• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUN PERCOBAAN RAMBATAN BPTP SUMATERA BARAT

TINJAUAN PUSTAKA

Bangsa-Bangsa Sapi

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Atas dasar karakteristik tertentu tersebut, mereka dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama, karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya (Tanari, 2001). Setiap bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang bisa membawa risiko yang kurang menguntungkan.

Menurut Blakely dan Bade (1991), secara zoologis sapi termasuk dalam filum Chordata (yaitu hewan yang memiliki tulang belakang), kelas Mamalia (menyusui), ordo Artiodaktil (berkuku atau berteracak genap), sub ordo Ruminansia (pemamah biak), famili Bovidae (tanduknya berongga), genus Bos (pemamah biak berkaki empat). Spesiesnya terbagi dua, yaitu Bos Taurus (sebagian besar bangsa sapi yang ada) dan Bos indicus (sapi-sapi yang memiliki punuk). Natasasmita dan Mudikdjo (1985) menambahkan, spesies sapi terdiri dari : Bos taurus (sapi-sapi Eropa), Bos indicus (sapi-sapi bergumba atau Zebu asal India dan Afrika), dan Bos sondaicus (sapi-sapi lokal Indonesia).

Masing-masing jenis ternak terdiri atas berbagai bangsa, yaitu sekelompok ternak yang memiliki kesamaan sifat yang dapat diturunkan. Beberapa contoh bangsa sapi yang termasuk Bos taurus misalnya sapi Friesian Holstein (FH), Jersey, Shorthorn, Angus, dan lain-lain. Sedangkan bangsa sapi yang termasuk Bos indicus misalnya sapi Ongole, Brahman, Angkole, Boran, dan lain-lain. Contoh Bos sondaicus yang terkenal adalah Banteng dan sapi bali (Natasasmita dan Mudikdjo, 1985).

Natasasmita dan Mudikdjo (1985) menjelaskan bahwa bangsa-bangsa sapi yang sudah lama ada di Indonesia dan dianggap sebagai sapi lokal adalah sapi bali (termasuk Bos sondaicus), serta peranakan Ongole (PO), sapi madura, sapi jawa, sapi Sumatera (sapi pesisir), dan sapi Aceh yang kesemuanya dianggap sebagai keturunan sapi Bos sondaicus dan Bos indicus. Diantara bangsa sapi yang besar populasinya adalah sapi bali, sapi Ongole, serta Peranakan Ongole (PO) dan sapi madura.

4

Sapi Peranakan Ongole

Sapi Peranakan Ongole (PO) adalah sapi hasil persilangan antara sapi Ongole dengan sapi lokal di pulau Jawa secara grading up. Ciri khas sapi tersebut berpunuk besar, bergelambir longgar dan berleher pendek. Kulit berwarna kuning dengan bulu putih atau putih kehitam-hitaman. Kulit di sekeliling mata, bulu mata, moncong, kuku, dan bulu cambuk pada ujung ekor berwarna hitam. Kepala pendek dengan profil melengkung. Mata besar dengan sorot yang tenang. Tanduk pendek dan tanduk pada sapi betina berukuran lebih panjang dibandingkan dengan sapi jantan. Telinganya panjang dan menggantung (Sarwono dan Arianto, 2003).

Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1985) ciri-ciri sapi PO diantaranya bertubuh besar, bergumba besar, dan bergelambir lebar; bobot hidup jantan dewasa (350-450kg), betina dewasa (300-400kg); kebanyakan warna rambutnya putih abu-abu dengan campuran rambut hitam dan merah, sedangkan waktu lahir berwarna kecoklatan; panjang badan (jantan 133 cm; betina 132 cm), lingkar dada (jantan 172 cm; betina 163 cm); dan produksi karkas 45% (jantan dan betina).

