• Tidak ada hasil yang ditemukan

A. PSIKOLINGUISTIK

1. Keterkaitan Antara Bahasa dan Pikiran

Pada hakikatnya dalam kegiatan berkomunikasi terjadi proses memproduksi dan memahami ujaran. Dapat dikatakan bahwa psikolinguistik adalah studi tentang mekanisme mental yang terjadi pada orang yang menggunakan bahasa, baik pada saat memproduksi atau memahami ujaran .Dengan kata lain, dalam penggunaan bahasa terjadi proses mengubah pikiran menjadi kode dan mengubah kode menjadi pikiran. Ujaran merupakan sintesis dari proses pengubahan konsep menjadi kode, sedangkan pemahaman pesan tersebut hasil analisis kode.

Bahasa sebagai wujud atau hasil proses dan sebagai sesuatu yang diproses baik berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis, sebagaimana dikemukakan oleh Kempen dalam Marat (1983: 5) bahwa Psikolinguistik adalah studi mengenai manusia sebagai pemakai bahasa, yaitu studi mengenai sistem-sistem bahasa yang ada pada manusia yang dapat menjelaskan cara manusia dapat menangkap ide-ide orang lain dan bagaimana ia dapat mengekspresikan ide-idenya sendiri melalui bahasa, baik secara tertulis ataupun secara lisan. Apabila dikaitkan dengan keterampilan berbahasa yang harus dikuasai oleh seseorang, hal ini berkaitan dengan keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

Semua bahasa yang diperoleh pada hakikatnya dibutuhkan untuk berkomunikasi. Karena itu, Slama (Pateda, 1990: 13) mengemukakan bahwa psycholinguistics is the study of relations between our needs for expression and communications and the means offered to us by a language learned in one’s childhood and later‘psikolinguistik adalah telaah tentang hubungan antara kebutuhan-kebutuhan kita untuk berekspresi dan berkomunikasi dan benda-benda yang ditawarkan kepada kita melalui bahasa

yang kita pelajari sejak kecil dan tahap-tahap selanjutnya. Manusia hanya akan dapat berkata dan memahami satu dengan lainnya dalam kata-kata yang terbahasakan. Bahasa yang dipelajari semenjak anak-anak bukanlah bahasa yang netral dalam mengkoding realitas objektif. Bahasa memiliki orientasi yang subjektif dalam menggambarkan dunia pengalaman manusia. Orientasi inilah yang selanjutnya mempengaruhi bagaimana manusia berpikir dan berkata.

Perilaku yang tampak dalam berbahasa adalah perilaku manusia ketika berbicara dan menulis atau ketika dia memproduksi bahasa, sedangkan prilaku yang tidak tampak adalah perilaku manusia ketika memahami yang disimak atau dibaca sehingga menjadi sesuatu yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau ditulisnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan ruang lingkup Psikolinguistik yaitu penerolehan bahasa, pemakaian bahasa, pemproduksian bahasa, pemprosesan bahasa, proses pengkodean, hubungan antara bahasa dan prilaku manusia, hubungan antara bahasa dengan otak. Berkaitan dengan hal ini Yudibrata, (1998: 9) menyatakan bahwa Psikolinguistik meliputi pemerolehan atau akuaisisi bahasa, hubungan bahasa dengan otak, pengaruh pemerolehan bahasa dan penguasaan bahasa terhadap kecerdasan cara berpikir, hubungan encoding (proses mengkode) dengan decoding (penafsiran/pemaknaan kode), hubungan antara pengetahuan bahasa dengan pemakaian bahasa dan perubahan bahasa).

Manusia sebagai pengguna bahasa dapat dianggap sebagai organisme yang beraktivitas untuk mencapai ranah-ranah psikologi, baik kognitif, afektif, maupun psikomotor. Kemampuan menggunakan bahasa baik secara reseptif (menyimak dan membaca) ataupun produktif (berbicara dan menulis) melibatkan ketiga ranah tadi.

Neisser dalam Syah (2004:22) mengatakan bahwa istilah cognitive berasal daricognition yang padanannya knowing berarti mengetahui. Dalam arti yang luascognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan

Dalam perkembangan selanjutnya istilah kognitiflah yang menjadi populer sebagai salah satu domain, ranah/wilayah/bidang psikologis manusia yang meliputi perilaku mental manusia yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pemecahan masalah, pengolahan informasi, kesengajaan, dan keyakinan.

