• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan yang dapat mencerdaskan bangsa adalah pendidikan yang terbebas dari unsur diskriminasi gender. Laki-laki dan perempuan, sama-sama berhak memperoleh pendidikan tinggi, sama-sama berhak mengabdikan ilmu yang telah diperolehnya untuk kebaikan umat manusia, baik dalam lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangganya. Beban-beban psikologis yang selalu menghantui ketakutan perempuan untuk mengakses pendidikan tinggi dan berkiprah di masyarakat, niscaya segera dibebaskan, bukan oleh usaha perempuan itu sendiri, melainkan harus ada upaya nyata secara sistemik yang terencana untuk memproyeksikan masa depan kaum perempuan.

A. Perlunya Perempuan Berpendidikan

Sampai saat ini masih ada masyarakat yang berkeyakinan bahwa kemampuan kecerdasan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, sehingga meminggirkan perempuan untuk memperoleh pendidikan. Dalam keluarga dengan latar belakang ekonomi yang tinggi sekalipun, kesempatan untuk memperoleh pendidikan bagi perempuan masih terbatas, apalagi pada keluarga dengan latar belakang ekonomi yang lebih rendah.

Masyarakat juga masih ada yang berkeyakinan bahwa perempuan dengan fisik yang lebih lemah dan pasif, tidak memungkinkan mereka untuk dapat memenuhi mobilitas/aktivitas sebanyak dan sekuat laki-laki. Masyarakat berasumsi bahwa pendidikan hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang mau bergerak dengan mobilitas tinggi, yang menghabiskan seluruh waktunya untuk membaca buku, melakukan eksperimen berjam-jam di laboratorium, meneliti di lapangan, menulis

dan berdiskusi dalam sisa waktunya, dan jika ini dilakukan oleh perempuan akan mengakibatkan mereka kehilangan identitas kewanitaannya karena tidak memiliki waktu untuk melakukan tugas-tugas kewanitaan di rumah tangga dan keluarganya. Selain itu, fisik perempuan yang lemah yang digunakan untuk mobilitas pendidikan seperti laki-laki akan mengakibatkan perubahan fisik yang tidak menarik lagi bagi kaum laki-laki, dan ini merupakan penyimpangan bagi citra perempuan.

Masyarakat mamandang pendidikan seolah-olah sebagai peker-jaan berat yang bersifat fisik dan memerlukan otot yang kuat untuk melakukannya. Di samping itu, perempuan dengan peran rumah tangga untuk mengasuh dan merawat anak, tidak perlu memperoleh pendidikan tinggi, melainkan cukup hanya mampu membaca dan menulis sekedar dapat mendidik anak-anak di awal kehidupannya. Masyarakat masih berkeyakinan bahwa pendidikan dan pengajaran bagi perempuan tidak penting, bahkan ada yang mempertanyakan, apakah mengajar perempuan dibolehkan dalam Islam?

Berdasarkan anggapan–anggapan masyarakat yang masih me-marginalkan perempuan dalam dunia pendidikan itulah, saya meninjau dari segi ilmu psikologi yang diharapkan dapat menjadi bahan merumus-kan model pendidimerumus-kan seperti apa yang tepat untuk perempuan saat ini. Pendidikan yang berasaskan upaya mencerdaskan bangsa adalah pendidikan yang memberi hak yang adil kepada laki-laki maupun perempuan dalam memperoleh pendidikan (yang “bermutu”). Sikap adil memperlakukan perempuan menurut Qasim Amin (tanpa tahun: 19) sebagai berikut:

Perempuan tidak berbeda dengan laki-laki. Fungsi anggota tubuh, perasaan, daya serap pikiran dan hakikat kemanusiaannya tidak berbeda. Perbedaan hanya terletak pada hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin. Kalau terjadi laki-laki mengungguli perempuan dalam segi akal dan jasmani, maka itu bukan berarti bahwa hakekat perempuan demikian, melainkan karena ia tidak mendapat kesempatan untuk melatih pikiran dan jasmaninya selama hidupnya.

B. Pencitraan Inferioritas terhadap Perempuan

Pandangan yang bias dan misoginis terhadap perempuan telah lama berkembang dalam dunia pendidikan. Menurut Helene Deutsch, seorang psikolog perempuan, bahwa perempuan memiliki tiga karak-teristik khas, yaitu narcisism, pasivitas dan masochism. Sifat-sifat ini normal pada perempuan, tetapi tidak normal pada laki-laki.

