• Tidak ada hasil yang ditemukan

(%) Bagian bawah tanah

Bagian bawah tanah

 Bongkol (stubble) 4,5

 Akar 12,7

Bagian atas tanah

Trash (daun dan pelepah kering) 24,6

 Batang 49,2

 Pucuk 9,0

Dari data pada Tabel 2 tampak bahwa biomasa yang berupa batang dan dipanen sebagai hasil ekonomi ± 50% dari total biomasa yang dihasilkan seluruh tanaman. Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa nitrogen memiliki pengaruh terhadap persentase batang yang dapat digiling, karena proporsi pucuk meningkat. Hasil batang yang layak digiling sebagian berada di bawah tanah, oleh sebab itu pemanenan yang baik harus mampu mengambil batang yang ada di bawah permukaan tanah. Bagian-bagian batang tebu ternyata memiliki komposisi kandungan gula yang tidak seragam. Batang bagian bawah mengandung gula paling tinggi dan semakin ke atas semakin rendah (Tabel 2). Skema bagian batang tebu dewasa yang disajikan pada Gambar 2.

Tabel 3 Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974)

Komposisi Bagian batang

3 2 1 a b c d Brix nira (%) 7,54 10,00 11,69 13,64 15,87 17,77 20,75 Sukrosa (% tebu) 2,24 5,02 7,08 9,94 12,93 15,50 19,50 Kemurnian nira (HK) 29,70 50,20 60,60 72,90 81,50 87,20 94,00 Bobot (% total) 12,69 1,27 1,48 1,74 1,99 2,25 78,58 Daun + 1 Titik batas (patah)

No. d No. c No. b No. a 1 2 3

Gambar 2 Bagian batang tebu dewasa

Pertumbuhan tanaman tebu berhubungan dengan status hara yang dikandung dalam tanaman. Kekurangan hara (kahat) yang terjadi akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan gula. Pada Tabel 4 disajikan status hara tanaman dalam status kecukupan (Sanchez dalam Jacob, 2001).

Tabel 4 Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman

No Unsur hara Satuan Nilai

1 N % 1,5 2 P % 0,05 3 K % 2,25 4 Ca % 0,15 5 Mg % 0,1 6 S % 0,01 7 Cu ppm 1 8 Fe ppm 5 9 Mn ppm 10 11 Zn ppm 10

Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source

Bahan penting dari tanaman tebu yang merupakan hasil utama adalah sukrosa yang merupakan gula disakarida hasil penggabungan antara glukosa dan fruktosa (Gambar 3). Sukrosa termasuk bukan gula pereduksi berbeda dengan glukosa yang dapat mereduksi Cu2O4 dalam larutan basa menjadi CuO2 (Lehninger, 1982). Sifat molekul sukrosa yang khas adalah sangat mudah untuk dikristalkan, sehingga dipilih sebagai pemanis komersial yang menyuplai 13% dari total energi yang dibutuhkan oleh manusia. Sukrosa dikenal secara umum sebagai gula tebu meskipun terdapat juga dalam tanaman sumber pemanis lain yang dikenal, terutama beet gula (http://encarta.msn.com/encyclopedia_761573894/Sugar).

Gambar 3 Rumus kimia sukrosa

Pada Gambar 4 disajikan lintasan ringkas pembentukan sukrosa pada tanaman. Sukrosa dibentuk oleh tanaman melalui jalur glukosa-6-fosfat yang berubah menjadi fruktosa-6-fostat. Dari bentuk ini tampak bahwa unsur P sangat dibutuhkan dalam reaksi awal pembentukan sukrosa. Pada tahap selanjutnya reaksi penggabungan akan terjadi dengan aktivator enzim Sukrosa Phosphat Sintetase (SPS). Kerja enzim SPS sangat dipengaruhi oleh radiasi dan suhu udara. Itulah sebabnya diperlukan bulan kering nyata pada fase kematangan tanaman tebu agar terbentuk sukrosa (Babb and Haigler, 2001). Namun kinerja enzim ini tidak sederhana sebab menyangkut proses pembentukan gula monosakarida, serapan unsur P dan kondisi jaringan tanaman (Tetlow et al., 2004).

