DAFTAR PUSTAKA
I. Buku-Buku
Ali, Mahrus, Hukum Pidana Korupsi, (Yogyakarta: UII Press, 2016).
Chazawi, Adami, Hukum Pidana Korupsi Di Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta:Rajawali Pers, 2016).
Fakhriah, Efa Laela, Bukti Elektronik dalam Pembuktian Perdata, (Bandung: ALUMNI, 2009).
Makarim, Edmon, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004).
Hamzah, Andi, 1991, Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1991).
---, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008)
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan Kuhap:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Himawan, Charles, Hukum sebagai Panglima, (Jakarta: Buku Kompas, 2003).
Kristian dan Gunawan, Yopi, Sekelumit Tentang Penyadapan Dalam Hukum
Positif Di Indonesia, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2013).
Prodjohamidjojo, Martiman, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik
Korupsi, (Bandung: Mandar Maju, 2009).
Renggong, Ruslan, Hukum Pidana Khusus, Memahami Delik-Delik di luar
KUHP, (Jakarta: Kencana, 2016).
Rosadi, Sinta Dewi, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional,
Regional, dan Nasional, (Bandung: Refika Aditama, 2015).
Sitompul, Josua, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum
Pidana, (Ciputat: PT.Tatanusa, 2012).
Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997)
Suhariyanto, Budi, Tindak Pidana Teknologi Informasi (Cybercrime), (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013).
Surachmin dan Cahaya, Suhandi, Strategi & Teknik Korupsi, Mengetahui Untuk
Mencegah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013).
Wahid, Abdul dan Labib, Mohammad, Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), (Bandung: Refika Aditama, 2005).
II. Kamus Hukum dan Jurnal Hukum
Hamdi Syaibatul, Suhaimi dan Mujibussalim, Bukti Elektronik Dalam Sistem
Pembuktian Pidana, Jurnal Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Syiah
Kuala, 2013.
Marbun, Rocky, dkk., Kamus Hukum Lengkap, (Jakarta: Visimedia, 2012).
III. Internet
Detik News,
http://news.detik.com/berita/d-3306849/putusan-mk-repotkan-tugas-jaksa-dari-praperadilan-hingga-eksekusi-mati diakses pada tanggal 03 November 2016.
Fauzan Jauhari,
http://fauzanjauhari.blogspot.co.id/2013/11/teori-pembuktian-alat-alat-bukti-dalam.html diakses pada tanggal 14 November 2016.
http://instalasi-jaringan.com/jenis-jenis-kamera-cctv/ diakses tanggal 21 November 2016.
http://www.cctvpantura.com/2015/11/pengertian-cctv-dan-perangkat-perangkat.html diakses tanggal 21 November 2016 dan pada tanggal 10 Desember 2016.
diakses tangal 21 November 2016.
diakses pada tanggal 14 November 2016.
http://soal-soalpkn.blogspot.co.id/2015/09/apa-yang-dimaksud-dengan-persetuju an. html diakses pada tanggal 07 Februari 2016.
https://mengertihukum.wordpress.com/2016/04/01/kewajiban-penyediaan-dan-pe masangan-cctv-pada-bangunan-gedung/ diakses pada tanggal 27 Desember 2016.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://kbbi.web.id/elektronik diakses
pada tanggal 10 November 2016.
Kamus KBBI, http://www.kamuskbbi.id/kbbi/artikata.php?mod=view&Keduduk
an&id=36295-arti-maksud-definisi-pengertian-Kedudukan.html diakses pada tanggal 15 November 2016.
Kompas,http://megapolitan.kompas.com/read/2016/10/07/10461931/kata.hotman.
paris.jessica.harus.bebas.karena.bukti.rekaman.cctv.tidak.sah.html diakses pada tanggal 03 November 2016.
Masrigunardi,
http://masrigunardi.blogspot.co.id/2012/09/kata-sepakat-dalam-per janjian.html diakses pada tanggal 07 Februari.
Sektieka Guntoro,
https://sektiekaguntoro.wordpress.com/2014/05/17/informasi- elektronik-dan-dokumen-elektronik-sebagai-perluasan-alat-bukti-dalam-perkara-pidana/ diakses pada tanggal 07 Oktober 2016.
Solo Pos,
http://www.solopos.com/2016/09/26/inilah-efek-setya-novanto-yang-menguntungkan-jessica-wongso-756019 diakses pada tanggal 03 November 2016.
Tribun News, http://www.tribunnews.com/nasional/2013/07/01/arya-abdi-effendy -dan-juard-effendi-divonis-2-tahun-3-bulan diakses pada tanggal 20 Desember 2016.
Viva News,
http://nasional.news.viva.co.id/news/read/409487-jaksa-putar-rekaman-cctv-penyerahan-suap-impor-daging diakses pada tanggal 20 Desember 2016.
Zona Siswa, http://www.zonasiswa.com/2014/05/pengertian-globalisasi-lengkap.
IV. Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
UU No. 8 tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
UU No. 8 Tahun 1997 Tentang Dokumen Perusahaan.
UU No. 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UU No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
UU No. 25 Tahun 2003 jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
UU No. 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
UU. No. 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara.
