• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amin, S.M, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Fuady, Munir, Teori Hukum Pembuktian (perdata dan pidana), Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2006.

Hamzah, Andi, Mohammad Taufik Makarao, dan Suhasril., Hukum Acara Pidana

dalam Teori dan Praktek, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.

Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, CV. Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996.

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta,

1993.

Hiariej, Eddy O.S, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2008.

Krisnawati, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.

Makarim, Edmon, Pengantar Hukum Telematika, Rajagrafindo Perkasa, Jakarta, 2005.

Makarso, M. Taufik dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988.

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974.

Prodjohamidjojo, Martiman, Komentar Atas KUHAP (Kitab Undang-undang

Hukum Acara Pidana), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990.

(2)

Soemitro, Ronitijo Hanitijo Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.

Yudowidagdo, Hendrastanto, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Artikel dan Jurnal

Hikmahanto Juwana, “Aspek Penting Pembentukan Hukum Teknologi Informasi di Indonesia”, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 16, November 2001.

Ridwan Khairandy, “Pembaharuan Hukum Kontrak Sebagai Antisipasi Transaksi Electronic Commerce”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16 November 2001.

Sitompul, Zulkarnaen, “Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang”, Artikel versi PDF, Jakarta: Oktober 2003.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2007 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Internet

Junaedi, Komisi Anti Korupsi di Negeri sarat Korupsi dan Birokrasi yang Serba

“Komisi Penyadapan Secara Sah Menurut Hukum,

(3)

BAB III

ANALISIS HUKUM MENGENAI HASIL PENYADAPAN OLEH

KPK SEBAGAI ALAT BUKTI DIHUBUNGKAN DENGAN

KUHAP DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11

TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN

TRANSAKSI ELEKTRONIK

Catatan : perhatikan judul bab ini sesuai dengan permasalahan

no 2 sdr,

A. Kekuatan Pembuktian Hasil Penyadapan Sebagai Alat Bukti Berdasarkan

Undang - undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui

penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum dan

pertimbangan. antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang - undang KPK mengatur

tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan oleh

Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini

guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya

dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya

penyadapan adalah telah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan hasil

pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walaupun KPK

secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan,

tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, dalam hal ini

harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan

penyadapan.

Hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK telah dijadikan sebagai

(4)

korupsi yang ditangani KPK, seperti kasus penyuapan oleh Artalyta dan jaksa

Urip Tri Gunawan, Mulyana Kusumah dan Al Amin Nasution.

Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang

mengatur tentang alat-alat bukti yang sah menurut hukum, barang-barang bukti,

sistem pembuktian yang dianut, syarat dan tata cara pembuktian yang dilakukan,

serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu

pembuktian. Sumber hukum pembuktian adalah undang-undang, doktrin dan

yurisprudensi. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) menjadi salah satu sumber

hukum dalam proses pembuktian.

Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang

pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang

dapat dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena

itu, hakim tidak dapat mempergunakan alat bukti yang bertentangan dengan

undang-undang. Kebenaran atas suatu putusan harus teruji dengan alat bukti yang

sah secara hukum serta memiliki kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap

alat bukti yang ditemukan.

Pada saat ini, Indonesia telah berada dalam teknologi elektronik yang

berbasis kepada lingkungan serba digital.50

50

Edmon Makarim., Pengantar Hukum Telematika, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2005, hal. 31.

Dengan perkembangan teknologi

(5)

modus operandi yang canggih sehingga dalam proses beracara diperlukan teknik

atau prosedur khusus untuk mengungkap suatu kejahatan.51

Penentuan mengenai cara bagaimana pengenaan pembuktian pidana dapat

dilaksanakan terhadap orang yang disangka melakukan perbuatan pidana diatur di

dalam hukum pidana formal atau KUHAP. Van Bemmelen menyatakan bahwa,

”Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh

negara, karena adanya dugaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana”.52

Pembuktian menurut KUHAP, menganut sistem pembuktian menurut

undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam

proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Melalui pembuktian tersebut ditentukan

nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan

oleh undang-undang tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan

kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan

terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP), maka terdakwa dinyatakan bersalah

dan kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hakim harus berhati-hati,

cermat, dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian,

serta meneliti sampai dimana batas minimum kekuatan pembuktian (bewijs kracht)

dari setiap alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP tersebut.

51

Krisnawati., Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hal. 3.

52

(6)

pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim

(conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara

positif (berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang).

Kedua sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim. Dimana kedua sistem

ini dikenal dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara

keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif.53

Perkembangan jasa-jasa di bidang Teknologi Informasi telah mengubah

perilaku dan peradaban manusia ke arah yang lebih modern hingga melewati batas

yurisdiksi suatu negara yang tidak terbatas, melalui pemanfaatan teknologi

informasi, media dan komunikasi. Sehingga sistem perundang-undangan juga

terkena dampak untuk direvisi sesuai dengan keadaan zamannya dan tingkat

kualitas kriminal. Sehingga dengan demikian, KUHAP harus dikecualikan

(lex specialist de rogat lex generalist).

Seiring dengan perkembangan jasa-jasa teknologi dan informasi yang

canggih, membawa efek terhadap sistem pengaturan hukum dewasa ini telah lahir

suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika

(Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik selanjutnya disebut UUITE, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999

tentang Telekomunikasi selanjutnya disebut UUT).

54

Istilah hukum telematika merupakan perwujudan dari konvergensi hukum

telekomunikasi, hukum media dan hukum informatika. Istilah lain yang juga

53

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hal. 278.

54

(7)

digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology),

hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah

tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem

komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global

(internet) dengan memanfaatkan Teknologi Informasi dengan berbasis sistem

komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual.

Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan

penyampaian informasi, komunikasi dan/atau transaksi secara elektronik,

khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum

yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.55

Dunia hukum sudah sejak lama memperluas penafsiran asas dan normanya

ketika menghadapi persoalan kebendaan yang tidak berwujud. Dalam kenyataan,

kegiatan siber tidak lagi sederhana karena kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh Sistem elektronik yang dimaksud peneliti, mencakup sistem komputer

dalam arti luas, yang tidak hanya mencakup perangkat keras dan perangkat

lunak komputer, tetapi juga mencakup jaringan telekomunikasi dan/atau sistem

komunikasi elektronik. Perangkat lunak atau program komputer merupakan

sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema,

ataupun bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca

dengan komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan

fungsi khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk persiapan dalam

merancang instruksi tersebut.

55

(8)

teritorial suatu negara, yang mudah diakses kapan pun dan dari mana pun.

