• Tidak ada hasil yang ditemukan

17

Gambar 9 Dendogram Interaksi Pemanfaatan Makanan Alami Ikan Indigenous di Waduk Penjalin

Menurut Nikolsky (1963) bahwa ikan dapat dibedakan dalam tiga kategori berdasarkan urutan makanan. Tiga kategori tersebut yakni makanan utama adalah kelompok makanan mempunyai Indeks Preponderan (IP) lebih besar dari 25%, makanan pelengkap adalah kelompok makanan yang mempunyai IP berkisar antara 5 - 25%, dan makanan tambahan adalah kelompok makanan yang

mempunyai IP kurang dari 5%. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa

ikan-ikan indigenous yang tertangkap selama penelitian yakni:

1. Ikan uceng berdasarkan IP, maka makanan utamanya adalah crustacea

(38.61%), sedangkan makanan pelengkap berupa fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (23.08%), zooplankton (15.38%), insecta (15.23%), dan fitoplankton dari kelas Chlorophyceae (7.7%).

2. Ikan wader padi berdasarkan IP, maka makanan utamanya adalah

fitoplankton dari kelas Cyanophyceae (59%) dan serasah (40%), sedangkan sebagai makanan tambahan adalah fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae (1%).

3. Ikan beunteur berdasarkan IP makanan utamanya adalah fitoplankton dari

kelas Bacillariophyceae (63.35%) dan zooplankton (36.12%), sedangkan makanan tambahan adalah fitoplankton dari kelas Cyanophyceae (0.53%).

4. Ikan julung-julung berdasarkan IP makanan utamanya adalah fitoplankton

dari kelas Bacillariophyceae (48.01%) dan fitoplankton dari kelas

Cyanophyceae (42.14%) sedangkan makanan tambahan adalah

fitoplankton dari kelas Chlorophyceae (9.85%). Kelimpahan Plankton

Plankton yang teramati pada saat penelitian di Waduk Penjalin yaitu sebanyak 48 jenis fitoplankton. Fitoplankton yang ditemukan terdiri dari lima kelas yaitu: Bacillariophyceae, Chlorophyceae, Cyanophyceae, Dinophyceae dan Euglenophyceae. Kelas Bacillariophyceae (20 jenis), Chlorophyceae (17 jenis), Cyanophyceae (6 jenis), Dinophyceae (2 jenis) dan Euglenophyceae (3 jenis).

Julung-julung Benteur Wader Padi Uceng 30.63 53.75 76.88 100.00 Observations S im ila ri ty Kebiasaan Makan

18

Jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae yang ditemukan terdiri dari dua puluh jenis fitoplankton yakni: Navicula sp., Gyrosigma sp., Melosira sp., Rhizoselenia sp., Amphiprora sp., Nitzschia sp., Synedra sp., Diatoma sp., Coscinodiscus sp., Asterionella sp., Surirella sp., Pleurosigma sp., Frustulia sp., Stephanodiscus sp., Tabellaria sp., dan Cocconeis sp., Cyclotella sp.,Campylodiscus sp., Fragilaria sp., dan Pinnularia sp. Jenis fitoplankton yang jumlahnya banyak ditemukan dari kelas Bacillariophyceae adalah Navicula sp., Melosira sp, Asterionella sp, dan Diatoma sp.

Jenis fitoplankton dari kelas Chlorophyceae yang ditemukan terdiri dari tujuh belas jenis fitoplankton yakni: Scenedesmus sp., Crucigenia sp. Mougeotia sp., Botryoccoccus sp., Zygnema sp., Cosmarium sp., Microspora sp., Pediastrum sp., Closterium sp., Ankistrodesmus sp., Staurastrum sp., Selenastrum sp., Cladophora sp., Spirogyra sp., Tetraedron sp., Micrasterias sp., Volvox sp. Jenis fitoplankton yang banyak ditemukan dari kelas Chlorophyceae adalah Scenedesmus sp., Zygnema sp., Microspora sp., dan Pediastrum sp.

