• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pseudocyphellaria Usnea longissima Parmelia cirrhata Parmelia squarrosa Usnea filipendula

9 tinggi adalah Pyxine cocoes. Spesies lain seperti Hyperphyscia adglutinata keberadaannya terbatas pada daerah perkotaan yang mengandung sedikit spesies liken. Saat ini, H. adglutinata banyak mendominasi di daerah perkotaan di Asia Tenggara seiring dengan urbanisasi dan iklim di daerah perkotaan yang hangat dan kering (Saipunkaew et al. 2006). Melalui penelitian tersebut, meningkatnya liken dari famili Physiaceae dan mendominasinya H.adglutinata menunjukkan bahwa kondisi lingkungan menjadi terganggu akibat polusi udara dan semakin keringnya iklim.

Liken Parmotrema dari suku Parmeliaceae adalah jenis liken intermediet yang kebanyakan ditemukan di dataran rendah dengan curah hujan yang lebih tinggi, sedangkan Dirinaria applanata mendominasi daerah pedesaan yang tingkat polusinya rendah (Saipunkaew et al. 2006). Spesies liken makro lain yang tergolong intermediet adalah Menegazzia terebrata (Beaven 2008).

Liken dengan fotobion sianobakteria (sianoliken) diketahui meliputi spesies-spesies liken yang sensitif terhadap polusi udara, seperti liken dari genus Lobaria, Sticta, dan Pseudocyphellaria (Purvis 2000). Selain itu, Usnea longissima dan Parmelia cirrhata hanya ditemukan di lingkungan yang bersih (Negi 2003). Wetmore (1989) juga mendeskripsikan spesies-spesies yang sensitif terhadap SO2, seperti Parmelia squarrosa dan Usnea filipendula. Spesies liken yang sensitif tersebut biasanya tidak ditemukan pada habitat yang mengandung tingkat SO2 dengan konsentrasi tahunan rata-rata mencapai 50 µg/m3.

10

METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Maret 2012 hingga Juli 2013. Pengambilan data dilakukan pada tiga plot yang ditentukan berdasarkan pada data sekunder. Data sekunder tersebut antara lain: pengukuran kualitas udara dari beberapa daerah di Kota Bogor menurut Santosa (2005), pengukuran kualitas udara dari Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLH) Kota Bogor (Lampiran 2), pengukuran kualitas udara dari Laboratorium Terpadu IPB atas persetujuan PT Goodyear Indonesia (Lampiran 3), dan data lokasi pohon-pohon di Kota Bogor dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Bogor.

Penentuan plot dilakukan berdasarkan letaknya dari jalan raya yang juga ditanami pohon kenari. Plot 1 dan plot 2 terletak di dalam Kebun Raya Bogor (KRB) yang memiliki ketinggian 260 m.dpl., curah hujan 3.000-4.300 mm/tahun, dan luas 87 hektar. Jumlah koleksi terakhir tercatat sekitar 13.684 spesimen tanaman, namun tidak ada catatan mengenai keanekaragaman liken (Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006). Adapun plot 1 terletak di tengah KRB yang diasumsikan sebagai daerah yang lebih bersih udaranya atau kontrol karena letaknya jauh dari sirkulasi lalu lintas padat (Lampiran 4). Kriteria dari kontrol atau daerah ‘bersih’ adalah bebas atau minimal sedikit pengaruh antropogenik ataupun sumber polusi udara, mengingat tidak adanya jaminan bahwa suatu daerah sama sekali tidak tersentuh polusi (Kularatne dan de Freitas 2012). Plot 2 masih merupakan bagian dari KRB, yaitu di bagian tepi yang secara tidak langsung berhubungan dengan Jalan Otto Iskandardinata dengan lalu lintas padat. Plot 3 terletak di tepi Jalan Ahmad Yani dan Jalan Pemuda yang secara langsung berhubungan dengan sirkulasi lalu lintas yang padat dan juga berdekatan dengan pabrik PT Goodyear Indonesia. Gambaran plot penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Identifikasi dan pengukuran tutupan liken dilakukan di Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi – FMIPA Institut Pertanian Bogor.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif eksploratif dengan teknik survei. Teknik pengambilan sampel adalah purposive sampling, dilanjutkan dengan identifikasi spesimen secara morfologi dan kimiawi. Untuk melihat dampak polusi udara terhadap talus liken, dilakukan perbandingan populasi, dominansi, dan frekuensi liken makro yang terdapat di ketiga lokasi penelitian. Pada penelitian ini dilakukan metode penghitungan luas tutupan taluslikenmenggunakan plastik transparan (Sudirman LI 2011, komunikasi pribadi) yang mirip dengan yang dilakukan Mickle di Ohio (1977) namun menggunakan alumunium foil.