BAB III
KEKUATAN PEMBUKTIAN REKAMAN CCTV DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Rekaman CCTV sebagai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai kedudukan rekaman CCTV
sebagai alat bukti elektronik dalam UU ITE, apakah sebagai informasi elektronik
atau sebagai dokumen elektronik.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 menggunakan istilah Informasi
Elektronik dan Dokumen elektronik untuk menyatakan sebuah data atau informasi
atau dokumen yang diolah menggunakan peralatan-peralatan elektronik. Tentu
saja hal tersebut dapat diketahui dari pengertian Informasi Elektronik dan
Dokumen Elektronik tersebut. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU ITE, pengertian
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk
tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto,
electronic data intercharge (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram,
teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol atau
perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang
yang mampu memahaminya. Sedangkan pengertian Dokumen Elektronik
berdasarkan Pasal 1 angka 4 UU ITE adalah Informasi Elektronik yang dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan,
terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, symbol atau perforasi yang memiliki makna
atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Rekaman CCTV merupakan hasil dari perekaman yang dilakukan oleh
perangkat Closed Circuit Television (CCTV). Perlu diketahui, CCTV tidak hanya
terdiri dari kamera dan kabelnya saja, tetapi juga memiliki bagian-bagian lain.
Berikut adalah alat-alat yang pada umumnya terdapat pada perangkat CCTV113
1. Camera. Kamera pada perangkat CCTV berfungsi sebagai alat pengambil gambar. Kamera CCTV terdiri dari beberapa tipe yang dibedakan dari segi fungsi, kualitas dan penggunaannya.
:
2. DVR (Digital Video Recorder). DVR kepanjangan dari Digital Video Recorder ialah salah satu perangkat yang digunakan kamera CCTV untuk merekam gambar atau yang dikirim oleh kamera ke dalam perangkat ini. Perangkat ini lah yang kemudian bertugas menyimpan data yang didapatkan.
3. Hard Disk Drive (HDD). HDD adalah singkatan dari Hard Disk Drive yang merupakan media penyimpanan data dari gambar video yang telah direkam. Hard Disk Drive dipasang di dalam DVR. Semakin besar kapasitas HDD maka semakin panjang pula proses perekaman yang dapat dilakukan oleh CCTV tersebut.
4. Coaxial Cable. Ini adalah kabel yang merupakan kabel pengantar sinyal video dari kamera CCTV ke DVR, atau sebaliknya dari DVR ke monitor.
5. Power Cable. Kabel ini diperlukan apabila kabel kamera CCTV yang disediakan tidak cukup panjang untuk menjangkau sumber listrik terdekat.
6. BNC Connector. Adalah konektor yang dipasang pada kabel coaxial.
113
Berdasarkan perangkat-perangkat tersebut, dapat diketahui bahwa
perangkat CCTV tidak hanya menampilkan apa yang terlihat oleh kamera CCTV
tersebut melalui monitor yang tersambung, tetapi juga merekam dan
menyimpannya ke dalam media penyimpanan Hard Disk Drive. Data atau
informasi yang direkam dan disimpan itulah yang kemudian dinamakan rekaman
CCTV.
Agar dapat digunakan sebagai alat bukti dalam suatu kasus baik dalam
tindak pidana atau kasus lainnya, maka rekaman CCTV yang disimpan dalam
media penyimpanan hard disk harus diambil atau dipindahkan ke dalam media
penyimpanan lain seperti Flashdisk114, kemudian biasanya disimpan dalam CD115
atau media penyimpanan lainnya yang dapat dengan mudah dibawa-bawa.
Berdasarkan analisa penulis diatas, maka rekaman CCTV yang digunakan
menjadi alat bukti adalah berupa Dokumen Elektronik. Alasannnya adalah karena
rekaman CCTV tersebut mengandung suatu informasi elektronik yang telah
disimpan, diteruskan atau dipindahkan ke dalam media digital yang lain untuk
kemudian ditampilkan kembali pada perangkat seperti komputer atau perangkat
lain yang dapat membaca rekaman CCTV tersebut. hal ini sesuai dengan
pengertian dokumen elektronik dalam Pasal 1 Angka 4 UU ITE.
114
Flashdisk adalah perangkat penyimpan data yang terdiri dari memori flash dan terintegrasi dengan antarmuka USB (Universal Serial Bus). Flashdisk memiliki sifat dapat dibaca dan ditulis oleh komputer dan akan mempertahankan informasi yang telah ditulis di dalamnya walaupun tanpa adanya arus listrik. Dengan demikian, data yang ada di dalam flashdisk akan tetap tersimpan di memori flash walaupun tanpa menggunakan baterai.
115
B. Kekuatan Pembuktian Rekaman CCTV dalam Tindak Pidana Korupsi
Yang menjadi permasalahan dalam suatu pembuktian tindak pidana adalah
mengenai bagaimana kekuatan alat bukti atau kekuatan pembuktian dari suatu alat
bukti. Kekuatan pembuktian maksudnya adalah nilai dari suatu informasi atau
data yang ada dalam alat bukti yang dapat menunjukkan sesuatu yang dapat
menerangkan suatu kejadian dan persesuaian dengan alat bukti lainnya.