Jenis fitoplankton dari kelas Cyanophyceae yang ditemukan terdiri dari enam jenis fitoplankton yakni: Mycrocystis sp., Oscillatoria sp., Colosphaerium sp., Anabaena sp., Aphanizomenon sp., dan Merismopedia sp. Jenis fitoplankton yang banyak ditemukan dari kelas Cyanophyceae adalah Oscillatoria sp., Colosphaerium sp. Jenis fitoplankton dari kelas Dinophyceae yang ditemukan terdiri dari dua jenis fitoplankton yakni Peridinium sp dan Ceratium sp. Sedangkan jenis fitoplankton yang banyak ditemukan dari kelas Dinophyceae adalah Peridinium sp. Jenis fitoplankton dari kelas Euglenophyceae yang ditemukan terdiri dari tiga jenis yakni Euglena sp., Phacus sp., dan Trachelomonas sp. Jenis fitoplankton dari kelas Euglenophyceae yang banyak ditemukan adalah Phacus sp. (Lampiran 8).

Berdasarkan Tabel 4 dapat terlihat bahwa rata-rata kelimpahan fitoplankton di perairan Waduk Penjalin berkisar 6.3 5-7.5 5 sel/L. Kelimpahan fitoplankton tertinggi pada stasiun 1 adalah 7.15 sel/L, kelimpahan selanjutnya adalah pada stasiun 3 adalah 7.1 5, pada stasiun 2 adalah 6.4 5 dan pada stasiun 4 adalah 6.3 5. Kelimpahan fitoplankton selama penelitian bulan Maret, April dan Mei berfluktuasi tiap bulannya.

Tabel 5 Kelimpahan Fitoplankton pada tiap Stasiun Penelitian di Waduk Penjalin Stasiun

Kelimpahan (Sel/L)

Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Jumlah Rata-rata

Stasiun 1 80.256 1.458.057 738.208 2.276.521 758.840 (7.5 5)

Stasiun 2 331.512 990.280 626.875 1.948.667 649.555 (6.4 5)

Stasiun 3 322.848 880.828 924.766 2.128.442 709.480 ( 7.1 5)

Stasiun 4 410.856 714.044 781.337 1.906.237 635.412 (6.3 5)

Adanya perbedaan kelimpahan pada saat penelitian dapat terjadi berhubungan dengan sinar matahari yang dimanfaatkan fitoplankton dan kondisi lingkungannya. Kelimpahan fitoplankton tertinggi ada pada bulan April, hal ini diduga karena keadaan cuaca cerah sehingga perairan kondisinya relatif stabil dan

19 mendukung bagi perkembangan fitoplankton. Kondisi perairan pada saat penelitian bulan April ini lebih mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton. Kelimpahan tertinggi juga terdapat pada stasiun 1 dan 3. Hal tersebut diduga berkaitan dengan area pada stasiun pengamatan dimana pada stasiun 1 terdapat masukan aliran sungai sedangkan pada stasiun 3 merupakan daerah dekat pemukiman penduduk. Tingginya kelimpahan tersebut dimungkinkan adanya limpasan yang berasal dari aliran sungai atau kegiatan penduduk yang membuang sampah atau limbah dan terbawa bersama aliran air hujan ke dalam perairan. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya perbedaan komposisi fitoplankton dari tiap stasiun pengamatan. Hal tersebut juga didukung pernyataan Effendi (2003) yang menyatakan sumber fosfat sebagai unsur hara dapat berasal dari dekomposisi bahan organik (limbah industri domestik, dan limpasan dari daerah pertanian).