Menurut Chaplin dalam Syah (2004:22) mengemukakan bahwa ranah ini berpusat di otak yang juga berhubungan dengan konasi (kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa. Ranah kognitif yang berpusat di otak merupakan ranah yang yang terpenting Ranah ini merupakan sumner sekaligus pengendali ranah-ranah kejiwaan lainnya, yaitu ranah efektif (rasa) dan ranah psikomotor (karsa). Dalam kaitan ini Syah (2004: 22) mengemukakan bahwa tanpa ranah kognitif sulit dibayangkan seseorang dapat berpikir. Tanpa kemampuan berpikir mustahil seseongr tersebut dapat memahami dan meyakini faedah materi-materi yang disajikan kepadanya.

Afektif adalah ranah psikologi yang meliputi seluruh fenomena perasaan seperti cinta, sedih, senang, benci, serta sikap-sikap tertentu terhadap diri sendiri dan lingkungannya. Sedangkan, psikomotor adalah

ranah psikologi yang segala amal jasmaniah yang konkret dan mudah diamati baik kuantitas maupun kualitasnya karena sifatnya terbuka (Syah, 2004: 52).

Beberapa ahli mencoba memaparkan bentuk hubungan antara bahasa dan pikiran, atau lebih disempitkan lagi, bagaimana bahasa mempengaruhi pikiran manusia. Dari banyak tokoh yang memaparkan hubungan antara bahasa dan pikiran, penulis melihat bahwa paparan Edward Sapir dan Benyamin Whorf yang banyak dikutip oleh berbagai peneliti dalam meneliti hubungan bahasa dan pikiran.

Sapir dan Worf mengatakan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Sapir dan Worf menguraikan dua hipotesis mengenai keterkaitan antara bahasa dan pikiran.

Hipotesis pertama adalah lingusitic relativity hypothesis yang menyatakan bahwa perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa (nonlinguistic cognitive). Perbedaan bahasa menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut.

Hipotesis kedua adalah linguistics determinism yang menyatakan bahwa struktur bahasa mempengaruhi cara inidvidu mempersepsi dan menalar dunia perseptual. Dengan kata lain, struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan beroperasinya aspek formal bahasa, misalnya gramar dan leksikon. Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers”. Gramar dan leksikon dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut. Selain habituasi dan aspek formal bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Whorf dan Sapir adalah masalah bahasa mempengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi premis dalam berpikir, seperti apa yang dikatakan oleh Whorf berikut ini : “Kita membelah alam dengan garis yang dibuat oleh bahasa native kita. Kategori dan tipe yang kita isolasi dari dunia fenomena tidak dapat kita temui karena semua fenomena tersebut tertangkap oleh majah tiap observer. Secara kontras, dunia mempresentasikan sebuah kaleidoscopic flux yang penuh impresi yang dikategorikan oleh pikiran kita, dan ini adalah sistem bahasa yang ada di pikiran kita. Kita membelah alam, mengorganisasikannya ke dalam konsep, memilah unsur-unsur yang penting.

Bahasa bagi Whorf pemandu realitas sosial dan mengkondisikan pikiran individu tentang sebuah masalah dan proses sosial. Individu tidak hidup dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan sosial seperti yang biasa dipahaminya, tetapi sangat ditentukan oleh simbol-simbol bahasa tertentu yang menjadi medium komunikasi sosial. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk mewakili realitas yang sama. Dunia tempat tinggal berbagai masyarakat dinilai oleh Whorf sebagai dunia yang sama akan tetapi dengan karakteristik yang berbeda. Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pandangan manusia tentag dunia dibentuk oleh bahasa sehingga karena bahasa berbeda maka pandangan tentang dunia pun berbeda. Secara selektif individu menyaring sensori yangmasuk seperti yang diprogramkan oleh bahasa

yang dipakainya. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda memiliki perbedaan sensori pula (Rakhmat, 1999).

