• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan (Lie Detector) Pada Proses Peradilan Pidana Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan (Lie Detector) Pada Proses Peradilan Pidana Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amin, S.M, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.

Chazawi, Adami Pelajaran Hukum Pidana I, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002.

Hamzah, Andi Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993. Kurniawan, Moch Haikhal Penggunaan Metode Sketsa Wajah Dalam Menemukan

Pelaku Tindak Pidana, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta, 2008.

Kusumaatmadja, Mochtar Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002.

Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

Makarim, Edmon Pengantar Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Makarso, M. Taufik dan Suharsil, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002.

Marpaung, Leden Unsur-Unsur Perbuatan Yang Dapat di Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1991.

Mertokusumo, Soedikno Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988.

(2)

Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974.

Prodjohamidjojo, Martiman, Komentar Atas KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), Pradnya Paramita, Jakarta, 1990.

Sabuan, Ansorie, dan Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990.

Soemitro, Ronitijo Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.

Yogi Sugito, Pedoman penelitian & Pengabdian Masyarakat, Makalah dalam seminar Pedoman Kegiatan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Desember 2006.

Yudowidagdo, Hendrastanto, dan Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Internet

Adrian Dharma Wijaya, Penggunaan Mesin Detektor Kebohongan Di Kepolisian Indonesia, http://newsgroups.derkeiler.com, Diakses Tanggal 5 Januari 2011.

Dafid Eka Putra, Alat Tes Kebohongan Lie detector, http//blogger.com, Diakses pada 5 Januari 2011.

David W Martin, Dikutip dalam, N.N, Ensiklopedia Bebas http://www.en.wikipedia. org. Diakses tanggal 5 Januari 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Media_elektronik. Diakses tanggal 5 Januari 2011. http://gokilbest.student.umm.ac.id/author/gokilbest/. Diakses tanggal 5 Januari

(3)

http://muhammad.student.umm.ac.id/2010/07/29/hukum-pidana-dan-sistem-peradilan-di-indonesia/. Diakses tanggal 5 Januari 2011.

Nurul Ulfah, Cara Alat Pendeteksi Kebohongan Bekerja, http://detikhealth.com, Diakses tanggal 25 Januari 2011

Zynga, Modus-Modus Kejahatan Dalam Teknologi, http://ans-or-set.blogspot.com, Diakses tanggal 5 Januari 2011.

Mary Bellis, Sejarah Polygraph Lie Detektor, http://www.google.co.id. Diakses tanggal 5 Januari 2011.

NN, Bohong Karena Terpaksa, http://smartfad.multiply.com, Diakses 5 Januari 2011.

N.N, Wikipedia Bahasa Melayu, http://www.google.com, Diakses Tanggal 5 Januari 2011.

N.N, Ensiklopedia Bebas, http://www.en.wikipedia. org, Diakses Tanggal 5 Januari 2011.

N.N, Museum Polygraph, http://www.lie2me.net, Diakses pada Hari Kamis, Tanggal 6 Mei 2010, Pukul 16:50 WIB. 16Erlisanurul, Mendeteksi Kebohongan, http://blog.beswandjarum.com, Diakses tanggal 5 Januari 2011.

N.N, Tensi Meter dan Sphygmomanometer, http://infoalkes.blogspot.com, Diakses tanggal 5 Januari 2011.

Nebby, Ary Muladi Nyatakan Lie detector Salah, http://www. primaironline.com, Diakses pada; Hari Senin, Tanggal 5 Januari 2011.

Ridlwan Habib, Dosen yang Pelajari Alat Pendeteksi Kebohongan, http://jambi independent.co.id, Diakses Tanggal 5 Januari 2011.

Rifki Media, Bagaimana Cara Kerja Lie detector, http://achtungpanzer.blogspot.com, Diakses tanggal 5 Januari 2011.

Simon Bawen, Digital Emotographs, http://www.simon-bowen.com, Diakses tanggal 5 Januari 2011.

Terry J. Ball, Awal dari Polygraphy, http://www.lie2me.net, Diakses tanggal 5 Januari 2011.

(4)

BAB III

ANALISIS HUKUM MENGENAI PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA DIHUBUNGKAN

DENGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA JUNCTO UNDANG-UNDANG NO. 11 TAHUN 2008 TENTANG

INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

A. Peranan Alat Pendeteksi Kebohongan pada Proses Peradilan Pidana

Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini semakin berkembang dengan pesat, hal tersebut juga telah membawa perkembangan yang signifikan terhadap dunia teknologi informasi. Kehadiran alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sangat terkait dengan perangkat komputer sebagai alat yang digunakan untuk membantu tugas kepolisian pada proses pemeriksaan.

(5)

sebuah disket atau dokumen yang diterima dengan menggunakan sistem komputer dan hasil data berupa salinan print out dapat dijadikan sebagai alat bukti.

Hukum acara pidana mengenal 5 (lima) alat bukti yang sah sebagaimana diatur pada Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) antara lain yaitu :

Bagaimanapun diubah-ubah, alat-alat bukti dan kekuatan pembuktian dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang tercantum dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam Ned. Strafvordering yang mirip pula dengan alat bukti di negara-negara Eropa Kontinental.

Apabila dibandingkan dengan KUHAP, maka di sini tampak tidak semua pembaharuan ini ditiru oleh KUHAP.42

1. Keterangan Saksi

Adapun alat-alat bukti yang dimaksud sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 KUHAP ialah:

Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.43 Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penututan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.44

42

Hendrastanto Yudowidagdo, Anang Suryanata Kesuma, Sution Usman Adji, dan Agus Ismunarto, Kapita Selekta Hukum Acara Pidana di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hal. 241.

43

Pasal 1 butir (27) KUHAP

44

(6)

Menjadi saksi adalah salah satu kewajiban setiap orang. Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku.45

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi adalah sebagai berikut:

b. Saudara dari terdakwa awtau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dengan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;

c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.46

Perkecualian sebagai saksi tersebut juga tercantum dalam ketentuan Pasal 170 KUHAP, karena pekerjaannya maka dibebaskan dari kewajiban menjadi saksi, mengingat harkat dan martabat atau jabatannya sebagai yang diwajibkan menyimpan rahasia, dimana kekecualian ini disebut sebagai kekecualian relatif.

Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberi kesaksian di bawah sumpah ialah:

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin;

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Pada dasarnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Dapat dikatakan tidak ada perkara

45

Pasal 159 ayat 2 KUHAP.