Total kelimpahan fitoplankton yang diperoleh berkisar 6.3 5 - 7.5 5 sel/L. Hal ini menunjukan bahwa perairan waduk Penjalin termasuk kedalam perairan dengan tingkat kesuburan sedang. Hal ini sesuai dengan pendapat Goldman and Horne (1983), yang mengelompokkan perairan berdasarkan kelimpahan fitoplankton yaitu tingkat kesuburannya rendah (<104 sel/L), tingkat kesuburan sedang (104 - 107 sel/L) dan tingkat kesuburan tinggi (>107 sel/L).

Berdasarkan Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat beberapa jenis fitoplankton yang dimanfaatkan secara bersama, atau dengan kata lain, ikan-ikan tersebut memanfaatan sumberdaya yang sama. Jenis fitoplankton yang dimanfaatkan juga sebagai pakan alami oleh beberapa ikan indigenous diantaranya adalah dari kelas Bacillariophyceae (Melosira sp., Navicula sp., dan Pleurosigma sp.), dan dari kelas Cyanophyceae (Oscillatoria sp., dan Microcystis sp.) dan dari kelas Chlorophyceae (Volvox p.). Fitoplankton yang dimanfaatkan oleh ikan-ikan indigenous yang sama diantaranya adalah:

1. Melosira sp. diantaranya dimanfaatkan oleh ikan-ikan seperti: wader padi, dan beunteur.

2. Navicula sp. diantaranya dimanfaatkan oleh ikan-ikan seperti: beunteur dan julung-julung.

3. Pleurosigma sp. diantaranya dimanfaatkan oleh ikan-ikan seperti: wader, dan beunteur.

4. Oscillatoria sp diantaranya dimanfaatkan oleh ikan seperti: wader padi

5. Microcystis sp diantaranya dimanfaatkan oleh ikan-ikan seperti: wader padi dan beunteur.

20

Tabel 6 Jenis Fitoplankton yang dimanfaatkan Ikan Indigenous di Waduk Penjalin Organisme Uceng Wader Padi Benteur Julung-julung

BACILLARIOPHYCEAE *Melosira sp. + + *Navicula sp. + + Surirella sp. + Nitzschia sp. + Coscinodiscus sp. + Diatoma sp. + *Pleurosigma sp. + + Trichocerca sp. + Achnanthes sp. + Rhizosolenia sp. + CHLOROPHYCEAE *Volvox sp. + + CYANOPHYCEAE *Oscillatoria sp. + + *Microcystis sp. + + + Aphanizomenon sp.

Ket * = Jenis fitoplankton yang dimanfaatkan beberapa ikan Indigenous sebagai makanan

Jika dihubungkan dengan kebiasaan makan (Lampiran 7), ikan-ikan dengan jumlah yang sedikit diduga karena pada umumnya ikan tersebut menggunakan sumberdaya yang sama yaitu memakan fitoplankton dengan jenis yang sama sebagai makanan utama, hal ini dapat menyebabkan terjadinya persaingan dalam mendapatkan makanan. Sedangkan ikan dengan jumlah yang cukup banyak dibanding lainnya yaitu seperti ikan uceng dan beunteur ini merupakan ikan yang bersifat lebih leluasa, yang seharusnya mampu memperbanyak populasinya. Sedangkan ikan julung-julung yang ditemukan juga relatif banyak padahal menggunakan sumberdaya yang sama sebagai pakan alaminya yaitu fitoplankton dari jenis Navicula sp. Namun berdasarkan jumlah fitoplankton yang didapat Navicula sp. merupakan salah satu fitoplankton yang ditemukan dalam jumlah relatif banyak perairan (Lampiran 8).

Berdasarkan keanekaragaman fitoplankton yang didapat di perairan Waduk Penjalin, jika dibandingkan dengan jumlah atau pemanfaatan ikan terhadap fitoplankton, maka masih banyak jenis fitoplankton yang belum dimanfaatkan sebagai makanan alami ikan (Lampiran 8). Hal ini dapat menjadi salah satu penanda, bahwa masih adanya relung yang bisa dimanfaatkan ikan atau upaya peningkatan jumlah ikan dengan cara memasukan jenis ikan yang dapat memanfaatkan fitoplankton yang belum termanfaatkan.