Singkatnya, kekuatan pembuktian adalah sejauh apa alat bukti dapat membuktikan
terdakwa bersalah atau tidak.
Sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia adalah pembuktian yang
berdasarkan undang-undang secara negatif. Hal tersebut dapat dilihat dari pasal
183 KUHAP yang menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana apabila
memiliki sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah dan memiliki keyakinan
bahwa benar-benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah.
Keyakinan yang dimiliki oleh hakim haruslah berdasarkan ketentuan yang ada di
dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, artinya dalam memutus perkara,
hakim terbatas pada alat bukti yang diatur secara sah di dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Sistem pembuktian ini yang nantinya akan mengarahkan
proses pembuktian di dalam pengadilan, sehingga para praktisi hukum khususnya
hakim dapat memutus perkara secara objektif.116
116
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 430.
Berarti dalam hal ini, alat bukti
memiliki peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi keyakinan atau
pembuktian yang kuat, akan menghasilkan keyakinan yang kuat dan berdasar
kepada hakim tentang kejadian sebenarnya. Hal tersebut menjadi penting, karena
dalam prakteknya, keyakinan hakim dapat dikesampingkan apabila keyakinan
hakim tersebut tidak dilandasi suatu pembuktian yang cukup, sehingga tidak
mempunyai nilai.117
Dalam hukum acara pidana, macam-macam alat bukti serta cara
penggunaan dan batas-batasnya telah ditentukan di dalam KUHAP. Penegakan
hukum pidana materiil korupsi melalui hukum pidana formal secara umum
termasuk ketentuan mengenai pembuktian tetap tunduk dan diatur dalam KUHAP.
Namun, sebagai hukum pidana khusus terdapat pula ketentuan mengenai hukum
acara yang sifatnya khusus atau dikenal dengan isilah lex specialis derogate lex
generalis yang artinya ketentuan yang khusus mengenyampingkan ketentuan yang
umum.118
Salah satu kekhususan sistem pembuktian dalam hukum acara pidana
korupsi adalah tentang perluasan bahan yang dapat digunakan untuk membentuk
alat bukti petunjuk yang terdapat dalam pasal 26A UU Tipikor. Pasal 26A
menyatakan :
119
117
Ibid, hal. 431.
118
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 359.
119
Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Dari isi pasal 26A diatas dapat dilihat bahwa hukum pidana formil korupsi
atau hukum acara pidana korupsi mengatur alat bukti elektronik sebagai “alat
bukti lain”. Artinya, alat bukti elektronik dapat dijadikan alat bukti dalam tindak
pidana korupsi, yakni sebagai alat bukti lain. Dalam Pasal 26A tersebut, alat
bukti lain merupakan alat bukti yang berdiri sendiri, seperti halnya alat bukti yang
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP. Namun, bila diteliti lagi, alat bukti lain
digunakan dalam rangka mencari alat bukti petunjuk atau sebagai sumber alat
bukti petunjuk.
Pasal 188 ayat (1) KUHAP mendefinisikan alat bukti petunjuk sebagai
“perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu
dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa
telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.” Dari pengertian tersebut
dapat diketahui bahwa sifat bukti petunjuk ini berbeda dengan alat bukti lain yang
berdiri sendiri. Petunjuk yang merupakane persesuaian antara perbuatan, keadaan,
dan atau kejadian tidak berdiri sendiri, tetapi suatu konstruksi hakim yang
didasarkan pada alat-alat bukti lain yang telah digunakan dalam memeriksa
digunakan sebelum digunakannya alat bukti lain. Alat bukti petunjuk tidak
mungkin berdiri sendiri, tetapi bergantung pada alat alat bukti lain yang telah
dipergunakan atau diajukan oleh jaksa penuntut umum, dan juga oleh penasihat
hukum.120
Bila melihat kembali pada isi pasal 26A UU Tipikor, maka khusus dalam
tindak pidana korupsi, alat bukti petunjuk tidak hanya dibangun berdasarkan
keterangan saksi, surat-surat, dan keterangan terdakwa, tetapi juga dapat dibangun
dari alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
dokumen, yaitu setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
atau disimpan secara elektronik, berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Singkatnya, alat Menurut pasal 188 ayat (2) KUHAP, alat-alat bukti yang dapat
membangun alat bukti petunjuk adalah keterangan saksi, surat-surat, dan
keterangan terdakwa. Dapat dilihat bahwa keterangan ahli tidak termasuk kedalam
alat bukti yang dapat membangun alat bukti petunjuk. Mengapa demikian ?
Menurut Adami Chazawi, alasannya adalah karena alat bukti yang dianggap
sebagai petunjuk hanya bisa diperoleh dari alat-alat bukti yang membuktikan
tentang kejadian sebernarnya, seperti saksi mengenai apa yang dilihat, apa yang
didengar, dan apa yang dialaminya. Sementara keterangan ahli menerangkan
segala sesuatu mengenai pendapat berdasarkan keahliannya saja, bukan
menerangkan peristiwanya.
