• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia, terutama perilakunya, menjadi titik sentral dalam hubungan manusia dengan lingkungan. Masalah lingkungan menjadi pem-bahasan serius pelbagai kalangan, karena saat ini krisis lingkungan telah membahayakan bukan hanya kepada lingkungan alam dan sosial saja, tetapi juga telah mengubah perilaku manusia dalam mengguna-kan dan memanfaatmengguna-kan alam dengan cara kurang memperhatimengguna-kan aspek etik dan estetik. Demikian pun, kerusakan lingkungan sosial telah meruntuhkan dan hampir menghancurkan sistem persaudara-an, menjadi lingkungan yang tidak lagi ramah terhadap semua manusia, terutama kaum yang termarginalkan. Lingkungan yang ramah gender harus merupakan lingkungan di mana setiap orang merasa ‘kerasan’ berada di dalamnya.

A. Krisis Lingkungan

Masalah lingkungan menjadi isu penting di pelbagai kalangan, baik akademisi maupun praktisi, mengingat jika masalah ini dibiarkan berlarut, akan mengancam kelangsungan kehidupan di bumi, bukan saja berdampak kepada manusia dan kemanusiaan, tetapi juga kepada seluruh makhluk hidup beserta seluruh alam seisinya.

Krisis lingkungan pada dasarnya merefleksikan adanya ketidak-harmonisan hubungan manusia dengan lingkungan alamnya, padahal hubungan manusia dengan lingkungan alam seharusnya terjadi keseimbangan (equilibrium), sebagaimana pesan Tuhan dalam QS. Al-Baqarah [2]:3 bahwa manusia diharapkan menjadi pemelihara alam di bumi (kholifah fil ardh).

ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Betapapun iptek selalu memiliki dua sisi seperti mata uang, yakni mengandung manfaat yang sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup di bumi, tetapi sekaligus menimbulkan masalah lingkungan. Tidak terbayangkan, bagaimana jadinya manusia tanpa topangan iptek. Iptek dikembangkan sampai pada tingkat sofistifikasi kemampuan optimal manusia, bahkan sampai pada taraf revolutif yang hanya mendasarkan pertimbangan objektif rational. Untuk norma iptek, pertimbangan seperti ini sudah memenuhi syarat validitas dan reliabilitas, namun watak iptek seperti ini berakibat sangat buruk kepada masa depan kehidupan manusia. Sedikitnya, ada tiga akibat yang timbul, yaitu akibat psikologis, perubahan pola perilaku ekologi (pattern of ecological behavior) manusia, dan eksistensi masa depan ekologi bagi manusia.

Krisis lingkungan berimplikasi kepada berbagai aspek yang lebih luas, seperti ekonomi, politik, kebudayaan, hukum, agama, teknologi, pertahanan, keamanan, dan lain-lain. Masalah ledakan jumlah penduduk (population explosion) saja misalnya, akan menimbulkan masalah pemukiman, kepadatan (density), kesesakan (crowding), kebisingan (noise), terganggunya ruang pribadi (personal space), batas personal (territoriality), dan masalah pribadi (privacy). Akibat selanjutnya, terjadi perubahan perilaku manusia terhadap lingkungan. Jika sebelumnya perilaku manusia bersifat etis dan estetis dengan berupaya menjalin keharmonisan dengan lingkungan, belakangan cenderung berperilaku pragmatis dan teknokratis dalam menggunakan dan mengembangkan alam. Perubahan perilaku ini sangat dimungkinkan karena adanya tuntutan kebutuhan yang semakin meningkat, padahal ketersediaan sumber daya alam semakin menipis dan habis.

Maka sudah sewajarnya jika masalah lingkungan menjadi perhatian serius (unit of analysis) pelbagai kalangan saat ini, karena ekologi yang dikutip Arifin (1994:93) merupakan rumah (oikos) tempat tinggal manusia yang di dalamnya terdapat jaringan hubungan (the web of life). Dengan perhatian serius pada masalah lingkungan, diharapkan setidaknya, akan meminimalisir dampak terburuk kepada

masa depan ekologi manusia, yaitu dengan menekankan pentingnya pertimbangan etis estetik pada perkembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan teknologi.