Sehingga kerugian pun dapat terjadi baik pada pelaku transaksi maupun pada

orang lain yang tidak pernah melakukan transaksi, misalnya pencurian dana kartu

kredit melalui pembelanjaan di Internet. Oleh sebab itu, pembuktian merupakan

faktor yang sangat penting, mengingat informasi elektronik bukan saja belum

terakomodasi dalam sistem hukum acara Indonesia secara komprehensif,

melainkan juga ternyata sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan, dan

dikirim ke berbagai penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Dengan demikian,

dampak yang diakibatkannya bisa demikian kompleks dan rumit.56

Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena

transaksi elektronik untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik

(electronic commerce) telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan

internasional. Kenyataan ini menunjukkan bahwa konvergensi di bidang teknologi

informasi, media, dan informatika (telematika) berkembang terus tanpa dapat

dibendung, seiring dengan ditemukannya perkembangan baru di bidang teknologi

informasi, media, dan komunikasi.57

Sistem media elektronik, yang disebut juga ruang siber (cyber space),

meskipun bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan

hokum yang nyata. Secara yuridis kegiatan pada ruang siber tidak dapat didekati

dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional saja, sebab jika cara ini

yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan banyak hal yang lolos dari

56

Zulkarnaen Sitompul., “Pengaruh Perkembangan Telematika Terhadap Tindak Pidana Pencucian Uang”, Artikel versi PDF, Jakarta: Oktober 2003, hal. 4.

57

(9)

pemberlakuan hukum. Karena kegiatan dalam ruang siber adalah kegiatan virtual

yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik.

Sedangkan rekaman elektronik merupakan dokumen yang diperoleh dari

penggunaan media elektronik.58

Berdasarkan hal di atas, alat bukti petunjuk hanya dapat diambil dari

ketiga alat bukti di atas. Pada umumnya, alat bukti petunjuk baru diperlukan

apabila alat bukti lainnya belum mencukupi batas minimum pembuktian yang

diatur dalam pasal 183 KUHAP di atas. Dengan demikian, alat bukti petunjuk Hasil penyadapan yang telah dijadikan alat bukti oleh KPK dalam

pembuktian pada persidangan kasus-kasus korupsi di atas, didasari ketentuan yang

mengatur tentang alat bukti yang sah, yang selanjutnya akan menentukan

kekuatan hukum dari alat bukti tersebut. alat bukti yang digunakan hakim untuk

menjatuhkan putusan, harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang secara

limitatif telah diatur dalam pasal 184 KUHAP

Hasil penyadapan sebagai alat bukti oleh KPK dilandasi pemikiran adanya

penafsiran hukum secara ekstensif dengan cara memperluas definisi alat bukti

petunjuk sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP. Berbicara mengenai alat

bukti petunjuk, tidak terlepas dari ketentuan Pasal 188 (2) KUHAP yang

membatasi kewenangan hakim dalam memperoleh alat bukti petunjuk.

58

(10)

merupakan alat bukti yang bergantung pada alat bukti lainnya yakni alat bukti

saksi, surat dan keterangan terdakwa.

Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat

bukti lain, namun hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan

oleh petunjuk, sehingga hakim bebas untuk menilai dan mempergunakannya

dalam upaya pembuktian. Selain itu, petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri

sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, karena hakim tetap terikat pada batas

minimum pembuktian sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP. Hasil penyadapan

dapat dianggap sebagai petunjuk, karena dapat dikategorikan sebagai informasi

dan/atau dokumen elektronik yang merupakan perluasan dari alat bukti surat

sebagai bahan untuk dijadikan petunjuk bagi hakim dalam membuktikan suatu

perkara.

Berbicara mengenai hasil penyadapan terhadap proses komunikasi

beberapa tersangka kasus korupsi, tidak terlepas dari ketentuan mengenai alat

bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008

tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (Undang-Undang ITE). Pada Pasal 5

ayat (1) UU ITE disebutkan bahwa Informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan informasi

elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy,

(11)

diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya.

Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang

dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang

dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog,

digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan

dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki

arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Apabila ditelaah,

maka hasil penyadapan yang telah dilakukan oleh KPK merupakan bagian dari

informasi elektronik, sehingga hasil penyadapan merupakan salah satu alat bukti

yang sah secara hukum.

Sementara itu, Pasal 5 ayat (2) UU ITE juga menegaskan bahwa Informasi

elektronik dan/atau Dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana

dimaksud pada ayat 1 di atas merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai

dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Terlihat jelas bahwa hasil

penyadapan merupakan salah satu bagian dari informasi elektronik yang dapat

dianggap sebagai alat bukti yang sah secara hukum, dan merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari ketentuan mengenai alat bukti dan pembuktian sebagaimana

(12)

(KUHAP). Dengan demikian, hasil penyadapan memiliki kekuatan pembuktian

sebagai salah satu alat bukti khususnya dalam kasus korupsi.

Berdasarkan hal di atas, hasil penyadapan sebagai salah satu alat bukti

yang memiliki kekuatan hukum dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim

dalam memutus perkara khususnya dalam perkara korupsi ini. Sesuai dengan

sistem pembuktian yang dianut oleh KUHAP yaitu sistem pembuktian

menurut undang-undang secara negatif, yang merupakan perpaduan antara sistem

pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian

menurut keyakinan atau Conviction in time theory, sejalan dengan ketentuan

Pasal 183 KUHAP yang menegaskan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan

pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi

dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

B. Tindakan Penyadapan oleh KPK Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui

penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum dan

pertimbangan. antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang KPK mengatur

tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan

oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini

guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya

(13)

penyadapan adalah telah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan

hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walaupun KPK

secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan,

tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, dalam hal ini

harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan

penyadapan.

Pro dan kontra atas kewenangan KPK pun telah sering diperdebatkan,

walaupun pada akhirnya sampai pada simpulan bahwa terhadap kasus korupsi

selain penyidik polisi dan jaksa, diakui pula berdasarkan undang-undang di atas

adanya KPK yang bertindak sebagai penyidik, seperti terkandung dalam Pasal 6

huruf c Undang-Undang KPK. Pada proses penyidikan terhadap kasus korupsi

oleh KPK ini, juga harus tetap mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku di

Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).

Pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang dilarang

dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau

penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam suatu

komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan

Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi

unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat

(14)

mendasarkan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 Tentang KPK

menyebutkan bahwa dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan,

KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini

menegaskan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam tiga tahap proses

pro justisia pada perkara luar biasa (extra ordinary cases), termasuk tindak pidana

korupsi dan tindak pidana penyuapan.

