• Tidak ada hasil yang ditemukan

logika ilmu alam

Dalam dokumen Buku Sufi Tasauf (Halaman 23-76)

ilmu ketuhanan

etika

ALIRAN BATINIYYAH DAN BAHAYA-BAHAYANYA Setelah menyelesaikan penelaahan ilmu filsafat, mendalami dan membedakan kepalsuan-kepalsuan yang ada. Aku masih saja belum cukup meraih targetku. Akal memang tidak akan mampu menutupi seluruh tuntutan kebutuhan dan tidak akan bisa juga

membuka seluruh tabir permasalahan.

Saat itu ramai sekali pembicaraan aliran Ta‘limiyyah. Para penyebarnya menyebar di tengah-tengah umat dan menceramahi mereka tentang pengetahuan makna tema penting dari Imam Ma‘sum sang penegak kebenaran. Aku mendapat tugas untuk meneliti pemikiran-pemikiran mereka dengan mengacu pada kitab-kitab mereka. Kemudian dengan titah khalifah, aku menyanggupi juga untuk menyusun sebuah kitab yang mengupas dan menjelaskan seluk-beluk mazhab Ta‘limiyyah ini. Aku sama sekali tidak kuasa menolaknya, walaupun hal itu ada dorongan luar untuk melakukanya namun juga ada motivasi dalam batin pribadiku. Aku mulai mencari kitab-kitab mereka dan mengumpulkan pemikiran-pemikiran mereka. Dan aku telah mengetahui beberapa pernyataan terbaru mereka yang diberikan oleh para pemikir baru mereka, yang bukan merupakan metode dari para pendahulu dan tokoh-tokoh mereka. Aku kemudian mengurutkannya secara sistematis dengan rapi dan

perbandingannya. Aku menjawab semua pertanyaan ini secara mendetail sehingga beberapa orang dari kalangan ahl al-haqq memperingati akan keberanianku dalam menetapkan argumentasi mereka. Mereka bilang, “Ini adalah kemenangan mereka. Mereka sebenarnya tidak mampu mempertahankn mazhab mereka dengan segala

kerancuan yang ada, kalau bukan karena penyelidikan dan sekematis Anda atas mazhab tersebut”.

Tantangan ini memang benar adanya. Imam Ahmad Ibn Hambal pernah menegur dan menentang karya al-Haris al-Muhasibi dalam membantah Mu‘tazilah. “membantah bid‘ah adalah kewajiban!” kata al-Haris. “benar, tetapi anda mengurai kerancuan mereka

terlebih dahulu, kemudian baru membantah dan menjawabnya. Apa Anda berani menjamin? bahwa orang yang membaca tidak malah akan tertarik dengan kerancuan tersebut dan malah tidak melihat serta memperhatikan sama sekal jawaban dan bantahan Anda, sementara mereka tidak memahami intinya.

Apa yang disebut oleh Imam Ahmad memang benar adanya, tetapi hanya untuk kasus kerancuan yang belum tersebar dan terkenal di kalangan umum. Adapun kerancuan yang sudah terlanjur menyebar, maka menjawab dan membantahnya merupakan kewajiban dan tidak mungkin pula membantahnya tanpa memaparkan terlebih dahulu. Memang, seharusnya kita tidak perlu repot-repot membeberkanya. Aku juga sebenarnya tidak bermaksud demikian, hanya saja aku mendengar tentang kerancuan-kerancuan tersebut dari salah seorang kawan yang sering berkunjung ke rumahku. Ia masuk ke dalam organisasi mereka dan menyerap pemikiran mazhab mereka. Ia menceritakan bahwa mereka mengolok-olok dan mentertawakan karangan beberapa penulis yang berisi bantahan atas mazhab mereka karena para penulis memahami betul argumentasi mereka. Si kawan itu pun lebih lanjut menguraikan argumentasi-argumentasi yang mereka kemukakan. Maka aku pun tidak ingin diriku disebut lalai pada objek keaslian argumentasi mereka. Karena itulah, aku kemudian berinisiatif menyertakannya juga. Aku tidak ingin pula dikatakan belum memahami argumentasi tersebut meski telah mendengarnya, sehingga kuputuskan juga untuk menyelidiki argumentasi mereka. Misi dan target yang ingin kucapai dengan menyelidiki kerancuan mereka kemudian memunculkan ketidak validan argumen mereka dengan argumentasi yang mencukupi.