Sapi Simmental

Sapi Simmental adalah bangsa Bos taurus, berasal dari daerah Simme di negara Switzerland tetapi sekarang berkembang lebih cepat di benua Eropa dan Amerika, merupakan tipe sapi perah dan pedaging, warna bulu coklat kemerahan (merah bata), dibagian muka dan lutut kebawah serta ujung ekor berwarna putih, sapi jantan dewasanya mampu mencapai berat badan 1.150 kg sedang betina dewasanya 800 kg. Bentuk tubuhnya kekar dan berotot, sapi jenis ini sangat cocok dipelihara di tempat yang iklimnya sedang. Persentase karkas sapi jenis ini tinggi, mengandung sedikit lemak. Sapi Simmental dapat difungsikan sebagai sapi perah dan potong (Sugeng, 2006).

Secara genetik, sapi Simmental adalah sapi potong yang berasal dari wilayah beriklim dingin, merupakan sapi tipe besar, mempunyai volume rumen yang besar, voluntary intake (kemampuan menambah konsumsi di luar kebutuhan yang sebenarnya) yang tinggi dan metabolic rate yang cepat, sehingga menuntut tata laksana pemeliharaan yang lebih teratur.

5

Sistem Pemeliharaan

Salah satu upaya untuk meningkatkan populasi dan mempercepat penyebaran ternak besar oleh peternak adalah dengan cara pemeliharaan ternak tersebut. Pemeliharaan ternak yang baik sangat mempengaruhi perkembangbiakan serta terjaminnya kesehatan ternak (Hernowo, 2006).

Peternak dalam memelihara ternaknya harus berdasarkan prinsip-prinsip pemeliharaan dan pembiakan hewan tropis yaitu : pengawasan lingkungan, pengawasan status kesehatan, pengawasan pegawai, pengawasan makan dan air minum, pengawasan sistem pengelolaan dan pengawasan kualitas hewan ternak (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).

Sistem pemeliharaan sapi potong dikategorikan dalam tiga cara yaitu sistem pemeliharaan intensif yaitu ternak dikandangkan, sistem pemeliharaan semi intensif yaitu tenak dikandangkan pada malam hari dan dilepas di ladang penggembalaan pada pagi hari dan sistem pemeliharaan ekstensif yaitu ternak dilepas di padang penggembalaan (Hernowo, 2006).

Perkandangan

Kandang memiliki beberapa fungsi penting dalam suatu usaha sapi potong yaitu : (1) melindungi sapi potong dari gangguan cuaca, (2) tempat sapi beristirahat dengan nyaman, (3) mengontrol sapi agar tidak merusak tanaman di sekitar lokasi peternakan, (4) tempat pengumpulan kotoran sapi, (5) melindungi sapi dari hewan pengganggu, (6) memudahkan pemeliharaan, terutama dalam pemberian pakan, minum dan mempermudah pengawasan kesehatan (Abidin, 2002).

Menurut Abidin (2002), pembuatan kandang harus memperhatikan syarat-syarat teknis antara lain : (1) luas kandang harus dibuat sesuai dengan jumlah sapi, (2) kandang terbuat dari bahan-bahan berkualitas sehingga tahan lama, (3) kandang menghadap ke timur sehingga matahari pagi dapat masuk secara langsung, (4) sistem ventilasi kandang harus baik, (5) kandang dibangun dengan memperhatikan arah angin yang dominan dan bagian muka sapi tidak mendapat kontak langsung dengan angin yang bertiup. Kandang yang akan dibangun harus kuat, memenuhi syarat kesehatan, mudah dibersihkan, mempunyai drainase yang baik, sikulasi udara yang bebas dan dilengkapi tempat makan dan minum sapi serta bak desinfektan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).

