• Tidak ada hasil yang ditemukan

Banyak orang ketika menyebut penyakit “lupus” maka yang dimaksud adalah penyakit lupus eritematosus sistemik (LES). Lupus sesungguhnya terdiri dari beberapa macam bentuk, yaitu lupus eritematosus sistemik, cutaneus lupus, neonatal lupus, dan drug

induced lupus. Dari berbagai macam bentuk lupus yang ada LES

commit to user

sehingga dapat mengenai seluruh organ di tubuh (Lupus Foundation of America, 2012). Oleh karena itu lupus tipe ini merupakan lupus dengan komplikasi yang paling berat sehingga penulis cenderung memilih lupus dengan tipe LES sebagai variabel dalam penelitian ini.

Cutaneus lupus adalah bentuk lain dari lupus yang terbatas

menyerang organ kulit. Meskipun terdapat banyak tipe ruam dan lesi dari cutaneus lupus, ruam yang paling sering muncul adalah ruam berwarna merah, bersisik dan dengan tepi yang meninggi namun tidak terasa gatal. Ruam seperti itu dikenal dengan sebutan ruam diskoid karena bentuknya yang berupa lingkaran menyerupai lempengan disc. Contoh lain dari cutaneus lupus adalah ruam berwarna merah di daerah malar yang disebut ruam kupu-kupu. Ruam dan lesi dapat muncul di daerah wajah, leher, dan kulit kepala (daerah yang paling sering terpapar sinar matahari), atau di daerah sekitar mulut, hidung dan vagina. Perubahan warna pigmen baik di kulit maupun rambut dan kerontokan rambut juga merupakan gejala lain yang menyertai penyakit ini. Sekitar 10% dari penderita cutaneus lupus dapat berkembang menjadi LES. Akan tetapi biasanya penderita tersebut adalah penderita LES dengan gejala utama berupa ruam pada kulit (Lupus Foundation of America, 2012).

Adapun drug induced lupus adalah penyakit lupus yang disebabkan oleh penggunaan obat-obatan tertentu. Gejala yang muncul serupa dengan gejala pada LES dan dapat menghilang apabila

penggunaan obat dihentikan. Sedangkan neonatal lupus adalah lupus yang menyerang neonatus dari seorang ibu yang menderita lupus ataupun penyakit kelainan sistem imun lainnya. Namun ini sangat jarang ditemukan karena bayi yang baru lahir dari seorang ibu dengan lupus didapatkan dalam keadaan yang sepenuhnya sehat (Lupus Foundation of America, 2012).

Meskipun terminologi lupus eritematosus telah dikenal sejak abad ke 19 untuk menggambarkan lesi pada kulit, namun membutuhkan waktu hampir 100 tahun untuk menyadari bahwa penyakit ini dapat bersifat sistemik, menyerang seluruh organ, dan diakibatkan oleh kelainan pada respon autoimun (Tsokos, 2011). Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan suatu penyakit peradangan kronis akibat autoimun yang dapat menyerang seluruh organ dan sistem organ tubuh seperti kulit, persendian, ginjal, paru-paru, dan sistem saraf. Penyakit autoimun terjadi ketika sistem kekebalan tubuh tidak dapat mengenali jaringan dari tubuhnya sendiri sebagai bagian dari dirinya sehingga menyebabkan antibodi menyerang jaringannya sendiri layaknya dirinya menyerang organisme asing (Manson dan Rahman, 2005; Ginzler dan Tayar, 2008).

LES merupakan penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas (Yuriawantini dan

commit to user

Suryana, 2007). Gejala yang biasanya ditemukan pada pasien adalah ruam pada kulit, artritis, kelelahan dan demam. Manifestasi dan perjalanan LES sangat bervariasi dari yang paling ringan, hingga berat, bahkan fatal. Perjalanan penyakit ini sulit diramalkan karena bersifat episodik, memiliki masa remisi dan eksaserbasi (Ginzler dan Tayar, 2008; Hayalett dan Hardin, 1983).

Seperti yang dikatakan di atas, LES dapat menyerang seluruh organ dan sistem organ tubuh. Ini menyebabkan manifestasi klinis dari penyakit ini pada satu orang dengan orang lainnya sangat bervariasi. Gejala LES juga sangat bervariasi dan seringkali menyerupai penyakit lain seperti artritis reumatoid, multipel sklerosis dan bahkan demam berdarah. Itulah mengapa LES sering disebut sebagai penyakit 1000 wajah atau “great imitator” (Hughes, 2011; Ginzler dan Tayar, 2008). Hal inilah yang menyebabkan timbulnya kesulitan dalam penegakkan diagnosis LES. Padahal, diagnosis dini dibutuhkan untuk mengurangi tingkat morbiditas dan mortalitas dari penyakit ini karena hingga saat ini belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan LES (Ginzler dan Tayar, 2008).