Hasilnya, pada kenyataan hal itu tidak menunjukan hasil positf bagi mereka atau menjadi perdebatan yang berkepanjanagan bagi mereka. Dan kalau saja tidak ada pembelaan beberapa kawan yang bodoh, niscaya bid‘ah tersebut sudah tamat

riwayatnya dengan segala kelemahan mereka pada lefel ini. Sayang, kerasnya fanatisme telah membawa orang-orang menjadi tercerabut dari kebenaran, untuk memperpanjang konflik dengan mereka pada setiap pembicaraan mereka, dan mendebat segala yang mereka ucapkan. Mereka bahkan mendebat pengakuan mereka, “kebutuhan pada pengajaran dan pengajar”, serta “tidak semua pengajar baik. Kerena itu yang dibutuhkan adalah seorang pengajar ma‘sum”.

Maka yang terjadi kemudian, argumentasi mereka pun malah semakin populer dan menguat, karena relitanya memang kita semua membutuhkan pengajaran dan pengajar. Sementara itu, jawaban para pengingkarnya semakin melemah dalam menghadapi

mereka. Hal demikian, membuat aliran ini pun semakin bangga diri sambil menyangka bahwa hal itu dikarenakan kekuatan mazhab mereka. Dan kelemahan mazhab kalangan yang berbeda pendapat dengan mereka. Mereka tidak mengetahui bahwa hal itu lebih disebabkan karena kelemahan para pembela kebenaran dan kebodohan mereka akan metodologi yang tepat.

Memang kita harus mengakui bahwa kita semua membutuhkan seorang pengajar agung, dan pengajar ini jelas haruslah seorang ma‘sum yang bebas dari salah dan dosa. Namun sang pengajar ma‘sum kita adalah Muhammad Saw. dan ketika mereka mengatakan, “tapi kan beliau sudah meninggal”, kita bisa membalas mereka, “pengajar anda juga menghilang”. Kemudian jika mereka berargumentasi lagi, “tapi pengajar kami telah mengajar para da‘i dan menyebarkannya di seluruh pelosok negeri. Dia hanya

menunggu mereka akan merujuknya saat terjadi perbedaan diantara mereka atau ada masalah penting yang menimpa mereka”, bisa kita katakan juga pada mereka,

“Pengajar kami juga telah mendidik para da‘i dan menyebarkan mereka ke seluruh pelosok negeri, bahkan telah menyempurnakan ajarannya sebagaimana firman Allah, “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu agamamu”. (Q.S. al-Midah[5]: 3). setelah sempurnanya ajaran, maka tidak akan menjadi mudarat lagi kematian atau ketiadaan sang Pengajar”.

Jika mereka bertanya, “Bagaimana kalian menghukumi sesuatu yang belum kalian dengar? Apa dengan dalil yang belum pernah kalian dengar juga, ataukah dengan cara ijtihad dan penalaran yang merupakan wadah sangkaan perbedaan pendapat?”, kita akan jawab, “kami akan melakukan apa yang telah dilakukan oleh Mu‘az Ibn Jabal ketika ia diutus oleh Rasulullah Saw. ke Yaman. Dia menghukumi dengan nass [dalil hukum dari Alquran dan Sunnah Nabi] jika memang ada nas, dan dengan berijtihad disaat tidak ada dalil. Bahkan kita juga meniru tindakan para pendakwah mereka ( kaum

batiniyyah ), ketika mereka jauh dari sang Imam diujung negri, sehingga mereka tidak mungkin menghukumi dengan nass. Padahal dalil-dalil yang saling berjauhan tidak akan menyerap realitas lain yang saling berjauhan. Tidak mungkin pula melaporkan setiap peristiwa dan kejadian pada negeri si Imam, atau menempuh perjalanan jauh ke sana dan kembali hingga si peminta fatwa telah meninggal. Dan kembalinya mereka pun menjadi tiada arti. Begitu juga orang yang susah menentukan arah kiblat, maka tidak ada cara lain baginya untuk melaksanakan shalat kecuali dengan berijtihad. Jika ia pergi ke negeri sang Imam hanya untuk mengetahui arah kiblat, tentunya waktu shalat sudah akan berlalu.