Sesuai dengan letak sukrosa dalam sel (dalam vacuola), maka penumpukan akan mulai terjadi pada bagian batang yang lebih tua, yaitu pangkal batang (No. d pada Gambar 2). Kemudian berturut-turut akan tertimbun pada bagian batang yang

Glukosa Fruktosa

lebih muda (Gambar 2). Hal ini berarti pada saat pembentukan gula monosakarida, batang berubah fungsi menjadi wadah (sink) sementara daun masih berperan sebagai sumber (source). Selanjutnya pada saat pembentukan sukrosa, energi yang dihasilkan melalui respirasi digunakan untuk menggabungkan dua gula monosakarida menjadi disakarida (Vickery and Vickery, 1981). Itulah sebabnya tidak boleh terjadi pertumbuhan baru pada saat proses tersebut berlangsung. Pada Gambar 5 disajikan grafik yang menunjukkan jumlah sukrosa, bobot bahan kering, dan gula pereduksi (monosakarida) pada posisi bagian batang tebu.

Glukosa 6-fosfat Glukosa 1-fosfat

UDP-glukosa Fruktosa 6-fosfat

ATP

Pi +

Sukrosa 6-fosfat + UDP H2O

Sukrosa + Pi SPS

Gambar 4 Reaksi singkat pembentukan sukrosa pada tebu (Babb and Haigler, 2001)

Bahan kering

Sukrosa

Gula reduksi Nitrogen

0 50 100 150 200 0 5 10 15 20 25 30 35 Per se n

Posisi batang tebu (cm)

Gambar 5 Persentase bahan kering, gula dan nitrogen pada batang tebu (Sudiatso, 1999)

Pembentukan sukrosa terus meningkat sejalan dengan umur tanaman, tetapi setelah mencapai titik maksimum rendemen akan cenderung menurun karena terjadi pemecahan sukrosa menjadi monosakarida yang dikenal dengan inversi (Gilbert et al., 2001). Untuk daerah yang musim gilingnya dimulai pada bulan November, rendemen tertinggi dicapai pada awal Maret (Gambar 6). Sementara itu pengamatan langsung di lapangan terhadap kandungan gula yang dihitung dengan brix dan pol pada saat periode giling di Indonesia disajikan pada Gambar 7. Musim giling di Indonesia rata-rata dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada awal September sehingga rendemen tertinggi dicapai pada bulan Agustus. Rendemen sangat dipengaruhi oleh kondisi hujan pada saat menjelang panen. Jika hujan turun pada saat tanaman tebu mulai membutuhkan masa kering yang nyata, proses pematangan akan terganggu dan rendemen berkurang (Ana, 1999; Wisnusubroto, 2000).

Gambar 6 Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001)

1-Okt 1-Nov 2-Des 2-Jan 2-Feb 4-Mar

AWAL TENGAH LAMBAT

(12,66%) Waktu Rendemen (%) 9,0 9,5 10,0 10,5 11,0 11,5 12,0 12,5 13,0 13,5 14,0 21-Feb

Gambar 7 Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia (Sudiatso, 1999)