120
bukti petunjuk dalam tindak pidana korupsi, tidak hanya dapat dibangun
berdasarkan alat bukti yang ada dalam KUHAP, tetapi juga dapat diperoleh dari
alat bukt i lain yaitu alat bukti elektronik.
Demikian halnya dengan rekaman CCTV. Rekaman CCTV sebagai salah
satu bentuk dari alat bukti elektronik dalam pembuktian tindak pidana korupsi
merupakan alat bukti lain yang dapat membentuk alat bukti petunjuk. Informasi
atau video yang ditunjukkan atau ditampilkan pada rekaman CCTV tersebut akan
membangun persesuaian antara perbuatan atau kejadian atau keadaan dengan
keadaan yang lainnya, atau mungkin dapat langsung menunjukkan terjadinya
perbuatan tindak pidana korupsi. Kejadian kejadian yang tersimpan dalam
rekaman CCTV, bila dihubungkan dengan alat bukti yang lain, seperti keterangan
saksi, surat, dan keterangan terdakwa, maka akan membangun sebuah alur atau
kerangka kejadian atau konstruksi tentang kejadian yang sebenarnya. Alur atau
kerangka kejadian itulah yang kemudian dijadikan sebagai alat bukti petunjuk.
Dalam bidang peradilan, hak seseorang untuk memperoleh keadilan yang
layak umumnya belum seberuntung haknya untuk jalan-jalan pada malam hari.121
121
Charles Himawan, Hukum sebagai Panglima, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hal. 164. Dengan adanya alat bukti lain yang dapat menjadi sumber alat bukti petunjuk,
maka alat bukti lain tersebut juga dapat dimanfaatkan oleh pihak terdakwa.
Mengingat bahwa korupsi adalah tindak pidana di kalangan pejabat dan/atau
pimpinan perusahaan, sangat mungkin terdapat suatu rekayasa kejadian kejadian
tertentu yang bertujuan untuk menjebak seseorang agar tersangkut kasus korupsi.
keadilan dengan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah atau tidak melakukan
tindak pidana korupsi. Misalnya, seorang pejabat dituduh menyalahgunakan
kekuasaannya karena melakukan percakapan melalui telepon seluler dengan
seorang pengusaha kaya raya. Namun, pejabat tersebut dapat membuktikan bahwa
dirinya tidak melakukan korupsi dengan menunjukkan rekaman pembicaraannya
dengan pengusaha tersebut, yang ternyata isi percakapan mereka adalah saling
mengucapkan selamat hari raya.
Pada dasarnya, kekuatan pembuktian rekaman CCTV sebagai alat bukti
dalam tindak pidana korupsi, sama dengan kekuatan pembuktian alat bukti yang
lain yang terdapat dalam KUHAP. Namun, Rekaman CCTV dalam tindak pidana
korupsi tidak dapat berdiri sendiri. Rekaman CCTV berperan dalam membangun
alat bukti petunjuk. Rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan dengan alat bukti
seperti keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, sehingga menunjukkan
persesuaian kejadian satu dengan lainnya. Oleh karena kuat lemahnya
pembuktian, tergantung keterkaitan antara perbuatan yang dianggap sebagai suatu
petunjuk dengan perbuatan yang dituduhkan,122
122
Edmon Makarim, Op.Cit., hal. 441.
Agar memiliki nilai pembuktian
yang kuat, rekaman CCTV tersebut harus menunjukkan keterkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang ingin dibuktikan. Contohnya, kamera CCTV merekam
seorang pejabat menerima tamu di kantornya. Tamu tersebut memberikan sebuah
amplop kepada pejabat tersebut. Bukti rekaman CCTV yang memberikan amplop
ini tidak dapat dijadikan dasar bahwa telah terjadi tindak pidana korupsi. Namun,
menyatakan bahwa pada hari itu juga, tamu tersebut mengambil uang di Bank X
dan memasukkan ke amplop yang sama persis dengan amplop yang ada dalam
rekaman CCTV, maka akan timbul persesuaian. Dengan demikian, maka alat
bukti rekaman CCTV tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.
Untuk menilai kekuatan suatu alat bukti, termasuk alat bukti elektronik
maka yang menjadi kekuatan utamanya adalah informasi yang terkandung di
dalam alat bukti tersebut. Semakin baik kualitas informasinya, maka semakin kuat
kejadian-kejadian yang dapat dibuktikan. Informasi pada dasarnya mempunyai
tingkat kualitas yang dapat ditentukan atau diukur oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut antara lain:123
a. Informasi harus bersifat tepat dan akurat, artinya informasi tersebut harus bersifat bebas dari kesalahan-kesalahan, sesuai dengan fakta, tidak menyesatkan dan harus memiliki makna yang jelas, tegas, dan tidak multitafsir;
b. Informasi harus tepat pada waktunya;
c. Informasi harus relevan, yaitu bahwa informasi harus mempunyai manfaat atau nilai bagi penerima atau pemakainya atau pihak yang akan menggunakannya;
d. Informasi harus bersifat lengkap dan utuh, maksudnya adalah informasi yang disampaikan harus berisi semua informasi yang dibutuhkan, informasi tidak bersifat setengah-setengah, rinci, utuh, dan menyeluruh.
e. Informasi harus jelas.
