• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa yang lalu. Pergeseran areal penanaman tebu dari lahan sawah ke lahan kering ternyata memiliki banyak permasalahan dan sampai saat ini belum sepenuhnya dapat diatasi. Ketersediaan air adalah masalah utama yang menjadi kendala pengembangan tebu di lahan kering. Masalah lainnya yang juga penting adalah ketersediaan unsur hara dan penentuan varietas yang sesuai untuk lahan kering.

Semula perakitan varietas tebu di Indonesia diarahkan untuk lahan sawah, sehingga umumnya tidak memiliki sifat toleran terhadap kekeringan. Dengan berkembangnya areal tanaman tebu ke lahan kering tentu saja dibutuhkan varietas yang memiliki kesesuaian dengan kondisi lahan kering. Beberapa varietas telah dihasilkan oleh P3GI sehubungan dengan berkembangnya tebu di lahan kering, tetapi belum sepenuhnya menjawab permasalahan yang dihadapi. Contoh varietas unggul dengan toleransi terhadap kekeringan yang dihasilkan oleh P3GI adalah PS 865 (2008), PSJT 941, PS 881, dan Kentung. Varietas PS 865 memiliki adaptasi cukup luas sehingga dapat ditanam di semua wilayah, sementara itu PSJT 941, PS 881 dan Kentung adalah varietas yang diseleksi untuk wilayah tertentu. PSJT dikhususkan untuk daerah Jatitujuh, sedangkan PS 881 dan Kentung untuk Lampung dan sekitarnya. Saat ini varietas yang sudah terbukti sesuai untuk lahan kering dengan kondisi air yang terbatas adalah PS 864. Varietas PS 862 sengaja dirakit untuk menggantikan varietas PS 851 yang sukses di lahan kering atau lahan sawah yang tidak menghadapi masalah air.

Diperlukan pemilihan dan penataan verietas di suatu wilayah sesuai dengan waktu giling, sehingga pada saat dipanen tanaman memiliki tingkat kematangan yang baik. Pendeknya umur tanaman yang ditebang pada awal giling harus diperbaiki, yaitu dengan memajukan masa tanam. Permasalahannya adalah air bagi pertumbuhan awal tanaman kurang tersedia, sehingga harus dilakukan penyiraman selama hujan belum turun. Keterbatasan air sering menjadi kendala bagi petani untuk menyiram tanamannya. Oleh sebab itu diperlukan cara untuk mengurangi

penyiraman. Salah satu teknologi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan bahan organik untuk meningkatkan kemampuan tanah mengikat air. Salah satu bahan organik yang tersedia di pabrik gula adalah blotong. Penggunaan kompos blotong memiliki fungsi ganda, yaitu memecahkan masalah limbah dan memperbaiki sifat fisik tanah. Berikut akan dibahas perihal tersebut di atas berdasarkan hasil serangkaian percobaan yang telah dilakukan.

Penataan Varietas

Peranan varietas dalam keberhasilan budidaya tebu sangat besar. Varietas tanaman tebu dikelompokkan berdasarkan tipologi lahan dan masa kematangan tanaman. Penggolongan berdasarkan tipologi lahan dibedakan menjadi varietas lahan sawah dan varietas lahan kering, sedangkan berdasarkan masa kematangan dibedakan menjadi varietas matang awal, matang tengah, dan matang lambat. Sejarah produksi gula di Indonesia mencacat suatu keberhasilan varietas tebu yang diakui oleh dunia, yaitu PS 2878 dan PS 3016 (P3GI, 2011). Perlu dicatat bahwa keduanya adalah varietas lahan sawah dengan sifat kematangan lambat. Pada periode selanjutnya produksi gula Jawa Timur mencapai sukses pada tahun 2006/2007 dengan varietas PS 851 pada daerah yang tidak bermasalah dengan pengairan.