Berdasarkan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi ditegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan

penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi

dalam bentuk apapun, termasuk dalam hal ini KPK yang telah melakukan

tindakan penyadapan terhadap komunikasi sejumlah tersangka dalam kasus

korupsi seperti penyadapan yang dilakukan KPK terhadap Tersangka bernama

Artalyta, Mulyana Kusumah dan Al Amin Nasution. Tindakan penyadapan seperti

itu dianggap melanggar hak pribadi seseorang, hal ini didasari adanya ketentuan

Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1)

yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas penghormatan terhadap

kehidupan pribadi atau keluarganya, rumah tangganya dan surat-menyuratnya.

Selanjutnya pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik

Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang

atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau

korespondensinya. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan

bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib tunduk

(15)

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menegaskan

hal yang sama.

Di samping itu tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK ini

dianggap sebagian pihak sebagai upaya yang terkesan dipaksakan karena KPK

tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SP3 dalam perkara korupsi,

sebagaimana telah diatur dalam pasal 40 Undang-Undang KPK, sehingga KPK

harus berusaha agar semua kasus korupsi yang ditanganinya dapat berlanjut

sampai ke persidangan, oleh karena itu harus ada alat bukti yang mendukungnya,

dalam hal ini hasil penyadapan yang telah dilakukan oleh KPK atas

telekomunikasi dari para Tersangka kasus korupsi merupakan bagian dari upaya

KPK untuk melengkapi alat bukti tersebut.

Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi menegaskan bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana,

penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim

dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan

informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu

sesuai dengan undang-undang yang berlaku, termasuk tindakan penyadapan yang

telah dilakukan KPK sebagai salah satu lembaga independen yang memiliki

kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas

kasus korupsi di Indonesia sebagaimana diatur oleh Undang-Undang Nomor 30

tahun 2002 Tentang KPK. Tindakan penyadapan yang telah dilakukan KPK

terhadap beberapa tersangka kasus korupsi seperti Artalyta, Mulyana Kusumah

(16)

Undang-Undang Telekomunikasi seperti telah ditegaskan dalam Pasal 42 ayat 2

huruf b Undang-Undang Telekomunikasi termaksud. Tindakan KPK dalam

melakukan penyadapan terhadap tersangka kasus korupsi ini, adalah bagian

kewenangan KPK dalam penanganan kasus korupsi sebagaimana diamanatkan

dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang KPK, sebagai bagian dari rangkaian

tindakan KPK dalam proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah menerima permohonan uji

materil terhadap Pasal 12 ayat 1 huruf a dan Pasal 40 Undang-Undang KPK

di atas yang diajukan oleh para mantan anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan

Penyelenggara Negara (KPKPN) pada 2003. Menurut Pasal 60 Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak dapat lagi menguji pasal suatu

undang-undang yang pernah dimohonkan dan ditolak. Mahkamah Konstitusi telah

mengeluarkan putusan No. 006/PUUI/ 2003 tentang pengujian konstitusionalitas

Undang-Undang KPK, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

hak-hak yang terdapat dalam Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 D Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak

dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 I

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian

hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam

ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28J ayat (2). Pembatasan itu diperlukan

sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi yang merupakan kejahatan

luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas

(17)

paling sedikit Rp. 1.000.000.000,(satu milyar rupiah) sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 11 huruf C juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK.

Namun demikian, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan

dalam penyadapan dan perekaman, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu

ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan

dan perekaman dimaksud.

Tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK walaupun telah

dianggap tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta peraturan

perundang-undangan lainnya, namun sebagaimana dikemukakan oleh Mahkamah

Konstitusi, harus tetap mengikuti tata cara yang ditetapkan lebih lanjut agar tidak

merugikan proses telekomunikasi pada umumnya dan pengguna telekomunikasi

tersebut. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor :

11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan, ada beberapa hal

yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan penyadapan termasuk oleh

KPK untuk kepentingan penyidikan kasus korupsi, antara lain :

1. KPK harus mengirim identifikasi sasaran kepada penyelenggara

telekomunikasi baik secara elektronis maupun non elektronis;

2. Penyadapan terhadap telekomunikasi harus dilakukan oleh KPK

sesuai dengan Standar Operasional Prosedur penyadapan yang telah

ditentukan dengan tidak mengganggu kelancaran telekomunikasi dan

pengguna telekomunikasi serta harus dilaporkan oleh KPK kepada

(18)

3. Penyelenggara telekomunikasi wajib membantu KPK dalam

melakukan penyadapan secara sah menurut hukum dengan

mempersiapkan kapasitas paling banyak 2% dari yang terdaftar

dalam Home Location Register (HLR) untuk seluler dan paling

banyak 2% dari kapasitas terpasang untuk setiap sentral lokal Public

Switch Telepone Network (PSTN).

4. Untuk menjamin transparansi dan independensi dalam penyadapan,

maka dibentuk tim pengawas terdiri dari direktorat jenderal pos dan

telekomunikasi, KPK dan penyelenggara telekomunikasi yang

bersangkutan, dengan tugas dan kewenangan sesuai surat perintah

yang dibawa KPK.

5. Informasi yang diperoleh dari penyadapan bersifat rahasia, sehingga

tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan atau disebarluaskan

dengan cara apapun, kecuali oleh KPK sesuai ketentuan hukum yang

berlaku dalam upaya mengungkap suatu tindak pidana, dalam hal ini

tindak pidana korupsi.

6. Biaya atas alat dan/atau perangkat penyadapan informasi ditanggung

oleh KPK, sedangkan biaya atas kapasistas rekaman berupa HLR dan

(19)

Dengan demikian tindakan penyadapan yang dilakukan oleh KPK tersebut

diharapkan tidak merugikan pengguna telekomunikasi lainnya.

C. Kasus-Kasus Terkait Tindakan Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Ada beberapa kasus yang terjadi terkait tindakan penyadapan oleh

KPK sebagai salah satu upaya memberantas dan menangani korupsi di Indonesia,

antara lain kasus Artalyta Suryani yang menjadi Tersangka pada tindak pidana

percobaan penyuapan terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan

Syamsul Nursalim sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional

Indonesia, dengan cara meminta dikeluarkannya Surat Penghentian Penyelidikan

Perkara (SP3) dan memang Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 tersebut,

dalam hal ini KPK dapat mengungkap percobaan penyuapan itu dengan adanya

bukti percakapan antara Artalyta Suryani dengan pejabat Kejaksaan Agung

melalui telepon yang berhasil disadap oleh KPK, sehingga Artalyta dan Jaksa

Urip Tri Gunawan dapat segera ditangkap. Sebelum berbicara mengenai hasil

penyadapan sebagai alat bukti, tentu saja harus dilihat sampai sejauh mana

kewenangan KPK dapat melakukan penyadapan terhadap percakapan seseorang

secara pribadi melalui fasilitas komunikasi ini, karena keabsahan kewenangan

KPK ini menentukan pula keabsahan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti.