46

(7)

pidana yang luput dari alat bukti keterangan saksi. Jika suatu tindak pidana sudah dibuktikan dengan alat bukti yang lain, sekurang-kurangnya masih tetap diperlukan pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

Agar sahnya keterangan saksi ini sebagai alat bukti yang memiliki nilai pembuktian, maka:

a. saksi harus mengucapkan sumpah;

b. keterangan saksi mengenai perkara pidana yang dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya;

c. keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan;

d. keterangan satu saksi harus didukung alat bukti yang sah lainnya; e. keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan yang digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau kealpaan tertentu. Baik pendapat umum maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.

(8)

sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

Dengan demikian, menurut Pasal 185 ayat 7 KUHAP, keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Penjelasan Pasal 185 ayat (5) dikaitkan dengan HIR disebut juga kesaksian persetujuan dan berhubungan, atau dikenal juga dengan istilah kesaksian berantai. Menurut S.M Amin, kesaksian berantai ada dua macam:

a. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam satu perbuatan; b. Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan.47 2. Keterangan Ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.48

Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

49

47

S.M Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1981, hal. 112-113.

48

Pasal 1 butir 28 KUHAP

49

Pasal 186 KUHAP

(9)

umum, maka pada pemeriksaan di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim.

Menurut Pasal 179 KUHAP:

(1) setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan; (2) semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.

Selanjutnya Pasal 180 mengatakan:

(1) dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan; (2) dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang; (3) hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2); (4) penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil berbeda dari instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.

(10)

demikian, hakim dalam mempergunakan kebebasan tersebut haruslah bertanggung jawab.

Isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda. Keterangan seorang saksi mengenal apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal itu.50

50

Wirjono Prodjodikoro, Op. cit, hal. 87-88.

Mengenai contoh dari keterangan ahli ini dapat disebutkan yaitu, seumpama hakim membutuhkan untuk mengetahui dari keaslian suatu benda, yang mana benda ini harus diperiksa oleh seorang ahli khusus dan tidak dapat diperiksa oleh orang yang bukan ahlinya, misalnya benda itu berupa batu delima, mutiara, intan dan lain-lain benda yang memerlukan pemeriksaan khsusus dari seorang ahli.

Pengertian keterangan ahli juga disebutkan dalam Pasal 186, Pasal 120 dan Pasal 179 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang menyatakan bahwa keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Pernyataan dari keterangan ahli diperlukan dalam proses peradilan pidana, apabila pada waktu proses pemeriksaan oleh penyidikan belum diminta keterangan ahli. Keterangan seorang ahli bersifat diminta, seorang ahli harus membuat laporan sesuai yang dikehendaki oleh penyidik dan laporan dari keterangan seorang ahli dimasukkan dalam berita acara penyidikan.

(11)

a. Seseorang yang mempunyai keahlian khusus.

b. Keterangan dari seorang ahli dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

c. Keterangan seorang ahli dapat berupa surat ataupun pernyataan yang disampaikan secara lisan kepada hakim dalam proses persidangan. Keterangan ahli tidak terbatas hanya pada keterangan seorang ahli laboratorium forensik komunikasi, melainkan lebih luas lagi dapat melibatkan ahliahli dalam berbagai bidang, misalnya ahli dalam teknologi informasi, ahli pada program-program jaringan komputer, serta ahli dalam bidang enkripsi/password dan ahli kedokteran kehakiman. Pada prinsipnya keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang dapat mengikat pelaku kejahatan atau dengan kata lain nilai kekuatan keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan ahli, antara lain yaitu:

a. Mempunyai kekuatan yang bebas atau vrij bewijskracht, artinya hakim bebas menilai dan tidak terikat pada keterangan seorang ahli sebagai alat bukti atau dengan kata lain tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli sebagai alat bukti.

(12)

tersebut tidak cukup atau tidak memadai untuk membuktikan kesalahan seorang tersangka.

3. Surat

Surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.51

Menurut A. Pitlo surat adalah pembawa tanda tangan bacaan yang berarti, yang menerjemahkan suatu isi pikiran. Tidak termasuk kata surat, adalah foto dan peta, sebab benda ini tidak memuat tanda bacaan.52

a. berita acara surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

Suatu alat bukti yang berupa surat yang dalam hal ini harus dibuat oleh pejabat umum yang berwenang dalam bentuk surat resmi. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 187 KUHAP, mengatakan:

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau suatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Ada beberapa hal yang tidak dijelaskan di situ, antara lain tentang hubungan alat bukti surat dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam HIR dan Ned. Sv. yang lama ditentukan bahwa ketentuan tentang kekuatan pembuktian dari surat-surat umum maupun surat-surat khusus di dalam

51

Andi Hamzah., Op. cit, hal. 253.

52

(13)

hukum acara perdata berlaku juga di dalam penilaian hukum acara pidana tentang kekuatan bukti-bukti surat. Tetapi dalam Ned. Sv. yang baru tidak lagi diatur hal yang demikian. Kepada hakimlah diminta kecermatan dalam mempertimbangkan bukti berupa surat.53

Dari segi materil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 180 bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Sama seperti keterangan saksi atau keterangan ahli, surat juga mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Alasan ketidakterikatan hakim atas alat bukti surat didasarkan pada beberapa asas antara lain asas proses pemeriksaan perkara pidana ialah untuk mencari kebenaran materil atau kebenaran sejati, bukan mencari keterangan formil. Lalu asas keyakinan hakim sebagaimana tercantum dalam Pasal 183, bahwa hakim baru boleh menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa yang telah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Kemudian asas batas minimum pembuktian. Dengan demikian, bagaimanapun sempurnanya satu alat bukti surat, kesempurnaannya itu tidak dapat berdiri sendiri, dia harus dibantu lagi dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain guna Secara formal, alat bukti surat sebagaimana disebut pada Pasal 187 adalah alat bukti yang sempurna, sebab dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan, sedangkan surat yang disebut huruf d bukan merupakan alat bukti yang sempurna.

53

(14)

memenuhi apa yang telah ditentukan oleh batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP.

4. Petunjuk

Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.54

M. Yahya Harahap memberikan pengertian dengan menambah beberapa kata, petunjuk ialah suatu “isyarat” yang dapat “ditarik dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan” dimana isyarat tadi mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain maupun isyarat tadi mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut “melahirkan” atau “mewujudkan” suatu petunjuk yang “membentuk kenyataan” terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya.55

Dari ketentuan Pasal 188 ayat (2) tersebut, terlihat bahwa alat bukti petunjuk bentuknya sebagai alat bukti yang asesor (tergantung) pada alat bukti lain. Kalau alat bukti yang menjadi sumbernya tidak ada dalam persidangan pengadilan, dengan sendirinya tidak ada alat bukti petunjuk. Berbeda dengan alat bukti saksi misalnya bisa hadir tanpa hadirnya alat bukti petunjuk. Dengan demikian, alat bukti petunjuk selamanya

Menurut ketentuan Pasal 188 ayat (2), petunjuk dapat diperoleh dari: keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.