2. Kompleksitas dalam Ujaran dan Pikiran

Pada umumnya suatu pemikiran yang kompleks dinyatakan dalam kalimat yang kompleks pula. Hal ini, dapat diartikan pula apabila dalam mengungkapkan sebuah kalimat, dibutuhkan pemikiran yang kompleks. Kompleksitas makna dalam kalimat yang kompleks muncul, karena dalam kalimat tersebut terdapat proposisi yang jumlahnya sangat banyak. Dalam penerapan proposisi-proposisi tersebut dapat bertindak sebagai anak kalimat yang menjadi pelengkap untuk kalimat induk, selain itu, kalimat itu dapat diperpanjang selama setiap akhir dari kalimat tersebut adalah nomina.

Kompleksitas makna dapat terwujud dalam bentuk-bentuk lain, salah satu penyebabnya adalah karena keadaan. Menurut kalian psikolinguistik, hal ini terbagi menjadi dua, yakni netral (unmarked) dan tak netral (marked). Seperti terlihat pada contoh berikut :

a. UNS mempunyai 120.000 mahasiswa yang terbagi menjadi 9 fakultas. b. UNS mempunyai 70.000 mahasiswi.

Kata mahasiswa pada (a) bersifat netral, karena kata mahasiswa mempunyai arti luas, yakni semua pelajar baik laki-laki dan perempuan. Sedangkan pada (b) mempunyai makna pelajar perempuan saja, pada makna ini disebut tak netral, karena telah mengerucut pada salah satu kelompok jenis kelamin saja.

Dalam sebuah kalimat yang menggunakan bahasa Inggris, netral dan tak netral akan lebih mudah untuk dijelaskan, seperti pada kalimat berikut ini:

a. How tall is your daughter? b. How short is your daughter?

Dalam kalimat tersebut jika ditanyakan pada seseorang maka lebih mudah untuk menjawab pertanyaan (a) daripada (b), karena kalimat (a) mempunyai sifat netral. Dalam pembelajaran psikolinguistik konsep netral (unmarked) umumnya merujuk pada makna positif. Dalam bahasa Inggris, kata-kata netral mempunyai sisi kebalikannya, misal happy menjadi unhappy. Sedangkan pada kata tak netral, misal sad, tidak dapat kita membuat sisi positifnya.

3. Gejala Psikolinguistik Orang Marah.

Secara umum psikologi seseorang berbeda-beda. Hal ini terlihat dari setiap gejala yang dirunut misalnya pada saat seseorang marah. Kemarahan setiap orang tentunya tidak bisa ditebak secara pasti, karena gejala yang diperlihatkan kadang kala tidak sesuai dengan kenyatannya. Misalnya saja orang yang jengkel belum tentu dia marah. Orang yang marah, terkadang bisa saja tenang bahkan malah tertawa. Ini membuktikan bahwa setiap keadan jiwa seseorang berbeda-beda.

Di bawah ini akan diilustrasikan mengenai gejala psikolinguistik orang marah, adapun identitas dari subjek penelitian ini adalah sebagai berikut. Contoh:

1. Nama : Ni Luh Ari Susanti

Alamat : Benda, Kec. Sirampog, Kab. Brebes. Umur : 20 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki 2. Nama : Kadek Asdinata

Alamat : Benda, Kec. Sirampog, Kab. Brebes. Umur : 19 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Ilustrasi gejala psikolinguistik marah yang dapat dirunut adalah sebagai berikut.

Ari Susanti yang akrab dipanggil Arik adalah seorang mahasiswi di “X” jurusan Pendidikan Ekonomi. Arik mempunyai seorang pacar yang bernama Kadek Herman Ariasta. Seperti biasa, sekitar pukul 7 malam Arik ditelepon pacarnya. Awalnya biasa-biasa saja, tetapi terdengar nada suara Arik semakin lama semakin tinggi. Arik marah-marah kepada pacarnya dengan berujar “Brengsek” beberapa kali. Setelah itu Arik membanting pintu kamarnya. Selain itu terdengar pula suara barang pecah. Ia mengurung diri sambil menangis. Ketika teman-teman lain mengetuk pintu dan memanggil Arik, tidak ada jawaban. Inilah kemarahan yang diperlihatkan Arik.

Jadi, kesimpulannya, gejala yang dapat dirunut dari keadaan marah pada sampel pertama yaitu : 1. Diam, tidak mau bicara dengan orang lain.