Di samping menghasilkan gula sukrosa dan gula monosakarida, hasil metabolisme tanaman tebu juga menghasilkan senyawa lain berupa jaringan penguat tanaman (selulosa), protein, mineral, lilin, dan senyawa berlemak. Senyawa selain gula inilah yang dalam proses pemisahan akan tercermin dalam ampas, meskipun sebagian lainnya akan terbawa dalam nira. Pada keadaan yang normal tanaman tebu di Indonesia mengandung 69-82% air, 8-16% bahan serat (sabut), 6-29% sukrosa, 0,5-2,5% gula reduksi, 0,5-1,0% bahan organik bukan gula, dan 0,5-2,0% abu (Sudiatso, 1999). Neraca bahan yang diperoleh rata-rata dari pabrik gula di Jawa pada saat ini menunjukkan bahwa kadar nira hanya sebesar 53,16% sementara ampasnya 32,79% dan sabutnya 14,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kadar sabut relatif masih baik, tetapi ampasnya meningkat. Peningkatan ampas ini diduga disebabkan oleh mutu tebu yang kurang baik. Mutu tebu dipengaruhi oleh kadar kotoran tebu dan budidaya yang kurang sempurna, terutama pemupukan dan kecukupan air. Nilai normal kadar nira seharusnya lebih besar dari 60% dengan persentase gula total (pol) >12. Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap pabrik gula di Jawa diketahui bahwa nilai pol5 nira rata-rata 9,93% dengan kisaran antara 8,30-11,20 persen.

5

Pol = total gula terlarut dalam nira 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19

I II III IV V VI VII VIII IX X

(%)

Periode Analisis

Brix

Komponen hasil tanaman tebu selain rendemen adalah bobot batang. Oleh sebab itu selain rendemen tinggi, pengusahaan tanaman harus mampu menghasilkan bobot batang yang baik juga. Tingginya dosis pupuk N yang digunakan saat ini menyebabkan tanaman hanya mampu menghasilkan bagian biomasa yang pada saat panen akan menjadi ampas. Itulah sebabnya mutu tebu saat ini memiliki persentase nira yang rendah.

Dalam menghitung rendemen tebu, angka yang dicari adalah besarnya persentase gula yang mampu dikristalkan (hanya sukrosa). Perhitungan rendemen tebu dilakukan dengan rumus sebagai berikut:

{ 0, 4 ( )}Bobot nira 100

R pol - brix - pol ×

Bobot tebu

Dari rumus ini terlihat bahwa rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh nilai pol (total gula), nilai brix (total padatan terlarut), dan kadar nira dalam tebu. Semakin tinggi kandungan pol dalam brix, kemurnian nira semakin tinggi. Hubungan antara brix dengan pol berdasarkan analisis yang telah dilakukan memiliki korelasi yang erat dengan persamaan R = -0,0254 + 0,4746 B6. Namun karena rendemen dipengaruhi oleh kandungan nira tebu, maka tebu dengan pol tinggi belum tentu rendemennya juga tinggi. Oleh sebab itu untuk mendapatkan rendemen tinggi, tanaman tebu harus memiliki brix tinggi dengan kemurnian yang baik dan kandungan nira yang tinggi juga.

Karakteristik Lahan Kering

Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan kering merupakan salah satu ekosistem sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pengembangan berbagai komoditi. Pengembangan lahan kering terutama di dataran rendah merupakan pilihan strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi pertanian, termasuk produksi gula.

Selain masalah air, lahan kering di Indonesia umumnya memiliki kendala kesuburan tanah rendah, lahan dengan solum dangkal, dan lahan dengan topografi

6

berbukit. Total lahan pertanian di Indonesia ± 70,20 juta hektar yang terdiri 18,5 juta ha lahan perkebunan, 14,6 juta ha tegalan, 7,9 juta ha lahan sawah, dan 11,3 juta ha lahan tidur. Dari luasan yang dapat digunakan untuk pengembangan tanaman semusim, luas lahan yang tersedia hanya ± 12,6 juta hektar sesuai untuk tebu dan kapas (Mulyani dan Las, 2008). Data luas lahan kering ini belum mempertimbangkan status kawasan yang berhubungan dengan kawasan hutan. Dalam memanfaatkan lahan tersebut selain diperlukan persiapan teknologi yang tepat, baik dari aspek agronomi maupun aspek sumberdaya lahan, juga penyelesaian masalah sosial yang berbeda di tiap lokasi.

Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air hujan yang tersimpan dalam tanah. Untuk menyikapi kondisi lahan kering dengan keterbatasan air, dapat ditempuh dua cara, yaitu (1) mengusahakan tanaman yang mampu berproduksi dengan baik meskipun dalam kondisi mendekati kering (tanpa tambahan air), atau (2) mengusahakan tanaman yang memiliki efisiensi tinggi dalam menggunakan air, dengan tambahan air yang tepat. Tanaman tebu dengan sifat pertumbuhannya merupakan tanaman yang tergolong sangat efisien dalam penggunaan air. Secara normal untuk membentuk 1 satuan bahan kering tanaman menurut Barnes (1974) dibutuhkan total air sebanyak 366 satuan dan 219 satuan air efektif, sedangkan untuk membentuk 1 bagian atas tanaman (batang dan daun) dibutuhkan total 466 satuan air atau 291 satuan air efektif. Untuk tebu yang tahan kekeringan untuk membentuk batang diketahui bahwa untuk tiap satuan bahan kering dibutuhkan 89 satuan air (Shih and Gascho, 1980). Cekaman air yang dialami oleh tanaman akan berpengaruh terhadap hasil tanaman. Seberapa besar pengaruh cekaman air terhadap penurunan hasil dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dimana tanaman mengalami cekaman dan berapa lama tanaman mengalami cekaman. Cekaman yang terjadi pada awal pertumbuhan (fase 1) pengaruhnya tidak sebesar jika cekaman terjadi pada fase 2. Penurunan hasil tebu akibat cekaman dapat mencapai 8,3% jika terjadi pada fase 1 dan 15% jika terjadi pada fase 2. Hasil gula akan menurun 11,7% jika cekaman terjadi pada fase 1 dan 19,1% jika terjadi pada

fase 2 (Wiedenfeld, 2000). Fase 1 dan 2 berlangsung selama 3 bulan, sehingga selama masa inilah tanaman membutuhkan suplisi air. Jumlah air yang dibutuhkan untuk proses evapotranspirasi sebesar 100-125 mm per bulan (Lisson et al., 2005). Oleh sebab itu di Indonesia untuk lahan kering umumnya tebu ditanam di awal musim hujan sehingga tidak mengalami cekaman air di awal pertumbuhan (fase 1 dan 2).

Setelah air, masalah penting di lahan kering adalah kandungan bahan organik dan ketersediaan unsur hara. Dari proses pembentukan gula dalam tanaman tebu, unsur hara yang sangat penting adalah P dan K. Dari analisis tanah yang telah dilakukan pada daerah sentra tebu (Jawa Timur) ternyata rata-rata kandungan P tanah di lahan kering termasuk rendah, yaitu berkisar antara 7-24 ppm (Tabel 4), padahal nilai minimum kandungan P2O5 tanah untuk tebu adalah 30 ppm (Depertemen Pertanian, 1999). Sementara untuk kandungan N termasuk tinggi, namun kenyataan di lapangan petani umumnya justru memupuk tanamannya dengan Urea dan sedikit SP-36. Hal ini tentu saja menyebabkan mutu tebu mejadi kurang baik dan kandungan gula dalam batang tebu (rendemen) rendah. Untuk K2O nilainya termasuk sedang, sehingga meskipun tanaman diberikan pupuk KCl sedikit bahkan tidak dipupuk, masih mampu menghasilkan sukrosa jika monosakaridanya terbentuk dengan baik. Kandungan bahan organik tanah yang dicerminkan oleh kandungan C organik menunjukkan nilai lebih rendah dari 3% terutama pada jenis tanah Regosol. Tampaknya untuk lahan kering tingkat kandungan bahan organik ini menjadi masalah yang serius karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mengikat air. Untuk jenis tanah Regosol yang memiliki tekstur kasar dengan kandungan pasir dominan, fungsi bahan organik sangat penting karena secara langsung akan mempengaruhi daya ikat air.