Berdasarkan proses persidangan dengan terdakwa Artalyta di Pengadilan Tipikor

12 Juni 2008, terungkap sejumlah dialog terpisah antara Artalyta dengan

tiga pejabat Kejaksaan Agung. Mereka adalah Jaksa Urip, mantan Jampidsus

Kemas Yahya Rahman, dan Jamdatun Untung Udji.

Di samping kasus tersebut terdapat pula kasus lain yang ditangani KPK

(20)

antara lain kasus Mulyana W. Kusumah yang saat itu diduga terlibat dalam

tindakan penyuapan terhadap petugas Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),

yang mendapat tugas audit investigasi dari KPK pada tanggal 9 April 2005.

Terpidana kasus penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan

(BPK), Mulyana W Kusumah tersebut, telah meminta agar kewenangan Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan penyadapan dibatalkan.

Mulyana yang diwakili oleh kuasa hukumnya, Sirra Prayuna, dalam sidang

panel pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta,

Kamis, meminta agar Pasal 12 ayat 1 huruf a UU No 30 Tahun 2002 tentang

Kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan Pasal 28 G UUD 1945.

Mulyana juga minta agar Pasal 40 UU KPK yang menyatakan KPK tidak

berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta

Pasal 6 huruf c tentang Kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi dibatalkan. Sirra menyatakan dengan

adanya aktivitas penyadapan, perekaman dan pencatatan pembicaraan tanpa

setahu dan seijin pelakunya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan

karena tidak leluasa untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi. Selain itu,

KPK dalam melakukan penyidikan kasus Mulyana dianggap telah melakukan

serangkaian penjebakan dan mengarahkan Mulyana untuk melakukan penyuapan,

yang semua itu direkam dan disadap. Mulyana juga menganggap kewenangan

KPK untuk tidak mengeluarkan SP3 dan melakukan penyelidikan, penyidikan

(21)

hukum. Mulyana menganggap KPK akan cenderung memaksakan penuntutan

suatu perkara meski tanpa alat bukti yang cukup dengan tidak adanya kewenangan

KPK untuk mengeluarkan SP3. Mahkamah Konstitusi sebelumnya telah

menerima permohonan uji materil terhadap Pasal 12 ayat 1 huruf a dan Pasal 40

Undang-Undang KPK yang diajukan oleh para mantan anggota Komisi Pemeriksa

Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) pada 2003. Menurut Pasal 60

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi tidak dapat lagi

menguji pasal suatu Undang-Undang yang pernah dimohonkan dan ditolak.

Akhirnya Mulyana divonis 2 tahun 7 bulan oleh Pengadilan Tindak

Pidana Korupsi untuk kasus penyuapan. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Mulyana Wira Kusuma menyatakan pengajuan uji materiil Undang-Undang

No.30 tahun 2002 tentang KPK kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tidak terkait

dengan persidangan kasus korupsi yang tengah dijalaninya. Pengajuan uji materiil

undang-undang tersebut terhadap UUD 1945 semata-mata untuk meluruskan

perjuangan pemberantasan korupsi agar pelaksanaannya sesuai dengan konstitusi.

Mulyana juga minta agar Pasal 40 Undang-Undang KPK yang menyatakan KPK

tidak berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

serta Pasal 6 huruf c tentang Kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan perkara korupsi dibatalkan. Sirra sebagai kuasa

hukum Mulyana menyatakan bahwa dengan adanya aktivitas penyadapan,

perekaman dan pencatatan pembicaraan tanpa sepengetahuan dan seijin

pelakunya, pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan karena tidak leluasa

(22)

melakukan penyidikan kasus Mulyana telah melakukan serangkaian penjebakan

dan mengarahkan Mulyana untuk melakukan penyuapan, yang semua itu direkam

dan disadap.

Sementara itu, kasus Al Amin Nasution sebagai anggota Komisi IV DPR RI yang

terlibat kasus alih fungsi hutang lindung di Pulau Bintan, yang terhadapnya telah

dilakukan penyadapan oleh KPK, sehingga akhirnya kasus Al Amin Nasution ini

(23)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan

sebagai berikut :

1. KPK yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan atas

kasus korupsi di Indonesia, dalam perkembangannya KPK telah

berhasil mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia. Salah satu

tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah melalui

penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar

hukum dan pertimbangan. antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang

KPK mengatur tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan

yang boleh dilakukan oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan.

2. Rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai kekuatan

pembuktian berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana, karena hasil penyadapan tersebut

merupakan bagian dari informasi elektronik, sehingga hasil

penyadapan merupakan salah satu alat bukti yang sah secara hukum

sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang ITE,

selain itu disebutkan pula dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang ITE

(24)

sah secara hukum sebagai alat bukti merupakan perluasan dari

ketentuan alat bukti sesuai hukum acara yang berlaku, dalam hal ini

Pasal 184 KUHAP, khususnya sebagai alat bukti petunjuk, sehingga

hasil penyadapan yang dilakukan oleh KPK memiliki kekuatan

pembuktian menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) termaksud.

B. Saran

1. Perlu peninjauan kembali terhadap kewenangan KPK melakukan

penyadapan agar penggunaan dan penerapannya tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan, khususnya dengan peraturan yang

berkaitan dengan hak asasi manusia.

2. Perlu segera dikeluarkan peraturan pelaksana Undang-undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 5

(25)

BAB II

ASPEK HUKUM TENTANG PENYADAPAN SEBAGAI

ALAT BUKTI DALAM PERADILAN KASUS KORUPSI

A. Aspek Hukum Tindakan Penyadapan

Tindak Pidana korupsi saat ini merupakan salah satu kejahatan yang

menjadi sorotan utama di Indonesia. Berbagai peraturan dan tindakan hukum

dilakukan untuk mencegah dan mengatasi tindak pidana korupsi tersebut.

Munculnya lembaga independen yang berkonsentrasi dalam memberantas tindak

pidana korupsi menjadi satu tanda bahwa pemerintah telah melakukan suatu

tindakan nyata untuk memberantas korupsi termaksud. Upaya pemberantasan

korupsi sebagai salah satu kejahatan yang merugikan keuangan dan perekonomian

negara ini tentu saja memerlukan metode penegakan hukum yang luar biasa,.

Oleh karena itu, telah dibentuk badan khusus yang kemudian dikenal dengan

nama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bersifat mandiri, independen

dan bebas dari kekuasaan manapun dalam melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi ini, yang pelaksanaannya harus dilakukan secara optimal, intensif,

efektif, profesional serta berkesinambungan.