54

Pasal 188 ayat (1) KUHAP.

55

(15)

tergantung dari alat bukti yang lain. Alat bukti petunjuk baru diperlukan dalam pembuktian apabila alat bukti lain belum dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa.56

Dalam hal ini, A. Minkenhof juga berpendapat, disini tercermin bahwa pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim, dengan demikian menjadi sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan Nilai kekuatan pembuktian petunjuk sama dengan alat bukti yang lain, dimana dalam KUHAP tidak diatur tentang nilai kekuatan pembuktiannya, maka dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian petunjuk adalah bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Sebagai alat bukti petunjuk tidak berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Dia tetap terikat pada prinsip minimum pembuktian. Yang berhak menilai atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam hal ini dinyatakan pula dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP, ialah dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Jadi di sini jelas dapat dibaca bahwa akhirnya persoalan tersebut diserahkan kepada hakim, yang dengan demikian sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti.

56

(16)

dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui umum.57

5. Keterangan Terdakwa

KUHAP jelas dan sengaja mencantumkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c, berbeda dengan peraturan lama, yaitu HIR yang menyebut “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti menurut Pasal 295. Disayangkan bahwa KUHAP tidak menjelaskan apa perbedaan antara keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti.58

a. keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;

Mengenai keterangan terdakwa ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP, yakni sebagai berikut:

b. keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;

c. keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri; d. keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Bentuk keterangan yang dapat diklasifikasikan sebagai keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang adalah:

a. keterangan yang diberikannya dalam pemeriksaan penyidikan; b. keterangan itu dicatat dalam berita acara penyidikan;

57

Hendrastanto, Op. cit, hal. 255.

58

(17)

c. berita acara penyidikan itu ditandatangani oleh pejabat penyidik dan terdakwa.59

Jika terdakwa tidak mau menjawab atau menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hakim ketua sidang menganjurkan untuk menjawab dan setelah itu pemeriksaan dilanjutkan.60

Jika terdakwa bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang menegurnya dan jika teguran itu tidak diindahkan ia memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang, kemudian pemeriksaan perkara pada waktu itu dilanjutkan tanpa hadirnya terdakwa. Dalam hal terdakwa secara terus menerus bertingkah laku yang tidak patut sehingga mengganggu ketertiban sidang, hakim ketua sidang mengusahakan upaya sedemikian rupa sehingga putusan tetap dapat diajukan dengan hadirnya terdakwa.61

a. jika terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan supaya terdakwa dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya (ayat 3)

Apabila di saat dibutuhkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti dan ternyata terdakwa tidak hadir dalam persidangan, maka hakim dapat menggunakan ketentuan dalam Pasal 154 KUHAP, yakni sebagai berikut:

b. jika terdakwa ternyata telah dipanggil secara sah tetapi tidak datang di sidang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan perkara tersebut tidak dapat dilangsungkan dan hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa dipanggil sekali lagi (ayat 4)

(18)

Ketidakhadiran, ketidakbenaran untuk memberikan keterangan sebagai alat bukti ini, pada umumnya manusia merasa takut dalam menerima pidana, Sehingga ia menghindari dari tujuan keterangan yang dimaksudkan oleh para aparat penegak hukum khususnya para hakim yang bersangkutan yang memimpin sidang. Juga ketidakbenaran keterangan yang diharapkan, walaupun dalam hati terdakwa tersebut tertanam rasa ingin mengungkapkan keterangan yang sebenarnya, namun karena ia merasa takut untuk menerima pidana atas perbuatan yang dilakukan, maka dari rasa ketakutan tersebut menimbulkan dorongan kuat untuk memberikan keterangan yang tidak sesungguhnya, dimana dalam hal ini memang dapat diterima oleh nalar. Maka di sini benar-benar dituntut adanya psikologi yang benar-benar berperan dalam kasus-kasus semacam ini.62

62

Hendrastanto, Op. cit, hal. 257.

Berdasarkan Pasal 5 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa :

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah”.

(19)

Selanjutnya, Berdasarkan Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa :

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia”.

Penjelasan pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik telah jelas menyatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Hasil dari penggunaan sistem eletronik, khususnya alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.

B. Pengaturan tentang Pembuktian Alat Pendeteksi Kebohongan pada Proses Peradilan Pidana Berdasarkan KUHAP dan Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

(20)

benar-benar bersalah dan dapat dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) yang menyatakan bahwa :

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa lah yang bersalah melakukannya”.

Putusan dalam kasus-kasus tindak pidana dalam dunia peradilan bergantung dari pertimbangan majelis hakim yang menangani perkara tersebut. Keputusan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa mutlak berada di tangan majelis hakim. Di dalam teori dikenal adanya 4 sistem pembuktian, yakni sebagai berikut:63

1. Sistem Pembuktian Semata-mata Berdasar Keyakinan Hakim (Convictim in Time)

Sistem pembuktian ini menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan oleh hakim, dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem ini

63

(21)

mengandung kelemahan, karena hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Sistem ini seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.64

Menurut Andi Hamzah, sistem ini dianut oleh peradilan jury di Perancis. Praktek peradilan jury di Perancis membuat pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya putusan bebas yang aneh.65 Pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan medium atau dukun.66

Keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya terkandung suatu kepercayaan yang besar terhadap ketepatan kesan-kesan pribadi seorang hakim. Lagi pula terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian ini sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, karena tidak dapat mengetahui pertimbangan hakim yang menjurus ke arah terbitnya putusan.

64

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Jilid II, Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hal. 797-798.

65

Andi Hamzah, Op. cit, hal. 260.

66

(22)

Oleh karena itu, sistem ini sekarang sudah tidak dapat diterima lagi dalam kehidupan hukum di Indonesia.67

2. Sistem Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim Atas Alasan Logis (La Conviction Raisonnee/ Convictim-Raisonee).

Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa. Akan tetapi dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika dalam sistem pembuktian convictim in time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas, maka pada sistem ini, keyakinan hakim harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar-dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. Tidak semata-mata dasar keyakinan tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.68

3. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Positif

Disebut demikian karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal. Menurut M. Yahya Harahap, sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif lebih sesuai dibandingkan dengan sistem pembuktian menurut keyakinan. Sistem pembuktian menurut undang-undang positif lebih dekat kepada prinsip penghukuman berdasar hukum, artinya penjatuhan hukuman terhadap seseorang semata-mata tidak diletakkan di

67

Ansorie Sabuan, Syarifuddin Pettanasse, dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana, Angkasa, Bandung, 1990, hal 187.