Percobaan penanaman tebu di lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan yang diberi kompos memberikan keuntungan paling tinggi dibandingkan tanaman lainnya. Kesesuaian lahan yang semula klas S3 (faktor pembatas air dan kesuburan tanah) ternyata dapat ditingkatkan dengan perbaikan lahan dan pemupukan yang tepat (Siswanto, 1998). Perbaikan yang dilakukan adalah dengan menambahkan bahan organik dalam bentuk kompos pada saat pengolahan tanah. Bahan organik yang digunakan berupa kompos yang dibuat dari sisa tanaman dan kotoran ternak.

Tabel 5 Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri No Jenis Tanah Hasil Analisis pH (H2O) N (%) C (%) P2O5 (ppm) K2O (ppm) 1 I 4,30 0,16 2,29 7 152 2 II 6,14 0,10 1,90 11 207 3 III 6,12 0,10 2,34 24 172 4 IV 5,71 0,09 1,87 12 151 5 V 5,04 0,15 1,44 20 252 6 VI 5,20 0,08 2,10 15 395 Keterangan :

I : Andosol coklat-Andosol Coklat Kekuningan II : Asosiasi Regosol dan Litosol

III : Asosiasi Mediteran Coklat dan Grumosol Kelabu IV : Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol

V : Regosol Coklat Keabuan VI : Latosol Coklat Kemerahan

Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan

Cekaman lingkungan memicu berbagai tanggap tanaman, mulai dari perubahan metabolisme sampai dengan laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman dapat berupa cekaman abiotik atau biotik, yaitu radiasi, kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi. Di antara cekaman lingkungan, kekeringan adalah salah satu yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Tanggap tanaman terhadap kekeringan dapat terjadi secara fisiologi, biokimia, dan molekuler (Hong et al., 2008). Besarnya pengaruh cekaman kekeringan tergantung pada fase pertumbuhan dimana cekaman terjadi (Ramesh and Mahadevaswamy, 2000).

Tanaman tebu termasuk tanaman yang tahan terhadap kekeringan, tetapi di awal pertumbuhan tetap memerlukan air untuk pertumbuhannya. Di akhir pertumbuhan, tebu memerlukan bulan kering untuk proses pembentukan sukrosa dan pematangan. Berdasarkan sifat tanaman tebu yang memerlukan bulan kering nyata pada saat pembentukan sukrosa tetapi juga harus memiliki hasil batang tebu yang tinggi, maka umur tanaman harus mencapai sekitar 10-12 bulan. Secara konvensional tanaman tebu ditanam pada musim kering dengan tambahan air melalui irigasi. Namun sejalan dengan pergeseran areal tebu ke lahan kering dan terbatasnya air irigasi di lahan sawah, tambahan air pada awal tanam menjadi sangat terbatas dan

mustahil dilakukan. Untuk mengatasi masalah kekurangan air pada saat tanam, saat ini dikenal musim tanam B, yaitu awal musim hujan (musim tanam golongan A antara Mei-Juli). Tanaman yang ditanam pada awal musim hujan akan tumbuh dengan baik, tetapi karena tebu adalah tanaman berbunga musim maka pada bulan Maret (yaitu umur 6 bulan) petumbuhan vegetatif akan berhenti (Barnes, 1974). Tentu saja tebu yang ditanam pada golongan B hasil tebu dan kandungan gulanya rendah karena masa pertumbuhannya pendek. Untuk menyikapi pendeknya masa pertumbuhan diusahakan tebu ditanam pada akhir musim kemarau. Hal ini berarti pada saat tanam lingkungan berada dalam keadaan kering sehingga diperlukan ada tambahan air di awal pertumbuhan. Sebagai contoh, di Thailand hasil tebu dan gula tertinggi diperoleh jika tebu ditanam pada bulan November, yaitu akhir musim hujan. Hal ini karena pada saat panen, yaitu November tahun berikutnya tebu memiliki umur yang cukup (Jintrawet et al., 2000). Dari data yang ada menunjukkan bahwa kekeringan pada awal pertumbuhan ternyata berpengaruh nyata terhadap hasil tebu dibandingkan kekeringan pada akhir pertumbuhan (Gambar 7).