“Jadi boleh shalat dengan tanpa menghadap kiblat dan lebih hanya berdasarkan

sangkaan semata?” Jika dikatakan demikian, maka kita akan menjawab, “sesungguhnya orang yang salah dalam ijtihadnya memperoleh satu pahala dan dua pahala bagi yang benar”. Begitu pula dalam seluruh bidang ijtihad. Masalah penyaluran zakat pada fakir miskin misalnya. Mungkin si pemberi zakat menyangka si fakir dengan ijtihadnya sebagai orang kaya yang berhaluan batini yang suka menyembunyikan hartanya. Maka kalau pun salah, ia tetap tidak berdosa, sebab seperti orang yang berijtihad menentukan kiblat, ia mengikuti sangkaan dirinya meskipun harus berbeda dengan orang lain”.

Jika ia mempertahankan, “Di sini, seorang pengikut mazhab mengikuti siapa? Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‘i –semoga Allah mengasihi keduanya- ataukah Imam yang

lainnya.?” Maka akan saya jawab, “Seorang pengikut mazhab dalam menentukan arah kiblat berada dalam posisi yang sama. Artinya, kepada imam yang mana pun ia bisa mengikutinya,” “tapi jika para mujtahid tersebut berbeda pendapat dalam hal itu, apa yang akan ia perbuat?.” Akan aku jawab, “Ia bisa berijtihad untuk mengetahui mana yang lebih utama dan lebih tahu akan dalil-dalil kiblat, maka dia bisa mengikuti ijtihad tersebut. Begitu juga dalam berbagai pendapat mazhab lainnya”.

Pengembalian masalah manusia pada ijtihad merupakan hal darurat bagi para Nabi dan Imam, dan mereka sadar juga bahwa kadang mereka bersalah. Nabi Saw. misalnya pernah bersabda:

“Aku hanya menghukumi dengan dzohirnya dan Allah-lah yang mengurusi rahasia-rahasianya”.

Dengan bahasa lain, Nabi ingin mengatakan bahwa, “aku menghukumi dengan dugaan yang dihasilkan dari ucapan para saksi, sehingga mungkin saja aku keliru”.

Tidak ada jaminan bebas dari kekeliruan pada diri para Nabi dalam masalah-masalah ijtihad seperti ini, lalu bagaimana kita akan berbuat lebih dari itu?.

Dalam hal ini, mereka (kaum batiniyyah) mempunyai dua pertanyaan penting. Pertama

“diperkenankan ijtihad pada masalah-masalah yang boleh diijtihadkan (obyek ijtihad ), tetapi tidak dalam masalah keyakinan (aqaid). Sebab jika salah, maka ia tidak

terampuni. Lalu bagaimana caranya?”.

Jawab saya, “Kaidah-kaidah akidah sudah tercakup dalam Alquran, sunnah serta dan uraian terinci di belakang keduanya. Hal-hal yang dipertentangkan di sini bisa diketahui kebenarannya dengan cara menimbangnya dengan timbangan yang lurus (qistas al-mustaqim), yaitu timbangan-timbangan yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam kitab-Nya dan jumlahnya 5 timbangan. Semua sudah kusebutkan dalam kitab saya yang berjudul “al-Qistas al-Mustaqim”.

Jika ia bertanya lagi, “tapi lawan-lawan anda kan menentang timbangan anda ini?”. Maka akan saya jawab:

“tidak bisa dibayangkan jika orang yang sudah memahami timbangan-timbangan ini kemudian menentangnya. Para pakar at-Ta‘lim tidak bisa menentangnya, karena saya intisarikan dari Alquran dan aku juga mempelajarinya dari Alquran. Kalangan ahli logika pun tidak akan bisa menentangnya, karena hal itu sesuai dengan apa yang mereka syaratkan sendiri dalam disiplin logika yang tidak diperdebatkan lagi. Begitu juga para pakar kalangan mutakallimin, karena hal itu pun sesuai dengan apa yang mereka

sebutkan dalam dalil teoritik dan dengan teori dimana suatu kebenaran diketahui dalam disiplin ilmu kalam”.

“Jika memang ditangan anda sudah ada timbangan ini, lalu mengapa tidak anda angkat perbedaan yang terjadi diantara manusia?” Mereka bertanya demikian. Akan saya jawab:

“jika kalian mau mendengarkanku, niscaya akan kulenyapkan perselisihan diantara mereka! Sudah saya sebutkan cara-cara menghilangkan perselisihan ini dalam kitab ‘al- Qistas al-Mustaqim’. Maka renungkanlah agar anda mengetahui bahwa itu adalah

kebenaran, dan ini pasti akan menghilangkan segala perselisihan jika mereka mau medengarkan. Tapi nyatanya mereka juga tidak mau mendengarkannya. Buktinya, ada golongan yang mau mendengarkanku, lalu kuselesaikan konflik diantara mereka.