Oleh karena itu, informasi yang terdapat dalam alat bukti elektronik harus
dapat dijamin keasliannya karena akan berdampak pada kualitas informasi yang
didapatkan dari alat bukti elektronik tersebut. Bila alat bukti elektronik berisikan
informasi yang tidak jelas atau setengah-setengah atau bahkan telah dimanipulasi,
123
maka akan berakibat fatal pada proses pembuktiannya karena tidak lagi berdasar
pada fakta-fakta yang sebenarnya.
Hal tersebut berkaitan dengan bentuk dari rekaman CCTV yang
ditampilkan di dalam persidangan. Bentuk asli dari alat bukti rekaman CCTV
akan terjamin keaslian informasi yang terkandung di dalamnya, dan menunjukkan
informasi yang lebih akurat dibandingkan dengan hasil cetaknya. Rekaman CCTV
dalam bentuk aslinya atau bentuk originalnya yaitu bentuk video akan lebih
memberikan pembuktian yang kuat daripada hasil cetaknya yang hanya berupa
potongan-potongan gambar dari video rekaman CCTV tersebut.
Kekuatan pembuktian suatu rekaman CCTV juga dipengaruhi oleh sah
tidaknya proses pengambilan atau cara memperoleh alat bukti rekaman CCTV
tersebut. Rekaman CCTV yang diambil secara tidak sah akan menghilangkan
kekuatan pembuktian dari alat bukti rekaman CCTV tersebut, karena pembuktian
tidak dapat didasarkan dari alat bukti yang tidak sah.
Dalam UU ITE keabsahan suatu alat bukti elektronik diatur dalam Pasal 5
ayat (3) UU ITE yang menyatakan bahwa Informasi dan/atau Dokumen
Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini. Pada ayat ini muncul suatu
istilah Sistem Elektronik. Pengertian Sistem Elektronik itu sendiri adalah
mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan, dan/ atau menyebarkan Informasi Elektronik.124
a. Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Mengenai persyaratan minimum sistem elektronik yang digunakan oleh
penyelenggara sistem elektronik diatur dalam pasal 16 ayat (1) UU ITE, yaitu :
b. Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keontentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
c. Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut.
d. Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut. e. Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan,
kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.
Penyelenggara atau pelaku sistem elektronik tidak hanya Negara atau
badan hukum tertentu saja melainkan setiap pihak-pihak yang melakukan
penyelenggaraan sistem elektronik termasuk didalamnya orang, badan usaha, dan
masyarakat.125
Sah tidaknya suatu alat bukti elektronik, tidak terlepas dari istilah
intersepsi atau penyadapan. Pada hakikatnya, tindakan penyadapan merupakan Jadi setiap subjek hukum yang melakukan persiapan,
pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, menyimpan, menampilkan,
mengumumkan, mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dengan
suatu sistem elektronik harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam
UU ITE tersebut, termasuk persyaratan pasal 16 yang telah disebutkan diatas.
124
Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008.
125
suatu perbuatan yang berpotensi melanggar atau bahkan meniadakan hak pribadi
atau hak privasi seseorang atau sekelompok orang yang disadap. Alasannya
adalah karena suatu informasi yang disadap bukanlah informasi yang bersifat
umum melainkan suatu informasi yang bersifat privasi atau rahasia.126 Pengertian
privasi sendiri merupakan konsep yang abstrak sehingga cukup sulit untuk
didefinisikan dan sangat dipengaruhi oleh faktor budaya yang berkembang di
masyarakat.127
Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa dalam menjalankan hak
dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan
dengan undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan dan
penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain. Jadi penyadapan
dibenarkan untuk dilakukan dengan mengesampingkan hak privasi seseorang
apabila dilakukan untuk melindungi hak dan kehormatan orang lain, atau dalam
keadaan-keadaan tertentu yang bersifat khusus. Misalnya untuk membuat terang Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 5/PUU-VII/2010, tanggal
24 Februari dalam paragraf [3.21] menyatakan bahwa penyadapan merupakan
bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Namun, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Rights of
privacy atau hak privasi adalah merupakan bagian dari hak asasi manusia yang
dapat dibatasi (derogable rights) yang dapat dilakukan dengan Undang-Undang,
sebagaimana ketentuan pasal 28 J UUD 1945.
126
Kristian dan Yopi Gunawan, Op.Cit., hal. 51.
127
Sinta Dewi Rosadi, Aspek Data Privasi Menurut Hukum Internasional, Regional, dan
suatu perkara yang sulit pembuktiannya, untuk menemukan pelaku tindak pidana
yang terorganisasi, untuk membuat terang tindak pidana yang dilakukan lintas
batas Negara, untuk membongkar kejahatan atau tindak pidana yang terorganisir,
untuk membongkar sindikat pelaku tindak pidana kerah putih, untuk
menggagalkan rencana melakukan tindak pidana, untuk membuat terang tindak
pidana yang menggunakan teknologi modern atau teknologi canggih, dan lain
sebagainya.128
1. Informasi yang terkandung dalam rekaman CCTV harus memiliki keterkaitan
atau kesesuaian dengan alat-alat bukti yang sah lainnya.