2. Memaki-maki atau melontarkan kata-kata kasar. 3. Membanting barang untuk melampiaskan kemarahan.

Kadek Asdinata adalah mahasiswa jurusan D3 Informatika di undiksha. Kadek Asdinata memiliki sifat yang sangat emosional, cepat tersinggung dan cepat marah. Suatu malam, Kadek menelepon ke rumah untuk meminta uang karena uang saku yang diberikan oleh orang tuanya seminggu yang lalu sudah habis. Ternyata, orang tuanya tidak memiliki uang dan mereka justru ragu kepada kadek, takut kalau uang saku yang mereka berikan bigunakan untuk hura-hura. Kadek marah-marah ditelepon dan dengan kasar membanting handphonenya ke kasur. Mukanya merah, dan langsung memukul tembok. Ketika diajak berbicara, ia hanya diam. Inilah kemarahan yang diperlihatkan Asdinata, yang tidak jauh berbeda dengan subjek pertama.

1. Cemberut

2. Diam, tidak mau berbicara 3. Memukul pintu atau tembok

4. Aspek Linguistik dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah

Kadang kala dalam keadaan marah seseorang masih saja bisa mengungkapkan kesedihannya dengan berkata-kata sesuai dengan keinginannya entah disampaikan dengan teman dekatnya, atau bahkan berbicara sendiri tanpa disadari. Hal tersebut dikarenakan cara penyampaikan seseorang jika dalam keadaan marah berbeda-beda mengingat karekteristik setiap orang pun berbeda-beda. Dibawah ini akan disajikan aspek linguistik pada psikolinguistik marah yang diungkapkan melalui percakapan sebagai berikut.

· Pengamatan yang dilakukan pada sampel yang pertama. Dialog ilustrasi di bawah ini sedang marah sebagai berikut. Arik: “Dek, nyen to Rina?”

Kadek: “timpal ajak dek magae. Engken saying? Arik: “dugasne maan pesu kone jak Rina to, saja?” Kadek: “DEk jak Rina Cuma matimpal biasa.

Arik: “mun dek sing nu saying jak rik orahin gen. dek selingkuh kan jumah?” Kadek: “sing ada, saying!”

Arik: “da Boong, brengsek!!!”

Kata-kata yang menunjukkan gejala marah adalah :

“Da boong, brengsek!!!” (kalimat tersebut diujarkan dengan nada yang tinggi/membentak) Ciri – ciri lingustik dari psikolingustik marah sebagai berikut:

1. Bahasa yang diujarkan kasar 2. Bahasa yang diujarkan keras

Penggunaan bahasa dengan intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas bahwa Arik dalam keadaan marah.

· Pengamatan yang dilakukan pada subjek yang kedua, yaitu Kadek Asdinata Dialog yang diamati pada saat subjek ini sedang marah adalah sebagai berikut.

Kadek: “pak, titipin pis jak Eva, nah? Pis yange suba telah.” Bapak: “anggon gena, dek? Dugasne kan ba baang?” Kadek: “anggon mayah buku jak baju kelas.”

Bapak: “Seken to? Nyanan anggon dek ngawag-ngawag pise?”

Kadek: “Nah! Da ba kirimange pis. Terserah lamun sing percaya ajak panak padidi.” Kata-kata yang menunjukkan gejala marah adalah :

“Nah! Da ba kirimange pis. Terserah lamun sing percaya ajak panak padidi.” Ciri – ciri lingustik dari psikolingustik marah sebagai berikut

1. Bahasa yang diujarkan kasar

2. Bahasa yang diujarkan menggunakan intonasi yang tinggi 3. Bahasa yang diujarkan terdengar sinis

Penggunaan bahasa dengan intonasi yang tinggi/keras menunjukkan secara jelas bahwa Ari dalam keadaan marah. Ketika dimintai maaf oleh temannya, jawaban yang diberikan oleh Ari sangat sinis. Hal tersebut juga dengan jelas bahwa Ari memperlihatkan gejala orang yang sedang marah.