Saat ini lebih dari 80% areal tebu adalah lahan kering dengan kondisi yang seragam dari tingkat kesesuaian S1 (sangat sesuai) sampai dengan S3 (cukup sesuai), bahkan di beberapa wilayah memiliki potensi awal N (tidak sesuai). Konsekuensi pergeseran tanaman tebu ke lahan kering adalah bergesernya waktu tanam ideal. Tanaman tebu idealnya ditanam pada musim kemarau dengan pemberian irigasi pada awal tanam, tetapi pada lahan kering tebu umumnya ditanam pada awal musim hujan.

Musim giling secara normal di Indonesia berlangsung antara 5-6 bulan dan dimulai di awal musim kemarau. Untuk menjamin pasokan tebu pada awal giling tebu harus tersedia dengan jumlah yang cukup dan kematangan yang relatif tinggi agar rendemen yang dicapai tidak terlalu rendah. Sementara pada akhir giling juga harus tetap terjamin jumlah pasokan yang cukup dengan rendemen yang belum menurun terlalu banyak. Untuk menjamin pasokan tebu dan rendemen yang relatif

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda.

Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu ditanam di areal baru yang bukan wilayah konvensional pabrik gula. Areal baru ini tentu saja memiliki kelas lahan dan pola curah hujan yang berbeda dengan areal yang lama. Perlu kajian kesesuaian lahan wilayah perkebunan tebu yang ada saat ini. Perubahan dan anomali iklim yang terjadi harus dijadikan salah satu faktor penentu dalam evaluasi kesesuaian lahan. Di sisi lain saat ini tersedia banyak verietas tebu, baik hasil rakitan dalam negeri maupun introduksi dari negara penghasil tebu di dunia, dengan sifat yang berbeda. Dari data kesesuaian lahan dan sifat masing-masing varietas, penataan varietas dilakukan terutama didasarkan pada toleransi tanaman terhadap cekaman air.

Keragaan varietas yang ditunjukkan pada percobaan di rumah kaca menunjukkan bahwa tingkat toleransi tiap-tiap varietas terhadap cekaman kekeringan berbeda. Ada varietas yang sangat baik keragaannya pada kondisi cukup air tetapi mengalami penurunan pertumbuhan pada kadar air yang lebih rendah. Penilaian keragaan di rumah kaca dapat dijadikan penanda awal toleransi suatu varietas terhadap cekaman kekeringan. Evaluasi yang tepat harus dilakukan di lapangan untuk melihat keragaan suatu varietas sampai dengan diperoleh hasil tebu dan rendemennya.

Untuk melihat keragaan varietas yang akan dikembangkan di suatu wilayah, terlebih dulu harus dilakukan pemilihan varietas yang memiliki potensi toleran terhadap kekeringan. Jika penanaman akan dilakukan pada daerah yang kecukupan air, sebaiknya dipilih varietas dengan potensi hasil yang tinggi. Varietas PS 921, PS 862 dan PS 864 dapat digunakan pada kondisi kecukupan air. Meskipun varietas PS 862 dan PS 864 memiliki potensi tinggi, tetapi memiliki sifat kematangan yang berbeda. Varietas PS 864 adalah varietas matang tengah sampai lambat, sehingga ditanam untuk masa giling akhir, sedangkan PS 862 dapat ditanam untuk giling awal. Saat ini varietas PS 921 sudah jarang ditanam lagi di lapangan karena peka terhadap penyakit luka api. Proporsi di lapangan untuk menjamin kelancaran pasokan ke pabrik gula dan untuk mendapatkan rendemen yang tinggi adalah 30% varietas matang awal, 50% varietas matang tengah dan 20% varietas matang lambat. Proporsi ini dirancang dengan alasan periode awal dan akhir giling hanya

berlangsung 1-1,5 bulan sehingga kebutuhan tebu lebih sedikit dibandingkan puncak giling yang berlangsung 2-2,5 bulan

Selanjutnya varietas yang telah diseleksi, diuji adaptasinya di lokasi tersebut. Dalam manajemen perkebunan tebu tiap tahun harus ditanam ulang (replanting) 20-25% dari luas areal, maka di suatu perkebunan tebu harus memiliki koleksi varietas yang potensial unggul di wilayah tersebut. Di sini peranan kebun percobaan menjadi penting, sehingga menjadi suatu keharusan bahwa suatu perkebunan tebu harus memiliki kebun bibit untuk mengembangkan koleksi varietas yang secara terus menerus ditambah dan diperbarui.

