• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Logam Berat 1. Timbal (Pb)

Timbal mempunyai nomor atom 83, berat atom 207,9, titik cair 327,5oC dan titik didih 1725oC. Timbal di alam dalam bentuk sulfida (gelena), Pb Carbonat (Cerussite), PbSO4 (Angelisite), sedangkan Timbal dalam air berada dalam bentuk Pb2+, PbCO3, Pb(CO3)22-, PbOH+ dan Pb (OH)2. Secara alamiah Timbal tersebar luas pada batua-batuan dan lapisan kerak bumi. Saeni (1989) menyatakan sumber utama timbal di atmosfir dan daratan dapat berasal dari bahan bakar bertimbal sedangkan batuan kapur dan gelena (PbS) merupakan sumber timbal pada perairan alami. Timbal muncul dalam air dalam bentuk bilangan oksida +II. Ion timbal terhidrolisis sebagian di dalam air dengan reaksi : Pb2+ + H2O PbOH+ + H+. Selanjutnya Saeni (1989) menyatakan timbal masuk ke perairan melalui pengendapan, jatuhan debu yang mengandung timbal yaitu: dari hasil pembakaran bensin yang mengandung timbal tetraetil, erosi, dan limbah industri.

Menurut Darmono (1995) mengemukakan penggunaan timbal dalam yang besar seperti: industri percetakan tinta, pelapis pipa sebagai anti korosif dan digunakan dalam campuran pembuat cat sebagai bahan pewarna karena daya larutnya yang rendah dalam air. Sedangkan Williams et al, (2000) dalam Oktavianus dan Salami (2005) mengungkapkan bahwa timbal (Pb) berasal dari industri-industri seperti pabrik baterai, amunisi, kawat, logam campuran, dan cat.

Secara alamiah, timbal masuk ke perairan melalui pengkristalan timbal di udara dengan bantuan air hujan dan proses korotifikasi batu-bataun mineral. Timbal masuk ke perairan sebagai dampak aktivitas manusia seperti buangan industri, buangan pertambangan biji timah, dan buangan industri kaleng.

Logam timbal dalam konsentrasi yang tinggi dalam perairan dapat bersifat racun karena bioakumulatif dalam tubuh organisme air dan akan terus diakumulasi hingga organisme tersebut tidak mampu lagi mentolerir kandungan logam berat tersebut dalam tubuhnya (Connel dan Miller, 2006). Karena sifat bioakumulatif logam timbal, maka dapat terjadi konsentrasi logam tersebut dalam bentuk terlarut dalam air adalah rendah, tetapi dalam sedimen meningkat akibat proses fisik, kimia, biologi perairan, dan dalam tubuh hewan air meningkat sampai beberapa kali lipat (biomagnifikasi). Selanjutnya Rompas (1998) dan Manahan (2002) menjelaskan bahwa apabila konsentrasi logam berat tinggi dalam air, ada kecendrungan konsentrasi logam berat tersebut tinggi dalam sedimen dan akumulasi logam berat dalam tubuh hewan demersial.

Menurut Manahan (2002) bahwa akumulasi logam berat dalam tubuh hewan air dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain:

1. Konsentrasi logam berat dalam air 2. Konsentrasi logam berat dalam sedimen 3. Nilai pH air dan pH sedimen dasar perairan

Nilai pH air dan pH sedimen dapat mempengaruhi akumulasi logam berat dalam tubuh hewan air, karena semakin rendah pH air dan pH sedimen maka logam berat semakin larut dalam air (bentuk ion) sehingga semakin mudah masuk kedalam tubuh hewan tersebut, baik melalui insang, dan bahan makanan ataupun difusi.

4. Tingkat pencemaran air dalam bentuk COD (chemical oxygen demand)

Apabila COD dalam perairan relatif tinggi, maka ada kecendrungan kandungan logam berat dalam air dan sedimen juga akan tinggi. COD menunjukkan kadar bahan organik yang bersifat non biodegradable yang umumnya bersumber dari industri.

6. Kadar sulfur (S) dalam sedimen juga mempengaruhi kandungan logam berat dalam sedimen, karena unsur sulfur sangat mudah berikatan dengan logam berat membentuk logam-sulfida yang mengendap di dasar perairan.

7. Jenis hewan air

8. Umur dan bobot tubuh dan 9. Fase hidup (telur dan larva).

Apabila timbal (Pb) memasuki lingkungan perairan, maka timbal tersebut akan diserap oleh sedimen atau lumpur, plankton, algae, invertebrata, tanaman akuatik dan lain-lain. Sedimen dan tanah merupakan sink (pengendapan) utama bagi timbal di lingkungan. Konsentrasi timbal dalam air semakin meningkat karena garam yang diekskresikan ikan ke air cenderung bertambah. Kenaikan konsentrasi timbal dalam sistem akuatik secara berurutan : air < mangsa ikan < ikan < sedimen (DVGM, 1985 dalam Oktavianus dan Salami, 2005). Selanjutnya diungkapkan bahwa peningkatan konsentrasi timbal pada ikan (proses uptake) merupakan peningkatan eksponensial, artinya: bahwa semakin tinggi konsentrasi timbal dalam air, semakin tinggi pula konsentrasi timbal dalam ikan Nila (Oreochromis niloticus).