Pada dasarnya penyadapan adalah bentuk dari upaya perlindungan
terhadap hak dan kebebasan orang lain atau masyarakat umum. Alat bukti
elektronik yang didapatkan dan yang digunakan sebagai hasil dari penyadapan
didasarkan pada benar atau tidaknya pelaksanaan penyadapan tersebut. Alat bukti
elektronik dikatakan sah sebagai alat bukti apabila penyadapan dilakukan sesuai
dengan prosedur dan ketentuan tentang penyadapan yang telah ada dan berlaku.
Untuk menentukan kekuatan pembuktian dari alat bukti rekaman CCTV
dalam tindak pidana korupsi, maka berdasarkan uraian diatas penulis
menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:
2. Bentuk rekaman CCTV yang paling baik untuk ditampilkan adalah bentuk
video aslinya, sehingga informasi di dalamnya terjamin keotentikannya.
3. Rekaman CCTV harus merupakan alat bukti yang sah. Sah tidaknya rekaman
CCTV ditentukan oleh:
128
a. Dalam memperoleh rekaman CCTV harus memenuhi persyaratan
minimum sistem elektronik yang ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1), dan
b. Bukan merupakan hasil tindakan intersepsi atau penyadapan. Kecuali
intersepsi tersebut dilakukan dengan tata cara yang sah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
C. Beberapa Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Menggunakan Rekaman CCTV sebagai Alat Bukti
Setelah lebih dari 15 tahun sejak berlakunya pasal 26A UU Tipikor,
pengadilan tindak pidana korupsi sudah banyak menangani kasus-kasus korupsi
dengan menggunakan alat bukti elektronik, termasuk rekaman kamera pengintai
atau rekaman CCTV. Berikut adalah beberapa kasus korupsi yang menggunakan
rekaman CCTV dalam proses pembuktiannya. Dalam kasus di bawah ini dapat
dilihat bagaimana peranan rekaman CCTV dalam tindak pidana korupsi.
1. Kasus Tindak Pidana Korupsi Atas Nama Rahmat Syahputra
Perkara ini telah diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pada
Pengadilan Negeri Pekanbaru dengan nomor putusan 29/Pid.Sus/2012/PN.PBR
dengan nama terdakwa Rahmat Syahputra. Rahmat Syahputra adalah seorang
karyawan PT. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk cabang XI. Rahmat
Syahputra berposisi sebagai Site Administrasi Manajer dalam Kerja Sama
Operasional (KSO) antara PT. Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk (PT. PP) -
PT. Adhi Karya (Persero) Tbk (PT. ADHI) – PT. Wijaya Karya (Persero) Tbk
(PT. WIKA) yang bertugas mencatat biaya-biaya, penghitungan pajak dan
Oleh pengadilan Tipikor PN Pekanbaru, Rahmat Syahputra dinyatakan
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana
Korupsi Secara Bersama-sama serta dijatuhi pidana penjara selama 2 tahun dan 6
bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak
dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan.
Oleh Majelis Hakim, Rahmat dinyatakan melakukan perbuatan sesuai
dakwaan alternatif pertama yaitu Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No.31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 tentang perubahan atas
UU No.31 Tahun 1999 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang bunyinya, Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
“Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara Negara dengan maksud Penyelenggara Negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bersangkutan dengan
kewajibannya.” Karena perbuatan tersebut dilakukan oleh beberapa orang, maka
majelis hakim mengkaitkannya dengan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP yang
bunyinya adalah, “dipidana sebagai pelaku tindak pidana mereka yang melakukan,
yang meyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.”
Pembuktian dalam perkara korupsi ini menggunakan rekaman CCTV
dalam pembuktiannya, yaitu BB No. 179 satu buah flashdisk bertuliskan
“Lifestyle Scheoffel” warna silver dengan bungkus kulit warna hitam bertuliskan
pada tanggal 3 April 2012. Rekaman tersebut menunjukkan 2 orang yang duduk
di sofa yang diketahui orang pertama adalah terdakwa dan yang satunya lagi
adalah Satria Hendri yang merupakan perwakilan dari PT Adhi Karya. Rekaman
CCTV memperlihatkan bahwa Satria Hendri menyerahkan kantong plastik hitam
yang diakui oleh Satria Hendri adalah uang senilai Rp. 319.000.000,-. Uang
tersebut yang bila digabungkan dengan uang yang telah dipegang Rahmat
Syahputra menjadi berjumlah Rp. 900.000.000,- yang diserahkan kepada Faisal
Aswan, seorang anggota DPRD Provinsi Riau.
Rekaman CCTV tidak menunjukkan secara langsung tindakan korupsi
yang dilakukan oleh para pelaku. Namun berdasarkan rekaman CCTV itu, hakim
dapat membangun sebuah alur dengan melihat keterkaitannya dengan alat bukti
lain yaitu keterangan saksi satria hendri yang mengakui isinya adalah uang.
Rekaman CCTV tersebut menunjukkan salah satu orang yang memberikan aliran
dana untuk kemudian diberikan kepada DPRD Provinsi Riau sebagai “uang lelah”
dalam melakukan revisi peraturan daerah.
