• Tidak ada hasil yang ditemukan

E. Tinjauan Kepustakaan

2. Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian

Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum

dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam

12

Andi Hamzah., Op.Cit, hal. 234. Perhatikan cara pengutipannya

13

Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, hal. 77.

14

Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara

Eropa Kontinental.

Apabila dibandingkan dengan KUHAP, maka di sini tampak tidak semua pembaharuan ini ditiru oleh KUHAP.15

a. Keterangan Saksi

Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP ialah :

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.16 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penututan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.17

Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Dapat dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi. Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain, sekurang- kurangnya masih tetap diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi. Catatan Peharikan pengetikan awal paragraf

15

Hendrastanto Yudowidagdo, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 241.

16

Pasal 1 butir (27) KUHAP; juga Pasal 1 butir 28 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

17

Pasal 1 butir (26) KUHAP; juga Pasal 1 butir (27) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Agar sahnya keterangan saksi ini sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian, maka :

a. saksi harus mengucapkan sumpah;

b. keterangan saksi mengenai perkara pidana yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya;

c. keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;

d. keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya;

e. keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau kealpaan tertentu. Baik pendapat umum maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

f. Adanya: (a) persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; (b) persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; (c) alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan tertentu; (d) cara hidup dan kesusilaan saksi, serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Dengan demikian, menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Penjelasan Pasal 185 ayat (5) dikaitkan dengan HIR disebut juga kesaksian persetujuan dan berhubungan, atau dikenal juga dengan istilah kesaksian berantai. Menurut S.M Amin, kesaksian berantai ada dua macam :

1. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan; 2. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa

perbuatan.18

b. Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.19

Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

20

18

S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 112-113.

19

Pasal 1 butir 28 KUHAP; juga Pasal 1 butir 29 Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

20

Pasal 186 KUHAP.

Catatan : Perhatikan pengetikan awal paragraf

Penjelasan Pasal ini mengatakan, keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau

penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim.

Isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenal apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.21

c. Surat

Surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.22

Menurut A. Pitlo surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan.23

21

Wirjono Prodjodikoro., Op.Cit, hal. 87-88.

22

Andi Hamzah., Op.Cit, 253.

23

Martiman Prodjohamidjojo, Komentar Atas KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hal. 138.

Suatu alat bukti yang berupa surat yang dalam hal ini harus dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam bentuk surat resmi. Hal ini dapat

kita lihat pada ketentuan Pasal 187 KUHAP, mengatakan :

a. berita acara surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut pada Pasal 187 adalah alat bukti yang sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut huruf d bukan merupakan alat bukti yang sempurna.

d. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.24

M. Yahya Harahap memberikan pengertian dengan menambah beberapa kata, petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai 24

Pasal 188 ayat (1) KUHAP.

persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.25

Dari ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut, terlihat bahwa alat bukti petunjuk bentuknya sebagai alat bukti yang asesor (tergantung) pada alat bukti lain. Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak ada alat bukti petunjuk. Berbeda dengan alat bukti saksi misalnya bisa hadir tanpa hadirnya alat bukti petunjuk. Dengan demikian, alat bukti petunjuk selamanya tergantung dari alat bukti yang lain. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti lain belum dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (2), petunjuk dapat diperoleh dari : keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

26 e. Keterangan Terdakwa

KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama, yaitu HIR yang menyebut “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa

25

M. Yahya Harahap., Op.Cit, hal. 893.

26

M. Taufik Makarao., Op.Cit, hal. 130.

Catan: Perhatikan penulisan awal paragraf dan cek kembali Pasal 184 huruf c yg sdr maksud.

perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.27

1. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

Mengenai keterangan terdakwa ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yakni sebagai berikut :

2. keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;

3. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; 4. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa

ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.28

1. jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya (ayat 3)

Apabila di saat dibutuhkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan ternyata terdakwa tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 154 KUHAP, yakni sebagai berikut :

2. jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi (ayat 4)

3. hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua

27

Andi Hamzah., Op.Cit, hal. 286.