Pencegahan atau upaya preventif terhadap kejahatan merupakan bagian

dari politik kriminal, sebagai keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar

dan reaksi terhadap pelanggaran hukum45

45

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hal. 113.

. Oleh karena itu sangatlah penting

(26)

kejahatan46

Setiap tindakan yang dibuat oleh penyidik harus memiliki dasar hukum

dan pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan, begitu pula dengan KPK

yang memiliki kewenangan tertentu dalam menangani kasus-kasus korupsi di

Indonesia. Salah satu tindakan KPK dalam menyidik kasus korupsi adalah

melalui penyadapan. Tindakan penyadapan, mempunyai beberapa dasar hukum

dan pertimbangan, antara lain Pasal 12 huruf (a) Undang-Undang KPK mengatur

tindakan penyadapan sebagai bagian dari tindakan yang boleh dilakukan

oleh Tim KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Secara legalitas formal, KPK sangat berwenang untuk melakukan tindakan ini

guna melakukan pengawasan, menemukan bukti dan membuktikan adanya

dugaan korupsi dan menuntutnya ke pengadilan. Pertimbangan lain dilakukannya

penyadapan adalah telah adanya dugaan kuat yang diperoleh dari laporan

hasil pengawasan (indikasi) dan bukti permulaan yang cukup, walaupun KPK

secara legalitas formal mempunyai wewenang untuk melakukan penyadapan,

tidak berarti KPK dapat sewenang-wenang dalam penggunaannya, dalam hal ini . Saat ini, telah ada sebuah lembaga independen yang dibuat

berdasarkan undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(selanjutnya disebut KPK), yang dilandasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut

Undang-Undang KPK). KPK, dalam perkembangannya telah berhasil mengungkap

beberapa kasus korupsi di Indonesia.

46

J.E. Sahetapi, Kejahatan Korporasi, Refika Aditama, Bandung, 1993, hal. 12.

(27)

harus terdapat prosedur yang dapat dipertanggungjawabkan sebelum melakukan

penyadapan.

Pro dan kontra atas kewenangan KPK pun telah sering diperdebatkan,

walaupun pada akhirnya sampai pada simpulan bahwa terhadap kasus korupsi

selain penyidik polisi dan jaksa, diakui pula berdasarkan undang-undang di atas

adanya KPK yang bertindak sebagai penyidik. Pada proses penyidikan terhadap

kasus korupsi oleh KPK ini, juga harus tetap mengacu pada hukum acara pidana

yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP). Sebelum adanya

penyidikan, tentu saja KPK pun harus mengumpulkan bukti-bukti permulaan

yang kuat bahwa kasus yang dihadapi benar-benar merupakan kasus korupsi,

oleh karenanya KPK tidak diberi kewenangan untuk mengeluarkan Surat Penghentian

Penyelidikan Perkara (SP3). Ada berbagai cara yang telah dilakukan KPK untuk

mendapatkan bukti atas suatu kasus korupsi ini, antara lain melalui tindakan

penyadapan telepon/komunikasi yang mana hasil penyadapan tersebut dijadikan

bukti pada peradilan pidana kasus korupsi itu.

Menurut Penjelasan UU ITE, Pasal 31 disebutkan bahwa :

“Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat dan/atau mencatat transmisi informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, yang dimaksud dengan informasi

elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak

(28)

interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy,

atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah

diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu

memahaminya. Sementara itu, Pasal 1 angka 4 UU ITE menyebutkan, bahwa yang

dimaksud dengan dokumen elektronik adalah setiap informasi elektronik yang

dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog,

digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan

dan/atau didengan melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak

terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,

tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki

arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Selain itu, yang dimaksud dengan sistem elektronik menurut pasal 1

angka 5 adalah serangkaian perangkat atau prosedur elektronik yang

berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,

menampilkan, mengumumkan, mengirimkanda/atau menyebarkan informasi

elektronik. Dengan demikian, tindakan penyadapan yang dilakukan telah oleh

KPK, seperti pada penyadapan percakapan Artalyta dengan pejabat Kejaksaan

Agung merupakan tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan

Pasal 31 UU ITE di atas.

Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 7 Peraturan Menteri Komunikasi

dan Informatika Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis

Penyadapan Terhadap Informasi, yang dimaksud dengan penyadapan informasi

adalah mendengarkan, mencatat, atau merekam suatu pembicaraan yang dilakukan

(29)

pada jaringan telekomunikasi tanpa sepengetahuan orang yang melakukan

pembicaraan atau komunikasi tersebut.

KPK dalam kinerjanya telah menggunakan hasil penyadapan tersebut

sebagai alat bukti pada peradilan pidana khususnya tindak pidana korupsi yang

juga tidak menutup kemungkinan terdapat tindak pidana lainnya seperti tindak

pidana penyuapan sebagaimana telah terjadi pada kasus Artalyta. Ada yang

berpendapat bahwa interception atau penyadapan yang dilakukan oleh KPK

tersebut telah melanggar hak privasi individu sebagai bagian dari hak asasi

manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang. Pendapat

tersebut didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958 Tentang

Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak

atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumahtangganya

dan surat-menyuratnya. Selanjutnya pasal 17 Kovenan Internasional Tentang

Hak Sipil dan Politik Tahun 1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun

dapat sewenang-wenang atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi,

keluarga, rumah atau korespondensinya. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945 menegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang

wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang, begitu pula

dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia menegaskan hal yang sama. Berkaitan dengan Pasal 12 ayat (1) huruf a

Undang-Undang KPK tentang kewenangan KPK untuk melakukan penyadapan

dan perekaman pembicaraan, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan putusan

(30)

dalam hal ini Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hak-hak yang terdapat

dalam Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 I

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian

hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam

ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28J ayat (2). Pembatasan itu diperlukan

sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi yang merupakan kejahatan

luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas

kepada mereka yang diduga terlibat korupsi yang menyangkut kerugian negara

paling sedikit Rp. 1.000.000.0000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 11 huruf C juncto Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK.

Namun demikian, untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan

dalam penyadapan dan perekaman, Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu

ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan

dan perekaman dimaksud.

Kewenangan penyadapan yang diberikan kepada KPK sama sekali tidak

berhubungan dengan pengurangan hak warga negara untuk mendapatkan rasa

aman. Prinsipnya, penyadapan diperbolehkan sebagai bagian dari tindakan

penyidikan yang dilakukan oleh aparat penyidik. terhadap suatu tindak pidana.

Belum adanya aturan yang jelas bukan berarti Pasal 12 ayat (1) huruf a UU KPK

menjadi bertentangan dengan konstitusi, karena persoalan sesungguhnya

(31)

Apalagi KPK telah membuat aturan internal yang berkaitan dengan penyadapan

dan perekaman.