Gejala LES bermacam-macam tergantung organ yang diserangnya. Beberapa organ dan sistem organ yang sering diserang adalah kulit (ruam, sariawan, rambut rontok), persendian (nyeri, kemerahan, bengkak), ginjal (kelainan urin, gagal ginjal), membran/ selaput organ (pleuritis, perikarditis, peritonitis), darah (anemia,

leukopenia, trombositopenia), paru-paru (batuk, sesak nafas), dan sistem saraf (kejang, psikosa). Manifestasi klinis keterlibatan sendi atau muskuloskeletal dijumpai pada 90% kasus lupus, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55% kasus (Isbagio et al., 2007).

Terdapat gejala-gejala lain yang meskipun tidak spesifik namun sering ditemukan pada pasien LES. Kelelahan merupakan gejala yang paling sering muncul. Penurunan dan peningkatan berat badan juga menjadi salah satu gejala LES. Biasanya peningkatan berat badan terjadi akibat pembengkakan pada kedua tungkai atau pembesaran perut akibat organ ginjal yang terkena. Apabila LES sedang dalam masa eksaserbasi biasanya ditandai dengan demam/ peningkatan suhu tubuh. Demam akibat LES biasanya tidak diikuti dengan rasa menggigil (Lupus UK, 2011; Isbagio et al., 2007)

Etiologi yang pasti dari LES belum diketahui dengan jelas, namun berdasarkan bukti-bukti yang ada dikatakan bahwa penyebabnya bersifat multifaktorial dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun (Isbagio et al., 2007). Namun sampai saat ini masih menjadi perdebatan faktor mana yang menjadi penyebab utama sehingga masih perlu menjadi fokus utama penelitian.

Tidak diragukan bahwa LES terkait dengan faktor genetik. Orang yang mempunyai riwayat keluarga dengan LES memiliki

3-commit to user

10% risiko menderita penyakit tidak terbatas hanya LES, tapi juga penyakit autoimun lainnya seperti artritis reumatoid dan Sjorgen’s

Syndrome. Pada kembar identik, risiko LES meningkat menjadi 25%

pada saudara kembar dari pasien yang menyandang LES (Venables, 2011; Schur, 1995). Menurut Isbagio et al. (2007) sekitar 10-20% pasien LES mempunyai kerabat dekat (first degree relative) yang juga menderita LES. Belum ada gen tunggal yang dianggap sebagai penyebab dari penyakit LES, tetapi multipel gen diduga mempengaruhi perkembangan penyakit ini ketika dipicu oleh faktor lingkungan (Marten, 2009). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Kaitan dengan haplotip MHC tertentu terutama HLA-DR2 dan HLA-DR3, serta dengan komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi ikatan komplemen (C1q, C1r, C1s, C2, C4) telah terbukti turut berperan dalam patogenesis LES. Gen-gen lain yang mulai terlihat ikut berperan ialah gen yang mengkode reseptor sel T, imunoglobulin dan sitokin (Isbagio et al., 2007).

LES berhubungan dengan munculnya HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita LES yang Afro-Amerika. Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memiliki hubungan dengan LES (Rudolph dan Abraham, 1996). Kusworini melaporkan bahwa alel kerentanan untuk timbulnya

LES pada populasi Indonesia adalah HLA-DR2 yang ternyata sama dengan yang dilaporkan pada Cina (ras Mongoloid) dan Afro-Amerika (ras Negroid). Telah diketahui bahwa harapan hidup ras Kaukasoid dengan alel kerentanan HLA-DR3 lebih baik daripada ras Mongoloid dan Negroid. Dalam kaitan dengan LES, orang-orang dengan alel HLA-DR2 diduga mempunyai respon imun yang lebih patogenik dibandingkan orang dengan alel HLA-DR3. Apakah hal ini bahwa secara genetik pasien lebih rentan terhadap LES, masih perlu penelitian lebih lanjut (Nasution dan Sumariyono, 2007). Penelitian mengenai familial lupus eritematosus sistemik telah dilakukan di Finlandia dan didapatkan hasil bahwa familial sistemik lupus eritematosus dan sporadik lupus bukanlah suatu penyakit yang berbeda. Itu artinya analisis genetik dapat diramalkan dari multipleks familial lupus atau keluarga dengan penderita lupus lebih dari satu orang dengan seluruh pasien lupus eritematosus sistemik (Koskenmies et al., 2001). Selain itu tidak didapatkan adanya perbedaan manifestasi klinik antara familial lupus dan sporadik lupus (Zhen et al., 2009).

