secara umum, faktor yang mempengaruhi kinerja fotobioreaktor adalah (1) diameter tabung, (2) panjang tabung reaktor, (3) pencampuran kultur, dan (4) perlengkapan sirkulasi. (Richmond dalam Borowitzka & Borowitzka, 1987).

Dokumen terkait