20 40 60 80 100 20 40 60 80 100 (%) (%)

Nisbah antara aktual dengan yang

memberikan hasil maksimum

ET ET Kekeringan pada akhir pertumbuhan Kekeringan pada awal pertumbuhan H a si l T a n am a n T e b u

Nilai ET tanaman dapat dihitung dengan berbagai metode dan salah satu metode yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan nilai ET potensial

(ETp) yang dihitung dari nilai Evaporasi panci (Epan), yaitu :

ETp = kp . E pan

dari nilai ETp dihitung nilai ET tan dengan menggunakan koefisen tanaman (kc), yaitu :

ET tan = kc . ETo

Nilai ET tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi yang dibutuhkan oleh tanaman agar diperoleh hasil yang maksimum, artinya nilai ini adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisen tanaman memiliki nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, sehingga nilai ET tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal tersebut. Pada Tabel 6 disajikan nilai kc pada tanaman tebu. Inman-Bamber and Smith (2005) dalam beberapa penelitiannya mendapatkan hubungan antara hasil tebu (Yc) dengan total air yang digunakan selama siklus pertumbuhan tanaman. Hubungan tersebut adalah Yc = -2,5 + (9,69 ETp.)

Tabel 6 Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith, 2005)

Umur tanaman

(Bulan) Fase pertumbuhan Nilai kc

0 – 1 Perkecambahan – pertumbuhan tunas 0,55

1 – 2 Pembentukan anakan 0,80

2 – 3 Pembentukan anakan 0,90

2,5 – 4 Pertumbuhan anakan - kanopi penuh 1,00

4 – 10 Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang) 1,05

10 – 11 Pematangan - awal senesen 0,80

11 – 12 Matang 0,60

Dari kajian di wilayah pabrik gula di Indonesia, ternyata terdapat korelasi negatif antara jumlah hujan pada bulan November dan Desember musim tanam dengan rendemen tebu yang akan dicapai. Korelasi antara jumlah hujan November dan Desember dengan rendemen bernilai negatif, artinya semakin besar curah hujan rendemen akan berkurang. Keadaan ini sekarang digunakan oleh pabrik gula untuk

memprediksi rendemen yang akan dicapai (Wisnusubroto, 2000). Korelasi antara curah hujan dengan rendemen berkisar antara – (0,69-0,89). Tidak salah kiranya jika pemeliharaan saluran (got) sangat berpengaruh terhadap rendemen. Got yang buruk akan menyebabkan respirasi akar terganggu sehingga energi untuk penyerapan hara secara aktif lebih besar. Pada bulan November-Desember adalah fase tanaman membentuk gula monosakarida, sehingga kondisi respirasi yang buruk akan mengganggu proses sintesis gula. Di daerah Everglade (Florida) tebu diusahakan pada tanah organik yang ternyata keberhasilannya sangat ditentukan oleh drainase. Semakin dangkal muka air tanah semakin rendah produksi gula yang dihasilkan karena penurunan rendemen. Hasil tertinggi diperoleh pada muka air tanah 61 cm (Glaz et al., 1980).

Efisiensi penggunaan air (water use efficiency) sering dihitung sebagai nisbah antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut (ET) (Hatfield et al., 2001). Berdasarkan metode hidrologi neraca air di tanah dapat dirumuskan dengan persamaan

curah hujan + irigasi = perkolasi + run off + W + ET

dimana W adalah perubahan volume air yang tersimpan di dalam tanah selama periode tertentu. Dari neraca air dapat diketahui bahwa dapat dilihat bahwa jika curah hujan berkurang, semua nilai akan berkurang termasuk nilai ET dan kadar air tanah. Hal ini akan perpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Agar tanaman tetap dapat melakukan kegiatan dengan baik, maka ET harus dkembalikan ke nilai yang normal. Nisbah relatif yang dihitung berdasarkan ET aktual dan ET yang mampu memberikan hasil maksimum berhubungan dengan fase pertumbuhan tanaman. Pengurangan nilai nisbah relatif ini akan tergantung pada fase apa terjadinya.