Faktor hormonal atau neuroendokrin juga dianggap turut mempengaruhi sistem imun. Bahkan beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon prolaktin dapat merangsang respon imun (Isbagio et al., 2007). Dari seluruh pasien LES, 90% di antaranya adalah wanita terutama yang dalam masa produktif (usia 15-45 tahun) (Hahn, 2004; Cruz et al., 2007; Venables, 2011). Hal ini diduga

commit to user

disebabkan oleh faktor hormonal. Estrogen terbukti sebagai hormon yang mempengaruhi aktifnya LES dalam penelitian hewan baik secara

in vitro maupun in vivo (Venables, 2011). Kromosom X, tidak

bergantung pada hormon, diduga berkontribusi pada patogenesis LES. Riset menunjukkan pada mencit jantan dan betina yang dikebiri dan dimanipulasi secara genetik sehingga memiliki kombinasi kromosom XX, XO (betina), XY, XXY (jantan), keberadaan dua kromosom X meningkatkan tingkat keparahan dari penyakit LES. Selain itu, di antara gen yang diketahui berperan dalam patogenesis lupus adalah CD40, dimana gen itu terletak pada kromosom X (Tsokos, 2011).

Faktor lingkungan turut memainkan peran dalam etiopatogenesis LES. Infeksi, zat kimia dan racun, rokok dan sinar matahari adalah beberapa faktor lingkungan yang diduga berperan kuat mencetuskan LES (Bone, 2011). Sinar matahari adalah faktor lingkungan paling nyata yang mampu menyebabkan ekaserbasi pada LES (Cruz et al., 2007). Paparan terhadap ultraviolet telah terbukti dapat menyebabkan timbulnya ruam kulit dan munculnya gejala LES pada organ lainnnya. Meskipun selama beberapa dekade ini banyak riset dilakukan, belum ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara satu virus, atau kelompok virus, yang berkaitan langsung dengan penyakit LES (Bone, 2011). Epstein-Bar virus (EBV) diidentifikasi sebagai virus yang dapat mempengaruhi perkembangan penyakit LES. Virus ini terletak dan dapat berinteraksi dengan sel B.

Gross menemukan frekuensi yang tinggi dari sel B yang terinfeksi EBV pada pasien LES dibandingkan pada koresponden normal dan pasien dengan LES yang aktif memiliki sel yang terinfeksi lebih banyak dibandingkan dengan pasien yang mengalami remisi, namun Gross tidak langsung menyimpulkan bahwa EBV adalah etiologi dari lupus. Ditambah dengan kenyataan bahwa hampir 90% orang dewasa terinfeksi oleh EBV tetapi prevalensi dari LES tetaplah rendah. Ini menekankan bahwa penyebab penyakit ini bersifat multifaktorial (Cruz et al., 2007).

LES terjadi ketika seseorang dengan gen yang memiliki predisposisi atau rentan terhadap LES berinteraksi dengan faktor lingkungan yang mendukung sehingga menyebabkan penyimpangan respon imun. Respon imun yang terjadi adalah hiperreaktivitas dan hipersensitifitas dari limfosit T dan B, kegagalan pengaturan ketersediaan antigen, dan respon antibodi yang terus-menerus (Hahn, 2004). Terganggunya mekanisme pengaturan imun seperti eliminasi dari sel-sel yang mengalami apoptosis dan kompleks imun berperan penting terhadap terjadinya SLE. Hilangnya toleransi imun, banyaknya antigen, meningkatnya sel T helper, terganggunya supresi sel B dan perubahan respon imun dari Th1 ke Th2 menyebabkan hiperreaktivitas sel B dan terbentuknya autoantibodi (Yuriawantini dan Suryana, 2007).

commit to user

Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan Autoantigen membentuk kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat tersebut. Autoantigen yang terbentuk merupakan bagian dari sel yang mengalami nekrosis dan apoptosis (Cruz et al., 2007). Pembersihan (clearance) dari kompleks imun oleh sistem fagosit-makrofag juga mengalami gangguan pada LES sehingga akan menghambat eliminasi kompleks imun dari sirkulasi dan jaringan (Yuriawantini dan Suryana, 2007).