68

(23)

bawah kewenangan hakim, tetapi di atas kewenangan undang-undang yang berlandaskan asas seorang terdakwa baru dapat dihukum dan dipidana jika yang didakwakan kepadanya benar-benar terbukti berdasar cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.69

Sistem ini melulu menurut ketentuan undang-undang yang meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber keyakinan, hingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencernakan kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim. Oleh karena itu, sistem ini tidak dapat diterapkan di Indonesia.70

4. Sistem Pembuktian Berdasar Undang-undang Secara Negatif.

Sistem pembuktian ini menekankan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah kemudian keyakinan hakim. Menurut teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu.

Sistem ini tercantum dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suat tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

69Ibid

, hal. 799.

70

(24)

Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ini cukup, maka baru dipersoalkan tentang atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa.71

71Ibid

., hal. 188.

Undang-undang Pokok tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6, juga mengatur hal ini, yaitu tiada seorang jua pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

HIR juga mengatur tentang hal ini, yaitu dalam Pasal 294 ayat (1) yang berbunyi, tiada seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang dapat dipidana dan bahwa orang-orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan perbuatan itu.

(25)

Antara sistem pembuktian undang-undang secara negatif dengan sistem pembuktian yang berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya ialah keduanya mengakui adanya keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya, sistem pembuktian undang-undang secara negatif didasarkan atas dua alat bukti yang sah, diikuti dengan keyakinan hakim, sedangkan sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis harus didasarkan atas keyakinan hakim, dimana keyakinan itu didasarkan kepada suatu kesimpulan yang logis yang tidak didasarkan kepada undang-undang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian yang mana yang akan dipergunakan.

D. Simons mengemukakan, dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang-undang secara negatif (negatief wettelijke bewijs theorie) ini, pemidanaan didasarkan kepada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu pada peraturan undang-undang dan pada keyakinan hakim, dan menurut undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada peraturan undang-undang72

Wirjono prodjodikoro berpendapat, bahwa sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan aturan yang mengikat hakim dan menyusun

.

72

(26)

keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan.73

M. Yahya Harahap berpendapat lain, sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif. Sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalu mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan.74

Hal lain berkaitan dengan keyakinan hakim ini adalah seperti apa yang disebutkan dalam Pasal 158 KUHAP, hakim dilarang menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan di sidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa.

75

Barang bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa barang bukti adalah barang atau alat yang secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana atau hasil dari tindak pidana serta alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), padahal ini masih bersifat kuantitatif karena sistem teori pembuktian di Indonesia masih menganut sistem teori pembuktian secara negatif (Negatief Wettlijk Stelsel) yaitu salah tidaknya

(27)

seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

(28)

Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dinyatakan bahwa :

1. Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

2. Informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

3. Informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem eletronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

4. Ketentuan mengenai informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dengan dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :

a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan

b. Surat beserta dokumennya yang menurut undangundang harus dibuat

dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

(29)

penyelesaian perkara untuk memberikan keyakinan pada hakim dalam memberikan sangsi kepada pelaku tindak pidana.

Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa Informasi eletronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan penjelasan Pasal 177 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), bukti elektronik merupakan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil pemeriksaan atas keabsahan dari tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diberikan oleh seorang ahli atau keterangan ahli, yang dalam hal ini yaitu ahli laboratorium forensik komputer.

(30)

hakim harus berpegang pada Pasal 28 angka 1 Undang-Undang Nomor 48Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa :

“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

(31)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan atas permasalahan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, peranan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses peradilan pidana yaitu sebagai alat bukti petunjuk, namun harus didukung oleh alat-alat bukti lainnya antara lain yaitu alat bukti keterangan ahli dan alat bukti surat yang berupa salinan data (data recording) dari hasil tes pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector).

(32)

Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik sebagai alat bukti di pengadilan. Pasal 5 angka 1 dan Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector), pada hal ini dapat dikatakan sebagai alat bukti petunjuk yang sah menurut hukum acara yang berlaku di Indonesia apabila hasil dari pemeriksaan tes alat pendeteksi kebohongan (lie detector) diberikan oleh seorang ahli atau keterangan ahli, yang dalam hal ini yaitu ahli laboratorium forensik komputer.

B. Saran

1. Diharapkan bagi pemerintah agar segera mengundangkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), agar pembuktian dengan sistem elektronik mendapatkan kepastian hukum yang jelas. Karena pembuktian dengan sistem elektronik khususnya penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) belum diatur secara tegas dalam Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(33)

BAB II

PENGGUNAAN ALAT PENDETEKSI KEBOHONGAN PADA PROSES PERADILAN PIDANA

A. Proses Peradilan Pidana Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Ketika sebuah perkara sudah sampai di pengadilan negeri proses persidangannya adalah sebagai berikut: Penentuan hari sidang dilakukan oleh hakim yang ditunjuk oleh ketua pengadilan untuk menyidangkan perkara.27

Surat dakwaan yang menyatakan tuntutan-tuntutan dari kejaksaan terhadap terdakwa dibaca oleh jaksa. Pada saat itu terdakwa didudukkan di bagian tengah ruang persidangan berhadapan dengan hakim. Kedua belah pihak, yaitu Penuntut Umum (jaksa) dan Penasehat Hukum (pengacara pembela) duduk berhadapan di sisi kanan dan kiri. Setelah dakwaan dibaca, barulah mulai tahap pemeriksaan saksi. Terdakwa berpindah dari posisinya di tengah ruangan dan duduk di sebelah penasehat hukumnya, jika memang dia mempunyai penasehat hukum. Jika tidak ada, dialah yang menduduki kursi penasehat hukum itu.

Kejaksaan bertanggungjawab untuk meyakinkan terdakwa berada di pengadilan pada saat persidangan akan dimulai. Maka kejaksaan wajib mengurus semua hal terkait dengan mengangkut terdakwa dari Lembaga Permasyarakatan (penjara) ke pengadilan, dan sebaliknya pada saat persidangan selesai. Di Pengadilan Negeri diadakan beberapa ruang tahanan khususnya untuk menahan tahanan sebelum dan sesudah perkaranya disidang.

28

27

http://gokilbest.student.umm.ac.id/author/gokilbest/. Diakses tanggal 5 Januari 2011.