B. Masalah Lingkungan

Ilmu lingkungan sering disebut dengan “ekologi”, yang berasal dari kata “oikos” yang berarti “rumah” dan “logos” adalah ilmu. Jadi secara harfiah ekologi berarti ilmu tentang rumah, tempat tinggal manusia, yaitu alam. Shouthwide (1976:xvi) mendefinisikan, ecology is the scien-tific study of the relationships of living organism with each other and with their environments”. Istilah ekologi mulai diperkenalkan oleh seorang sarjana biologi dari Jerman bernama Ernest Haeckel pada 1869 (Rososoedarmo, dkk., 1989:1). Ilmu lingkungan memusatkan perhatiannya pada masalah lingkungan ditinjau dari kepentingan manusia, bagaimana manusia mempengaruhi alam, dan bagaimana alam dipengaruhi manusia. Menurut Undang-undang No 4/1982 tentang Lingkungan Hidup, yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelang-sungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.

Menurut Humprey & Buttel, ada empat jenis lingkungan yaitu: 1. Lingkungan alam yang alamiah, seperti: satwa liar, deposit bahan

tambang, lautan dan gunung-gunung.

2. Lingkungan alam yang dimodifikasi, seperti: polusi, perkebunan, pemanfaatan sumber daya energi air dan angin.

3. Lingkungan buatan, seperti: perumahan, jalan raya, suasana perkantoran, kompleks pendidikan, arena bermain, gelanggang olah raga, pusat perbelanjaan, pusat layanan kesehatan.

4. Lingkungan sosial, seperti: pergaulan di masyarakat, interaksi guru murid, relasi dalam rumah tangga (Sarlito, 1995:40). Masalah lingkungan, ada yang timbul sebagai akibat dari berbagai gejala alam, yaitu sesuatu yang melekat pada alam dan diselesaikan

oleh alam itu sendiri, seperti: berubahnya sebagian permukaan bumi dari daratan menjadi lautan dan menjadi daratan kembali, hutan yang tumbang oleh letusan gunung berapi dan kemudian menjadi hutan kembali, lembah hijau yang berubah menjadi sabana atau padang pasir, gunung yang menjadi lembah dan lembah yang ditumbuhi gunung-gunung. Ada yang punah, ada yang tumbuh, disebabkan dan di-selesaikan oleh alam itu sendiri.

Ada pula masalah lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia, misalnya penebangan hutan yang tidak bertanggung jawab yang mengakibatkan banjir, penggalian pasir sungai yang tanpa perhitungan sehingga menimbulkan erosi sungai yang menggganggu lingkungan manusia di wilayah aliran sungai tersebut, penggunaan pestisida berlebihan yang menimbulkan kerusakan tanah pertanian, dan lain-lain.

Southwide (1976:ix) menjelaskan beberapa masalah lingkungan yang dihadapi manusia, antara lain:

1. Sumber daya alam terbatas. Semakin bertambah manusia yang menduduki bumi, sumber-sumber daya alam yang tersedia semakin habis dan tidak dapat diperbaharui lagi (unrenewable materials), maka bagaimana manusia dapat memenuhi kebutuhan dengan keterbatasan ini.

2. Pencemaran (polusi) air, udara, laut sebagai akibat dari perusakan lingkungan, keracunan pestisida, rumah kaca yang menimbulkan pemanasan global, ledakan senjata nuklir, limbah industri, atau polusi dari kendaraan bermotor.

3. Penggunaan dan penyalahgunaan tanah yang disebabkan oleh perusakan lingkungan, seperti penebangan yang tidak ber-tanggung jawab yang akan menimbulkan erosi, banjir, hutan gundul, sampah padat, lingkungan kota yang penuh beton yang merusak sanitasi dan resapan air.

4. Ledakan pendudukan yang tidak terkendali

5. Perilaku sosial yang menyebabkan lingkungan kotor, penularan penyakit, atau perilaku asosial, seperti: tindak kekerasan,

kriminalitas, dan konflik.

6. Pemakaian energi yang menimbulkan kekurangan persediaan sumber daya alam maupun polusi, misalnya bahan bakar fosil (minyak, batu bara), atau nuklir.

C. Masalah Psikologi Lingkungan

Pembicaraan masalah lingkungan merupakan hal yang krusial, terutama dalam kaitan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Betapa tidak! Manusia — berbeda dengan makhluk lain – di samping lebih banyak dipengaruhi oleh alam, juga dapat mempengaruhi alam, sehingga keberadaan alam mempunyai dampak terhadap perilaku manusia, dan sebaliknya perilaku manusia berdampak kepada kondisi alam. Oleh karena itu, titik sentral pembahasan psikologi lingkungan adalah pada perilaku manusia yang tidak terpisah dari lingkungan. Perbedaan ekologi dengan psikologi lingkungan, kalau ekologi bersibuk diri mempelajari lingkungan berkaitan dengan kepentingan manusia, sementara psikologi lingkungan mempelajari perilaku manusia yang berkaitan dengan lingkungan. Objek material ekologi adalah lingkungan itu sendiri, sementara objek material psikologi lingkungan adalah perilaku manusia.