Khusus untuk tanaman tebu hubungan antara defisit evapotranspirasi dengan rendemen gula relatif menurut Doorenbos and Kasam (1987) dalam Irianto et al. (2000) dapat disajikan sebagai berikut:

1 Ya 1 ETa

Ky

Ym ETc

    

 

 , dengan Ya adalah hasil rendemen aktual, Ym adalah

aktual dan ETc evapotranspirasi tanaman. Besarnya Ky untuk fase inisiasi dan vegetatif sebesar 0,75, fase pembentukan gula 0,5 dan fase pematangan sebesar 0,1. Secara grafik hubungan antara evapotranspirasi relatif terhadap penurunan rendemen disajikan pada Gambar 8.

1.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 (Indeks Kecukupan Air)

(I n d e k s p e ru b a h a n r e n d e m e n ) 1- (ETa/Etc) 1- (Ya/Ym) ky=0.1 ky=0.5 ky=0.75

Gambar 8 Hubungan antara defisit air dengan rendemen gula relatif (Dorenbos and Kasam, 1987dalam Irianto et al., 2000)

Dari grafik terlihat bahwa cekaman air sebesar (1 – (ETa/ETc)) = 0,5 akan berpengaruh terhadap penurunan rendemen sebesar (1 – (Ya/Ym)) dengan nilai yang berbeda pada tiap fase pertumbuhan tanaman tebu.

Kebutuhan air tanaman tebu sangat dipengaruhi oleh sifat tanah. Dari pengukuran yang dilakukan oleh Van Antwerpen (2000) didapatkan bahwa jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan 90 ton tebu adalah setara dengan 100 mm curah hujan perbulan. Pada tanah yang kurang subur dengan jumlah air yang sama hanya menghasilkan tebu sebanyak 50 ton tebu per ha. Dari perbandingan ini terlihat bahwa efisiensi penggunaan air sangat tergantung pada jenis dan kesuburan tanah. Data lain disajikan oleh Lisson et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tiap meter kubik air mampu menghasilkan 22 ton tebu atau setara dengan tambahan air 100-300 mm perbulan.

Kandungan air tanah sangat berhubungan dengan serapan unsur hara, terutama unsur nitrogen. Penurunan kadar air tanah dari 100% kapasitas lapang ke 70% kapasitas lapang menurunkan laju serapan nitrogen. Pada kelembaban tanah yang semakin rendah ternyata pemberian nitrogen dengan dosis tinggi tidak meningkatkan bahan kering tanaman (Santoso, 1998).

Pada keadaan tanaman kekurangan air, serapan air secara nyata menurun. Serapan air sangat erat hubungannya dengan laju transpirasi tanaman. Air ditranspirasikan melalui stomata, sehingga pada saat stomata menutup dalam usaha tanaman untuk mengurangi transpirasi, secara langsung laju serapan air oleh akar juga menurun. Hubungan antara penurunan laju transpirasi dengan penurunan laju serapan air tidak linear. Hal ini disebabkan banyak faktor yang terlibat dalam proses yang terjadi (Steudle, 2000). Selanjutnya Steudle (2000) menemukan bahwa proses selanjutnya dari kondisi defisit air adalah terjadinya perubahan pada sel tanaman. Dalam kondisi kecukupan air, sel akar berkembang tanpa eksodermis, tetapi pada kondisi kekurangan air sel-sel akar mulai membentuk eksodermis sebagai usaha mengurangi kehilangan air dari dalam sel (plasmolisis). Tanaman yang mengalami kondisi kekurangan air akan mengalokasikan hasil fotosintesis ke akar daripada untuk membentuk tajuk. Smit and Singels (2006) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pertumbuhan tajuknya. Tajuk tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pada saat indeks luas daun (LAI) lebih besar dari 2. Tanaman lebih menjaga kondisi akar dibandingkan

Dokumen terkait