(34)

Penuntut Umum akan ditanyai oleh hakim, apakah ada saksi dan berapa saksi yang akan dipanggil dalam sidang hari itu.29

Salah satu perbedaan terkait dengan hal ini adalah, semua saksi bersumpah pada saat bersamaan, sedangkan di Australia setiap saksi akan bersumpah justru sebelum dia akan memberikan keterangan. Setelah saksinya bersumpah, maka saksi pertama duduk di bangku di depan hakim, sedangkan yang lain disuruh untuk keluar dari ruang persidangan. Itulah saatnya pemeriksaan saksi dimulai oleh Ketua Hakim. Ini juga merupakan salah satu perbedaan besar di antara sistem persidangan di Australian dan RI. Di Australia peranan hakim dapat disebut pasif. Padahal hakim di persidangan di Australia agak jarang akan bertanya langsung

Jika, misalnya ada tiga saksi yang akan dipanggil, mereka bertiga dipanggil oleh jaksa dan duduk di bangku atau kursi berhadapan dengan hakim; kursi yang sama tadi diduduki oleh terdakwa. Kemudian hakim akan menyampaikan beberapa pertanyaan kepada saksi masing masing. Yaitu adalah; nama, tempat kelahiran, umur, bangsa, agama, pekerjaan dan apakah mereka ada hubungan dengan si terdakwa. Kemudian si saksi sambil berdiri, bersumpah sekalian dengan kata pengantar sesuai dengan agamanya, kemudian kata-kata berikut:

“Demi Tuhan saya bersumpah sebagai saksi saya akan menerangkan dalam perkara ini yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya.” Sambil saksi bersumpah salah satu Panitera Pengganti akan mengangkat sebuah Al Quoran atau Kitab Suci lainnya sesuai dengan agama mereka, di atas kepalanya. Menarik juga bahwa orang Hindu diberikan dupa yang dipegang sambil bersumpah.

29Ibid

(35)

kepada saksi. Sebaliknya di RI peranan hakim adalah sangat aktif. Dialah yang mulai dengan pertanyaannya terhadap saksi. Bolehlah dia berlanjut dengan proses interogasinya sehingga dia puas dan pertanyaanya habis-habisan.30

Kemudian terdakwa diperbolehkan untuk menyampaikan tanggapannya terhadap keterangan tersebut. Setelah itu, saksi diminta untuk turun dari kursinya dan duduk di bagian umum di belakang. Proses ini berlanjut sehingga semua saksi dari kejaksaan telah memberikan keterangannya. Kemudian penasehat hukum juga diberi kesempatan untuk memanggil saksi yang mendukung atau membela terdakwa, dengan proses yang sama sebagaimana digambarkan di atas. Setelah semua saksi memberikan keterangan, tahap pemeriksaan saksi selesai dan perkara akan ditunda supaya jaksa dapat mempersiapkan tuntutannya. Tuntutan adalah sebuah rekomendasi dari jaksa mengenai sanksi yang dimintai dari hakim. Setelah hakim selesai dengan pertanyaannya dia memberikan kesempatan kepada jaksa untuk memeriksa saksi, disusul oleh penasehat hukum.

Pada akhir pemberian keterangan dari saksi masing masing, si terdakwa akan diberikan kesempatan untuk menanggapi keterangan tersebut. Dalam perkara yang penulis saksikan, khususnya di Pengadilan Negeri Medan, Hakim akan menyimpulkan keterangan yang telah diberikan dengan mengatakan misalnya:

“Kita semua telah mendengar saksi mengatakan bahwa pada tanggal 23 November kemarin dia membeli narkotika dari anda dalam bentuk dua ‘pocket’ ganja di rumah anda dan anda menerima uang sebanyak Rp 40,000. Bagaimana anda menganggap keterangan itu? Benar atau tidak benar, setuju atau tidak setuju?”

(36)

“Setelah itu giliran terdakwa atau penasehat hukumnya membacakan pembelaanya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukumnya mendapat giliran terakhir.”31

1. Perkara terbukti, terdakwa dihukum

Jika acara tersebut sudah selesai, ketua majelis menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup. Setelah itu para hakim harus mengambil keputusan. Keputusannya dapat dijatuhkan pada hari itu juga atau hari lain, setelah dilakukan musyawarah terakhir diantara para hakim. Jika dalam musyawarah tersebut para hakim tidak dapat mencapai kesepakatan, keputusan dapat diambil dengan cara suara terbanyak. Oleh sebab itu selalu diharuskan jumlah hakim yang ganjil, yaitu tiga, lima ataupun tujuh hakim. Keputusan para hakim ada tiga alternatif:

2. Perkara tidak terbukti, terdakwa dibebaskan

3. Perbuatan terbukti tetapi tidak perbuatan pidana, terdakwa dilepas dari segala tuntutan (Onslag).

Berdasarkan teori pembuktian undang undang secara negatif, keputusan para hakim dalam suatu perkara harus didasarkan keyakinan hakim sendiri serta dua dari lima alat bukti. Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”

Lima kategori alat bukti tersebut adalah:

31

(37)

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Setelah memutuskan hal bersalah tidaknya, hakim harus menentukan soal sanksinya, berdasarkan tuntutan dari jaksa dan anggapannya sendiri terhadap terdakwa. Tergantung pendapatnya, hakim dapat menjatuhkan pidana yang lebih ringan ataupun lebih berat daripada tuntutan jaksa.

“Hakim harus menilai semua fakta-fakta. Misalnya dalam perkara pencurian, perbuatannya mungkin terbukti, tetapi hakim berpendapat bahwa terdakwa tidak melakukannya untuk berfoya-foya, melainkan untuk anaknya yang sakit. Kalau begitu, dapat dia ringankan tuntutan dari Jaksa, misalnya dari sepuluh bulan, menjadi delapan bulan. Lagi pula hakim dapat melebihi tuntutan dari jaksa...semuanya tergantung perbedaan persepsi.” 32

Demikianlah prosesnya hukum acara pidana secara garis besar sehingga terdakwa dibuktikan bersalah atau tidak bersalah. Jika memang ia terbukti bersalah, apalagi dijatuhkan hukuman penjara33

B. Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan pada Peradilan Pidana

maka ia akan dibawa ke Lembaga Permasyarakatan untuk menjalani hukumannya.

Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) secara umum dikaitkan dengan investigasi kriminal, meski demikian terdapat beberapa perusahaan swasta dan lembaga pemerintah yang sekarang menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada proses seleksi calon pekerja. Lie detector pada dasarnya adalah

32Ibid. 33

(38)

kombinasi alat-alat medis yang digunakan untuk memantau perubahan yang terjadi dalam tubuh. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) akan mencatat semua aktifitas tubuh seorang tersangka pada saat menjawab serangkaian pertanyaan yang di ajukan oleh penyidik.34

Mekanisme alat pendeketsi kebohongan (lie detector) adalah dengan mencatat dan merekam seluruh respon tubuh seorang tersangka yang diberi pertanyaan. Secara sederhana, seseorang yang berbohong, ucapan yang dikeluarkannya akan menghasilkan reaksi psikologis di dalam tubuh yang akan mempengaruhi kerja organ tubuh seperti jantung dan kulit, melalui sensor yang dihubungkan pada bagian tubuh atau organ tersebut dapat diketahui grafik perubahan fungsi organ tersebut diantaranya adalah grafik pernapasan, grafik detak jantung, grafik tekanan darah dan grafik keringat. Pemeriksaan dengan lie detector umumnya mencapai dua jam dengan tingkat keakuratan hingga 90 % (persen). Satu paket alat pendeteksi kebohongan (lie detector) terdiri atas monitor, software dan alat sensor digital lainnya yang dihubungkan keseluruh tubuh untuk mengetahui perubahan psikologi seorang tersangka saat berbicara jujur atau

bohong. Proses pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) anatra lain yaitu:35

1. Seorang tersangka yang akan diuji dengan lie detector, duduk di bangku dan berada ruangan interogasi hanya ada dua orang, yaitu penguji

(penyidik forensik) dan orang yang diuji (tersangka).