6 Secara umum terdapat dua tipe kandang yaitu kandang individual dan kandang koloni. Kandang individu digunakan bagi satu ekor sapi dengan ukuran 2,5x1,5m. Tujuan dibuatnya kandang individu adalah memacu pertumbuhan sapi potong lebih pesat dimana ruang gerak sapi terbatas. Kondisi sapi di kandang individual lebih tenang dan tidak mudah stres. Kandang koloni dipergunakan bagi sapi bakalan dalam satu periode penggemukan yang ditempatkan dalam satu kandang dengan luas minimum 6m2. Model kandang koloni memungkinkan terjadinya persaingan antar sapi dalam memperebutkan pakan, akibatnya sapi yang menang akan memilki pertumbuhan yang cepat. Dibandingkan dengan tipe kandang individual, pertumbuhan sapi di kandang koloni relatif lebih lambat karena ada energi yang terbuang akibat gerakan sapi yang lebih leluasa. Kebersihan kandang juga harus diperhatikan karena kotoran dan urin sapi akan segera terinjak-injak oleh sapi (Abidin, 2002).

Pakan

Usaha ternak sapi potong yang efisien dan ekonomis bisa menjadi kenyataan apabila tuntutan hidup mereka terpenuhi, salah satu tuntutan utama adalah pakan. Dengan adanya pakan, tubuh hewan akan mampu bertahan hidup dan kesehatan terjamin. Pemberian pakan kepada ternak sapi potong bertujuan untuk kebutuhan pokok hidup dan perawaan tubuh dan keperluan berproduksi (Sugeng, 2005).

Selanjutnya Sugeng (2005), menyatakan bahwa pemberian zat-zat pakan yang disajikan harus disesuaikan dengan tujuannya masing-masing. Tujuan pemberian pakan dibedakan menjadi dua yaitu makanan perawatan untuk mempertahankan hidup dan kesehatan, serta makanan produksi untuk pertumbuhan dan pertambahan berat. Kebutuhan pakan sapi tropis berbeda dengan sapi subtropis. Sapi tropis yang adaptasinya terhadap lingkungan cukup bagus membutuhkan pakan relatif lebih sedikit daripada sapi subtropis.

Menurut Natasasmita dan Mudikdjo (1979), bahan pakan dikelompokkan menjadi dua yaitu :

1. Menurut asalnya pakan terdiri dari : (1) hijauan alami (rumput lapangan), (2) hijauan tanaman (rumput gajah), (3) hasil limbah pertanian (jerami), (4) hasil limbah industri (bungkil), (5) hasil pengawetan (silase, selai).

7 2. Menurut kandungan zat makanan dan fungsinya dalam memenuhi kebutuhan ternak terdiri dari : (1) hijauan kering, (2) hijauan segar, (3) silase, (4) sumber energi, (5) sumber protein, (6) sumber mineral, (7) sumber vitamin, dan (8) makanan tambahan.

Pengelolaan pakan akan sangat menentukan tingkat keberhasilan pemeliharaan sapi. Oleh karena itu, cara-cara pengelolaannya harus dipahami. Ketersediaan padang penggembalaan pada pemeliharaan ternak sapi diperlukan sekali sebagai sumber pakan hijauan. Pemberian pakannya dapat dilakukan dengan pemotongan rumput tersebut, kemudian diberikan pada ternak sapi yang ada di dalam kandang. Pemberian pakan seperti ini disebut cut and carry. Selain itu, rumput juga dapat dikonsumsi langsung oleh sapi di areal padang penggembalaan berdasarkan pada stocking rate (daya tampung) padang penggembalaan tersebut untuk mencukupi kebutuhan penggembalaan setiap UT (Unit Ternak) (Santosa, 2005). Ketersediaan pakan harus mencukupi kebutuhan ternak, baik yang berasal dari hijauan/rumput, maupun pakan konsentrat yang dibuat sendiri atau berasal dari pabrik (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).