Psikologi lingkungan diharapkan dapat meramalkan, bahkan merekayasa perilaku dan mengatur campur tangan manusia terhadap lingkungan sedemikian rupa sehingga menguntungkan kedua pihak, yaitu lingkungan dan manusia itu sendiri, atau menurut Emil Salim (1990:11), bagaimana memungkinkan berlangsungnya proses pem-bangunan yang membawa kelanjutan dengan perubahan (continuity with change) demi pembangunan yang berwawasan lingkungan.

Untuk keperluan studi, psikologi lingkungan banyak meminjam konsep dari ilmu lingkungan, teknologi lingkungan, kesehatan lingkungan, maupun sosiologi lingkungan, seperti: limbah, gulma, polusi, sanitasi, desibel, atmosfir, dan ekosistem.

Ada beberapa masalah lingkungan saat ini yang tidak luput dari perhatian ahli psikologi lingkungan, yaitu:

1. Personal Space

Yang dimaksud dengan personal space adalah ruang gerak pribadi yang dipersepsi seseorang tentang jarak jauh-dekat, luas-sempit, longgar-sesak, nyaman-kurang nyaman. Masing-masing orang mem-butuhkan personal space tertentu sesuai dengan kualitas hubungan antar orang-orang yang terlibat. Ada empat macam jarak personal space, yaitu:

a. Jarak intim (0 - 0,5 meter), yaitu jarak untuk berhubungan seks, untuk saling merangkul antar pasangan, sahabat, atau anggota keluarga.

b. Jarak personal (0,5 – 1,3 meter), yaitu jarak untuk percakapan antara teman akrab.

c. Jarak sosial (1,3 – 4 meter), yaitu hubungan bersifat formal seperti dalam bisnis.

d. Jarak publik ( 4 – 8,3 meter), hubungan yang lebih formal, seperti narasumber dengan para peserta dalam seminar (Fisher, et al., 1984:153).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perbedaan personal space seseorang:

Pertama, jenis kelamin. Perempuan dengan perempuan umumnya

lebih dekat jarak personal spacenya daripada laki-laki terhadap sesama laki-laki.

Kedua, umur. Makin bertambah umur, makin besar jarak

per-sonal space yang dibutuhkan, umumnya anak mengambil jarak per-sonal space lebih jauh kepada orang yang tidak dikenalnya, remaja mengambil jarak lebih jauh terhadap lawan jenisnya daripada anak-anak.

Ketiga, latar belakang budaya. Misalnya, orang Jerman lebih

for-mal dalam berkomunikasi dengan orang lain dan karenanya mereka lebih menjaga jarak, orang Inggris juga menjaga jarak lebih jauh tetapi disebabkan mereka tidak ingin mengganggu personal space orang lain, sedangkan orang Arab mereka biasa berkomunikasi sangat berdekatan.

eksternal merasa bahwa segala sesuatu lebih ditentukan oleh faktor di luar dirinya daripada personal space yang bertipe kepribadian inter-nal yang merasa bahwa segala masalah bersumber dari dirinya. Or-ang bertipe kepribadian terbuka (extrovert) lebih kecil membuat jarak personal spacenya daripada orang berkepribadian tertutup (introvert).

Kelima, kondisi lingkungan. Misalnya dalam keadaan gelap

or-ang cenderung merapatkan tubuh atau berpegor-angan tor-angan daripada dalam keadaan terang.

Keenam, perubahan posisi, jabatan, atau status seseorang.