Narcisisme adalah cinta diri dan kekaguman kepada diri sendiri. Perempuan mengagumi kecantikan dan keindahan tubuhnya. Narcisisme sangat sehat bagi perempuan karena merupakan bagian inheren dari harga diri, yaitu penilaian dan perhatian terhadap diri yang tidak tergantung kepada penilaian orang lain. Dari pencitraan ini, perem-puan yang berperan, bergerak, dan merebut peluang berpendidikan seperti laki-laki dipandang mengalami kelainan, dan perempuan seperti ini tidak menarik lagi bagi laki-laki. Dengan pencitraan ini, apalagi ditambah alasan faktor internal maupun faktor eksternal lainnya yang menghambat, perempuan tidak mendapat akses pendi-dikan setinggi yang dicapai laki-laki. Dengan pencitraan ini, banyak perempuan yang berpikir ulang untuk melanjutkan pendidikan setinggi mungkin sebelum disunting laki-laki. Hal tersebut diperkuat oleh hasrat laki-laki mempersunting perempuan yang muda, menarik, dan berpendidikan yang “tidak terlalu tinggi”. Meskipun demikian, masih perlu dibuktikan secara intens melalui penelitian.

Pasivitas dipandang sangat penting dimiliki oleh perempuan dalam peran sebagai isteri dan ibu. Laki-laki diharapkan bersikap bebas, objektif, rasional, tetapi perempuan diharapkan bersikap pasrah, menyerah, menyesuaikan pendapat dan seleranya kepada suaminya dan menggunakan intuisinya sebagai cara “mengetahui” ketika fakta tidak ada, bukan dengan ilmu dan kecerdasannya. Padahal kepasifan seorang perempuan karena dikonstruksi oleh budaya. Perempuan yang aktif, bebas, dan suka protes dianggap negatif oleh masyarakat. Masochisme adalah penerimaan rasa sakit. Masochisme diperlukan agar perempuan dapat menerima perannya sebagai ibu dengan pengalaman melahirkan anak. Ketika sebagian perempuan menuntut

hak untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang sama dengan laki-laki dianggap menyimpang dari kebiasaan budaya dan dianggap menderita penyakit yang disebut masculo-deminity, yaitu kelainan yang menyebabkan mudah marah, memaki orang lain, dan mengidap penyakit psychosexual (Haller, 1974 dalam Jalaludin Rahmat, 1994:21). Anak-anak sejak kecil sudah belajar memiliki kepantasan perilaku gender dari orangtua, televisi, gambar-gambar, buku-buku, sekolah, surat kabar, kartu ucapan selamat, mas media, dan iklan (Decckard, 1979). Chesler (dalam Corsini, 1981) menyatakan, “Perbedaan utama perempuan tampak pada tingkat dan fungsi kedewasaan. Perempuan dalam mencapai kedewasaan tidak sebanyak pada laki-laki (seperti yang didefinisikan oleh standar laki-laki). Perempuan umumnya bekerja pada pekerjaan yang berstatus rendah dengan upah kecil, mempunyai depresi yang tinggi, fobia, cenderung mudah putus asa, mencoba bunuh diri, menggunakan valium seperti laki-laki, bahkan mengalami schizophrenia”.

Pada umumnya perempuan dicitrakan dan mencitrakan dirinya sendiri sebagai makhluk yang emosional, mudah menyerah (submisif), pasif, subjektif, lemah dalam matematika, mudah terpengaruh, lemah fisik, dan dorongan seks yang rendah. Sementara laki-laki dicitrakan dan mencitrakan dirinya sebagai mahluk yang rasional, logis, mandiri, agresif, kompetitif, objektif, senang berpetualang, aktif, memiliki fisik dan dorongan seks yang kuat.