11 Alat dan Bahan

Pada tahapan pengambilan data liken, digunakan dua buah kuadrat kecil berukuran 32 x 20 cm2 (dua lembar plastik transparan ukuran folio) untuk mengambil sampel persatu batang pohon kenari. Adapun rincian spesies dan lokasi pohon kenari yang digunakan dalam penelitian ini tercantum dalam Lampiran 5. Untuk identifikasi di lapangan digunakan lup. Kebutuhan pengambilan sampel liken untuk koleksi dan pengamatan morfologi memerlukan kantong sampel, pisau lipat, dan kamera digital. Pengukuran suhu udara menggunakan termometer dan kelembapan menggunakan higrometer.

Gambar 3 A. Lokasi plot 1, 2, dan 3 di Kota Bogor, B. Perbesaran plot 3 untuk menunjukkan lokasi pohon kenari di plot 3 (pohon 32, 33, 36, 37, 40, 41, 44, 45). Plot 2 Plot 3 A Plot 1 36 41 40 37 44 45 33 32 B

12

Identifikasi liken di laboratorium menggunakan mikroskop stereo dan mikroskop cahaya disertai dengan buku atau kunci identifikasi liken (Sipman 2003; Divakar dan Upreti 2005; Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak diketahui]). Pengidentifikasian dilakukan secara kimiawi menggunakan spot test reagents berupa larutan KOH 10% dan pemutih “Bayclin”. Pengukuran berat tutupan talus liken menggunakan timbangan analitik. Pengamatan morfologi liken menggunakan lup dan mikroskop stereo.

Prosedur Penelitian

Pohon kenari (Canarium spp.) atau yang dikenal sebagai genus kedondong merupakan kelompok pohon berkayu keras, berasal dari Indo-Cina dan Cina (PROSEA 1995). Pada setiap plot penelitian dipilih pohon kenari yang memiliki keliling lebih besar dari 60 cm (Saipunkaew et al. 2006). Kriteria batang tegak tidak dapat digunakan sebagai persyaratan karena sebagian sampel pohon kenari memiliki akar banir yang tinggi. Pada setiap plot dipilih sebanyak 8 pohon kenari dengan spesies yang beragam (Lampiran 5). Total pohon sampel dari ketiga plot penelitian berjumlah 24 pohon. Dengan demikian, total luas kuadrat sampel tiap plot menjadi 10.240 cm2 (((32 x 20 cm2) x 2 buah kuadrat) x 8 pohon).

Pengambilan sampel liken menggunakan kuadrat yang diletakkan pada batang pohon yang paling banyak ditutupi oleh liken, baik di akar banir maupun di batang utama. Akar banir kenari yang dijadikan sampel bervariasi, bisa pendek dan juga bisa sangat tinggi melebihi tinggi manusia. Misalnya di Jalan Kenari di dalam KRB (plot 1) telah ditanami pohon kenari yang berasal dari Maluku sejak lebih dari 100 tahun (Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor 2006), sehingga tinggi akar banirnya melebihi kepala pengunjung. Keragaman pohon kenari yang dijadikan sampel dapat dilihat pada Gambar 4. Pada satu pohon kenari diletakkan dua buah kuadrat dan setiap liken makro yang tercakup dalam kuadrat diamati dan dihitung jumlah talusnya. Tutupan liken diukur dengan menggambar seluruh talus liken yang tercakup dalam kuadrat di selembar plastik transparansi ukuran folio (Gambar 5).