Penyadapan dan perekaman dilakukan untuk menemukan bukti dalam

rangka membuat terang suatu peristiwa pidana atau bewijsvoering dalam hukum

pembuktian. Secara harafiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana

menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bagi negara-negara

yang cenderung menggunakan due process model dalam sistem peradilan pidana,

bewijsvoering ini cukup mendapatkan perhatian47. Pada due process model, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi manusia (hak-hak tersangka),

sehingga seringkali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan karena alat

bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut dengan istilah

unlawful legal evidence48

47

Due Process Model oleh Herbert L. Packer seperti yang telah diutarakan di atas

dapatlah dikatakan mendominasi sistem peradilan pidana di Amerika. Bahkan pada suatu titik yang paling ekstrim, ketika seorang polisi menangkap tersangka dan ia lupa membacakan hak-hak tersangka yang dikenal dengan istilah Miranda Warning, memberi konsekuensi tersangka dapat dilepaskan.

48

Eddy O.S Hiariej, Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6 November 2008, hal.37

Catatan : dari buku mana sdr kutip

. Bewijsvoering lebih menitikberatkan pada hal-hal yang

bersifat formilistis sehingga mengesampingkan kebenaran dan fakta yang ada.

Berbeda dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun tidak

sepenuhnya, namun paling tidak didominasi oleh crime control model dalam

beracara, dalam hal ini teknis penyelidikan dan penyidikan dalam rangka

menemukan tersangka dan barang serta alat bukti dapat menyimpang ketentuan

umum yang diatur oleh KUHAP selama ada undang-undang khusus yang

(32)

penyidikan secara khusus seperti penyadapan dan perekaman pembicaraan dapat

dibenarkan, sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai unlawful legal

evidence karena sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Selain itu, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang

Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan

penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi

dalam bentuk apapun, kecuali untuk kepentingan proses peradilan pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36

tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa untuk keperluan

proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam

informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi

serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik

untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Selanjutnya pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31

ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang

dilarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi

atau penyadapan atas informasi elektronik dan atau dokumen elektronik dalam

suatu komputer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan

berdasarkan Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang

memenuhi unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang

berpendapat bahwa penyad`apan merupakan tindakan yang sah secara hukum,

dengan mendasarkan pada Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002

(33)

penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.

Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan dapat dilakukan dalam tiga tahap

proses pro justisia pada perkara luar biasa (extra ordinary cases), termasuk tindak

pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan.

B. Mekanisme Penyadapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Tindakan penyadapan dapat dilakukan dengan mengacu pada dua standar

internasional yaitu :49

1. European Telecommunications Standards Institute (ETSI), berasal dari Perancis yang telah diakui dunia internasional.

2. Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea),

berasal dari Amerika.

Interception menurut ETSI merupakan kegiatan penyadapan yang sah

menurut hukum yang dilakukan oleh network operator/akses provider/service

provider (NWP/AP/SvP) agar informasi yang ada selalu siap digunakan untuk

kepentingan fasilitas kontrol pelaksanaan hukum.

Sementara itu, Di Eropa maupun Amerika, persyaratan terperinci dalam

pelaksanaan penyadapan berbeda antar satu yuridiksi dengan yuridiksi lainnya,

tetapi dalam pelaksanaan penyadapan itu terdapat satu persyaratan umum yang

sama, bahwa sistem penyadapan yang disediakan harus melaksanakan

pemotongan pada prosesnya dan pokok materi harus tidak sadar atau tidak

terpengaruh selama aksi pemotongan ini.

49

(34)

Teknik yang digunakan dalam implementasi penyadapan ini adalah

penyadapan aktif dan penyadapan semi aktif. Penyadapan aktif yaitu penyadapan

yang dilakukan secara langsung, sedangkan penyadapan semi aktif serta

penyadapan pasif adalah penyadapan yang dilakukan secara tidak langsung.

Namun demikian, secara teknis kebanyakan penyadapan yang dilakukan adalah

dengan mengimplementasikan penggabungan teknis aktif dan pasif. Di Indonesia,

penyadapan ini dilakukan sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan

Informasi Nomor : 11/PERM.KOMINFO/02/2006. Tanggal 22 Februari 2006

Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Begitu pula dengan KPK,

pada prakteknya, melakukan penyadapan berdasarkan pada mekanisme yang telah

ditentukan, antara lain dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi

Nomor 11 Tahun 2006 di atas.

Pada dasarnya, tindakan penyadapan yang dilakukan KPK didasarkan pada

asas kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri

Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang

Teknis Penyadapan Terhadap Informasi. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 3

Peraturan menteri Komunikasi dan Informasi Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/

2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap Informasi, dikatakan bahwa

penyadapan terhadap informasi dianggap (lawful interception) apabila

dilaksanakan untuk keperluan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan peradilan

terhadap suatu peristiwa tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi yang

(35)

Undang-Undang KPK, melalui alat dan/atau perangkat penyadapan informasi.

Alat dan/atau perangkat tersebut meliputi penyadap antar muka (interface)

penyadapan, pusat pemantauan (monitoring centre) dan sarana serta prasarana

transmisi penghubung (link transmission).

Konfigurasi teknis alat dan/atau perangkat penyadapan di atas harus sesuai

dengan standar internasional, dalam hal ini European Telecommunications

Standards Institute (ETSI) dan Communications Assistance for Law Enforcement Act (Calea). Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi Nomor :

11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan, ada beberapa hal

yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan penyadapan termasuk oleh

KPK untuk kepentingan penyidikan kasus korupsi, antara lain :

1. KPK harus mengirim identifikasi sasaran kepada penyelenggara

telekomunikasi baik secara elektronis maupun non elektronis;

2. Penyadapan terhadap telekomunikasi harus dilakukan oleh KPK

sesuai dengan Standar Operasional Prosedur penyadapan yang telah

ditentukan dengan tidak mengganggu kelancaran telekomunikasi dan

pengguna telekomunikasi serta harus dilaporkan oleh KPK kepada

Direktorat Jenderal Pos dan telekomunikasi.

3. Penyelenggara telekomunikasi wajib membantu KPK dalam

melakukan penyadapan secara sah menurut hukum dengan

mempersiapkan kapasitas paling banyak 2% dari yang terdaftar

dalam Home Location Register (HLR) untuk seluler dan paling

banyak 2% dari kapasitas terpasang untuk setiap sentral lokal Public

(36)

4. Untuk menjamin transparansi dan independensi dalam penyadapan,

maka dibentuk tim pengawas terdiri dari direktorat jenderal pos dan

telekomunikasi, KPK dan penyelenggara telekomunikasi yang

bersangkutan, dengan tugas dan kewenangan sesuai surat perintah

yang dibawa KPK.