Kondisi Fisika dan Kimia Perairan

Pengamatan terhadap kondisi fisika dan kimia perairan di tiap-tiap stasiun dilakukan dengan melakukan pengukuran terhadap kualitas fisika dan

21 kimia perairan berupa: temperatur, kecerahan, kedalaman, pH, oksigen terlarut dan BOD5. Hasil pengukuran tersebut disajikan pada Tabel 7

Tabel 7 Kualitas Perairan Waduk Penjalin

Parameter Stasiun Perairan I II III IV Fisika Temperatur (°C) 29 - 30°C 29.5 - 30°C 29 - 29.5°C 29-30°C Kecerahan (cm) 155 185 124 145 Kedalaman (m) 8.5 - 9.8 7.6 - 9.7 5 - 11.7 10.6 - 12.3 Kimia Oksigen terlarut (mg/L) 7 7.54 6.16 6.5 BOD5 (mg/L) 9.29 9 9 9 pH 7 7 7 7

Berdasarkan Tabel 7 temperatur perairan Waduk Penjalin tidak memperlihatkan adanya fluktuasi yang berbeda jauh antar stasiun. Hasil pengukuran temperatur selama penelitian tiap stasiun diperoleh berkisar antara 29oC sampai 30oC. Penelitian yang dilakukan Rukayah and Wibowo (2011) mendapatkan hasil pengukuran temperatur perairan Waduk Penjalin berkisar antara 24.5oC - 29.5oC. Temperatur merupakan faktor penting dalam penentuan pertumbuhan ikan. Kisaran temperatur yang baik untuk penunjang kehidupan ikan berkisar 28oC- 32oC. Hal ini menunjukkan bahwa temperatur perairan di Waduk Penjalin masih memenuhi syarat optimum bagi pertumbuhan ikan (Frasawi et al. 2013).

Hasil pengukuran kecerahan perairan Waduk Penjalin pada tiap stasiun mempunyai nilai berbeda. Berdasarkan Tabel 6, kecerahan perairan berkisar antara 124 - 185 cm. Menurut Pescod (1973) in Frasawi et al. (2013) kecerahan didefinisikan sebagai kondisi yang menggambarkan suatu kemampuan penetrasi cahaya matahari untuk menembus permukaan air sampai kedalaman tertentu. Nilai kecerahan suatu perairan sangat bergantung pada warna air dan kekeruhan, semakin gelap perairan akan semakin keruh, dan nilai kecerahan akan rendah (Frasawi et al. 2013). Hasil penelitian yang dilakukan Frasawi et al. (2013) di Waduk Embung Klamalu Kabupaten Sorong tingkat kecerahan pada kisaran 25 - 40 cm kisaran yang masih dalam kondisi alami perairan. Hal ini menunjukkan bahwa perairan Waduk Penjalin masih dalam kondisi baik jika dilihat dari kondisi kecerahan perairannya

Hasil pengukuran kedalaman Waduk Penjalin selama pengamatan berkisar antara 5.11 - 12.3 meter. Berdasarkan Tabel 6, nilai kedalaman perairan di Waduk Penjalin cenderung bervariasi. Kedalaman yang terlihat cenderung lebih rendah hal ini juga dikarenakan perairan Waduk Penjalin mengalami penyusutan karena pengurangan jumlah air waduk. Hasil pengukuran oksigen terlarut di perairan Waduk Penjalin pada setiap stasiun penelitian berbeda-beda dengan kisaran 6.16 - 7.54 mg/L. Hasil penelitian yang dilakukan Rukayah and Wibowo (2011) di Waduk Penjalin memperoleh nilai 4.48 - 9.94 mg/L. Menurut PP Nomor 82 tahun 2001 oksigen terlarut yang baik untuk kegiatan perikanan minimal 3 mg/L. Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas yang paling penting bagi kehidupan

22

biota perairan (Effendi 2003). Berdasarkan hal tersebut perairan Waduk Penjalin masih dalam kondisi optimum bagi kehidupan biota akuatik di dalamnya.