Hingga saat ini, penegakkan diagnosis untuk LES memerlukan suatu konsensus. Untuk membantu membedakan LES dari penyakit lainnya, dokter dari American College of Rheumatology (ACR) telah menentukan 11 kriteria gejala sebagai berikut:

a. Ruam malar : ruam merah berbatas tegas di daerah pipi cenderung menyebar ke lipatan nasolabial b. Bercak diskoid : bercak merah bersisik di kulit dan

penyumbatan folikel rambut

c. Fotosensitif : ruam kulit kemerahan setelah terpapar sinar matahari

d. Ulkus mulut : sariawan-sariawan kecil di daerah mukosa mulut dan nasofaring, biasanya tidak nyeri e. Serositis : peradangan di lapisan serosa paru-paru,

jantung, dan dinding perut

f. Artritis : artritis non erosif pada dua atau lebih persendian non perifer, merupakan manifestasi yang paling sering timbul g. Gangguan ginjal : Proteinuria persisten > 0,5 gr/ hr atau +3

Cellular cast: eritrosit, Hb, granular,

tubular atau campuran

h. Gangguan Saraf : kejang atau psikosis yang tidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik

i. Gangguan Darah : Anemia hemolitik à dengan retikulosis Leukopenia < 4000/ mm3 (≥1 pemeriksaan) Limfopenia < 1500/ mm3 (≥2 pemeriksaan) Trombositopenia < 100.000/ mm3

j. Gangguan Imun : Anti-dsDNA di atas titer normal

anti-Sm (Smith) dan antibodi fosfolipid (+) k. ANA test : Anti-Nuclear Antibody, sebagai pertanda

aktifnya lupus bila ditemukan dalam darah pasien

Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan pada pasien, diagnosis LES bisa ditegakkan dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97% (Harsono dan Endaryanto, 2011; Tsokos, 2011; Petty dan Laxer, 2005).

commit to user

Pemeriksaan penunjang digunakan untuk berbagai tujuan, antara lain 1) membantu penegakkan diagnosis; 2) mengikuti perkembangan penyakit (melihat apakah ada eksaserbasi atau kerusakan organ); 3) identifikasi efek merugikan dari terapi (Hahn, 2004). Pemeriksaan yang biasa dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium rutin (FBC, urea dan elektrolit, urinalisis, tes fungsi hati, CRP, dan sipilis serologi) dan pemeriksaan autoantibodi (ANA-test,

Anti-dsDNA, Antiphospholipid antibodi, Anti Smith (Sm) antibodies, Rheumatoid factor (Rh f), Lupus anticoagulants, Anti-Histone antibodies, Complement levels (total hemolytic complement [CH50],

C3, and C4), Anti-C1q antibodies. Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan, bila tidak terdapat berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan antibodi anti-ds DNA (Kleinn dan Miller, 2003)

Prevalensi LES di berbagai negara bervariasi antara 2,9/100.000 - 400/100.000 (Isbagio et al., 2007; Ginzler dan Tayar, 2008). Rata-rata prevalensi LES adalah 24:100.000 populasi. Ras dengan insidensi terendah adalah ras Kaukasia sementara ras Asia dan Afro-Amerika adalah ras dengan insidensi tertinggi (Bone, 2011). Kemungkinan ini terjadi karena pada ras yang berbeda terdapat perbedaan secara genetik yang memungkinkan perbedaan kerentanan

terhadap penyakit. Manson (2005) menyebutkan banwa penyakit ini 10 kali lebih sering ditemukan pada wanita dibandingkan pada lelaki.

Belum ditemukan angka prevalensi yang pasti dari LES di Indonesia, namun terdapat beberapa data yang diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dilakukan penelitian dengan periode yang berbeda di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus lupus; antara tahun 1972-1976 ditemukan insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan; antara tahun 1988 – 1990 (3 tahun) ditemukan bahwa insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan insidensi dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa pasien penyakit ini cukup banyak dan semakin meningkat (Isbagio et al., 2007). Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus lupus dari total kunjungan pasien di poliklinik reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia namun insidensi lupus dilaporkan cukup tinggi di Palembang (Nasution dan Sumariyono, 2007).

.

3. Kaitan antara Lupus Eritematosus Sistemik dengan Dermatoglifi

Dokumen terkait