Citra fisik perempuan acapkali dipersepsikan sebagai citra kepribadian perempuan. Perempuan yang mengalami perubahan siklus hormon lazim dipersepsikan memiliki kepribadian yang berbeda dengan laki-laki. Citra perempuan yang emosional, tidak stabil, dan mood yang berubah dipersepsikan disebabkan oleh siklus hormonal perempuan pada masa menstruasi. Ketidak-stabilan hormonal yang mempengaruhi mood dan emosional perempuan menjadi sebuah stereotip yang dikembangkan di masyarakat hingga saat ini, bahwa perempuan lemah dan tidak stabil, sehingga membatasi ruang gerak perempuan untuk terlibat dalam bidang-bidang, seperti politik, militer,

maupun ilmu ruang angkasa. Kondisi itu menimbulkan pengkotakan, mana area yang pantas dan tidak untuk perempuan.

Akibat citra fisik yang dimiliki, perempuan dicitrakan sebagai makhluk yang tidak sempurna (second class), makhluk yang tidak penting (subordinate), sehingga selalu dipinggirkan (marginalization), dieksploitasi, dan mereka diposisikan hanya mengurusi masalah domestik dan rumah tangga (domestication/housewivezation), seperti masalah dapur, kasur, dan sumur, meski dalam mengurus masalah domestik sekalipun perempuan tetap tidak memiliki kedaulatan penuh karena dikendalikan oleh sistem patriarkhi, sehingga seringkali menghadapi tindakan kekerasan secara fisik, seksual, dan ekonomi, serta pelecehan.

Sejak kecil anak perempuan dikendalikan oleh ayah, saudara-saudara laki-laki, paman, atau walinya. Setelah dewasa perempuan dikendalikan oleh suaminya, dan jika berkarir dikendalikan oleh majikannya dan peraturan kerja yang patriarkhi.

Citra bias terhadap perempuan dideskripsikan oleh Broverman, et al (1972: 63) sebagai berikut:

Feminine are not at all aggressive, not at all independent, very emotional, does not hide emotions at all, very subjective, very easily influenced, very submissive, dislikes math and science very much, very excitable in a minor crisis, very passive, not at all competitive, very illogical, very home oriented, not at all skilled in business, very sneaky, does not know the way of the world, feelings easily hurt, not at all adventurous, has difficulty making decisions, cries very easily, almost never acts as leader, not at all self confident, very uncomfortable about being aggressive, not at all ambitious, unable to separate feelings from ideas, very dependent, very conceited about appearance, thinks women are always superior to men, does not talk freely about sex with men, doesn’t use harsh language at all, very talkactive, very tactful, very gentle, very aware of feelings of others, very religious,very interested in own appearance, very neat in habits, very quiet, very strong need for security, enjoys art and literature, easily expresses tnder feelings. Berbeda dengan perempuan, pencitraan terhadap laki-laki tampak lebih positif, seperti dideskripsikan oleh Broverman, et al (1972: 63) sebagai berikut:

Masculine are very aggressive, very independent, not at all emotional, almost always hides emotions, very objective, not at all easily influenced, very domi-nant, likes math and science very much, not at all excitable in a minor crisis, very active, very competitive, very logical, very worldly, very skilled in business, very direct, knows the way of the world, feelings not easily hurt, very adventurous, can make decisions easily, never cries, almost always acts as a leader, very self confident, not at all uncomfortable about being aggressive, very ambitious, easily able to separate feelings from ideas, not at all dependent, never conceited about appearance, thinks men are always superior to women, talks freely about sex with men, uses very harsh language, not at all talkactive, very blunt, very rough, not at all aware of feelings of others, not at all religious, not at all interested in own appearance, very sloppy in habits, very loud, very little need for security, does not enjoy art and literature at all, does not express tender feelings at all easily. Feminitas dan maskulinitas seringkali dipandang sebagai citra yang bersifat internal dan menetap, padahal sebenarnya merupakan produk budaya yang dinamis dan berkembang. Oleh karena dicitrakan oleh lingkungan dan budaya yang dinamis dan berkembang, maka pencitraan perempuan dan laki-laki berdasarkan gender berbeda antara satu budaya dengan budaya lain, dan berbeda antar waktu dan tempat. Dalam bidang pendidikan, perempuan dicitrakan sebagai makhluk yang lemah dan tidak berprestasi. Minimnya jumlah perempuan yang ahli di bidang sains, politik, dan ekonomi dipandang citra perempuan yang lemah disebabkan ketidak-mampuannya dalam mengejar prestasi seperti yang dicapai laki-laki. Padahal menurut Maccoby & Jacklin (1974), perempuan tidak berprestasi disebabkan ada rasa ketakutan akan sukses (fear of succes), bukan tidak mampu berprestasi. Pendapat tersebut diperkuat oleh studi Maslow pada tahun 1942 yang menemu-kan, perempuan yang memiliki keyakinan kuat bahwa dirinya berharga, cenderung memiliki sifat mandiri, asertif, dan sukses. Menurut Maslow, setiap individu, perempuan maupun laki-laki, berusaha memenuhi kebutuhannya secara hirarkhis, dan kebutuhan manusia yang paling tinggi adalah mampu mengaktualisasikan dirinya. Berdasarkan analisis kebutuhan manusia secara hakiki, maka semakin tipis perbedaan karakter gender antara perempuan dan