Sementara Imam anda juga ingin mengangkat perselisihan diantara mereka dan mereka tidak mau mendengarkannya, ia juga tidak mampu menghilangkannya juga hingga sekarang.

Mengapa juga Ali ra. belum juga mengangkatnya( menghulangkan konflik), padahal beliau adalah pemimpin para imam? Atau ia mampu mengajak mereka semua untuk mendengarkan nasehat mereka dengan paksa, lalu mengapa ia tidak memaksa mereka hingga sekarang? Lalu sampai kapan? Malahan dakwahnya hanya menyebabkan

bertambahnya perbedaan dan penentang. Benar! Beliau memang mengkhawatirkan perbedaan pendapat sebagai sesuatu yang membahayakan, namun tidak akan berakhir dengan pertumpahan darah, memporak porandakan negara, dan membuat panjang daftar anak-anak yatim, maraknya perampokan, serta perampasan harta. Telah terjadi di dunia ini, berkat penghilangan perselisihan yang kalian lakukan suatu akibat yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah “.

Jika mereka bertanya:

“Anda mengaku telah menyelesaikan perselisihan diantara manusia, tapi orang yang merasa paling bingung di antara mazhab yang saling bertentangan dan perselisihan yang saling berhadapan, tidak akan mau mendengarkan anda juga, apalagi lawan anda. Kebanyakan lawan anda juga berselisih dengan anda. Jadi apa bedanya anda dengan mereka?”.

Ini adalah pertanyaan kedua mereka dan akan saya jawab: “pertanyaan ini seharusnya ditujukan kepada anda terlebih dahulu. Jika anda mendakwahi orang bingung ini untuk mengikuti anda, dia mungkin malah akan menjawab:

“atas dasar apa anda menjadikanku sebagai penentang argumen pertama anda, padahal kebanyakan ilmuwan berselisih pendapat dengan anda?’ aku tidak bisa membayangkan jawaban anda. Apakah anda akan menjawab bahwa Imam saya telah ditentukan oleh nass?. Lalu siapa yang akan mempercayai dalil nass, jika ia tidak mendengar nass itu dari Rasul? Apalagi jika mereka mendengarkan pendapat para ulama akan rekayasa dan kebohongan anda? Kemudian anggaplah ia menerima nass yang anda ajukan ini, tetap saja jika ia masih bingung dalam masalah pokok kenabian ( Nubuwwah ).

Maka ia akan bilang: “Anggap saja misalnya, jika Imam anda menunjukan mu‘jizat ‘Isa sambil berkata, “dalil atas kebenaranku adalah bahwa aku telah menghidupkan

bapakmu. Aku menghidupkannya, lalu ia berbicara kepadaku bahwa ia benar”, lalu dengan apa ia mengetahui kebenarannya?. Padahal segenap makhluk juga tidak mengetahui kebenaran Isa dengan mukjizat ini. Bahkan orang itu malah akan lebih banyak mengajukan sejumlah pertanyaan lagi yang tidak bisa dijawab kecuali dengan penalaran logika yang terinci, padahal logika yang terinci tidak anda kuasai. Orang ini tidak akan mengetahui perbandingan kebenaran mukjizat selama ia tidak mengetahui sihir dan perbedaannya dengan mukjizat. Dan selama ia tidak mengetahui bahwa Allah tidak akan menyesatkan hamba-hamba-Nya. Biasanya, orang seperti ini mengajukan pertanyaan yang menyesatkan dan susah untuk dijawab. Lalu dengan apa ia menjawab semua itu? Padahal Imam anda adalah bukan orang yang pantas diikuti oleh

penentangnya? Mungkin ia akan merujuk pada dalil-dalil teoritik, sementara musuhnya juga menguraikan dalil yang sama, bahkan bisa lebih jelas”.