5. Aspek Pikiran dari Gejala Psikolinguistik Orang Marah

Dalam melakukan sesuatu atau mengungkapkan suatu ide pokok tentunya dipengaruhi oleh proses kognitif. Di dalam pikiran, seseorang akan memiliki suatu keinginan untuk bisa menyampaikan perasaan mereka entah itu dengan memperlihatkan tingkah laku ataupun berujar. Dari hasil observasi yang dilakukan, aspek kognitif yang dapat dicermati yaitu sebagai berikut.

1. Aspek pikiran yang mempengaruhi Arik marah yaitu Arik menduga pacarnya yang berada di Denpasar sudah tidak setia lagi, sehingga pacarnyaselingkuh. Arik merasa kecewa dan dikhianati oleh pacarnya. 2. Aspek pikiran yang mempengaruhi Kadek Asdinata marah adalah alasan Kadek yang menelepon ke rumah untuk meminta uang lagi tidak dipercayai oleh orang tuanya. Kadek Asdinata merasa kecewa karena ia tidak dipercayai oleh orang tuanya sendiri.

B. SOSIOLINGUISTIK

Analisis data dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah analisis struktur wacana percakapan. Setelah melakukan analisis terhadap strukturnya baru dilanjutkan dengan analisis secara sosiolinguistik. Analisis data ini adalah analisis urutan dari transkrip percakapan yang akan menunjukkan apakah ada interpretasi makna sosial dari ujaran atau percakapan. Apakah ada keberadaan budaya dari etnis Jawa yang tergambar dari transkrip percakapan tersebut. Transkrip yang telah dianalisis ini kemudian dihubungkan dengan situasinya, apakah percakapan terjadi antarpedagang, antarapenjual serta

pembeli, dan untuk pembeli bisa dipilah lagi menjadi pelanggan-bukan pelanggan, beretnis sama-berbeda etnis. Dari sini hipotesis penelitian tentang pilihan kode, hubungan sosial antar anggota pasar, dapat dibentuk.

Analisis struktur wacana akan menjawab pertanyaan penelitian ini yaitu pertanyaan pertama dan kedua. Berikut salah satu percakapan di pasar “X”.

Tabel 1. Fungsi ujaran di pasar “X” Giliran

Penutur Ujaran Fungsi ujaran

1 Pembeli Bu, ada apel Fuji? Pertanyaan

2 Penjual Berapa yang? Pertanyaan

3 B Mau beli satu kilo. Jawaban

4 B Tapi bisa ditawar

nggak Bu?

Pertanyaan

5 J Ya Konfirmasi

6 J Berapa? Bertanya

7 B Sepuluh ribu bisa? Bertanya

8 J Ooo, nggak bisa

yang,

Membantah/menolak

9 J lima belas ribu. Pernyataan

10 B Oooo Pernyataan

11 B ya udah Bu, nggak

jadi.

Menutup percakapan

12 J Yoo Konfirmasi

13 B2 Ibu, berapa? Pertanyaan

14 J Apa,anggur? Pertanyaan

15 B2 Ya Pertanyaan

12 J Tigapuluh tiga ribu Jawaban

13 B2 Nggak bisa kurang

Bu?

Pertanyaan

14 J Nggak bisa. Jawaban

15 B2 Ooo Menutup percakapan

16 J Koe opo wae? Pertanyaan

17 B3 Jeruk Jawaban

18 J Tiga ratus kali

empat kali empat puluh enam.

Pernyataan

19 J apel Fuji satu ya? Pertanyaan

20 J tiga empat lima Pernyataan

21 J …Pir-e nggowo po

ora?

Pertanyaan

22 B3 Sik, tak pikirne

ndisik

Jawaban

23 J Lebihnya banyak Pernyataan

24 B3 Kurange, ngawur

wae

Membantah

25 J Lha wong iki luwih Membantah

26 B3 Lambene pait Bantahan

27 J Yo, yo. Sing sabar Penerimaan

28 B3 Alah yo ra nyampe

lah

Bantahan

26 J Go rene sing telung

atus

Perintah

28 J Pir-e njalok patang kilo?

Pertanyaan

29 B3 Yo Jawaban

30 B3 Pir-e njalok patang

kilo

Pernyataan

31 J Nek mu ngetung ki

arep ke’ne mboe

Perintah

32 J Pir-e patang kilo,

beh, okeh tenan

Pernyataan

33 B3 Eleh-eleh, batine

seneng

Pernyataan

34 J Wong koq moto

duiten.