2. Kasus Tindak Pidana Korupsi Atas Nama Musandrian A.Md Bin Mustar
Perkara ini telah diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tipikor Pengadilan
Negeri Palembang dengan nomor putusan 51/Pid.Sus/2013/PN.Plg dengan nama
terdakwa Musandrian, A. Md. Bin Mustar. Musandrian bekerja sebagai Karyawan
Kontrak PT. Bank BRI (Persero) Tbk. Cabang Palembang Sriwijaya.
Musandrian bertugas sebagai E-Channel pada bank tersebut. dia diberi
ditentukan. Setelah pintu lemari ATM terbuka, Musandrian bertugas mengganti
box uang / kaset yang lama dengan yang baru, setelah itu pintu lemari ATM
ditutup kembali dan box / kaset yang lama dibawa kembali ke Bank untuk
dilakukan perhitungan guna pengisian register opname kas dan pada akhirnya
register opname kas tersebut terdakwa serahkan kepada supervisor Asrana Dety
dan saksi Yunarti, sedangkan sisa uang dari dalam box / kaset yang lama yang
seharusnya disetorkan kepada supervisor kas untuk dilakukan pembukuan, akan
tetapi dalam kenyataannya box / kaset isi ulang untuk mesin ATM yang
digantikan tersebut telah ditukarkan dengan box / kaset yang berisi uang dengan
box / kaset uang yang sudah tidak ada uangnya lagi dan uang yang berada dalam
box / kaset ATM tersebut diambil oleh Musandrian tanpa seizin dari pihak Bank
BRI. Untuk menutupi perbuatannya, Musandrian membuat laporan pembukuan
yang seolah-olah box / kaset ATM yang dibawanya pulang tersebut telah
ditukarkan dengan box / kaset kosong ATM yang telah ditarik nasabah melalui
mesin ATM. Adapun uang yang telah diambilnya dari ke 6 unit ATM milik PT.
Bank BRI Cabang Palembang Sriwijaya adalah sebesar Rp.1.100.000.000,-.
Oleh majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut, Musandrian
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi dan pencucian uang secara berlanjut dan berbarengan, karena uang yang
diambilnya secara tidak sah tadi dipergunakan untuk membeli perabotan rumah
tangga, membeli mobil Opel Blazer dan Eterna, membeli sepeda motor Suzuki
Hayate, membayar angsuran kredit mobil Innova dan Xenia, ditransfer ke
Musandrian dijatuhi pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar
Rp 200.000.000,-, dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti
dengan pidana kurungan selama 6 bulan, serta diwajibkan untuk membayar Uang
Pengganti sebesar Rp.640.000.000,- dengan ketentuan apabila terdakwa tidak
membayar uang pengganti dalam waktu 1 bulan sesudah putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan apabila tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka
diganti dengan penjara selama 1 tahun;
Jaksa penuntut umum menggunakan rekaman CCTV dalam proses
pembuktian kasus ini. 3 buah Rekaman CCTV ATM BRI JM Sukarami terminal
ID ATM 94338, ATM BRI Hotel Anugrah terminal ID ATM 54535, ATM BRI
Internasional Plaza (IP) terminal ID 54536 seperti yang terteta pada barang bukti
nomor 20 pada putusan tersebut. Berdasarkan rekaman CCTV yang ada di lokasi
ATM bisa diketahui bahwa Musandrian telah menukar kaset yang berisi uang
yang seharusnya dimasukkan ke dalam mesin ATM dengan kaset yang kosong
yang baru saja dikeluarkan dari mesin ATM. Rekaman CCTV tersebut telah
menunjukkan bahwa Musandrian telah mengambil uang yang seharusnya
dimasukkan ke ATM, namun belum cukup untuk membuktikan bahwa
tindakannya tersebut adalah tindakan korupsi. Jadi rekaman CCTV ini perlu juga
didukung oleh alat bukti lainnya sehingga hakim mendapat keyakinan bahwa
3. Kasus Tindak Pidana Korupsi Atas Nama Arya Abdi Effendy alias Dio dan H. Juard Effendi.
Arya Abdi Effendi alias Dio menjabat sebagai Direktur Operasional PT.
Indoguna Utama dan Juard Effendi menjabat sebagai Direktur HRD dan GA PT.
Indoguna Utama. Pengadilan Tipikor PN Jakarta menyatakan bahwa Dio dan
Juard Effendi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi. Keduanya terbukti melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 5 ayat 1 huruf a
menyatakan, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling
lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- dan paling
banyak Rp. 250.000.000,- “setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara dengan maksud supaya
pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat
sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”. Majelis
hakim yang memeriksa perkara tersebut menjatuhkan vonis 2 tahun 3 bulan
penjara terhadap Arya Abdi Effendy dan Juard Effendi. Dua petinggi PT
Indoguna Utama itu juga divonis hukuman denda masing-masing Rp
150.000.000,- subsider 3 bulan kurungan.
Pada tingkat banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta melalui putusan
nomor:31/PID/TPK/2013/PT.DKI menguatkan putusan nomor: 19/Pid.Sus/
TPK/2013/PN.JKT.PST tanggal 01 Juli 2013 menambah hukuman kedua orang
tersebut menjadi pidana penjara selama 3 tahun, dan pidana denda sebesar Rp.