Gambar 4 Pohon kenari (Canarium spp.) yang digunakan dalam pengambilan data penelitian: a. tanpa akar banir (plot 1), b. dengan akar banir pendek (plot 2), dan c. dengan akar banir tinggi (plot 3).

13 Koleksi liken dibuat dengan menggunakan kantong sampel. Sampel yang dikoleksi disesuaikan dengan kebutuhan, tidak berlebihan mengingat pertumbuhan liken yang sangat lambat. Data pendukung turut diambil seperti diameter tiap pohon, arah mata angin, temperatur, dan kelembapan udara di sekitar pohon kenari.

Identifikasi dilakukan di dalam laboratorium menggunakan lup dan mikroskop stereo. Identifikasi sering kali harus dilakukan hingga tahap anatomi dan diamati di bawah mikroskop cahaya. Karakter-karakter yang telah diamati dicocokkan dengan buku atau kunci identifikasi. Dokumentasi foto di bawah mikroskop dilakukan dengan menggunakan kamera digital. Untuk spesies yang tidak dapat diidentifikasi hanya secara morfologi, dapat diuji dengan spot test reagents untuk melihat reaksi K+ atau C+.

Talus-talus yang telah digambar saat pengambilan sampel kemudian digunting dan ditimbang dengan timbangan analitik (Gambar 5). Hasil timbangan (dalam gram) dikonversi menjadi luas (dalam cm2) berdasarkan luas plastik 1 cm2 yang beratnya 0.0149 gr.

Gambar 5 Metode penghitungan populasi liken. (a) metode kuadrat, tanda panah menunjukkan plastik transparansi yang digunakan untuk menggambar tutupan talus. (b) gambar talus liken. (c)talus liken digunting, dan ditimbang (d).

Analisis Data

Pada penelitian ini dilakukan penghitungan jumlah talus (JT), luas tutupan talus (LT), dan luas tutupan talus rata-rata (LTR). Selain itu, beberapa parameter ekologi seperti kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), dominansi (D), dominansi relatif (DR), frekuensi 1 (F1), frekuensi 2 (F2), frekuensi relatif 1 (FR1), frekuensi relatif 2 (FR2), indeks nilai penting 1 (INP1), dan indeks nilai penting 2 (INP2) juga diukur. Persamaan-persamaannya diperoleh dari literatur (Dietrich dan Scheidegger 1997; Rugayah et al. 2004; Smith dan Smith 2007) dengan modifikasi sebagai berikut:

B C

a

b

c

14

1. Luas tutupan talus rata-rata genus A pada plot pengamatan (LTR) = luas tutupan genus A

jumlah talus genus A

2. Kerapatan genus A pada plot pengamatan (K) = jumlah talus genus A

luas kuadrat total pada semua pohon di plot pengamatan 3. Kerapatan relatif genus A pada plot pengamatan (KR)

= kerapatan genus A x 100%

kerapatan total seluruh genus yang ditemukan 4. Dominansi genus A pada plot pengamatan (D)

= luas tutupan genus A

luas kuadrat total pada semua pohon di plot pengamatan 5. Dominansi relatif genus A pada plot pengamatan (DR)