28

kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya (ayat 6).

Ketidakhadiran, ketidakbenaran untuk memberikan keterangan sebagai alat bukti ini, pada umumnya manusia merasa takut dalam menerima pidana, Sehingga ia menghindari dari tujuan keterangan yang dimaksudkan oleh para aparat penegak hukum khususnya para hakim yang bersangkutan yang memimpin sidang. Juga ketidakbenaran keterangan yang diharapkan, walaupun dalam hati terdakwa tersebut tertanam rasa ingin mengungkapkan keterangan yang sebenarnya, namun karena ia merasa takut untuk menerima pidana atas perbuatan yang dilakukan, maka dari rasa ketakutan tersebut menimbulkan dorongan kuat untuk memberikan keterangan yang tidak sesungguhnya, dimana dalam hal ini memang dapat diterima oleh nalar. Maka di sini benar-benar dituntut adanya psikologi yang benar-benar berperan dalam kasus-kasus semacam ini.29

3. Pengertian Penyadapan (Wiretapping)

Penyadapan memiliki banyak istilah, ada yang menyebut dengan

wire tapping dan ada juga yang menyebut dengan lawful interception.

Istilah lawful interception dipakai oleh Panca Pria Budi dalam artikelnya

29

Hendrastanto Yudowidagdo, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 257.

“Lawful interception, Penyadapan Secara Sah Menurut Hukum”. Penyadapan adalah salah satu perluasan alat bukti petunjuk yang khusus diberlakukan dalam penanganan korupsi. Penyadapan (wire tapping) adalah mendengarkan, merekam, mengubah, menghambat, dan atau

mencatat transmisi transaksi elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun nirkabel.30

a. Permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyebutkan tentang penyadapan, namun tidak disebutkan tentang pengertian penyadapan, yang disebutkan hanya pelanggaran penyadapan yaitu pada Pasal 40 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Namun dalam Pasal 42 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ada pengecualian terhadap keperluan proses peradilan pidana yaitu diperbolehkannya penyelenggaraan jasa telekomunikasi untuk merekam dan memberikan informasi yang diperlukan atas :

b. Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.

30

Pasal 43 UU No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi juga menyebutkan bahwa pemberian rekaman informasi oleh penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), tidak merupakan pelanggaran Pasal 40. Berdasarkan hal di atas maka pada penyadapan terdapat pengecualian dengan persyaratan untuk kepentingan proses peradilan pidana.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara implisit terhadap perluasan alat bukti petunjuk yang berupa alat bukti yang diperoleh melalui usaha penyadapan yaitu pada Pasal 26 A “alat bukti yang sah dalam petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana”, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data/informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa

tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Menurut Black Law Dictionary, wiretapping diartikan sebagai berikut :

Wiretapping, A from of electronic equesdropping, where, upon court order, enforcement officials surreptitiously, listen to phone calls.31

Penyadapan, adalah suatu bentuk dari cara menguping secara elektronik, dimana, berdasarkan perintah pengadilan, yang dilakukan secara rahasia dan resmi, dengan mendengarkan pembicaraan melalui telepon.32 Kamus tersebut juga mencantumkan wiretapping memiliki persamaan istilah dengan “eaves dropping”. Eaves dropping is knowingly and without

lawful authority.33

a. Entering into a private place intent to listen surreptitiously to private conversations or to observe the personal conduct of any other person or person therein or

b. Installing or using outside a privat place any device for hearing, recording, amplifying, or broadcasting sounds originating in such place, which sounds would not ordinarity be audible or comprehensible out side, without the consent of the person or person entitled to privacy therein or

31

Henry Campbell Black, M.A, 1996. Black’s Law Dictionary With Pronunciations, Abridged Fifth Edition, ST Paul, Minn, West Publishing Co, hal. 825