Or-ang yOr-ang mendapat promosi jabatan di kantornya pada tingkat yOr-ang lebih tinggi, umumnya kebutuhan terhadap personal spacenya lebih besar dari sebelumnya. Mereka membutuhkan kamar kerja yang memenuhi standar kenyamanan, keamanan (security), otoritas, efektifitas dan efesiensi dalam melaksanakan kerjanya. Mereka juga mulai membutuhkan mediator atau sekretaris pribadi untuk mengan-tarai dan memfasilitasi dirinya dalam berkomunikasi dengan pihak luar, jadwal kegiatannya pun diatur oleh sekretaris atau managernya, termasuk dalam melakukan perjanjian (appointment) dengan pihak manapun. Orang yang mengalami perubahan status di masyarakat pun, tidak lepas akan mengalami perubahan dalam personal spacenya, ada yang sengaja dikehendaki oleh dirinya, ada yang dibuat oleh masyarakat sendiri berdasarakan penghargaan atas posisinya. Misal-nya, status seseorang yang ditokohkan, seperti ulama, haji, orang yang memberi banyak kontribusi kepada masyarakat, orang yang dinobatkan sebagai pemangku adat pada suku tertentu.

Ketujuh, pandangan hidup seseorang. Orang yang memandang

dirinya “lebih hebat” dari yang lain, umumnya menghendaki personal space lebih besar. Para aktifis yang peduli terhadap masalah keseharian realitas masyarakat biasanya tidak membutuhkan personal space dalam masyarakatnya, karena memandang dirinya setara dengan masyarakat pada umumnya, dan mereka tidak mau membuat jarak dengan masyarakat. Demikian pun para “aktifis gender dan kaum feminis” yang peduli terhadap persoalan kaum marginal, atau kelompok

minoritas, umumnya tidak membutuhkan personal space dalam masyarakat lingkungannya. Namun demikian, kebutuhan akan per-sonal space yang lebih besar tidak serta merta berarti selalu berkonotasi negatif, sepanjang hal tersebut untuk menunjang efisiensi dan efektivitas unjuk kerja dan unjuk performa, bukan memperpanjang birokrasi dan strukturisasi.

Dampak psikologis dari terganggu kebutuhan personal space adalah seseorang merasa kurang dihargai, merasa sia-sia, tempera-mental yang tidak jelas alasan dan sasarannya. Sebaliknya kebutuhan personal space yang terpenuhi akan merasa puas, senang, merasa terhormat, serta produktivitas kerjanya meningkat.

2. Privacy

Privacy adalah hasrat atau kehendak untuk mengontrol akses fisik maupun informasi terhadap diri sendiri dari orang lain, sedangkan personal space merupakan perwujudan dari privacy dalam bentuk ruang (space). Privacy adalah keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya, atau keinginan untuk melindungi ego diri dari gangguan yang tidak dikehendakinya (Sarlito,1995:71).

Privacy terbagi ke dalam dua bagian besar, yaitu: (1) tingkah laku menarik diri dari lingkungan (withdrawal), terdiri atas: keinginan untuk menyendiri (solitude), keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga dan kebisingan lalu lintas (seclusion), serta keinginan untuk intim (intimacy) dengan orang-orang tertentu, misalnya dengan pacarnya tetapi jauh dengan semua orang; (2) keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang berwujud dalam tingkah laku hanya memberi informasi yang dianggap perlu (control of information), mencakup: keinginan untuk merahasiakan jati diri (anonimity), keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve), dan keinginan untuk tidak terlibat dengan tetangga (not neighboring). Privacy jenis pertama merupakan hak individu yang sudah diakui masyarakat, sedangkan privacy jenis kedua lebih mempunyai konotasi negatif, tidak disukai masyarakat, dan tidak

ada kaitannya dengan hak individu.

Manusia sebagai makhluk monodualis, yakni perpaduan dari aspek individu dan sosial. Sebagai makhluk individu, siapapun membutuhkan pribadinya terjaga dengan baik, baik segi fisiknya maupun psikisnya, harga dirinya, kehormatannya, otoritasnya, atau kerahasiaannya tidak menjadi komoditas umum. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan bersosialisasi dengan lingkungan untuk kepentingan pengembangan diri. Dua aspek yang berkembang secara seimbang, sebagai makhluk individu dan sosial, merupakan harapan ideal. Lingkungan yang ramah gender adalah lingkungan yang menjamin setiap orang terlindungi privacynya, tanpa mengurangi kesempatannya untuk bersosial di lingkungannya.

Masalah yang sering timbul saat ini, dengan semakin ber-kembangnya iptek, privacy individu mudah terakses ke luar dan menjadi komoditas publik, seperti kasus perederan photo yang sangat privacy melalui VCD, kamera handphone, kamera digital tersembunyi, atau rekayasa kamera, dengan maksud menelanjangi dan mempermalukan orang. Dampak psikologis dari terganggu privacy, semakin orang terkenal, bahkan yang tidak terkenal sekalipun, akan menghadapi dengan penuh kecemasan dan stress atas kemungkinan terbongkar masalah privacy di kemudian hari yang dapat direkayasa dari hasil perkembangan iptek yang tidak etis.