Pertanyaan ini telah berbalik pada mereka dengan sangat dahsyat. Jika seluruh penganut faham aliran ini dari yang pertama hingga yang terakhir berkumpul untuk berusaha mencari jawabannya, niscaya mereka tidak akan mampu. Melainkan hanya akan semakin memunculkan kerusakan di tubuh jamaah-nya dengan perdebatan antar mereka sendiri, karena mereka tidak memperhatikan soal nuarani, dan lebih hanya menyibukan diri dengan jawaban. Inilah yang akan membuat mereka berdebat panjang, dan tidak cepat-cepat memahami persoalan, sehingga argumentasi mereka pun akan buntu.

Jika ada yang mengatakan:P

“ ini kan masalah hati. Apakah ada jawaban tentang masalah ini?” maka akan saya katakana:

“Ya, ada. Jika si orang bingung dan kalut mengeluhkan dirinya kebingungan tanpa mengemukakan masalah yang dibingungkannya, ia bisa dikatakan seperti orang yang mengeluh sakit tanpa menyebutkan jenis sakitnya, kemudian minta disembuhkan. Maka dikatakan kepadanya: tidak ada di dunia wujud ini obat penyembuhan bagi semua penyakit, bahkan untuk menyembuhkan sakit tertenu saja seperti pusing, mencret dan selain itu saja agak susah. Dengan demikian, si orang bingung harus bisa menetukan masalah yang di bingungkannya. Maka masalah itu sendirilah yang akan

mengenalkannya pada kebenaran di dalamnya dengan menimbangnya menggunakan kelima timbangan yang tidak bisa difahami oleh siapa pun, kecuali jika ia mau mengakui bahwa itu adalah mizan kebenaran yang cocok untuk segala hal yang perlu ditimbang. Dengan begitu, ia akan paham dengan timbangan itu serta mengetahui pula kesahihan timbangan (neraca), sebagaimana pemahaman orang yang belajar berhitung pada berhitung itu sendiri, serta pemahamannya atas keberadaan guru sebagai pengajar berhitung yang benar. Hal ini telah kujelaskan panjang lebar dalam kitab Qistas

al-Mustaqim yang hanya setebal 20 halaman. Maka pelajarilah!.

Sekarang tujuan dan maksud bukan untuk mengurai keburukan mazhab mereka. Hal itu sudah aku jelaskan, pertama dalam kitab al-Mustazha, dan yang kedua dalam kitab

Hujjah al-Haqq yang merupakan jawaban atas pernyataan mereka yang diajukan padaku

sewaktu di Baghdad. Ketiga, aku menerangkannya juga dalam kitab Mufassil al-Khilaf yang berisi 12 pasal, yang merupakan jawaban-jawabanku atas pertanyaan yang diajukan di Hamazan. Keempat dalam kitab ‘ad-Darj’ yang disertai juga dengan tabel, yang merupakan bantahan atas pernyataan mereka yang diajukan padaku sewaktu di kota Tus. Dan kelima aku mencantumkannya pula dalam kitab al-Qistas al-Mustaqim, yang merupakan kitab yang berdiri sendiri dengan misi menjelaskan neraca untuk menimbang kebenaran ilmu dan menunjukan ketidak perluan Imam ma‘sum bagi yang merindukannya.

Namun maksud penjelasan jawaban atas mereka sekarang ini adalah untuk menunjukan bahwa mereka tidak memiliki obat apa-apa, yang bisa menyelamatkan mereka dari

kegelapan pemikiran dan pendapat. Tapi menunjukkan pada kelemahan mereka pada argumentasi mereka tentang penunjukan Imam. Kami coba mereka dengan

membenarkan mereka dalam hal dibutuhkannya belajar dan seorang pengajar ma‘sum. Pengajar yang ma‘sum inilah yang mereka tentukan. Kemudian kami pun menanyakan pada mereka ihwal ilmu yang mereka pelajari dari pengajar yang ma‘sum ini.

Selanjutnya kami ajukan pada mereka beberapa persoalan, tapi mereka malah tidak faham dengan persoalan tersebut, apalagi memecahkannya. Dan ketika mereka tidak mampu menjawabnya, mereka lalu menyerahkannya pada sang Imam al-Ga’ib sambil berkata: “kami harus pergi ke tempatnya”. Naifnya, mereka telah menyia-nyiakan umur mereka hanya untuk mencari sang guru dan bualan mereka akan kebahagiaan

menemuinya, bahkan mereka tidak mendapatkan ilmu apa-apa dari sang guru yang hilang ini. Maka, mereka seperti orang yang memakai wewangian najis yang kelelahan mencari air, namun setelah menemukannya, ia tidak bisa mempergunakannya dan ia pun tetap berwewangian kotoran.