Peranan Kompos Blotong terhadap Efisiensi Penggunaan Air dan Pergeseran Waktu Tanam

Tujuan utama penelitian ini adalah mempelajari efisiensi penggunaan air bagi tanaman tebu lahan kering. Efisiensi penggunaan air dilakukan untuk menjawab masalah penanaman tebu yang semakin bergeser ke lahan kering, dimana kemungkinan terjadinya cekaman air pada awal pertumbuhan sangat besar. Hal ini disebabkan tanaman tebu lahan kering harus ditanam satu tahun sebelum dipanen agar didapatkan hasil batang dan kandungan gula yang tinggi. Untuk tebu yang ditanam di lahan beririgasi, penambahan air tidak menjadi masalah sebab jumlah air mencukupi tetapi tidak demikian untuk tebu yang ditanam di lahan kering. Pada saat air masih belum dinilai sebagai asupan yang bernilai ekonomi, tambahan air bukan masalah bagi petani, tetapi jika untuk mengadakan air harus diimbangi dengan biaya, maka tindakan efisiensi sangat penting. Contoh kasus penerapan tarif air sudah dilakukan bagi petani tebu di India. Ternyata dengan diberlakukannya tarif pembayaran air irigasi, efisiensi meningkat secara nyata (Shiferaw et al., 2008). India menerapkan tarif air berdasarkan jumlah pemakaian dan luas penanaman yang dilakukan. Kebijakan dilakukan secara adil dan berpihak kepada petani kecil.

Di Indonesia pada awalnya tanaman tebu diusahakan di lahan sawah dengan irigasi yang teratur yang memiliki tipe iklim dengan bulan kering nyata 4-5 bulan (Tipe C2). Pemilihan lokasi ini dilakukan karena tanaman tebu adalah tanaman yang berbunga musim dan memerlukan kondisi udara kering untuk pembentukan sukrosa dari monosakarida yang disimpan dalam batang. Pergeseran areal

pertanaman dari lahan sawah irigasi ke lahan kering menyebabkan berubahnya pola tanam. Musim tanam ideal di Jawa adalah Juni-Agustus atau disebut dengan pola tanam A, sedangkan di lahan kering berkembang pola tanam B, yaitu bulan November-Desember. Pertambahan batang tanaman tebu rata-rata pada bulan pertumbuhan adalah 30 cm (Meady and Chen, 1977). Hasil percobaan juga menunjukkan pertambahan batang tanaman antara 25-30 cm. Karena itu untuk mencapai panjang batang yang optimum (270-300 cm) paling tidak dibutuhkan masa pertumbuhan 9 – 10 bulan. Hal ini berarti tanaman harus ditanam 10-12 bulan sebelum tebang. Mengingat tebang dilakukan pada bulan kering, maka untuk menghasilkan tanaman dengan bobot dan mutu yang baik harus ditanam pada bulan kering juga. Dengan penanaman tebu pada bulan kering berarti pada saat panen umur tebu sudah sekitar 10 bulan, sehingga sudah cukup matang dan rendemen sudah tinggi. Penanaman tebu pada awal musim hujan menyebabkan pada saat panen di awal musim giling rendemennya masih rendah. Sebaliknya jika tebu ditebang terlalu lambat akan menyebabkan rendemen sudah menurun karena terjadi konversi sukrosa menjadi monosakarida untuk proses mempertahankan pertumbuhan tanaman.