34

Rifki Media, Bagaimana Cara Kerja Lie detector, http://achtungpanzer.blogspot.com, Diakses tanggal 5 Januari 2011.

(39)

2. Beberapa sensor yang terhubung dengan kabel-kabel pada lie detector

dipasang di tubuh seorang yang akan diuji. Sensor-sensor tersebut antara

lain yaitu:

Sensor Respiratory Rate (Pneumograph) adalah perangkat untuk merekam kecepatan dan kekuatan gerakan dada yang berfungsi untuk mendeteksi ritme nafas, ditempelkan pada bagian dada dan perut, bekerja ketika ada kontraksi di otot dan udara didalam tabung.

Manset Tekanan Darah (Blood Pressure Cuff), berfungsi untuk mendeteksi perubahan tekanan darah dan detak jantung, ditempelkan pada bagian lengan atas, bekerja seiring dengan suara yang muncul dari denyut jantung atau aliran darah.

Galvanic Skin Resistance (GSR) adalah alat untuk mendeteksi keringat terutama di daerah tangan, ditempelkan pada jari-jari tangan, bekerja dengan mendeteksi seberapa banyak keringat yang keluar ketika dalam keadaan tertekan dan berbohong. Sensor ini berfungsi untuk mengukur kemampuan kulit yang menghantarkan listrik ketika kulit terhidrasi seperti keringat, dan semua data-data tercatat di dalam grafik.

Penggunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dilakukan kerena kurangnya saksi-saksi dan keterangan dari tersangka, penyidik dapat menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai altenatif, alasannya antara lain adalah:

1. Untuk menguji keterangan tersangka.

(40)

Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pertama kali digunakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) pada tahun 1994. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dipergunakan pada waktu proses pemeriksaan tersangka yang dilakukan oleh penyidik kepolisian pada kasus penggelapan pajak.

Pada bulan Juli tahun 2008 pemeriksaan dengan menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dilakukan terhadap tersangka Verry Idhan Henryansyah alias Ryan yang terkait dalam kasus pembunuhan. Ketidak konsistenan Ryan dalam memberikan keterangan-keterangan membuat polisi memutuskan untuk menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) kepada tersangka Ryan. Menurut penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal (DIRESKRIM) Polda Jawa Timur, penggunaan alat pendeteksi kebohongan terhadap tersangka Ryan diperlukan untuk memastikan penjelasan Ryan, mana yang benar dan yang salah. Tersangka Ryan mengaku bahwa dirinya adalah pelaku tunggal atas 11 (sebelas) korban pembunuhan berantai, tetapi pada pemeriksaan sebelumnya tersangka Ryan memberikan keterangan kepada penyidik bahwa Ryan dibantu oleh dua kenalannya pada saat menggali tanah tempat mengubur mayat yang dibunuhnya. Hal inilah yang membuat pihak penyidik Direktorat Reserse dan Kriminal (DIRESKRIM) Polda Jawa Timur memutuskan untuk menggunakan alat pendeteksi kebohongan kepada tersangka Verry Idhan Henryansyah alias Ryan.36

Penggunaan alat pendeteksi kebohongan oleh penyidik Kepolisian Daerah (POLDA) Jawa Timur kepada tersangka Ryan ialah untuk mencari bukti-bukti dan temuan-temuan yang baru. Pencarian bukti-bukti merupakan bagian yang

36

(41)

paling esensial untuk membuktikan atau menyatakan bahwa seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Pada hakikatnya pembuktian suatu perkara pidana telah di lakukan semenjak diketahuinya atau adanya suatu peristiwa hukum, dan pengunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) belum dapat dijadikan alat bukti di persidangan, karena alat pendeteksi kebohongan (lie detector) hanya sebagai alat pelengkap dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik.

C. Kendala yang Timbul dalam Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan Lie detector adalah sebuah alat yang mengukur perubahan fisiologis tubuh pada saat menjawab ya atau tidak atas beberapa pertanyaan yang diajukan. Asumsinya, bahwa seseorang yang berbohong akan mengalami beberapa perubahan fisiologis, dan seseorang yang tidak berbohong tidak terjadi perubahan fisiologis. Menurut Yusti Probowati Rahayu, keakuratan dari penggunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) pada seorang tersangka/pelaku tindak tindak pidana sangat rentan kebenarannya karena hanya melihat detak jantung, denyut nadi, serta perubahan fisik dan hasil dari tes lie detector dapat dimanipulasi dengan cara membuat kondisi tegang bagi orang yang akan diujikan kebohongan.37

Pada perkembangannya, alat pendeteksi kebohongan (lie detector) memiliki banyak kendala dalam penggunaannya. Persoalan yang kerap muncul saat penggunan lie detector adalah mengukur tingkat kegelisahan seseorang. Kebanyakan orang menjadi gelisah ketika menghadapi tes lie detector, alasannya

37

(42)

dikarenakan seseorang yang dites dengan lie detector mengalami rasa takut yang tinggi ketika menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang menjebak dari penyidik.

Keakuratan alat pendekteksi kebohongan (lie detector) ini telah menjadi perdebatan bagi para penegak hukum. Pada tahun 2003 National Academy of Sciences (NAS) menerbitkan sebuah laporan berjudul Polygraph dan Lie detector, yang menyatakan bahwa penggunaan alat pendeteksi kebohongan pada proses pemeriksaan tidak dapat dipercaya. Kajian-kajian ilmiah National Academy of Sciences menyimpulkan beberapa kendala dari alat pendeteksi kebohongan (lie detector) antara lain yaitu:38

1. Pengujian alat pendeteksi kebohongan tidak dapat dilakukan berulang kali terhadap seorang tersangka/pelaku yang sama.

2. Kondisi seorang pelaku dengan tingkat kesadaran yang menurun dapat membuat alat pendeteksi kebohongan tidak mampu mendeteksi.secara efektif.