= dominansi genus A x 100%

dominansi total seluruh genus yang ditemukan

6. Frekuensi 1 genus A pada plot pengamatan (F1, berdasarkan jumlah talus) = jumlah talus genus A

jumlah talus total liken pada plot pengamatan

7. Frekuensi 2 genus A pada plot pengamatan (F2, berdasarkan jumlah pohon) = jumlah perjumpaan genus A

jumlah pohon total pada plot pengamatan

8. Frekuensi relatif 1 genus A pada plot pengamatan (FR1, berdasarkan jumlah talus)

= frekuensi 1 genus A x 100%

frekuensi total seluruh genus yang ditemukan

9. Frekuensi relatif 2 genus A pada plot pengamatan (FR2, berdasarkan jumlah pohon)

= frekuensi 2 genus A x 100%

frekuensi total seluruh genus yang ditemukan

10.Indeks nilai penting 1 seluruh liken pada tiap plot pengamatan (INP1) = kerapatan relatif + dominasi relatif + frekuensi relatif 1 11.Indeks nilai penting 2 seluruh liken pada tiap plot pengamatan (INP2)

= kerapatan relatif + dominasi relatif + frekuensi relatif 2

Analisis cluster menggunakan program MEGA 5.05 metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean) dengan bootstrap 1000 kali dilakukan untuk mengetahui kesamaan dan perbedaan liken makro berdasarkan lokasi ketiga plot penelitian.

15

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman Liken Makro Epifitik di Pohon Kenari

Identifikasi spesimen dilakukan hanya sampai nama genus. Identifikasi tidak dilakukan sampai nama spesies karena kunci identifikasi liken di daerah tropis masih sangat minim dan kunci identifikasi liken untuk daerah subtropis sering tidak cocok digunakan untuk daerah tropis. Melalui penelitian ini, ditemukan tujuh genus liken makro epifitik pada pohon kenari yang termasuk ke dalam empat famili sebagai berikut: Coccocarpiaceae meliputi Coccocarpia Pers. (1), Collemataceae meliputi Leptogium (Ach.) Gray (2), Parmeliaceae meliputi Canoparmelia Elix & Hale (3) dan Parmotrema Mass.(4), serta Physciaceae meliputi Dirinaria (Tuck.) Clem.(5), Physcia (Schreb.) Michx. (6), dan Pyxine Fr. (7). Gambar 6 menunjukkan distribusi liken makro epifitik pada ketiga plot. Deskripsi ketujuh genus berdasarkan kunci identifikasi disajikan pada Lampiran 6. Pada plot 1 ditemukan liken Coccocarpia (1), Leptogium (2), Parmotrema (4), Dirinaria (5), dan Physcia (6). Di plot 2 terdapat liken Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), Physcia (6), dan Pyxine (7). Di plot 3 ditemukan Canoparmelia (3), Parmotrema (4), Dirinaria (5), dan Pyxine (7). Dengan demikian, hanya Parmotrema (4) dan Dirinaria (5) yang ditemukan di ketiga plot. Liken dengan fotobion berupa sianobakteria (sianoliken), Coccocarpia (1) dan Leptogium (2), hanya ditemukan di plot 1 yang jauh dari sirkulasi lalu lintas padat. Physcia (6) ditemukan di plot 1 dan 2, namun tidak terdapat di plot 3. Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) terdapat di plot 2 dan 3 yang dekat dengan sirkulasi lalu lintas padat.

Gambar 6 Distribusi liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3.

Berdasarkan kehadiran masing-masing genus liken makro epifitik di tiap plot, dibuat data biner seperti pada Tabel 3. Selanjutnya, melalui analisis cluster program MEGA 5.05 dengan metode UPGMA (Unweighted Pair Group Method with Arithmetic Mean) menggunakan bootstrap 1000 kali diperoleh dendrogram seperti pada Gambar 7.