Hasil pengamatan nilai BOD5 pada tiap stasiun berkisar 9 - 9.29 mg/L. Penelitian Rukayah and Wibowo (2011) memperoleh nilai BOD5 berkisar antara 0.24 - 9.94 mg/L. Perairan yang baik untuk menunjang kegiatan budidaya ikan air tawar menurut standar baku mutu PP. No 82 Tahun 2001 adalah 0 - 10 mg/L (Tatangindatu et al. 2013). Berdasarkan hal tersebut maka perairan Waduk Penjalin masih dalam kisaran yang layak untuk kehidupan biota perairan.

Nilai pengukuran pH di Waduk Penjalin yakni 7. Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen dan menunjukkan kondisi air. Ikan yang hidup di perairan air tawar, angka pH yang dianggap sesuai untuk kehidupan ikan-ikan tersebut berkisar antara 6,5 hingga 8,4. Sementara itu kebanyakan jenis ganggang tidak dapat hidup di perairan dengan pH lebih dari 8,5 (Asdak 2001 in Frasawi et al. 2013). Berdasarkan hasil pengukuran pH di Waduk Penjalin nilai tersebut masih dalam kondisi optimum bagi kehidupan ikan.

Berdasarkan hasil pengukuran parameter fisika dan kimia kualitas perairan di Waduk Penjalin secara umum beberapa parameter tersebut menunjukkan masih cukup layak untuk mendukung kehidupan biota perairan.

Upaya Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Waduk Penjalin Brebes

Waduk Penjalin selain berfungsi untuk irigasi pertanian yang ada di sekitar Kabupaten Brebes, waduk ini merupakan tempat habitat ikan. Kegiatan perikanan yang terdapat di Waduk Penjalin terutama adalah kegitan perikanan tangkap. Oleh karenanya ekosistem ini perlu dilakukan upaya pengelolaan di Waduk Penjalin. Kegiatan perikanan di Waduk Penjalin selain usaha penangkapan juga terdapat kegiatan pemancingan dan terdapat budidaya berjumlah sembilan KJA yang saat ini tidak termanfaatkan. Keberhasilan usaha penangkapan ditentukan oleh lokasi penangkapan dan keterkaitan dengan kebiasaan makan ikan dalam menempati ruang habitat. Keberadaan makanan di lingkungan perairan merupakan hal penting yang mempengaruhi keberadaan ikan. Berdasarkan kebiasaan makan, ikan indigenous yang terdapat di Waduk Penjalin lebih banyak yang memanfaatkan fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae sebagai makanan utamanya.

Jumlah ikan indigenous di Waduk Penjalin dari tahun ke tahun semakin menurun, hal ini dapat dilihat dari jumlah ikan dan spesies yang tertangkap. Hal ini terlihat dari hasil penelitian yang menunjukkan hanya ditemukan 6 spesies ikan indigenous dengan total tangkapan sebanyak 85 ekor ikan. Berdasarkan komposisi, keanekaragaman, keseragaman dan dominansi ikan indigenous di Waduk Penjalin juga menunjukkan nilai yang rendah dengan adanya dominansi dari jenis tertentu. Hasil ini juga didukung dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Rukayah and Wibowo (2011), ditemukan 17 jenis ikan indigenous dan 8 spesies introduksi di Waduk Penjalin. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Hedianto et al. (2013) hanya menemukan 6 spesies yang terdiri dari 3 spesies ikan indigenous dan 3 spesies ikan introduksi. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ikan-ikan yang terdapat di Waduk Penjalin keanekaragamannya semakin berkurang jika dilihat baik dari jumlah maupun keanekaragaman spesiesnya.