laki-laki yang selama ini dicitrakan stereotip, sejalan dengan keadaan masyarakat yang memberikan berbagai hak dan kesempatan yang setara kepada perempuan.

Pencitraan yang berbeda terhadap perempuan dan laki-laki sering kali dikaitkan dengan kepatutan peran yang dimainkan. Pekerjaan perempuan pantas sebagai perawat, sekretaris, guru TK, bendahara, atau mengurusi konsumsi yang cenderung memanifestasikan terjadi hubungan keakraban dan kasih sayang, sedangkan pekerjaan laki-laki pantas untuk melakukan perburuan, pencari nafkah utama, atau manager yang cenderung menuntut kualitas bebas, mandiri, dan percaya diri. Peran-peran tersebut dinormakan sesuai dengan ekspektasi masyarakat. Ekspektasi ini mengakibatkan perempuan maupun laki-laki menyesuaikan diri dengan berbagai pembatasan peran gender. Peran gender juga berkaitan dengan keyakinan dan sikap mengenai berbagai kemampuan, aktivitas, dan asprirasi dari setiap individu yang ikut mewarnai tampilan peran. Pengaruh dari peran gender yang dilekatkan oleh masyarakat terhadap perempuan maupun laki-laki, mengakibatkan timbulnya citra spesifik yang dianggap menetap pada masing-masing jenis kelamin, perempuan maupun laki-laki

Implikasi dari pencitraan yang bias terhadap perempuan seperti tersebut di atas, mendorong pembenaran kepatutan laki-laki menjadi pemimpin secara dominan. Ketika perempuan bertindak menurut cara-cara yang sesuai dengan stereotip peran gender, mereka akan dianggap positif, tetapi ketika perempuan dalam kepemimpinan yang menampak-kan sifat-sifat maskulin, seperti tegas, berani, pantang menyerah, dianggap negatif karena bertentangan dengan stereotip peran gender yang diharapkan masyarakat. Meski menurut Eagly & Johnson (dalam Corsini, 1981) tidak menemukan perbedaan orientasi interpersonal maupun orientasi tugas antara perempuan dan laki-laki, namun para pemimpin perempuan umumnya lebih demokratis dan kurang direktif daripada laki-laki. Perbedaan ini timbul dari adanya perbedaan peran sosial yang harus dipenuhi oleh perempuan atau laki-laki sesuai

dengan ekspektasi masyarakat, dan tidak ada bukti empiris yang kuat bahwa perbedaan fisiologis mempengaruhi perbedaan dalam gaya kepemimpinan antara perempuan dan laki-laki.

Bylsma & Mayor (dalam Corsini, 1981) hanya menemukan, perempuan cenderung sudah merasa puas ketika pencapaiannya melebihi perempuan sesamanya (in-group), meskipun kurang mengun-tungkan apabila dibandingkan dengan status karir, jabatan, maupun gaji laki-laki seprofesinya. Perbedaan status dengan laki-laki seringkali diabaikan oleh perempuan.