Plot 1 1 2 Plot 3 Plot 2 1. Coccocarpia (1) 2. Leptogium (2) 3. Canoparmelia (3) 4. Parmotrema (4) 5. Dirinaria (5) 6. Physcia (6) 7. Pyxine (7) 4, 5 6 6 3,7

16

Tabel 3 Data biner kehadiran liken makro epifitik di plot 1, 2, dan 3

Nomor Genus Notasi

Plot 1 Plot 2 Plot 3

1 Coccocarpia 1 0 0 2 Leptogium 1 0 0 3 Canoparmelia 0 1 1 4 Parmotrema 1 1 1 5 Dirinaria 1 1 1 6 Physcia 1 1 0 7 Pyxine 0 1 1

Keterangan: 1 = Ditemukan; 0 = Tidak Ditemukan

Hasil analisiscluster lokasi genus liken makro dikelompokkan menjadi 4 cluster lokasi (A, B, C, D) dan dapat dilihat pada Gambar 7. Cluster lokasi pertama (A) yaitu Coccocarpia (1) dan Leptogium (2) terpisah jauh dengan cluster lokasi lainnya (B, C, D) dengan jarak lokasi sekitar 36% dan kedua liken memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap 80%. Cluster lokasi A menunjukkan kekhasan liken Coccocarpia (1) dan Leptogium (2). Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) yang sama-sama ditemukan di plot 2 dan 3 membentuk cluster lokasi kedua (B) yang terpisah dengan cluster lokasi C dan D dengan jarak cluster lokasi sekitar 22% dan kedua liken memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap 77%. Physcia (6) yang ditemukan di plot 1 dan 2 membentuk cluster lokasi sendiri (C) yang terpisah lebih dekat dengan cluster lokasi D dengan jarak cluster lokasi sekitar 16%. Parmotrema (4) dan Dirinaria (5) yang ditemukan di ketiga plot membentuk cluster lokasi keempat (D) dan keduanya memiliki kemiripan lokasi dengan nilai bootstrap 56%. Canoparmelia (3) dan Pyxine (7) bisa berada bersama-sama dalam satu lokasi dengan Physcia (6), Parmotrema (4) dan Dirinaria (5), tetapi keberadaannya kurang ditunjang oleh jarak cluster lokasi sekitar 22%.

Gambar 7 Dendrogram genus liken makro epifitik berdasarkan data biner.

(4) (5) (6) (3) (7) (1) (2) A B C D

17 Sianoliken seperti Coccocarpia (1) dan Leptogium (2) kerap hanya ditemukan di daerah dengan kualitas udara yang baik dan lembap karena sensitif terhadap proses pengasaman dari polusi udara (Cameron dan Richardson 2006) sehingga tidak ditemukan di daerah dengan lalu lintas padat seperti pada plot 2 dan 3. Proses pengasaman dari polutan (SO2) dapat menghambat aktivitas nitrogenase pada talus sianoliken (Sipman 2009). Liken Coccocarpia (1) merupakan salah satu bentuk liken foliose yang cukup mudah untuk dikenali di lapangan karena lobus-lobusnya yang kecil membulat dengan warna talus abu-abu kebiruan sebagai refleksi dari sianobakteri yang menyusun talusnya. Jika diamati lebih teliti di bawah mikroskop, tampak annual rings atau striasi konsentris pada tepi permukaan atas lobus (Gambar 8A). Liken makro Leptogium (2) juga mudah dikenali di lapangan karena talusnya tipis seperti kertas namun jika dalam keadaan basah akan menjadi seperti gelatin, serta berwarna gelap (Gambar 8B). Lobus-lobusnya berukuran cukup besar dan jika dibuat sayatan melintang lalu diamati di bawah mikroskop akan memperlihatkan cellular layer pada bagian korteks atas (Sipman 2003).

Kehadiran liken Parmeliaceae lebih banyak terdapat di daerah pegunungan (Saipunkaew et al. 2005) dan daerah dengan curah hujan yang tinggi (Saipunkaew et al. 2006). Hanya Parmotrema (4) dan Canoparmelia (3) sebagai anggota Parmeliaceae yang ditemukan pada penelitian ini. Di Kebun Raya Cibodas, genusliken Parmeliaceae yang ditemukan seperti Everniastrum, Hypotrachyna, Parmelia, Parmelinella, Relicina, dan Rimelia (Rindita 2007).