5. Informasi yang diperoleh dari penyadapan bersifat rahasia,

sehingga tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan atau

disebarluaskan dengan cara apapun, kecuali oleh KPK sesuai

ketentuan hukum yang berlaku dalam upaya mengungkap suatu

tindak pidana, dalam hal ini tindak pidana korupsi.

6. Biaya atas alat dan/atau perangkat penyadapan informasi ditanggung

oleh KPK, sedangkan biaya atas kapasistas rekaman berupa HLR dan

PSTN ditanggung oleh penyelenggara telekomunikasi.

Demikian mekanisme penyadapan yang dilakukan oleh KPK dalam

mengungkap kasus korupsi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 12 huruf a

Undang-Undang KPK serta Peraturan menteri Komunikasi dan Informasi

Nomor: 11/PERM.KOMINFO/02/2006 Tentang Teknis Penyadapan Terhadap

Informasi.

Catan : pada Bab ini sdr menguraikan aspek hukum penyadapan untuk

dijadikan bukti dan mekanisme penyadapan, sedangkan permasalahan pertama sdr

tentang kewenangan KPK, oleh sesbab itu coba sdr lihat kembali apakah dapat

(37)

HASIL PENYADAPAN KPK SEBAGAI ALAT BUKTI

DALAM PERSPEKTIF KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM ACARA PIDANA DAN UNDANG-UNDANG

NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI

DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pesatnya perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi telah

melahirkan beragam jasa dengan berbagai fasilitasnya di bidang telekomunikasi,

seiring dengan kecanggihan produk-produk teknologi informasi sehingga mampu

mengintegrasikan semua media informasi. Munculnya internet yang mengiringi

globalisasi komunikasi (global communication network) telah membuat dunia

menjadi tanpa batas (borderless) serta menyebabkan perubahan sosial, budaya,

ekonomi dan pola penegakan hukum yang secara signifikan berlangsung cepat.

Namun demikian, kondisi di Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang

menuju masyarakat industri yang berbasis teknologi informasi, dalam beberapa

hal masih tertinggal. Hal ini disebabkan karena masih relatif rendahnya sumber

daya manusia di Indonesia dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi

(38)

Perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi saat ini telah

memberikan manfaat bagi masyarakat di dunia, antara lain memberi kemudahan

dalam berinteraksi tanpa harus berhadapan secara langsung satu sama lain.

Kenyataan lain saat ini, perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi

sering kali disalahgunakan oleh masyarakat, termasuk di Indonesia untuk

atau menimbulkan suatu perbuatan yang melawan hukum. Oleh karena itu,

diperlukan regulasi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi yang

dapat menindaklanjuti semua permasalahan hukum yang timbul akibat

penyalahgunaan teknologi informasi dan telekomunikasi di atas. Saat ini telah

ada beberapa regulasi dalam hukum positif Indonesia di bidang tersebut,

diantaranya Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik. Namun demikian, masih saja muncul kendala dalam penerapannya,

karena terkadang antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya tidak

sejalan atau saling bertentangan, sehingga banyak menimbulkan tafsir hukum

yang berbeda-beda dari para penegak hukum di Indonesia.

Penyalahgunaan kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi ini

telah muncul dalam berbagai bidang kehidupan, baik dalam transaksi secara

elektronik (e-commerce) maupun tindak pidana yang dilakukan di dunia maya

(cybercrime), tidak terkecuali dalam proses pemberantasan korupsi di Indonesia.

(39)

korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crimes)1. Selain itu, korupsi juga telah merugikan keuangan negara dan berdasarkan hasil penelitian,

Bank Dunia menyatakan bahwa kebocoran dana pembangunan mencapai 45%.2

Ada beberapa kasus yang mengindikasikan penyalahgunaan fasilitas

komunikasi tersebut yang berhasil disadap oleh KPK, antara lain kasus

Artalyta Suryani sebagai Tersangka pada tindak pidana percobaan penyuapan

terhadap Jaksa Urip Tri Gunawan dalam rangka meloloskan Syamsul Nursalim Pesatnya fasilitas telekomunikasi di Indonesia selain memberi manfaat bagi

masyarakat namun juga banyak terjadi penyalahgunaan yang menimbulkan

kejahatan baru.

Kemudahan yang diberikan dalam berkomunikasi telah menimbulkan

realitas bahwa banyak pihak yang menyalahgunakan kesempatan termaksud

untuk melakukan perbuatan melawan hukum melalui fasilitas komunikasi ini.

Saat ini, telah ada sebuah lembaga independen yang dibuat berdasarkan

undang-undang, yakni Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(selanjutnya disebut KPK), yang dilandasi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002

Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada perkembangannya,

KPK telah mampu mengungkap beberapa kasus korupsi di Indonesia,

dengan berbagai alat bukti termasuk alat bukti berupa hasil penyadapan

komunikasi dari para pelakunya yang telah menyalahgunakan fasilitas komunikasi

ini untuk melakukan kejahatan.

2

(40)

sebagai Tersangka pada kasus BLBI Bank Dagang Nasional Indonesia,

dengan cara meminta dikeluarkannya Surat Penghentian Penyelidikan Perkara

(SP3) dan memang Kejaksaan Agung mengeluarkan SP3 tersebut, dalam hal ini

KPK dapat mengungkap percobaan penyuapan itu dengan adanya bukti

percakapan antara Artalyta Suryani dengan pejabat Kejaksaan Agung

melalui telepon yang berhasil disadap oleh KPK, sehingga Artalyta dan Jaksa

Urip Tri Gunawan dapat segera ditangkap. Sebelum berbicara mengenai hasil

penyadapan sebagai alat bukti, tentu saja harus dilihat sampai sejauh mana

kewenangan KPK dapat melakukan penyadapan terhadap percakapan seseorang

secara pribadi melalui fasilitas komunikasi ini, karena keabsahan kewenangan

KPK ini menentukan pula keabsahan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti.

Beberapa pihak berpendapat bahwa interception atau penyadapan yang

dilakukan oleh KPK tersebut telah melanggar hak privacy individu sebagai bagian

dari hak asasi manusia, karena KPK telah masuk pada wilayah pribadi seseorang.

Pendapat tersebut didasari adanya ketentuan Konvensi Eropa Tahun 1958

tentang Perlindungan HAM, Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap

orang berhak atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya,

rumah tangganya dan surat-menyuratnya. Catatan: Sumbernya cantumkan

Selanjutnya Kovenan Internasional Tentang hak Sipil dan Politik Tahun

1966, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat sewenang-wenang

atau secara tidak sah mencampuri masalah pribadi, keluarga, rumah atau

korespondensinya.3

3

Pasal 17 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966.