Berdasarkan pengamatan keanekaragaman dan kelimpahan total plankton yang terdapat di perairan Waduk Penjalin, jika dibandingkan dengan jumlah

23 plankton yang dimanfaatkan sebagai pakan alami, banyak jenis plankton yang belum dimanfaatkan. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan kebiasaan makan ikan indigenous yang terdapat di Waduk Penjalin, pengetahuan ini bisa dijadikan pertimbangan mengenai masukan upaya peningkatan stok ikan dengan melihat kebiasaan makannya. Sehingga perlu dilakukan penambahan stok ikan indigenous ataupun usaha peningkatan jumlah ikan introduksi guna meningkatkan produksi ikan yang memanfatkan plankton atau pakan alami dengan pertimbangan dan pengetahuan secara hati-hati. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pengendalian jumlah spesies introduksi terutama yang mengancam keberadaan spesies indigenous baik dalam hal perebutan relung maupun kompetisi dalam memperoleh makanan.

Berdasarkan hal tersebut, maka perlu adanya upaya penebaran yang bertujuan untuk pengkayaan stok guna mempertahankan atau memperbaiki stok serta tetap mampu berperan sebagai penggerak perekonomian rakyat golongan kecil. Hal ini terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi keluaraga, sumber mata pencaharian tambahan atau utama bagi masyarakat di sekitar perairan waduk, penyerap tenaga kerja. Pemilihan jenis ikan yang akan ditebar merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam penebaran. Hal ini berkaitan dengan adanya isu mengenai penurunan hasil tangkapan akibat adanya introduksi yang tidak hati-hati seperti yang terjadi di Danau Victoria (Njiru et al. 2010). Menurut Cowx (1994), terdapat beberapa kriteria jenis ikan yang bisa di jadikan pertimbangan dalam hal melakukan penebaran sebagai berikut:

1. Sesuai dengan keinginan pasar, hal ini dikarenakan tujuan utama adalah memperoleh keuntungan dengan menjual hasil tangkapan, jenis ikan tersebut merupakan ikan yang digemari oleh masyarakat sekitar,

2. Dapat memanfaatkan jenis makanan yang tersedia dan rantai makanan pendek. Ikan yang mampu memanfaatkan fitoplankton, zooplankton dan detritus lebih disukai dibandingkan dengan ikan karnivora atau predator. Penebaran jenis ikan predator dikhawatirkan akan berdampak pada populasi ikan-ikan kecil (anakan ikan) yang merupakan ikan asli badan air tersebut serta biota lainnya (Teplitsky et al.; 2003; Pearson and Goater 2009; Duxbury et al. 2010). Namun keberadaan ikan predator asli masih sangat diperlukan sebagai kontrol keberadaan ikan tebaran agar berada dalam kondisi seimbang (Offem et al. 2009),

3. Dapat tumbuh dengan cepat sehingga dapat mencapai ukuran yang diinginkan oleh pasar,

4. Tidak berkompetisi dengan ikan yang sudah ada (mampu memanfaatkan relung dan pakan yang kosong).

5. Benih berasal dari panti benih (Hatchery) dengan jumlah induknya cukup memadai sehingga menghindari adanya variabilitas genetik. Kualitas benih ikan yang ditebar merupakan faktor penting yang akan menentukan hasil dari penebaran.

6. Benih ikan yang akan ditebar bebas dari penyakit dan parasit serta bersertifikat, karena salah satu hal dampak buruk yang dikhawatirkan dalam kegiatan introduksi sutau jenis ikan adalah penyebaran parasit dan penyakit (De Jong et al. 2004).

7. Jenis ikan yang ditebar harus mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang buruk misalnya kondisi hypoxia (Ekau et al. 2010).