Penanaman pada bulan kering (di Jawa pada bulan Juni-Agustus) merupakan waktu tanam yang ideal tetapi pada saat itu kemungkinan terjadi cekaman air sangat besar, sehingga diperlukan pemberian air selama musim kering sebelum curah hujan mencukupi kebutuhan air untuk tebu. Permasalahan di lapangan adalah berapa jumlah air yang harus diberikan, sebab selain jumlah air terbatas juga biaya untuk pemberian air menjadi beban bagi petani. Penelitian yang dilakukan oleh Ana (1999) di beberapa tempat di India menunjukkan bahwa keterlambatan pemberian air menyebabkan proses kematangan tebu terganggu.

Berdasarkan hasil percobaan di rumah kaca diperoleh jumlah kebutuhan air total untuk mempertahankan kondisi 100% KL adalah 1 082 m3 sedangkan untuk 75% KL sebesar 827 m3. Sementara itu jika dihitung berdasarkan evapotranspirasi tanaman (ETc) di lapangan, kebutuhan air tanaman untuk 2 bulan di awal tanam sebesar 986 m3 per bulan. Jumlah air yang diberikan pada percobaan lapangan dengan frekuensi seminggu sekali selama 2 bulan adalah 800 m3 dan berkurang menjadi 400 m3 jika diberikan 2 minggu sekali. Jika dibandingkan dengan kebutuhan air yang diperoleh pada percobaan rumah kaca, penyiraman tiap minggu

hampir setara dengan kebutuhan air untuk mempertahan kondisi kadar air tanah 75%. Dengan pemberian kompos blotong ternyata dengan penyiraman 2 minggu sekali mampu mendukung pertumbuhan awal tanaman. Kebutuhan air untuk penyiraman 2 minggu sekali yang diberikan dalam juringan adalah 200 m3 per bulan atau sekitar 20% dari Etc, tetapi jika penyiraman dilakukan ke seluruh areal, kebutuhan air adalah 526 m3 per bulan atau 54% dari nilai Etc. Angka ini bisa dijadikan suatu pegangan di lapangan untuk menghitung kebutuhan air untuk penyiraman jika nilai

ETc diketahui. Jika pemberian dilakukan dengan pompa, waktu penyiraman tergantung debit pompa yang digunakan. Sebagai contoh dengan debit 5 liter per detik, waktu penyiraman yang dibutuhkan sekitar 5,5 jam.

Pergeseran waktu tanam dengan meningkatkan efisiensi pemberian air dapat juga diterapkan pada wilayah tebu yang memiliki musim hujan sangat pendek, misalnya PG Takalar di Sulawesi Selatan. Sampai saat ini produktivitas tebu di PG Takalar sangat rendah (< 40 ton/ha). Penyebab utama rendahnya produktivitas tebu adalah pendeknya masa pertumbuhan tanaman. Usaha menggeser maju waktu tanam telah dilakukan dan terbukti mampu meningkatkan produktivitas. Keterbatasan air untuk menyiram menjadi faktor pembatas untuk menambah areal yang akan disiram. Dengan aplikasi kompos blotong mungkin frekuensi penyiraman dapat dikurangi sehingga areal yang diairi dapat lebih luas.

Pergeseran waktu tanam menuntut dukungan infrastruktur pengairan yang memadai. Untuk daerah yang sumberdaya airnya hanya berasal dari hujan, diperlukan pembuatan bangunan penampung air (embung) dengan ukuran sesuai dengan kebutuhan air untuk menyiram. Jika kebutuhan air untuk menyiram selama 2 bulan sebesar 400 m3 per ha, maka untuk tiap 100 ha areal dibutuhkan embung dengan volume 40 000 m3. Dengan asumsi curah hujan yang dapat ditampung adalah 2 000 mm atau setara dengan 2 m, maka harus dibangun 2 buah embung dengan luas masing-masing 1 ha dan kedalaman air 2 m. Pembangunan embung harus masuk dalam rancangan kebun sehingga tidak menghambat kerja selama penanaman sampai dengan tebang dan angkut.

Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

Masa Giling Varietas matang awal

Varietas matang tengah Varietas matang lambat

Masa tanam B

Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep

Masa Giling Varietas matang awal

Varietas matang tengah Varietas matang lambat

Masa tanam B Pergeseran

masa tanam

(a)

(b)

Gambar 15 Pola tanam tebu di Jawa saat ini (a) dan penggeseran masa tanam varietas matang awal (b)

Dalam manajemen tanaman tebu dikenal dengan tanaman ratoon, yaitu tanaman yang tumbuh dari batang yang tertinggal setelah panen. Tanaman ratoon memiliki kelebihan dibandingkan tanaman PC sebab perakaran telah terbentuk. Pertumbuhan tunas pada tanaman ratoon sangat dipengaruhi oleh kondisi air tanah, sehingga tetap diperlukan penyiraman untuk mendukung tumbuhnya tunas. Pemberian kompos blotong pada tanaman ratoon mungkin hasilnya akan lebih baik dibandingkan tanaman PC. Hal ini disebabkan tanaman ratoon sudah memiliki perakaran sehingga serapan air akan lebih baik daripada oleh akar bibit. Pemberian air untuk tanaman ratoon cukup dilakukan 2 minggu sekali dengan jumlah 100 m3 tiap kali pemberian.

Peningkatan Rendemen Efektif

Rendemen efektif merupakan perbandingan antara hasil hablur gula dengan bobot tebu yang digiling. Hal ini berarti hasil gula sangat dipengaruhi oleh potensi

rendemen tebu yang ditanam dan efisiensi proses pengolahan. Hasil budidaya tebu di lapangan dicerminkan dengan nilai nira (NN) yang dirumuskan dalam metode Jombang sebagai : NN = pol – 0,4 (brix pol), artinya semakin tinggi kandungan gula (% pol) akan semakin tinggi nilai niranya. Karena tebu harus digiling agar dihasilkan gula, maka rendemen dihitung dengan menggunakan efisiensi pabrik atau Faktor Rendemen (FR) sebagai faktor koreksi yang menggambarkan tingkat efisiensi pabrik. Rendemen ini disebut dengan Rendemen Sementara (Rs), yang dirumuskan

Rs = NNFR. Besarnya nilai FR berdasarkan standar normal adalah 70-75 persen. Rendemen efektif yang dihasilkan dipengaruhi oleh kegiatan yang terjadi mulai panen sampai dengan tebu sampai di pabrik dan proses pengolahan. Perjalanan tebu sampai menjadi gula digambarkan pada Gambar 16. Dari alur pada Gambar 16 dapat dilihat bahwa untuk meningkatkan rendemen efektif diperlukan perbaikan di tiap tahap yang berpengaruh terhadap rendemen.

Jika dicermati rendemen yang diperoleh dalam percobaan ini, rata-rata 7,57 persen. Dari pengukuran brix dan pol, NN rata-rata 12,84% (12,3 – 12,17%). Jika

FR yang digunakan sesuai standar (0,68), maka rendemen sementara rata-rata 8,73 persen. Rendemen inilah yang seharusnya digunakan untuk perhitungan bagi hasil atau harga tebu. Pada kenyataannya rendemen efektif yang diperoleh adalah rata-rata 7,57 yang berarti nilai FR yang digunakan adalah 0,59. Nilai FR ini lebih rendah dari standar efisiensi yang ditetapkan. Oleh sebab itu untuk meningkatkan rendemen efektif harus dilakukan secara simultan antara NN dengan efisiensi pabrik. Hal ini penting bagi insentif bagi petani yang telah bekerja menanam tebu selama 10-12 bulan.

TEBU DI LAPANGAN TEBANG (MUTU TEBANGAN) ANGKUT KE PABRIK TEBU DI HALAMAN PABRIK PROSES PENGOLAHAN

POTENSI HASIL TEBU DAN RENDEMEN SEBAGAI HASIL

BUDIDAYA

BOBOT DAN RENDEMEN BERKURANG JIKA MUTU TEBANGAN RENDAH RENDEMEN TURUN JIKA MENUNGGU LAMA RENDEMEN EFEKTIF = RATIOM HASIL GULA DENGAN TEBU DIGILING HASIL GULA