Dampak psikologis lain dari terganggu privacy adalah kurang percaya diri, mengisolir diri, tidak ceria, tidak bersahabat dengan or-ang lain, penuh curiga, cemas (anxiety), mudah marah, mudah ter-singgung, putus asa, acuh tak acuh, dan phobia.

3. Territoriality

Territoriality merupakan perwujudan dari privacy. Territoriality adalah suatu pola perilaku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau suatu lokasi geografis. Pola perilaku ini mencakup personalisasi dan perta-hanan terhadap gangguan dari luar (Holahan, 1982: 235). Kepemilikan atau hak akan teritorial dapat merupakan hak yang sebenarnya

dimiliki, dan dapat juga hanya merupakan kehendak untuk menguasai suatu tempat. Konflik-konflik terirori dapat terjadi karena manusia cenderung berperilaku tertentu dalam mewujudkan kepemilikan atau haknya atas teritori tertentu. Territoriality pada manusia bukan sekedar berfungsi untuk survival, namun juga berfungsi sebagai privacy, sosial, dan komunikasi, seperti tempat duduk yang telah diposisikan sesuai dengan jabatannya.

Dampak psikologis yang timbul berkaitan dengan teritori ini dengan semakin terbatasnya daya tampung dalam satu lingkungan tertentu, maka konflik antar orang semakin mudah terjadi. Misalnya di satu lingkungan kerja, di perguruan tinggi, jumlah dosen yang setiap saat terus mengalami peningkatan, kalau tidak diimbangi oleh penambahan tempat yang dapat menampung mereka untuk menunai-kan tugasnya, amenunai-kan mengalami rawan konflik. Demikian pun, ketika kebijakan rekrutmen tidak disertai dengan analisis job, akan terjadi penumpukan job pada bidang tertentu, seperti pembidangan mata kuliah yang diampu dosen pada bidang tertentu mengalami ledakan dahsyat (overload), sehingga terjadi inflasi dan mengalami rawan konflik karena batas teritori terganggu.

4. Crowding dan Density

Crowding adalah respon subjektif terhadap ruang yang sesak, sedangkan density adalah kendala keruangan (spatial constrain). Crowd-ing merujuk pada jumlah kepadatan manusia dalam satu ruang tertentu, sementara density merujuk pada respon yang berbeda-beda tergantung persepsi individu. Bagi individu yang biasa berdesakan naik bis misalnya, meski padat penumpang, ia akan mempersepsi tidak merasa sesak. Berbeda persepsi kesesakannya orang yang tidak biasa menggunakan kendaraan umum. Crowding bersifat subjektif, density bersifat objektif dalam mempersepsi kepadatan.

Dampak psikologis dari crowding dan density dapat menimbulkan stress, konflik, agresivitas meningkat, produktivitas kerja menurun, kejenuhan, mangkir kerja, kepeduliaan sosial menurun, suasana kompetitif meningkat atau bahkan menurun sama sekali sampai pada

tingkat apatis, kedisiplinan sulit ditegakkan, peluang menghilang dari perhatian sistem lebih mudah, serta sistem daya kontrol cenderung terhambat.

Beberapa dampak crowding dan density terhadap manusia antara lain:

a. Dampak pada penyakit dan patologi sosial: reaksi fisiologik yaitu meningkatnya tekanan darah, penyakit fisik, seperti psikosomatik (gangguan pencernaan atau gatal-gatal yang tidak disebabkan oleh kelainan fisik, serta meningkatnya angka kematian.

b. Dampak pada perilaku sosial: agresi, menarik diri dari lingkungan, tidak ada kepedulian sosial, cenderung lebih banyak melihat sisi jelak orang lain jika terlalu lama tinggal bersama orang lain di tempat yang padat dan sesak.

c. Dampak pada prestasi dan suasana hati: prestasi kerja menurun, suasana hati murung, dan semangat (mood) cenderung menurun (Holahan, 1982:208-214).

5. Noise

Lingkungan manusia penuh dengan gelombang suara. Ada gelombang suara alami seperti gemericik air, kokok ayam, atau gemuruh hujan, dan ada suara buatan, seperti klakson kendaraan bermotor, mesin pabrik, alat musik, atau ketukan pintu. Suara-suara tersebut selama tidak mengganggu manusia disebut bunyi (voice) atau suara (sound), dan jika suara telah dirasakan mengganggu, disebut bising (noise).