Gambar 8 Sianoliken yang ditemukan di plot 1: A. Coccocarpia (1) dengan annual rings pada lobusnya (tanda panah), B. Leptogium (2) memiliki satu cellular layer (tanda panah).

Canoparmelia (3, Gambar 9A) sepintas sulit dibedakan dari kelompok liken Parmeliaceae lainnya, yaitu dengan karakteristik liken foliose yang

A

B

18

menempel longgar dari substratnya, mempunyai korteks bawah berwarna gelap, talus berwarna abu-abu pucat hingga kuning-kehijauan, dan memiliki lobus-lobus khas serta rhizine sebagai alat menempel. Namun, jika diamati di bawah mikroskop stereo, genus ini memiliki karakter khusus yaitu rhizinenya tunggal atau bercabang tidak beraturan yang tersebar dari tepi korteks bawah hingga ke bagian tengah. Kemudian, jika dilakukan uji kimiawi yaitu menggunakan larutan KOH 10% dan pemutih, maka akan menghasilkan reaksi K+kuning dan KC- yang artinya spesimen mengandung senyawa atranorin. Tambahan lagi, permukaan atas talusnya tidak memiliki pseudocyphellae, namun terdapat alat perkembangbiakan vegetatif berupa soralia farinose atau isidia (Sipman 2003). Pada penelitian ini ditemukan C. texana di plot 3 yang memiliki talus berwarna abu-abu kekuningan, permukaan atas halus hingga kasar berkerut di bagian tengah, bagian tengah talus yang melekat erat pada substrat, serta medula yang berwarna putih (Divakar dan Upreti 2005).

Berbeda dengan Canoparmelia (3), bagian tepi dari korteks bawah Parmotrema (4) bersih dari rhizine dan pada penelitian ini ditemukan P. tinctorum (Nyl.) Hale di plot 1 dan plot 2 (Gambar 9B). P. tinctorum memiliki lobus lebar, struktur reproduksi berupa isidia, korteks bawah berwarna hitam di bagian tengah dan cokelat di bagian tepi, dengan rhizine yang jarang, pendek atau panjang di bagian tengah talus. Jika talusnya sedikit disayat, maka akan tampak medula berwarna putih. Reaksi spot-test larutan pemutih (C) pada medula menghasilkan warna merah (C+merah), yang artinya positif mengandung asam lecanoric (Sipman 2003; Divakar dan Upreti 2005) (Lampiran 6).

Gambar 9 Liken Parmeliaceae yang ditemukan selama penelitian: A. Canoparmelia (3) dan B. Parmotrema (4).

Dari ketiga plot penelitian, Dirinaria (5), Physcia (6), dan Pyxine (7) merupakan liken makro epifitik yang memiliki jumlah talus total yang mencapai ratusan talus dengan luas tutupan talus total yang besar (Tabel 4). Ketiga genus liken tersebut adalah anggota famili Physciaceae. Liken Parmeliaceae yang ditemukan, yaitu Canoparmelia (3) dan Parmotrema (4), memiliki jumlah talus yang jauh lebih sedikit dan luas tutupan talus total yang lebih kecil (Tabel 3). Hasil ini mirip dengan yang terjadi di Thailand, yaitu liken dari famili Physciaceae lebih menyebar luas di dataran rendah dan daerah perkotaan, sedangkan Parmeliaceae lebih banyak terdapat di daerah pegunungan (Saipunkaew et al. 2005). Secara umum, liken Physciaceae memperoleh keuntungan dari nitrogen terfiksasi yang sering ditemukan di daerah perkotaan (Sipman 2009), dan oleh karenanya kelompok liken ini disebut liken nitrophilous

19 (Opdyke 2011). Namun, hasil penelitian di Singapura menunjukkan hal yang berbeda yang tidak diketahui penyebabnya, yaitu jumlah liken Physciaceae mengalami penurunan (Sipman 2009).