BOBOT DAN RENDEMEN BERKURANG JIKA TRANSPORTASI TIDAK LANCAR

ADA KEHILANGAN GULA DALAM PROSES YANG BERPOTENSI MENGURANGI RENDEMEN

Gambar 16 Alur perjalanan tebu dari lapangan sampai pabrik

Kontribusi Hasil Penelitian terhadap Swasembada Gula

Swasembada gula bagi Indonesia bukan sekedar program untuk mencukupi kebutuhan gula dalam negeri, tetapi menyangkut salah satu komponen penting dalam mewujudkan ketahanan pangan nasional. Pada kenyataannya program swasembada gula adalah sesuatu yang sangat kompleks karena berkaitan dengan kegiatan on farm, pabrikasi, tataniaga, dan kebijakan pergulaan nasional. Ada empat permasalahan utama yang berkaitan dengan program swasembada gula. Pertama, produktivitas gula yang cenderung terus turun yang disebabkan penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula yang rendah. Kedua, impor gula yang semakin meningkat. Hal ini antara lain disebabkan kebutuhan yang tidak mampu diimbangi produksi dalam negeri. Tuntutan gula dalam jumlah besar, mutu yang baik, dan kontinyuitas yang terjamin oleh industri makanan minuman besar menjadi alasan dibangunnyya pabrik gula rafinasi dengan bahan baku raw sugar impor. Ketiga, harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien. Bagi petani, harga gula masih menjadi pendorong utama dalam pengusahaan

tanaman tebu (Mardinto et al., 2005). Keempat, kebijakan pergulaan yang sering kurang berpihak pada peningkatan produksi gula dalam negeri.

Pemerintah mencanangkan swasembada gula nasional tahun 2014; pada saat itu produksi gula mencapai 5,7 juta ton. Produksi ini akan dapat dicapai dengan asumsi terjadi peningkatan produksi dari areal yang ada saat ini sebesar 1 juta ton dan ada penambahan areal sebesar 300 ribu ha dan pembangunan pabrik gula 15 buah. Dengan luas areal sekitar 766 ribu ha, untuk mencapai produksi 5,7 juta ton tingkat produktivitas gula harus mencapai 7,44 ton per ha. Pada Tabel 39 disajikan target produksi berdasarkan Road Map Pergulaan Nasional. Jika pembangunan pabrik gula tidak dapat direalisasikan sampai dengan tahun 2014, maka produksi gula nasional hanya bertumpu pada areal dan pabrik gula yang saat ini sudah ada dengan melaksanakan program intensifikasi.

Tabel 39 Target produksi gula nasional pada Road Map Pergulaan Nasional

Uraian Satuan 2010 2011 2012 2013 2014

Area Panen Ha 464 640 572 122 631 846 691 952 766 613

Produksi Tebu ton 37 450 000 47 743 581 53 612 133 58 746 725 67 061 705

Produktivitas Tebu ton/ha 80,60 83,45 84,85 84,90 87,48

Rendemen % 8,00 8,10 8,20 8,40 8,50

Produksi hablur ton 2 996 000 3 867 230 4 396 195 4 934 725 5 700 000

Produktivitas hablur ton/ha 6,45 6,76 6,96 7,13 7,44

Sumber : Dewan Gula Indonesia, 2008

Target produksi pada road map produksi gula disusun berdasarkan produksi gula tahun 2008 yang mencapai 2,7 juta ton. Pada kenyataannya produksi gula yang dicapai tidak linear seperti asumsi yang dibuat. Terjadinya anomali iklim tahun 2010 menambah tingkat penurunan produksi semakin besar. Pada tahun 2010 produksi gula hanya sebesar 2,2 juta ton, jauh dari target swasembada sebesar 2,9 juta ton. Keragaan produksi gula nasional sampai dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2010 disajikan pada Tabel 40.

Dengan kondisi tersebut Kementerian Pertanian memperkirakan produksi gula pada tahun 2014 mencapai 3,58 juta ton. Sebenarnya potensi produktivitas gula mampu sampai 9,35 ton per ha (produktivitas tebu 90 ton dan rendemen 10,39%) dan dengan luas areal diperkirakan sekitar 450 ribu ha, produksi gula mampu mencapai 4,2 juta ton (P3GI, 2011).