Menurut teori feminis, perbedaan perempuan dan laki-laki dewasa sebagian besar disebabkan oleh penekanan perbedaan peran sebagai-mana dibentuk oleh kultur. “Kepribadian perempuan biasanya dihubungkan dengan sifat pendiam, patuh, bodoh, dan status minoritas” (Rawling & Carter dikutip oleh Brown & Levinson dalam Corsini, 1981). Mander (1977) menjelaskan: “Beberapa konselor menguji kembali interaksi antara pengalaman tubuh seperti menstruasi, hubungan seksual, kehamilan, menopause, dan perkembangan kedewasaan kepribadian”. Dari hasil studi tersebut, tidak menemukan bukti-bukti yang kuat bahwa potensi perempuan dan laki-laki itu berbeda, se-panjang keduanya memperoleh perlakuan, kesempatan, dan ekspektasi yang sama dari masyarakat. Dengan demikian, perempuan sama halnya seperti laki-laki memiliki potensi untuk berpendidikan. Ketertinggalan kaum perempuan dalam berpendidikan bukan bersifat kodrati, tetapi karena dikonstruksi oleh masyarakat dalam budaya yang patriarkhi, di mana perempuan tidak sebebas laki-laki dalam mengakses pen-didikan.

C. Potensi Perempuan untuk Berpendidikan

Ketertinggalan perempuan dalam berpendidikan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) kondisi sosial politis di mana perempuan berada di bawah keterwakilan laki-laki, (2) motivasi berprestasi dan self esteem perempuan lebih rendah daripada laki-laki, (3) tidak mem-peroleh akses dan kesempatan yang sama seperti laki-laki dalam

berpendidikan, (4) perempuan masih banyak dikucilkan untuk kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan karena dihadapkan kepada kehidupan berkeluarga yang membelenggu kebebasannya, (5) kondisi sosial politis dan kultural masih belum dapat ditembus oleh kaum perempuan untuk mendobrak kesenjangan akses berpendidikan seperti yang dicapai kaum laki-laki.

Dari beberapa faktor yang tersebut di atas, tampak bahwa ketertinggalan perempuan dalam pendidikan lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal daripada faktor internal. Hak dan kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk mengakses pendidikan tidak sama dengan hak yang diberikan kepada laki-laki. Partisipasi berpen-didikan masih berbentuk piramida. Fenomena yang masih terjadi sampai sekarang menunjukkan: “Semakin tinggi pendidikan, semakin sedikit jumlah perempuan di dalamnya. Semakin sulit ilmu yang ditekuni, semakin sedikit jumlah perempuan di dalamnya”.

Dalam psikologi berkembang anggapan bahwa perempuan kurang cerdas dibanding laki-laki. Perbedaan kecerdasan itu bermula dari perbedaan ukuran otak laki-laki dan perempuan. Perempuan mem-punyai ukuran otak yang lebih dekat dengan gorila. Pendapat yang dikembangkan dalam psikologi tersebut tentang rendahnya otak perempuan itu tidak seorang pun dapat membantahnya saat itu. Diskusi saat itu hanya memfokuskan pada tingkat kerendahan otak saja dengan penjelasan bahwa tengkorak perempuan lebih kecil dari tengkorak laki-laki, dan tentu saja ukuran otak perempuan juga lebih kecil dari laki-laki. Ukuran rata-rata otak laki-laki lebih besar daripada rata-rata otak perempuan karena berat dan tinggi tubuhnya pun lebih besar. Di samping itu ditemukan, parietal lobes perempuan lebih besar, tetapi frontal lobes-nya lebih kecil, yang mengakibatkan perempuan kurang cerdas. Namun tidak lama dilaporkan bahwa bagian otak yang ada hubungannya dengan kecerdasan adalah parietal lobes. Akibat logis berdasarkan struktur otaknya, perempuan justru lebih cerdas daripada laki-laki.

otak saat itu, sehingga berbagai cara para ilmuwan mencari penjelasan tentang perbedaan prestasi ilmiah antara perempuan dan laki-laki dengan membelah-belah otak dan tidak lagi menimbangnya. Akhirnya para ilmuwan saat itu menyusun jawabannya untuk menggugurkan temuan tersebut. Mereka berargumen bahwa selain struktur dan ukuran otak, perilaku perempuan harus dihubungkan dengan meka-nisme hormonalnya, di mana ketika perempuan mengalami menstruasi dapat mengubah komposisi hormonalnya yang mengakibatkan perempuan terganggu kecerdasannya (Gould, 1981 dalam Jalaluddin, 1994:21). Namun Hollingsworth (dalam Jalaluddin, 1994:21)) menolak pandangan bahwa kemampuan kognitif perempuan menurun ketika menstruasi.