Tabel 4 Perbandingan jumlah dan luas tutupan talus total family dan genus liken yang ditemukan di ketiga plot penelitian

Liken makro yang ditemukan Jumlah talus total seluruh plot (talus)

Luas tutupan talus total seluruh plot

(cm2) Famili Genus Coccocarpiaceae Coccocarpia (1) 5 52.23 Collemataceae Leptogium (2) 21 364.41 Parmeliaceae Canoparmelia (3) 12 81.43 Parmotrema (4) 24 197.81 Subtotal 36 279.24 Physciaceae Dirinaria (5) 462 970.51 Physcia (6) 284 435.55 Pyxine (7) 263 649.11 Subtotal 1009 2055.17

Keterangan: Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2

Walaupun banyak dan sering ditemukan, spesimen liken Physciaceae yang hidup di ketiga plot penelitian sering kali mengalami kerusakan atau tidak memiliki apotesia sehingga sulit dibedakan secara morfologi. Di antara ketiga genus, Physcia (6) mudah dibedakan dari Dirinaria (5) dan Pyxine (7) karena talusnya melekat longgar pada substratnya. Di bawah mikroskop stereo, tampak bahwa alat pelekat Physcia (6) adalah rhizine dan memiliki korteks bawah berwarna putih. Liken Physcia (6) sangat penting dalam mempelajari hubungan liken dengan kualitas udara. Banyak morfospesies dari Physcia (6) yang ditemukan pada penelitian ini, namun dalam kondisi yang kurang baik. Salah satu spesies yang berkembang baik di plot 1 adalah P.atrostriata Moberg. (Gambar 10A, Lampiran 6).

Dirinaria (5) dan Pyxine (7) sulit dibedakan secara morfologi, karena talus keduanya melekat erat pada substrat (Gambar 10B), sehingga untuk memastikannya perlu dilakukan identifikasi di bawah mikroskop stereo. Karakter Dirinaria (5) yaitu memiliki alat pelekat bukan rhizine, melainkan hapters (Elix 2009; Wolseley dan Aguirre-Hudson [tahun tidak diketahui]). Dirinaria (5) dan Pyxine(7) akan lebih mudah dibedakan dengan melakukan spot test reagents, yaitu meneteskan larutan KOH 10% pada permukaan talus keduanya. Umumnya jenis-jenis Dirinaria (5) memiliki senyawa atranorin pada korteks bagian atas, sehingga akan berwarna kuning (K+) setelah diteteskan larutan KOH 10%. Pyxine (7) umumnya menunjukkan reaksi negatif (K-) setelah diteteskan KOH 10% (Sipman 2003). Berdasarkan beberapa penelitian, liken Dirinaria (5) bersifat toleran terhadap polusi udara sehingga banyak ditemukan di daerah perkotaan (Nursal et al. 2005; Saipunkaew et al. 2006).

Pyxine (7) dapat diidentifikasi setelah melakukan reaksi kimiawi pada talus (Gambar 10C). Reaksi setelah diteteskan larutan KOH 10% adalah K-, yang artinya tidak mengandung senyawa atranorin atau mengandung lichexanthone (Sipman 2003). Pyxine cocoes (Sw.) Nyl. yang ditemukan dalam penelitian ini

20

(Lampiran 6) merupakan liken yang toleran terhadap polusi di daerah perkotaan dan industri (Savillo 2003; Saipunkaew et al. 2005; Rout et al. 2010).

Gambar 10 Liken Physciaceae di plot penelitian: A. Physcia (6), contohnya P. atrostriata yang melimpah di plot 1, B. Dirinaria (5) yang melekat erat pada substrat dan dominan di plot 2 serta 3, dan C. Pyxine (7) yang dominan di plot 3.

Daerah yang memiliki cukup banyak liken foliose mengindikasikan kondisi yang baik untuk pertumbuhan liken (Yazici dan Aslan 2006). Kota Bogor tampak masih mendukung pertumbuhan liken dengan ditemukannya beragam liken foliose, bahkan di plot yang diasumsikan berpolusi. Distribusi liken makro dapat merefleksikan kualitas udara di suatu tempat. Akan tetapi, variasi liken juga dipengaruhi oleh faktor iklim (Nash 2008, Kumar 2009).