24

Berdasarkan informasi dari Penyuluh perikanan di wilayah tersebut bahwa terdapat kegiatan upaya pengelolaan sumberdaya perikanan di Waduk Penjalin dilakukan oleh Paguyuban Masyarakat Penjalin Lestari. Kegiatan pengelolaan di Waduk Penjalin diwujudkan melalui aktifitas penebaran benih ikan yang diprakarsai oleh Dinas Perikanan terkait. Pelaksanaan ini belum dapat dilangsungkan secara kontiyu, hal tersebut lebih disebabkan karena adanya keterbatasan dalam pengalokasian anggaran pengelolaan bagi perairan umum. Penebaran ikan pernah dilakukan yaitu benih nila, mola, dan tawes sebanyak 120.000 (2006) dan 114.000 (2007). Waduk Penjalin mendapatkan dukungan suplay benih dari unit perbenihan rakyat (UPR) dan balai benih ikan (BBI) Brebes. Benih ikan yang dihasilkan di oleh UPR maupun BBI adalah gurame, mas, nila, lele, tawes, tambakan, mujair, nila, patin dan bawal. Jenis ikan-ikan tersebut dapat dijadikan sebagai alternatif ikan yang akan ditebar, salah satunya adalah ikan patin.

Berdasarkan informasi di atas maka jenis ikan yang dapat dipilih salah satunya adalah patin (Pangasianodon hypophthalmus). Hal ini dikarenakan ikan patin mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dan toleransi terhadap kualitas air serta bahan organik yang tinggi dan kandungan oksigen terlarut yang rendah. Alasan lainnya adalah patin dapat di restoking dengan kepadatan yang tinggi (Trong et al. 2002). Menurut Krismono (2000), patin mempunyai laju pertumbuhan yang cukup baik jika ditebar pada perairan yang subur dengan kelimpahan fitoplankton yang cukup tinggi. Laju pertumbuhan ikan patin yang ditebar di Waduk Wonogiri dan Malahayu masing-masing berkisar 8,6 - 12,6 gram/hari dengan rata-rata 10,8 gram/hari, 1,0 - 7,2 gram/hari dengan rata-rata 2,1 gram/hari. Sedangkan ikan patin yang ditebar Waduk Jatiluhur mempunyai laju pertumbuhan 1,18 gram/hari (Krismono 2000). Harga dipasaran ikan patin juga cukup tinggi sehingga bisa menjadi alasan pertimbangan memilih jenis ikan tersebut untuk ditebar. Ikan patin mampu memanfaatkan pakan alami yang ada misalnya di Waduk Malahayu ikan patin sebagian besar memanfaatkan benthos sedangkan di Wonogiri memanfaatkan fitoplankton.

25

4 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Total jumlah ikan yang tertangkap selama penelitian adalah sebanyak 407 ekor dengan persentase total tangkapan ikan indigenous adalah 21% dan ikan introduksi adalah 79%.

2. Berdasarkan analisis dendogram, kebiasaan makanan dari jenis-jenis ikan indigenous, didapatkan empat kelompok dalam rantai makanan. Ikan beunteur, wader padi dan julung-julung sebagai (herbivor) dan uceng (omnivor).

3. Berdasarkan nilai luas relung ikan indigenous: ikan uceng, beunteur dan wader padi tergolong ikan-ikan yang lebih leluasa dari pada ikan julung-julung yang lebih selektif dalam memanfaatkan makanan yang ada.

4. Berdasarkan kualitas perairan Waduk Penjalin masih mendukung bagi kehidupan biota perikanan.

5. Berdasarkan hasil penelitian, dalam upaya pengelolaan perlu dilakukan upaya penebaran yang bertujuan untuk pengkayaan penambahan stok ikan. Pemilihan jenis ikan yang akan ditebar perlu memperhatikan jenis ikan dan pengendalian jumlah spesies introduksi terutama yang mengancam keberadaan spesies indigenous. Jenis ikan yang di jadikan alternatif penebaran adalah ikan-ikan yang dihasilkan oleh UPR dan BBI seperti ikan patin.

Saran

1. Perlu dilakukan kajian trofik level biota yang ada di Waduk Penjalin. 2. Mengkaji tentang ikan-ikan introduksi yang akan di tebar.

26

Dokumen terkait