32

Terjemahan bebas oleh penulis

33

c. Installing or using any device or equipment for the interception of any telephone, telegraph, or other wire communication without the consent of the person in possession or control of the facilities for such wire communications such activities are regulated by state and federal statutes, and commonly require a court order

Eaves dropping adalah perbuatan yang dengan sengaja dan tanpa izin atau tanpa otoritas hukum :34

a. Masuk ke dalam wilayah privat seseorang untuk mendengar secara diam-diam pembicaraan yang pribadi atau untuk mengamati tingkah laku seseorang

b. Memasang alat untuk mendengar pembicaraan pribadi untuk mendengar, merekam, mengeraskan atau menyiarkan suara asli di beberapa tempat dengan suara yang biasanya tidak akan kedengaran atau diselidiki dari luar, tanpa sepengetahuan yang dipasang peralatan tersebut.

c. Memasang peralatan untuk menyadap telepon, telegram atau jaringan komunikasi kabel tanpa izin dari seseorang atau tanpa izin yang berotoritas dari penyedia layanan jaringan komunikasi kabel sebagaimana diatur dalam undang-undang dan peraturan pemerintah atau perintah pengadilan seperti biasanya.

Selain wiretapping, penyadapan juga menggunakan istilah lain yaitu Lawful interception. Lawful Interception (LI) is a service that is

legally authorized for monitoring or recording telephone calls in

34

accordance with a court order or authorization of legal bodies.35 Dalam kamus.net, intercept diartikan sebagai menahan, menangkap, mencegat atau memintas. Sedangkan di dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai to cut off from access or communication.36 Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyadap adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya.37

Pengertian lain dari Penyadapan secara sah yaitu Lawful Interception adalah suatu cara penyadapan dengan menempatkan posisi penyadap di dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi sedemikian rupa sehingga penyadapan memenuhi syarat tertentu yang dianggap sah secara hukum. Sementara itu, penyadapan menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, pada Pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “intersepsi atau penyadapan” adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.

35

Monitoring Architecture for Lawful Interception in VoIP Networks. http:/hal.

Archives.ouvertes.fr/docs/00/16/44/20/PDF/Monitoring Architecture for Lawful Interception in VoIP Netswork.pdf. Diakses tanggal 21 Desember 2009

36

Intercept. The Free Dictionary, 21 Desember 2009

37

Syarat-syarat dalam hal ini diatur secara yuridis oleh negara yang bersangkutan, sehingga dimungkinkan terdapat perbedaan aturan serta standar antara suatu negara dengan negara lainnya.38

Definisi interception menurut ETSI yang dikutip dari blog Panca

Lawful Interception merupakan kegiatan penyadapan yang sah menurut

hukum yang dilakukan oleh network operator/akses provider/service provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap sedia digunakan untuk kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum.39

Mengutip dari definisi Newport-Networks bahwa Lawful Interception (LI) is a requirement placed upon service providers to provide legally

sanctioned official access to private communications. With the existing Public Switched Telephone Network (PSTN), Lawful Interception is performed by applying a physical ‘tap’ on the telephone line of the target in response to a warrant from a Lau Enforcement Agency (LEA).40

Jika ditinjau dari keberadaan aturan Lawful Interception di Indonesia, negara kita telah mengeluarkan Peraturan Menkominfo Nomor 11/PER/M.KOMINFO/02/2006 tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi yang berisi pedoman-pedoman dalam melakukan penyadapan secara sah. Dari definisi sesuai peraturan tersebut disebutkan bahwa

38

Penyadapan Secara Sah untuk Telekomunikasi Bergerak Seluler (Lawful Interception for Cellular Telecommunication), http:/www.rizaazmi.net. Diakses tanggal 21 Desember 2009.

39

Lawful Interception, Penyadapan Secara Sah menurut Hukum,

40

Lawful Interception Overview, Netport-Network, 6 May 2009,

Penyadapan Informasi adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dengan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan pembicaraan atau komunikasi tersebut.

Dokumen terkait