(41)

Dasar 1945 ditegaskan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya,

setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang,

begitu pula dalam Pasal 73 Undang-Undang Hak Asasi Manusia menegaskan hal

yang sama. Selain itu, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang

Telekomunikasi menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan tindakan

penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi

dalam bentuk apapun, kecuali untuk kepentingan proses peradilan pidana

sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 36

tahun 1999 Tentang Telekomunikasi yang menyatakan bahwa untuk keperluan

proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam

informasi yang dikirim dan/atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi

serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan penyidik

untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Selanjutnya pada Bab VII mengenai perbuatan yang dilarang, Pasal 31

ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik (selanjutnya disebut UU ITE) menegaskan bahwa setiap orang dilarang

dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau

penyadapan atas informasi elektronik dan atu dokumen elektronik dalam suatu

computer dan/atau sistem elektronik tertentu milik orang lain, dan berdasarkan

Pasal 47 UU ITE mengatur tentang sanksi pidana bagi yang memenuhi

unsur-unsur pasal 31 ayat (1) di atas. Namun demikian, ada yang berpendapat

bahwa penyadapan sah dilakukan dengan mendasakan pada Pasal 12 Undang-Undang

(42)

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK dapat melakukan penyadapan

dan merekam pembicaraan. Ketentuan ini menegaskan bahwa penyadapan

dapat dilakukan dalam tiga tahap proses pro justisia pada perkara luar biasa

(extra ordinary cases), termasuk tindak pidana korupsi dan tindak pidana

penyuapan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, terlihat bahwa adanya

ketidaksesuaian antara beberapa peraturan mengenai tindakan penyadapan,

sehingga sampai saat ini kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan pun

masih menjadi kontroversi di masyarakat dan hal ini sangat mempengaruhi tahap

selanjutnya yaitu menjadikan hasil penyadapan tersebut sebagai alat bukti pada

proses peradilan pidana. Pada praktik hukum di Indonesia, terdapat ketentuan

hukum mengenai alat bukti, yakni diatur dalam Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP).

Pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditetapkan mengenai alat bukti yang sah adalah :

1. keterangan saksi;

2. keterangan ahli;

3. surat;

4. petunjuk;

5. keterangan terdakwa.

Ketentuan mengenai alat bukti di atas merupakan ketentuan hukum acara

(43)

yang telah diatur dalam pasal tersebut tidak dapat ditambah atau dikurangi.4

4

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian (Perdata dan Pidana), Citra Aditya Bhakti, Jakarta, 2006, hal. 181. (Halaman ini kalimat panjang)

Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 184 ayat (1) di atas, hasil penyadapan

bukan merupakan salah satu dari alat bukti yang diakui sah secara hukum.

Sementara itu, pada Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, ditegaskan bahwa hasil rekaman termasuk alat bukti

petunjuk. Di samping itu, Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyatakan bahwa

informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya

merupakan alat bukti yang sah sebagai perluasan dari alat bukti yang sah

sesuai menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia. Dengan demikian,

terdapat berbagai ketentuan hukum yang menimbulkan tafsir hukum berbeda-beda

diantara para penegak hukum di Indonesia mengenai keabsahan hasil penyadapan

oleh KPK menjadi suatu alat bukti pada proses peradilan pidana, termasuk dalam

tindak pidana korupsi dan tindak pidana penyuapan seperti kasus Artalyta yang

telah diuraikan di atas, sebagai tindak pidana luar biasa (extra ordinary cases),

di satu sisi tindakan penyadapan yang dilakukan KPK terhadap percakapan

Artalyta dianggap melanggar hak individu seseorang, namun di sisi lain dalam

proses pemberantasan tindak pidana korupsi sangat diperlukan upaya pembuktian

yang mendukung diantaranya menjadikan hasil penyadapan itu sebagai alat

(44)

antara ketentuan hukum yang ada (das sollen) dengan kenyataan di masyarakat

(das sein)

Sampai saat ini, belum ada tulisan ilmiah (skripsi) yang secara khusus

membahas mengenai hasil penyadapan sebagai alat bukti pada proses peradilan,

oleh karena itu, Peneliti tertarik untuk mencoba membahas hal tersebut,

yang dituangkan dalam bentuk skripsi berjudul “Hasil Penyadapan Komisi

Pemberantasan Korupsi Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif KUHAP Dan

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi

Elektronik”.

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, dirumuskan

identifikasi masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana ketentuan hukum tentang kewenangan KPK dalam

melakukan penyadapan untuk dijadikan sebagai alat bukti?

2. Apakah rekaman pembicaraan hasil penyadapan KPK mempunyai

kekuatan pembuktian berdasarkan Undang – undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang – undang Nomor 11

Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

a. Untuk mengetahui kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan

untuk dijadikan sebagai alat bukti.

(45)

2. Manfaat

a. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan

ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana

umumnya.

b. Secara Praktis

Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi

dan agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang kekuatan

pembuktian hasil penyadapan KPK yang diatur melalui peraturan

perundang-undangan dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia.

Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan

dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah

peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal

sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan

dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada,

penelitian mengenai “Hasil Penyadapan KPK Sebagai Alat Bukti Dalam

Perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik”

belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian

(46)

rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis

dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat

dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Bila di kemudian hari

ternyata telah ada skripsi yang sama, maka penulis bertanggung jawab

sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Sistem atau Teori Pembuktian

Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai

berikut :5

1. Sistem Pembuktian Semata-mata Berdasar Keyakinan Hakim

(Convictim in Time)

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa,

semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan

hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa.

Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya,

tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan

disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam

sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu

diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari

5

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penjelasan pada Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana di atas, telah jelas bahwa KUHAP hanya mengatur tentang 5 (lima) alat bukti yang sah, dan diluar

ini, terutama bagi para hacker yang masuk ke sistem jaringan milik orang lain.. Saleh Mukadam : Penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dalam Pembuktian Terhadap

Kekuatan Pembuktian Hasil Uji Balistik Yang Digunakan Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan Kasus Pembunuhan.. Berdasarkan Pasal 184

Adapun masalah hukum yang timbul adalah bagaimana pengaturan mengenai alat bukti dan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, bagaimana kekuatan

elektronik sebagai alat bukti yang sah dalam perkara pidana umum... pembuktian dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Adapun masalah hukum yang timbul adalah bagaimana pengaturan mengenai alat bukti dan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, bagaimana kekuatan

Adapun masalah hukum yang timbul adalah bagaimana pengaturan mengenai alat bukti dan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia, bagaimana kekuatan

Wewenang diskresi penyidik tersebut diatur dalam Pasal 21 ayat 1 Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur sebagai berikut “Perintah