Ketika dalam kandungan, menurut Geschwind dan Behan, janin laki-laki mengeluarkan hormon testoteron yang mengatur pertumbuhan fisik laki-laki. Hormon testoteron membasahi otak bayi laki-laki dan menyerang bagian-bagian otak sebelah kanan. Akibatnya, bagian otak sebelah kiri laki-laki menjadi lebih dominan. Hal yang sama tidak terjadi pada perempuan. Belahan otak sebelah kiri berkenaan dengan logika, sain, dan matematika. Belahan otak sebelah kiri juga berkaitan dengan apa yang disebut dalam tes kecerdasan sebagai kemampuan visual-spatial, seperti: kemampuan matematika, geometri, atau membaca peta. Sedangkan belahan otak perempuan berhubungan satu sama lain secara seimbang, sehingga perempuan di samping mampu di bidang sain, juga mempunyai kelebihan dalam bidang linguistik.

Belakangan juga diketahui bahwa untuk dapat sukses dalam kehidupan, tidak hanya membutuhkan potensi otak kiri saja yang merupakan kecerdasan intelektual (Intelectual Quationt), tetapi mem-butuhkan kecerdasan emosi (Emotional Quationt), bahkan juga kecerdasan spiritual (Spriritual Quationt). Berdasarkan keseimbangan struktur belahan otak, perempuan sangat mungkin mencapai kesuksesan dibanding laki-laki, karena memiliki struktur otak yang relatif berimbang.

Berdasarkan hasil penelitian menyimpulkan, umumnya perempuan sejak kecil hingga dewasa menunjukkan kemampuan ver-bal yang lebih baik. Anak perempuan biasanya mulai berbicara lebih awal, cenderung memiliki perbendaharaan kata yang lebih banyak, memperoleh prestasi tinggi di sekolah, mengerjakan tugas membaca dan menulis yang lebih baik daripada anak laki-laki. Anak laki-laki sejak kecil hingga dewasa memperlihatkan kemampuan spasial lebih baik, mengerjakan tugas spasial yang lebih baik, memiliki kemampuan matematika, geografi, dan politik yang lebih maju daripada anak perempuan, meski perbedaan ini sangat tipis (Halpern dalam Corsini, 1981).

Perbedaan kemampuan intelektual antara perempuan dan laki-laki meliputi: (1) kemampuan lisan, (2) kemampuan visual-spatial, dan (3) kemampuan matematika.

Anak perempuan mempunyai kemampuan lisan lebih baik daripada anak laki-laki, terutama sekali setelah menginjak sekolah menengah. Anak laki-laki melampaui dalam kemampuan visual-spa-tial dan matematika. Anak perempuan maupun laki-laki sama-sama memiliki kemampuan dalam tugas matematika dan visual-spatial pada masa kanak-kanak, namun sekitar umur 12 atau 13 tahun anak laki-laki mulai menunjukkan kemampuan superior. Hal tersebut disebabkan anak laki-laki lebih didukung oleh tersedianya kursus matematika, sementara anak-anak perempuan tidak didukung. Akan tetapi Maccoby & Jacklin (1974: 351-352) menyatakan, perbedaan itu mungkin tidak semua dalam kaitan dengan pelatihan. Bagaimanapun, kemampuan anak laki-laki dalam bidang matematika dan visual-spa-tial tidak berarti kekurangan kemampuan untuk semua perempuan, karena dapat terjadi tumpang-tindih, di mana 50 % laki-laki mem-punyai kemampuan matematika dan visual-spatial tinggi, sementara perempuan yang memiliki kemampuan tersebut hanya 25 % nya. Namun menurut Maccoby dan Jacklin (1974:351) pencapaian tersebut dipandang lebih dari cukup untuk perempuan dapat memasuki sekolah teknik, jika faktor lain cukup menunjang.

Keunggulan kemampuan matematika dan visual-spatial pada remaja laki-laki akan seimbang oleh kemampuan lisan yang lebih baik pada anak perempuan. Menurut Boocock (1972) sebagian besar siswa sekolah menengah yang mengambil Ujian Nasional IPA adalah anak-anak perempuan, tetapi 69 % penghargaan diberikan kepada anak-anak laki-laki. David B. Lynn (1972: 241-243) mengatakan bahwa secara umum nilai anak perempuan rata-rata lebih tinggi daripada rata-rata nilai anak laki-laki dalam tes prestasi yang terstandar dan sudah terstruktur,