Tabel 40 Keragaan produksi GKP tahun 2002 - 2010

Tahun Area Giling (Ha)

Produksi tebu Rendemen (%)

Produksi Hablur

ton ton/ha Ton Ton/ha

2002 348 795 25 410 481,7 72,90 6,88 1 749 427,50 5,02 2003 337 181 22 624 955,4 67,10 7,21 1 631 830,10 4,84 2004 344 793 26 743 180,7 77,60 7,67 2 051 643,50 5,95 2005 381 768 31 242 268,0 81,80 7,18 2 241 741,10 5,87 2006 396 440 30 232 835,0 76,30 7,63 2 307 027,10 5,82 2007 428 401 33 289 542,2 77,70 7,35 2 448 142,90 5,71 2008 436 504 32 960 165,5 75,50 8,20 2 703 975,60 6,19 2009 422 935 32 165 572,3 76,10 7,83 2 624 068,26 6,20 2010 418 259 34 216 549,0 81,80 6,47 2 214 488,00 5,29

Sumber : Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, 2011

Tabel 41 Kondisi produksi GKP saat ini dan perkiraan sampai dengan tahun 2014

Uraian Sat 2010 2014(1) 2014(2) 2014(3)

Area Panen Ha 418 259 467126 450 000 467 126

Prod. Tebu ton 34 216 549 42 515 707 40 500 000 42 041 340

Protas. Tebu ton/ha 81,81 91,2 90,00 90,00

Rendemen % 6,47 8,4 10,39 8,00

Protas. hablur ton/ha 5,29 7,66 9,35 7,20

Prod. hablur ton 2 214 488 3 578 559 4 207 500 3 363 307

Keterangan :

(1) Perkiraan Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian (2) Potensi produksi menurut P3GI

(3) Perhitungan produksi berdasarkan hasil penelitian penulis

Hasil penelitian yang diperoleh penulis menunjukkan jika pola tanam dapat diperbaiki sesuai dengan pola curah hujan setempat dan pemilihan varietas dapat dilakukan sesuai dengan agroklimat setempat, dengan produktivitas tebu 90 ton per ha dan rendemen 8%, produktivitas gula dapat mencapai 3,36 juta ton (Tabel 41). Untuk mencapai tingkat produksi ini tidak mudah, sebab banyak pekerjaan yang harus dilakukan, yaitu (1) harus tersedia varietas unggul yang memiliki sifat toleran terhadap kekeringan, (2) pengaturan pola tanam untuk varietas matang awal, tengah dan lambat dengan proporsi 30 : 50 : 20, (3) sosialisasi kepada petani tentang pentingnya pengaturan pola tanam dan varietas yang sesuai, (4) penggeseran waktu tanam 2 bulan sebelum musim hujan dengan aplikasi kompos blotong, (5) perbaikan

kinerja dan efisiensi pabrik gula (revitalisasi) sehingga tidak terjadi kehilangan gula selama proses di pabrik.

Pencapaian swasembada gula harus dimulai dari perbaikan sistem produksi di lapangan. Saat ini berbagai masalah harus dihadapi agar produktivitas gula dapat ditingkatkan dan menuntut peranan IPTEK yang besar. Pada Gambar 17 disajikan permasalahan yang harus dihadapi dalam rangka swasembada gula nasional dan kontribusi hasil penelitian untuk mendukung tercapainya swasembada tersebut.

Swasembada Gula

Pembangunan pabrik gula baru dan perkebunan Peningkatan produksi

dalam negeri

Intensifikasi pada areal yang sudah ada

Terjadi pergeseran areal ke lahan kering

PERMASALAHAN

Perubahan iklim

Perubahan pola curah hujan

· Musim kering berkepanjangan

· Musim hujan di waktu giling

· Kesuburan dan pasokan air tidak terjamin

· Varietas tidak tersedia

Dokumen terkait