Menurut Santosa (2005) bahwa dalam memilih bahan pakan, beberapa pengetahuan penting berikut ini harus diketahui sebelumnya yaitu :

1. Bahan pakan harus mudah diperoleh dan sedapat mungkin terdapat di daerah sekitar sehingga tidak menimbulkan masalah biaya transportasi dan kesulitan mencarinya;

2. Bahan pakan harus terjamin ketersediaannya sepanjang waktu dalam jumlah yang mencukupi keperluan;

3. Bahan pakan harus mempunyai harga yang layak dan sedapat mungkin mempunyai fluktuasi harga yang tidak besar;

4. Bahan pakan diusahakan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia yang sangat utama. Seandainya harus menggunakan bahan pakan tersebut maka usahakanlah agar digunakan satu macam saja;

5. Bahan pakan harus dapat diganti dengan bahan pakan lain yang kandungan zat-zat makanannya hampir setara;

6. Bahan pakan tidak mengandung racun dan tidak dipalsukan atau tidak menampakkan perbedaaan warna, bau atau rasa dari keadaan normalnya.

8

Perkawinan

Sapi dapat dikembangbiakan dengan dua metode yang umum dikenal, yaitu : 1) metode alamiah yaitu sapi jantan pemacek dikawinkan dengan sapi betina yang sedang birahi, sperma sapi jantan pemacek untuk perkawinan alamiah hanya mampu melayani 120 ekor sapi betina/tahun, dan 2) metode inseminasi buatan (IB), metode ini lebih populer dikenal dengan kawin suntik. Perkawinan dilakukan dengan bantuan peralatan khusus dan manusia (inseminator), seekor sapi jantan pemacek sebagai sumber sperma dapat dipergunakan untuk mengawini sapi betina sampai 20.000 ekor/tahun (Hernowo, 2006).

Perkawinan keluarga merupakan perkawinan antara individu yang mempunyai hubungan keluarga yang dekat, misalnya antara anak dengan bapak. Tujuan sistem perkawinan yang demikian adalah :

1. Meningkatkan kemurnian, sehingga daya menurunkan sifat bertambah.

2. Memungkinkan timbulnya sifat jelek, sehingga segera dapat dilakukan penyisihan. Ternak yang sifatnya jelek tidak dikembangbiakkan (Hernowo, 2006).

Menurut Santosa (2005) keterampilan dalam melihat tanda-tanda berahi ternak sapi betina sangat menentukan keberhasilan perkawinan ternak sapi. Tanda-tanda yang lazim nampak pada ternak sapi adalah : sapi betina tidak tenang (gelisah), nafsu makan berkurang, sering melenguh dan mendekati pejantan dan sering menaiki sapi lain dan jika dinaiki akan diam.

Selain itu Santosa (2005) menyatakan tanda khusus dari vulva adalah keadaannya yang tampak memerah, membengkak dan keluar lendir bening. Bila sudah terlihat tanda-tanda berahi, secepatnya sapi betina tersebut dikawinkan. Perkawinan akan berhasil apabila dilakukan terutama pada 15-18 jam setelah tanda-tanda berahi mulai tampak. Apabila perkawinan dilakukan sebelum mencapai 6 jam setelah tanda berahi tampak maka perkawinan kurang berhasil. Namun apabila perkawinan dilakukan setelah 28 jam setelah tanda-tanda berahi tampak maka perkawinan akan mengalami kegagalan.

9

Limbah Peternakan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, limbah peternakan dibedakan menjadi dua yaitu limbah ternak dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, limbah ternak adalah feses dan urin sedangkan dalam arti luas ialah sisa dari produksi peternakan setelah diambil hasil utamanya. Berdasarkan pengertian tersebut, yang dimaksud dengan limbah peternakan adalah kulit, tanduk, bulu, tulang, dan isi rumen (Wiryosuharto, 1985). Total limbah yang dihasilkan peternakan tergantung dari spesies ternak, besar usaha, tipe usaha dan lantai kandang.