Di antara mereka ada yang mengaku telah mamperoleh sedikit ilmu dari mereka. Namun hasil yang mereka peroleh adalah secuil ilmu filsafat phitagoras yang merupakan

seorang tokoh filsuf kuno dimana mazhabnya adalah mazhab yang paling lemah dalam bidang filsafat. Aristoteles telah membantahnya habis-habisan. Ia menganggap lemah dan merendahkan segala pendapat dan pernyataan phitagoras. Orang itu adalah sang penutur dalam kitab “Ikhwan as-Safa”. Dia benar-benar berada dalam jurang filsafat. Orang yang telah bersusah payah sepanjang usianya untuk mencari ilmu, akhirnya hanya puas dengan ilmu yang sangat lemah seperti ini. Bahkan ia menyangka bahwa dengan meraih itu ia telah mencapai puncak dari ilmu pengetahuan.

Kami juga mencoba mereka dengan menguji lahir batin mereka. Mereka Pada dasarnya berusaha merayu secara halus kepada kalangan awam dan lemah pikiran agar masuk ke dalam jamaah mereka sambil menjelaskan pentingnya seorang guru dan mendebat setiap orang yang mengingkari kebutuhan akan pengajaran dengan argumentasi yang kuat dan meyakinkan. Sehingga jika ada penolong yang membantu mereka dalam upaya memenuhi kebutuhan pada seorang pengajar berkata:

“Tunjukan ilmu sang Guru dan kami akan memanfaatkan pengajarannya!”, mereka akan berhenti dan berkata:

“sekarang jika memang anda menyerahkan hal ini padaku, maka mintalah. Tetapi, materiku hanya sekedar ini saja”. Dengan demikian jadi ketahuan, karena mereka menyadari bahwa jika melebihi hal itu maka mereka akan tersingkap kekurangannya. Mereka tidak akan mampu memecahkan persoalan yang sepele sekalipun, bahkan tidak akan mampu memahami apalagi menjawabnya. Demikianlah sesungguhnya kondisi nyata mereka.

TAREKAT-TAREKAT SUFI

Kemudian setelah menyelesaikann pembahasan ilmu-ilmu sebelumya, saya mengalihkan sepenuh perhatian pada jalan sufisme. Saya pelajari bahwa tarekat mereka merupakan perpaduan antara ilmu dan amal. Tujuan amalan mereka adalah memutus halangan dan rintangan jiwa untuk kemudian mensucikan diri dari akhlak-akhlak jiwa yang tercela dan dari sifat-sifat keji, sehingga ia mencapai pengosongan hati dari selain Allah dan

menghiasinya dengan zikir kepada Allah .

Karena ilmu lebih mudah bagi saya dari pada amal, maka saya memulai penelaahan bidang keilmuan mereka dengan menelaah kitab-kitabnya, seperti Qut al-Qulub karya Abu Talib al-Makki –semoga Allah merahmatinya, karya-karya al-Haris al-Muhasibi, rumusan-rumusan al-junayd, asy-Syibli, Abu Yazid al-Bustami –semoga Allah mensucikan arwah mereka, dan rumusan-rumusan dari syekh-syekh sufi lainnya, sehingga saya bisa mencapai inti dari tujuan ilmu mereka.

Saya meraih apa yang telah diperoleh dari jalan sufi ini melalui belajar dan menyimak. Tampak olehku bahwa ilmu khusus mereka, tidak mungkin diraih hanya dengan belajar melainkan harus dengan menggunakan intuisi , pengenalan kondisi (hal), dan perubahan sifat-sifat. Betapa banyak konsepsi mereka tentang definisi sehat dan kenyang serta sarana dan syarat untuk memperoleh sehat dan kenyang, tentang orang yang sehat dan orang yang kenyang. Tentang batasan antara gila (extase) yang merupakan

perumpamaan dari kondisi yang telah teraih dengan menelan asap yang naik dari perut ke pusat pikiran dan menjadi orang yang mabuk. Bahkan orang yang sedang extase tidak akan pernah mengetahui batasan extase, dan juga pengetahuan akan kemabukan dirinya dan pengetahuan yang lainnya. Sementara orang-orang yang tersadar

Dalam dokumen Buku Sufi Tasauf (Halaman 23-76)

Dokumen terkait