Hasil penelitian Sitorus (2004), mengungkapkan bahwa kadar logam berat timbal dalam tubuh kerang di perairan pesisir Belawan mencapai 0,042 ppm dan di Tanjung Balai mencapai 0,033 ppm. Hal ini berhubungan, karena kerang hidup di lapisan sedimen dasar perairan, bergerak sangat lambat dan makanannya detritus di dasar perairan, sehingga peluang masuknya logam berat kedalam tubuh sangat besar. Kadar logam berat timbal 0,5 ppm dapat menyebabkan kematian pada ikan dan organisme perairan lainnya.

Logam berat timbal dapat mempengaruhi hewan air yaitu; menganggu sistem organ seperti insang dalam proses respirasi dan ginjal dalam proses osmoregulasi, kemudian akan mempengaruhi keseimbangan energi dalam ikan, sehingga mempengaruhi mortalitas, pertumbuhan, reproduksi serta aktivitas (Lloyd, 1992 dalam Oktavianus dan Salami, 2004).

Sedangkan apabila logam berat timbal masuk kedalam tubuh manusia, maka logam tersebut akan diakumulasi dalam jaringan tubuh dan tidak bisa diekskresikan lagi keluar tubuh. Pada kadar yang sudah tinggi dalam tubuh 19

manusia, akan menyebabkan dampak negatif yang serius, antara lain: (1) menghambat aktivitas enzim, sehingga proses metabolisme terganggu, (2) menyebabkan abnormalitas kromoson (gen), (3) menghambat perkembangan janin, (4) menurunkan fertilitas wanita, (5) menghambat pembentukan sperma pada pria (spermatogenesis), (6) mengurangi konduksi syaraf tepi, (7) menghambat pembentukan hemoglobin, (8) menyebabkan kerusakan ginjal, (9) menyebabkan kekurangan darah, (10) pembengkakan kepala, (11) menyebabkan gangguan emosional dan tingkah laku (Fergusson, 1990)

2.4.2. Seng (Zn)

Seng (Zn) termasuk dalam kelompok logam berat. Seng (Zn) mempunyai nomor atom 30, berat atom 65,37 dan seng memiliki valensi +2. Titik cair Zn berada pada suhu 419,6oC dan titik leburnya pada suhu 906oC (Heslop dan Robinson, 1960). Logam berat Zn merupakan suatu logam berat putih keperakan dan dapat larut dalam air. Sumber logam berat Zn terbagi dua yaitu: (1) secara alamiah dapat berasal dari batu dan lumpur lahar, (2) berasal dari aktivitas manusia seperti: proses produksi elektroda, baterai kimia, dan juga dalam air buangan penambangan logam berat serta industri baja besi. Logam berat seng dimanfaatkan dalam produksi cat, bahan keramik, gelas, lampu dan pestisida (Darmono, 1995).

Seng (Zn) adalah metal yang didapat antara lain pada industri alloy, keramik, kosmetik, pigmen dan karet (Hardjojo dan Djokosetiyanto, 2005). Pada dasarnya Zn bukanlah unsur radioaktif sehingga unsur tersebut pada konsentrasi rendah memiliki fungsi secara biologis. Hal tersebut karena Zn memiliki daya afinitas yang tinggi dan rendah untuk mengikat enzim. Zn dibutuhkan untuk proses metabolisme dalam tubuh, tetapi dalam kadar tinggi dapat bersifat racun. Bagi mikroorganisme termasuk mikroalga, Zn berfungsi sebagai penstabil struktur dari protein, reaksi redoks dan hidrolisis serta menjadi pemicu suatu rangkaian proses.

Menurut keputusan MENLH ambang batas logam berat Zn dalam air limbah adalah 5 ppm untuk kualitas ringan dan 10 ppm untuk kualitas berat. Limbah industri yang mengandung logam Zn di buang ke perairan dalam jumlah

banyak, maka dapat menimbulkan pencemaran perairan. Senyawa Zn mempunyai kemanpuan melarut yang relatif tinggi, maka logam tersebut tersebar luas di perairan (Llyod, 1992 dalam Damaiyanti, 1997). Apabila konsentrasi logam berat Zn dalam perairan berada pada konsntrasi yang tinggi, maka kemungkinan besar logam Zn dapat terakumulasi dalam tubuh biota air.

Pada konsentrasi yang tinggi logam berat Zn dapat bersifat racun bagi mikroorganisme. Kadar Zn sebesar 0,015 ppm dapat menurunkan aktivitas fotosintesa tumbuhan perairan dan konsentrasi 0,02 ppm dapat menurunkan proses pertumbuhan fitoplankton (Clark, 1986).

Dokumen terkait