Menurut Soehadji (1992), limbah peternakan meliputi semua kotoran yang dihasilkan dari suatu kegiatan usaha peternakan baik berupa limbah padat dan cairan, gas, maupun sisa pakan. Limbah padat merupakan semua limbah yang berbentuk padatan atau dalam fase padat (kotoran ternak, ternak yang mati, atau isi perut dari pemotongan ternak). Limbah cair adalah semua limbah yang berbentuk cairan atau dalam fase cairan (air seni atau urin, air dari pencucian alat-alat). Sedangkan limbah gas adalah semua limbah berbentuk gas atau dalam fase gas. Setiap usaha penggemukan sapi potong harus membuat unit pengolahan limbah perusahaan (padat, cair dan gas) yang sesuai dengan kapasitas produksi limbah yang dihasilkan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2000).

Limbah peternakan yang berupa kotoran dan sisa pakan dapat menurunkan mutu lingkungan dan dapat mengganggu kesehatan. Kotoran ternak yang tercecer akan terbawa oleh aliran air hujan ke daerah-daerah yang lebih rendah dan selanjutnya akan menyebabkan penyakit (Setiawan, 1996). Penanganan limbah yang biasa dilakukan peternak adalah dengan menampung di kolam terbuka sehingga fermentasi aerob dan degradasi senyawa organik berlangsung sangat lambat (Widarto dan Suryana, 1995).

10

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di sekitar (dalam radius ±3 km2) Kebun Percobaan Rambatan Komplek Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai Maret 2011.

Materi

Bahan yang digunakan yaitu kuesioner kepada 40 peternak yang digunakan untuk mengetahui dan mengevaluasi manajemen pemeliharaan sapi potong dan sapi potong sebanyak 169 ekor yang terdiri dari sapi Pesisir, sapi Simmental dan sapi Peranakan Ongole (PO). Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya wearpack, alat tulis, kamera digital dan meteran.

Prosedur

Penelitian dilakukan dengan cara pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dengan pengambilan data melalui survei terhadap peternak sampel dan peternak di sekitar Kebun Percobaan Rambatan Komplek Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Data sekunder diperoleh dari kelompok tani ternak setempat (karakteristik peternak), Kantor Kecamatan (data demografi wilayah Kecamatan Rambatan) dan Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Datar (data populasi ternak dan informasi perkawinan ternak). Data yang diolah meliputi manajemen pemeliharaan seperti perkandangan, pakan (hijauan makanan ternak), perkawinan, kesehatan, pengelolaan limbah peternakan dan pemasaran. Adapun data primer yang dikumpulkan adalah :

1. Identitas peternak meliputi nama, umur, latar belakang pendidikan, jumlah anggota keluarga dan pekerjaan.

2. Identitas sapi, meliputi jumlah sapi, jenis kelamin sapi, umur sapi, dan jenis sapi.

3. Jumlah pakan dan air minum yang diberikan, meliputi sistem pemberian air minum, jenis pakan (hijauan maupun konsentrat), perbandingan antara pemberian hijauan dan konsentrat, frekuensi pemberian, dan jumlah yang diberikan per hari.

11 4. Sistem perkandangan, meliputi bentuk kandang (individu atau kelompok), ukuran kandang, keadaan sekitar kandang, jenis bahan bedding, volume bedding, frekuensi penambahan dan penggantian bedding, jarak kandang dari pemukiman penduduk dan peralatan yang tersedia di kandang.

5. Pengelolaan limbah, meliputi cara pembersihannya, waktu pembersihan, frekuensi pembersihan, dan jumlah rata-rata feses. Hal tersebut akan dikait-kan dengan proses pengolahan feses selanjutnya.

6. Proses pengolahan feses yang meliputi produksi (berkaitan dengan pembersi-han kandang), pengumpulan feses, pengangkutan feses, pengolapembersi-han feses, pe-nyimpanan, dan penggunaannya.

7. Kebersihan lingkungan sekitar, meliputi kebersihan di sekitar kandang. 8. Kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data secara analisis deskriptif.