Pernyataan

Pada dua percakapan awal, percakapan dimulai oleh pembeli menggunakan bahasa Indonesia. Pada percakapan ketiga, penjual yang menginisiasi percakapan. Fungsi yang muncul adalah Pertanyaan, Pernyataan, dan tawaran. Berikut rekapitulasi jumlah fungsi ujaran dari masing-masing pihak.

Rekapitulasi Fungsi Ujaran 1.Bukan Pelanggan

? + - @ ! # * < > ^

Penjual 2 1 1 1 0 0 0 1 0 1

Pembeli 1 3 1 0 2 0 0 0 1 0 1

Rekapitulasi Fungsi Ujaran 2.Pelanggan

? + - @ ! # * < > ^

Penjual 5 0 0 5 2 0 0 1 0 1

Pembeli 3 0 3 0 2 0 0 0 1 0 1

Catatan:

-Pertanyaan (?), -Mengiyakan (+), - Menidakkan (-),-Pernyataan (@)

Dari analisis struktur, terlihat bahwa ujaran berpasangan tidak selalu berbanding secara simetris. 1. ANALISIS SOSIOLINGUISTIK

Wacana percakapan adalah refleksi interaksi sosial dari masyarakat yang menggunakannya. Wacana ini dapat menjelaskan kepada pendengarnya sikap para penutur dalam berinteraksi. Suatu saat penutur menjadi bagian dari dunia yang tidak terpisah-pisah oleh budaya dan tradisi tertentu tetapi di saat lain mereka menarik diri ke dalam keanggotaan etnis atau ras tertentu.

Inilah yang terjadi dalam percakapan antara pedagang di pasar dan antara pedagang dengan pembeli. Untuk menganalisis fenomena ini, data wacana percakapan ini dapat dianalisis dengan pendekatan sosiolinguistik. Pendekatan sosiolinguistik yang dimaksud adalah pendekatan yang menggunakan fenomena adanya alih kode dan campur kode dalam percakapan.

Alih kode adalah peristiwa pergantian bahasa atau berubahnya satu ragam bahasa ke ragam lainnya karena sebab-sebab tertentu (Abdul Chaer dan Agustina 1995). Romaine (1995) mendefinisikan alih kode sebagai pemilihan kode yang di dalamnya penutur mengganti ragam ujaran berdasarkan konteks dan domain pembicaraan, biasanya perubahan ragam standar ke ragam daerah, tetapi juga dari satu bahasa ke bahasa yang lain.

Pada bagian ini disajikan ilustrasi data sebagai contoh analisis pola-pola alih kode. Transkrip 1 Percakapan di pasar Pasir Gintung

Pembeli (B) : Anggur berapa Bu? Penjual (J) tiga puluh tiga ribu

B : nggak iso kurang? (tidak bisa kurang?) J : Nggak

B2 : Lek, apel Fuji

J : Terus opo meneh? (terus apa lagi?)

B2 : Sing tak peseni wingi? (yang saya pesan kemarin?) J : Gong, rung teko. (kosong, belum datang)

B2 : Yo,yo. (ya,ya)

Pada percakapan di atas, ada tiga peserta percakapan. Satu penjual (J), dan dua pembeli (B dan B2). B2 adalah langganan si penjual sementara B tidak. Dalam waktu yang hampir bersamaan kedua pembeli ini datang membeli buah kepada penjual. Pada pembeli B, si penjual tetap menggunakan bahasa Indonesia walaupun B sudah berupaya melakukan alih kode menggunakan bahasa Jawa dengan ujaran nggak iso kurang agar dapat lebih jauh masuk kepada si penjual secara budaya tetapi tidak ditanggapi. Pada

penggalan ini code switching B tidak ditanggapi oleh J. Hal yang sebaliknya terjadi kepada pembeli B2. Dengan inisiasi percakapan menggunakan sapaan Lek ia diterima oleh si penjual dan mereka meneruskan percakapan jual beli itu dengan menggunakan bahasa Jawa. Secara otomatis J melakukan alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Jadi faktor pelanggan yang datang dan beretnis Jawa mendorong penjual untuk melakukan alih kode situasional.

Dokumen terkait