Kendala lain yang timbul dari penggunaan alat pendeksi kebohongan ialah pada proses pengujiannya. Menurut Reza Indragiri terdapat 2 (dua) kendala pada proses pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) antara lain yaitu:39

1. Face negatif ialah orang yang bersalah diuji dengan lie detector merasa takut dan gugup, sehingga pengujian tersebut dianggap gagal dan orang tersebut divonis berbohong.

38

David W Martin, Dikutip dalam, N.N, Ensiklopedia Bebas http://www.en.wikipedia. org. Diakses tanggal 5 Januari 2011.

39

(43)

2. Fece positif ialah orang yang bersalah diuji dengan lie detector tidak merasa takut dan gugup, sehingga pengujian tersebut dianggap berhasil dan orang tersebut divonis jujur.

Proses pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) biasanya dipergunakan pada tindak pidana umum, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, dan pencurian, alasannya dikarenakan tidak ada saksi-saksi lain dalam proses pemeriksaan. Pada tindak pidana khusus, misalnya korupsi, pengujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) juga dapat dipergunakan oleh penyidik, namun pada praktiknya alat pendeteksi kebohongan (lie detector) jarang dipergunakan pada proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik, dikarenakan pada kasus tindak pidana korupsi bukti-buktinya sudah mencukupi sehingga penggunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) tidak diperlukan lagi oleh penyidik.40

Pada tanggal 7 Nopember 2009 pemeriksaan dengan menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dilakukan oleh penyidik Mabes Polri terhadap Ary Muladi, Ary Muladi merupakan salah satu saksi dari dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPN) non aktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, pemeriksaan yang oleh penyidik Mabes Polri terhadap Ary Muladi yaitu terkait kasus dugaan penyuapan kedua pempinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPN) non aktif. Keterangan yang tidak konsisten dari Ary Muladi menbuat penyidik dari Mabes Polri memutuskan untuk menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector). Menurut penyidik Mabes Polri, penggunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) terhadap Ary Muladi dilakukan untuk

40

(44)

mencari bukti-bukti baru dan untuk memastikan penjelasan dari Ary Muladi benar atau salah karena pada pemeriksaan sebelumnya Ary Muladi memberikan keterangannya kepada penyidik Mabes Polri bahwa dirinya bertemu dan menyerahkan sejumlah uang kepada kedua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif, Bibik Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, namun pada pemeriksaan selanjutnya ary muladi memberikan keterangan bahwa dirinya tidak pernah bertemu dan tidak pernah menyerahkan sejumlah uang tersebut kepada kedua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) non aktif, Bibik Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Keterangan yang tidak konsisten tersebutlah yang membuat pihak penyidik dari Mabes Polri memutuskan untuk menggunakan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) kepada Ary Muladi.41

(45)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecanggihan teknologi semakin berkembang dengan pesat sehingga mempengaruhi kehidupan manusia. Teknologi informasi telah mengubah perilaku masyarakat dan peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini mempengaruhi kehidupan perekonomian secara global, baik di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.

Perkembangan teknologi dan informasi telah membawa masyarakat Indonesia ke arah hidup yang bersifat modern.1

Perkembangan teknologi merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan kejahatan, sedangkan kejahatan itu sendiri telah ada dan muncul sejak permulaan zaman sampai sekarang dan masa yang akan datang.

Perkembangan teknologi dan informasi memberikan kemudahan kepada masyarakat dan memberikan masukan untuk dapat memahami perkembangan teknologi informasi agar masyarakat dapat berkomunikasi dan bersosialisasi dengan siapapun dimanapun keberadaannya dengan baik dan benar.

Perkembangan teknologi komputer membantu pekerjaan manusia di berbagai bidang profesi, sehingga memudahkan bagi para penggunanya untuk dapat menyimpan dan memproses berbagai data baik bidang pendidikan maupun yang berkaitan dengan pekerjaan, berbagai macam data dapat diproses atau disimpan dengan mudah melalui teknologi komputer tersebut.

1

(46)

bentuk kejahatan yang ada semakin hari semakin bervariasi seperti pencurian data, pelanggaran hak cipta, termasuk penipuan untuk memperoleh informasi personal melalui pengiriman e-mail atau disebut dengan phishing.

Kejahatan atau tindak kriminal merupakan satu bentuk dari perilaku menyimpang yang selalu ada dan melekat pada tiap masyarakat, bahkan ada adagium yang menyatakan bahwa dimana ada masyarakat, disitu ada kejahatan. Perilaku menyimpang merupakan suatu ancaman terhadap norma-norma sosial yang mendasari kehidupan atau keteraturan sosial, serta dapat meninbulkan ketegangan individu maupun ketegangan-ketegangan sosial, dan merupakan ancaman yang berpotensial bagi berlangsungnya ketertiban sosial.2Menurut Paul Moedikno Moeliono, kejahatan adalah pelanggaran norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan sebagai perbuatan yang merugikan, menjengkelkan dan tidak boleh dibiarkan. Ketidak puasan terhadap kondisi dan keadaan membuat meningkatnya kualitas dan kuantitas kejahatan, apabila kejahatan meningkat, maka berbagai macam cara dan berbagai macam motif akan digunakan untuk melancarkan kejahatan tersebut.3

Tindak kriminal yang semakin meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas merupakan hal yang sangat diperhatikan oleh pemerintah sehingga menyebabkan pemerintah sebagai pelayan dan pelindung masyarakat berusaha untuk menanggulangi meluasnya kejahatan, sehingga kejahatan tersebut dapat dipidana. Pelaku kejahatan seringkali tidak mengakui kejahatan yang telah

2

Is. Heru Permana, Politik Kriminal, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2007, hal. 11.

3

(47)

dilakukannya. Hal tersebut melatarbelakangi diciptakannya alat untuk mendeteksi kebohongan.

Pada tahun 1902 muncul sebuah alat yang bernama lie detector yang merupakan alat yang pertama kali digunakan untuk mendeteksi kebohongan seorang tersangka. Lie detector digunakan untuk mengetes dan merekam aktivitas elektrik dari otak manusia.4

Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) mulai mengenal alat pendeteksi kebohongan (lie detector) ketika pihak kepolisian mulai menggunakan

Lie detector awalnya dipakai sebagai pendeteksi kebohongan oleh departemen kepolisian serta agen-agen rahasia seperti Federal Bureau of Investigation (FBI) dan Central Intelligence Agency (CIA). Alat ini akan melacak perubahan psikologis pada tubuh jika seseorang berbohong dengan cara melihat perubahan tekanan darah, resistansi listrik pada kulit, adanya keringat yang berpeluh, serta kecepatan degup jantung dan pernapasan, yang akan direkam secara digital atau di atas kertas. Lie detector sendiri akan menggunakan teknik membaca dan memonitor respon tubuh ketika seorang menjawab iya atau tidak dari pertanyaan yang diajukan. Akurasi lie detector terbatas, hanya sekitar 70 %, sehingga orang yang berkata jujur dapat menunjukkan kemiripan perubahan dengan rasa gelisah yang muncul selama pengujian, sementara orang yang mahir berbohong dapat mempelajari bagaimana menyiasati pengujian lie detector.