Rancangan

Penelitian ini menggunakan metode survei. Metode survei adalah metode pengumpulan informasi (data) dari sampel untuk mewakili seluruh populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Teknik observasi yaitu pengumpulan data dilakukan dengan mengadakan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui fenomena atau gejala yang ada pada objek-objek penelitian. Pengambilan sampel dilakukan secara purposive yaitu pengambilan sampel dilakukan kepada peternak yang tinggal pada radius ±3 km2 di sekitar Kebun Percobaan Rambatan. Ukuran sampel atau jumlah peternak responden yang diambil dalam penelitian sebanyak 12,5% (40 peternak dari keseluruhan peternak yang ada di desa Rambatan yaitu ±320 orang). Peternak bersifat homogen. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer didapat dari semua responden melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner atau daftar pertanyaan yang disusun secara terstruktur. Data sekunder diperoleh dari kelompok ternak setempat, Kantor Desa, Kantor Kecamatan dan Dinas Peternakan Kabupaten Tanah Datar.

Data yang dikumpulkan meliputi keadaan umum daerah Rambatan dan sekitarnya, karakteristik peternak responden sebagai tenaga kerja, jumlah sapi yang dipelihara, pakan ternak, dan sisem pemeliharaan yang meliputi perkandangan, pakan, perkawinan, serta kesehatan ternak. Analisis deskiptif digunakan untuk

12 mendeskripsikan karakteristik peternak responden. Karakteristik peternak yang diamati meliputi umur, pendidikan dan kepemilikan ternak.

13

HASIL DAN PEMBAHSAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) sebagai wilayah agraris memiliki potensi yang besar untuk meningkatkan produksi peternakan, terutama ternak sapi. Pada satu sisi, produksi peternakan di Sumatera Barat telah mencukupi kebutuhan lokal dan mampu menutupi sebagian kebutuhan daging dari provinsi terdekat seperti Provinsi Riau, Jambi dan Sumatera Utara. Namun di sisi lain, potensi sumberdaya alam Sumbar masih cukup besar untuk meningkatkan produksi peternakan dan memberi sumbangan pada upaya mencukupi kebutuhan daging nasional. Hal ini juga didukung oleh budaya masyarakatnya yang sudah terbiasa beternak sapi semenjak dahulu.

Wilayah kabupaten Tanah Datar terletak di tengah-tengah Provinsi Sumatera Barat, yaitu pada 00º17" LS - 00º39" LS dan 100º19" BT – 100º51" BT. Ketinggian rata-rata 400 sampai 1000 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Tanah Datar merupakan salah satu dari tujuh kabupaten terbaik di Indonesia dari 400 kabupaten yang ada. Penghargaan ini diberikan pada tahun 2003 oleh Lembaga International Partnership dan Kedutaan Inggris. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menobatkan Kabupaten Tanah Datar sebagai satu dari empat daerah paling berprestasi dan berhasil melaksanakan otonomi daerah.

Kabupaten Tanah Datar berbatasan dengan empat kabupaten di Sumatera Barat. Disebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Agam dan Kota Lima Puluh. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kota Sawahlunto dan Kabupaten Solok. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman sedangkan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sawah Lunto Sijunjung. Kabupaten Tanah Datar merupakan daerah yang kaya dengan sumber air. Selain Danau Singkarak, di Kabupaten Tanah Datar terdapat lebih dari 25 buah sungai.

Kabupaten Tanah Datar adalah daerah agraris, lebih dari 70% penduduknya bekerja pada sektor pertanian, baik pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan maupun peternakan. Begitu juga dengan usaha masyarakat pada sektor lain juga berbasis pertanian seperti pariwisata dan industri kecil atau agro industri. Pontensi ekonomi Kabupaten Tanah Datar dapat dikategorikan atas tiga kategori yaitu sangat potensial, potensial dan tidak potensial. Sektor pertanian yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah ubi kayu, kubis, karet, tebu, peternakan sapi

14 potong, peternakan kuda, peternakan kambing potong, budidaya ayam ras pedaging, ayam bukan ras, budidaya itik dan budidaya ikan air tawar. Sektor lain yang sangat potensial untuk dikembangkan adalah industri konstruksi bangunan sipil, pedagang eceran makanan olahan hasil bumi, usaha warung telekomunikasi, pedagang cinderamata dan wisata sejarah. Potensi ekonomi Kabupaten Tanah Datar yang tergolong potensial untuk sektor pertanian hampir semua potensial kecuali cengkeh, tembakau, bayam dan merica. Sedangkan untuk sektor pertambangan yang potensial dikembangkan adalah galian kapur dan sirtu (pasir batu).