Suara bising tidak dikehendaki dan dihindari oleh manusia. Persepsi terhadap suara yang timbul dalam lingkungan sangat bervariasi, tergantung kepada beberapa faktor, seperti: usia, jenis kelamin, hobi/minat, dan suasana hati. Misalnya, musik rock akan dipersepsi bising oleh orangtua, tetapi tidak oleh remaja, suara petasan lebih disukai oleh laki-laki daripada perempuan, musik keroncong akan dipersepsi indah oleh orang yang hobi terhadap musik tersebut, namun demikian musik pop yang biasanya disukai, bisa dipersepsi bising oleh orang yang dalam keadaan pusing, sakit gigi, atau yang

sedang gundah gulana.

Meskipun demikian, ada pula kebisingan yang dipersepsi secara umum, seperti menggelegarnya suara halilintar, meledaknya suara bom atau petasan yang memekakkan telinga. Orang yang biasa mendengar suara keras, atau terlalu dekat jarak suara dengan pendengaran, seperti kebiasaan menggunakan alat suara yang menempel di telinga secara terus menerus, menimbulkan kehilangan kepekaan pendengaran, sehingga hanya dapat menangkap suara dalam jarak dekat atau hanya suara yang keras.

Dampak dari kebisingan terganggu pendengaran, baik sementara atau permanen, tekanan darah meningkat, gangguan pencernaan, sakit kepala, mual, impotensi (Fisher, et al., 1984: 115). Dampak psikologis-nya prestasi kerja menurun dan agresivitas meningkat (Sarlito, 1995: 96).

6. Polusi

Masalah polusi, terutama di kota-kota besar merupakan hal tersendiri yang sampai saat ini belum dapat teratasi. Sumber polusi muncul dari kota yang dipadati mobil, arus lalu lintas yang macet, industri, curah hujan rendah, gedung-gedung tinggi, pemukiman kumuh, pemukiman yang tidak tertata, seperti sanitasi air yang tidak lancar, sirkulasi udara yang terhambat, sampah yang membusuk tidak terbuang secara sempurna, dan pembuangan limbah industri maupun rumahtangga yang sembarangan.Udara kota atau di desa sekalipun yang dekat dengan pabrik, mengandung banyak zat karbon monoksida (Co) sebagai akibat dari banyaknya penggunaan bahan bakar minyak, seperti kendaraan dan industri. Jumlah Co yang terlalu banyak ter-hisap manusia akan menghambat jaringan tubuh (otak dan jantung) untuk menyerap oksigen.

Dampak dari polusi dapat menimbulkan gangguan penglihatan, pendengaran, parkinson, epilepsi, pusing-pusing, jenuh, gangguan ingatan, kemunduran mental, psikosis, dan kanker (Sarlito, 1995:97).

7. Cold & Heat

di daerah khatulistiwa sampai di bawah titik beku di kutub. Variasi ini disebabkan oleh faktor alamiah maupun faktor buatan manusia. Di wilayah perkotaan yang padat penduduk, dengan bangunan-bangunan pencakar langit, suhu udara biasanya lebih panas. Reaksi tubuh sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Tubuh harus tetap dalam suhu 370C. Jika suhu tubuh lebih rendah dari 25C, atau lebih tinggi dari 55C, orang akan mati. Maka dalam tubuh manusia ada organ yang bertugas untuk mempertahankan suhu tubuh, yang disebut dengan organ hypothalamus. Kalau suhu meningkat, hypothala-mus akan merangsang pembesaran pori-pori kulit, percepatan peredaran udara, pengeluaran keringat, dan reaksi tubuh lain yang bertujuan untuk mengurangi panas tubuh yang berlebihan. Kalau upaya reaksi tubuh gagal mempertahankan suhu tubuh, kemungkinan akan terjadi hal-hal:

a. Heat exhaustion: rasa lelah berlebihan disertai mual, muntah, sakit kepala, dan gelisah.

b. Heat stroke: mengingau (delirium), koma (tidak sadar), dan akhirnya meninggal karena otak terserang panas berlebihan. c. Heat aesthenia: jenuh, sakit kepala, gelisah, mudah tersinggung,

nafsu makan berkurang, tidak bisa tidur (insomnia).

d. Serangan jantung: jantung bekerja terlalu kuat mengedarkan