Keadaan Populasi Liken Makro Epifitik di Ketiga Plot Penelitian Rincian data jumlah talus (JT) dan luas tutupan talus (LT) liken makro epifitik di tiap plot dilampirkan dalam Lampiran 7. Perhitungan ekologi yang meliputi jumlah talus, luas tutupan talus, luas tutupan talus rata-rata (LTR), kerapatan (K), kerapatan relatif (KR), dominansi (D), dominansi relatif (DR), frekuensi 1 (F1), frekuensi 2 (F2), frekuensi relatif 1 (FR1), serta frekuensi relatif 2 (FR2) dari tiap genus yang ditemukan dijabarkan dalam Lampiran 8. Indeks nilai penting 1 (INP1) dan indeks nilai penting 2 (INP2) liken makro epifitik pada tiap plot juga dihitung.

Berdasarkan data-data yang telah dihitung, keadaan populasi liken makro epifitik di ketiga plot dapat dijelaskan. Secara umum untuk semua liken makro epifitik yang ditemukan, jumlah talus total dan luas tutupan talus total liken makro paling besar berada di plot 2, yaitu berturut-turut 530 talus dan 1323.4 cm2 (Gambar 11). Luas tutupan talus rata-rata liken makro epifitik di plot 2 adalah 2.5 cm2 (Gambar 12), yang diperoleh dari luas tutupan talus total dibagi dengan jumlah talus total. Plot 1 memiliki jumlah talus total yang lebih kecil dari plot 2 dan plot 3, yaitu 150 talus, akan tetapi luas tutupan talus totalnya lebih besar dari plot 3. Artinya, walaupun di plot 1 terdapat paling sedikit jumlah talus liken namun masing-masing liken yang ditemukan memiliki luas tutupan talus rata-rata yang besar (LTR = 5.1 cm2, Gambar 12). Plot 3 yang memiliki jumlah talus lebih banyak dari plot 1 ternyata luas tutupan talus rata-ratanya hanya 1.69 cm2 per talus.

21

Gambar 11 Diagram perbandingan jumlah talus total dan luas tutupan talus total liken makro epifitik di ketiga plot. Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2.

Gambar 12 Diagram perbandingan luas tutupan talus rata-rata liken makro epifitik di ketiga plot. Data dihitung dari 16 kuadrat per plot yang luasnya 10.240 cm2.

Plot 2 terletak di KRB bagian tepi, yang memiliki akses lebih dekat dengan jalan raya berikut polusi udara di sekitarnya. Akan tetapi, plot ini lebih terbuka dan memungkinkan cahaya lebih banyak untuk pertumbuhan liken daripada di plot 1, sehingga memungkinkan beberapa kelompok liken tumbuh lebih baik. Di hutan beriklim sedang di India, pohon Quercus semecarpifolia di hutan berkanopi terbuka memiliki tutupan liken yang maksimum (70%), sedangkan di hutan berkanopi tertutup hanya memiliki tutupan 40% (Kumar 2009). Namun, jumlah talus total yang besar dan luas tutupan talus total yang luas dari liken makro epifitik di plot 2 tidak menunjukkan bahwa pertumbuhannya lebih baik dari liken di plot 1, karena luas tutupan rata-rata tiap talusnya lebih kecil dibandingkan dengan liken di plot 1. Dampak dari polutan dapat menjadi penyebab menyusutnya luas tutupan liken (Bates 2002).

765.32 1323.4 662.34 150 530 391 0 100 200 300 400 500 600 0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Plot 1 Plot 2 Plot 3

Ju ml ah T al us T ot al ( ta lu s) L ua s T ut up an T al us T ot al ( cm 2)

Jumlah Talus Total dan Luas Tutupan Talus Total Liken

Dokumen terkait