Persoalan yang kerap muncul saat menggunakan lie detector adalah mengukur tingkat kegelisahan seseorang, kebanyakan orang menjadi gelisah ketika menghadapi tes lie detector, dan pembohong yang mahir justru tidak gelisah saat mereka berbohong.

4

(48)

alat ini untuk memeriksa tersangka Ryan dalam kasus pembunuhan. Ketidakkonsistenan Ryan dalam memberikan keterangan-keterangan membuat polisi memutuskan untuk menggunakan alat pendeteksi kebohongan. Alat pendeteksi kebohongan (lie detector) hanya menangkap perubahan-perubahan fisiologis seperti percepatan detak jantung, peningkatan suhu tubuh, penimbunan darah akibat pelebaran pembuluh darah pada bagian tubuh tertentu, dan penambahan tetesan keringat.

Teknologi sangat penting pada kegiatan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah mempengaruhui lahirnya bentuk-bentuk hukum baru. Kehadirannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik sebagai langkah yang tepat untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penyalahgunaan teknologi yang tak terkendali sehingga bisa merugikan orang lain. Pemerintah perlu mendukung perkembangan dan kemajuan teknologi yang sedemikian pesat melalui infrastrukrur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi infomasi dapat dilakukan secara aman. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik merupakan pembaharuan bagi hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia yang dapat memperluas informasi sebagai suatu alat bukti yang sah.

(49)

yang dapat menjadi tolak ukur dan pertimbangan hakim dalam memutuskan sebuah perkara. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.

Berdasarkan Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), alat bukti yang sah ialah :

1. Keterangan saksi 2. Keterangan ahli 3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Penjelasan Pasal 184 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), di atas telah jelas hanya mengatur 5 (lima) alat bukti dan diluar dari alat bukti tersebut tidak dibenarkan, namun seiring kemajuan teknologi informasi, khususnya sistem elektronik sebagai alat bukti maka penggunaan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) yang dilakukan oleh penyidik Kepolisian Daerah (POLDA) Jawa Timur kepada tersangka Verry Idhan Henryansyah alias Ryan dapat mengacu kepada Pasal 5 angka 1 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menyatakan bahwa :

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

(50)

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Penjelasan Pasal 5 angka 1 dan Pasal 5 angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi harus tetap dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional bersadarkan peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional dan pemanfaatan teknologi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahtraan masyarakat.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk mengambil judul Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan (Lie detector) Pada Proses Peradilan Pidana Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

B. Permasalahan

(51)

2. Bagaimana analisis hukum terhadap penggunaan alat pendeteksi kebohongan pada proses peradilan pidana.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan

a. Untuk mengetahui Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan Pada Proses Peradilan Pidana

b. Untuk mengetahui analisis hukum terhadap penggunaan alat pendeteksi kebohongan pada proses peradilan pidana dihubungkan dengan Kitab undang Hukum Acara Pidana juncto Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik

2. Manfaat

a. Secara Teoritis

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang hukum pidana, khususnya yang berkaitan penggunaan lie detector dalam peradilan pidana

2. Dapat memberi masukan kepada masyarakat, pemerintah, aparat penegak hukum tentang eksistensi Undang-undang serta pasal-pasal yang berkaitan dengan penggunaan lie detector dalam proses peradilan pidana di Indonesia

b. Secara Praktis

(52)

melakukan penelitian yang berkaitan dengan penggunaan alat pendeteksi kebohongan dalam peradilan pidana di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Penggunaan Alat Pendeteksi Kebohongan (Lie detector) Pada Proses Peradilan Pidana Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Juncto Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

(53)

Pengertian masyarakat yang sedang membangun adalah masyarakat yang sedang berubah cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian.5

Perkembangan teknologi informasi yang pesat pada saat ini tidak terlepas dari peran ilmu pengetahuan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dan seni sebagai bagian integral pembangunan nasional harus ditujukan untuk menjadi landasan ketahanan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan. Pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi harus tetap tanggap dalam menghadapi perubahan global dan dalam menghadapi munculnya tatanan baru kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.6

Faktor ilmu pengetahuan berperan banyak dalam menciptakan teknologi tersebut dan dalam menciptakan piranti komputer, baik piranti lunak maupun keras yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Perkembangan piranti-piranti lunak dan software merupakan dampak dari perkembangan teknologi saat ini. Perkembangan teknologi tidak hanya memberikan dampak yang positif, pemanfaatan teknologi yaitu memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mencari informasi dengan cepat dan tanpa batas, tetapi terdapat pula dampak negatif, misalnya adanya berbagai macam kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan atau yang disebarkan melalui teknologi tersebut.7

5

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2002, hal. 14.

6

Yogi Sugito, Pedoman penelitian & Pengabdian Masyarakat, Makalah dalam seminar Pedoman Kegiatan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Desember 2006, hal. 12.

7

Asep Saepudin Nur, Skripsi, Tinjaun Hukum Mengenai Game Online Counter Strike Yang Mengandung Unsur Kekerasan Di Internet Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, Universitas Komputer Indonesia, Bandung, 2009, hal. 1.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

Rancangan aplikasi web ini diharapkan akan lebih memperluas informasi dan mengenalkan website permohonan cuti pegawai melalui media komputer secara interaktif, sehingga

Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 atau biasa disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana

standar kompetensi tenaga pendidik Meningkatkan kualitas SDM tenaga pendidik melalui studi lanjut, sertifikasi kompetensi, peningkatan jabatan akademik serta keterlibatan dalam

Studies at the University of Reading (UK) compared silage quality, feed intake and digestibility of maize silage with maize±sun¯ower (MS), maize±kale (MK) and maize±runner bean

(1) Ruang lingkup perjanjian ini adalah PIHAK KEDUA akan melakukan pelayanan medis dan atau pelayanan kesehatan lainnya sesuai dengan lingkup kredensial yang

Membantu Kepala Sekolah dalam mengembangkan rencana dan kegiatan lanjutan yang berhubungan dengan pelaksanaaan kepada masyarakat sebagai akibat dari komunikasi

Menurut hemat kami kalau kami menggunakan hanya Pasal 22E, argumen atau konstruksi hukum yang berkaitan dengan..., apa namanya, law enforcement dari Dewan Kehormatan itu