Umumnya kegiatan usahatani dilakukan dalam suatu sistem yang terdiri dari beberapa tipe usahatani. Namun terdapat satu atau lebih komoditas yang mendominasi suatu daerah. Hal ini dapat terjadi karena kondisi agro-ekosistemnya mendukung untuk berkembangnya jenis komoditas tertentu, dan juga sifat sosial budaya masyarakat yang menyebabkan komoditas tersebut terus menerus berkembang. Komoditas unggulan dan andalan untuk tanaman pangan adalah padi sawah, jagung, kedelai, kentang, kubis, pisang, jeruk siam, markisa dan manggis. Komoditas perkebunan yang diunggulkan adalah kakao, gambir, kelapa sawit, karet, kelapa dan kayu manis. Sedangkan komoditas peternakan yang potensial untuk dikembangkan adalah ternak sapi potong, ayam buras dan itik.

Sistem pemeliharaan ternak sapi masih tradisional dengan manajemen yang minim terutama dalam penyediaan pakan yang kurang memadai sepanjang tahun dan penggunaan pejantan yang layak agar membuahkan turunan yang produktif. Usaha peternakan di Sumbar belum begitu berkembang jika dibandingkan dengan Pulau Jawa. Sebagaimana pada jenis ternak pada umumnya, kunci keberhasilan pe-ngembangan industri peternakan pada dasarnya berpangkal pada tiga unsur utama : (1) ketersediaan bibit unggul; (2) ketersediaan dan jaminan mutu pakan; (3) dukungan kelembagaan dengan perangkat lunak yang menunjang, termasuk kebijakan daerah, infrastruktur dan pemasaran.

Usaha peternakan tradisional dalam skala kecil hanya merupakan penunjang kegiatan agribisnis, sebab kemampuannya terbatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan belum sepenuhnya berorientasi pasar. Usaha peternakan di Sumbar didominasi oleh pelaku tradisional yang belum mampu untuk menjadi salah satu andalan pertumbuhan peternakan. Walaupun demikian, potensi yang ada

15 memberikan peluang besar bagi pengembangan ternak sapi di Sumbar. Usaha peternakan sapi yang terdapat di Sumatera Barat umumnya didominasi oleh sapi lokal dan sapi persilangan unggul seperti Simmental, Limousine, Brahman, Angus dan jenis lainnya.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumbar

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Barat merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bidang penelitian dan pengembangan pertanian yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari dikoordinasikan oleh Kepala Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian (BBP2TP), ditetapkan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 16/Permentan/OT.140/2006 tanggal 1 Maret 2006 dengan wilayah kerja Provinsi Sumatera Barat. Denah lokasi Kebun Percobaan Rambatan dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber:http://www.google.cm/imgres?imgurl=http://geospasial.bnpb.go.id/wpcontent/uploads/2009 /10/2009-10-12_peta_administrasi_tanah_datar

Gambar 1. Kebun Percobaan Rambatan

BPTP Sumatera Barat telah mengalami beberapa kali perubahan sebelumnya bernama Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sukarami dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No.798/KPTS/OT.210/12/94 tanggal 4 November 1994 yang merupakan penggabungan Balai Penelitian Tanaman Pangan

16 (Balittan) Sukarami dengan Balai Informasi Pertanian (BIP) Sumbar, BIP Bengkulu, Sub Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat-obatan (Balitro) Laing dan Laboratorium Bukittinggi dengan wilayah kerja mencakup Provinsi Sumatera Barat

Dokumen terkait