Dio dan Juard Effendi melakukan suap uang Rp 1,3 miliar kepada Lutfhi
Hasan Ishaaq selaku anggota DPR sekaligus presiden PKS saat itu dan Ahmad
Fathanah. Uang Rp 1,3 miliar itu sebagai uang muka terkait upaya peningkatan
kouta impor daging PT Indoguna Utama milik Maria Elizabeth Liman sebanyak
8000 ton. Dimana dari 8000 ton itu fee yang akan diterima Luthfi mencapai
Rp40.000.000.000,- jika disetujui Kementrian Pertanian. Perhitungannya
Rp5.000/Kg dari penambahan 8 ribu ton kuota.129
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum memutar rekaman CCTV
sebagai salah satu bukti dalam kasus penambahan kuota impor daging sapi di
ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu 1 Mei 2013.
Video tersebut memperlihatkan aktivitas di ruang kerja Juard Effendi, selaku
Direktur PT Indoguna Utama pada 29 Januari 2013. Dalam rekaman tampak
seorang laki-laki masuk ke dalam ruang kerja Juard. Menurut saksi Debby
Inrawati, selaku Direktur PT Sinar Terang Utama, pria tersebut adalah Rudy
Susanto. Rudy merupakan Komisaris PT Berkat Mandiri Prima. Debby
membenarkan saat itu Rudy hendak bertemu dengan Juard. "Betul tanggal 29
Januari 2013 ada tamu, namanya Pak Rudy, dia importir juga, beli daging dari
kami. Punya pabrik bakso yang beli dagingnya dari PT Indoguna," kata Debby.
Dalam rekaman, Rudy tampak menyerahkan amplop kepada Juard Effendi di meja
kerjanya.130
129
Dalam berkas dakwaan atas terdakwa Arya Abdi Effendi dan Juard
Effendi, diketahui bahwa Arya menghubungi Rudy Susanto agar menyiapkan
uang tunai sebesar Rp 500.000.000,- dan mengantarkannya kepada PT Indoguna
Utama. Sekitar pukul 16.00 WIB, Ahmad Fathanah mendatangi kantor PT
Indoguna untuk mengambil uang itu.
Rekaman CCTV yang digunakan Jaksa Penuntut Umum tersebut bila
berdiri sendiri tidak dapat dinilai sebagai suatu tindak pidana korupsi, namun bila
dikaitkan dengan alat bukti lainnya seperti keterangan saksi diatas maka akan
diketahui bahwa tindakan yang terekam dalam rekaman CCTV tersebut adalah
merupakan salah satu tindakan dari rangkaian tindak pidana korupsi yang
berkaitan dengan kasus korupsi impor daging sapi yang dilakukan oleh Lufhfi
Bab IV
Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-
XIV/2016
A. Analisis Perkara Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Pengujian Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan pasal 26A
UU Tipikor yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi berawal dari permohonan
yang diajukan oleh Setya Novanto yang diwakili oleh kuasa hukumnya . Hal ini
tidak terlepas dari permasalahan yang dialami oleh Setya Novanto sendiri. Setya
Novanto diduga melakukan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau
percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT.
Freeport Indonesia yang di media massa sering disebut kasus “papa minta saham”.
1. Kasus Posisi Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016
Munculnya dugaan terjadinya tindak pidana ini bermula dari beredarnya
rekaman pembicaraan antara Setya Novanto dengan Ma’roef Sjamsudin (Direktur
Utama PT. Freeport Indonesia) dan Muhammad Riza Chalid yang dilakukan
dalam ruangan tertutup di salah satu ruangan hotel Ritz Carlton yang terletak di
kawasan Pacific Place, Jakarta Pusat. Pembicaraan tersebut direkam oleh Ma’roef
Syamsudin secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi tanpa persetujuan Setya
Novanto, yang ada dalam rekaman tersebut, kemudian rekaman tersebut
dilaporkan kepada Sudirman Said , Menteri ESDM.131
131
Dalam permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, Setya
Novanto menyatakan bahwa akibat beredarnya rekaman pembicaraan tersebut
menimbulkan suasana politik yang memanas dan pemberitaan yang cenderung
memojokkan harkat dan martabatnya selaku pribadi maupun selaku Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada saat itu sehingga akhirnya
untuk kepentingan yang lebih besar, Setya Novanto mengundurkan diri dari
jabatannya, namun polemik tidak berhenti disitu. Kejaksaan Agung kemudian
melakukan penyelidikan dengan dugaan terjadinya tindak pidana korupsi
permufakatan jahat atau percobaan melakukan tindak pidana korupsi dalam
perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia berdasarkan rekaman pembicaraan
tersebut. 132
Setya Novanto beranggapan bahwa rekaman yang diambil secara
diam-diam dan tanpa persetujuan yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin adalah tidak
sah karena melanggar hak privasinya. Lebih lanjut dinyatakan dalam surat
permohonan tersebut, jelas melanggar prinsip due process of law yang merupakan
refleksi dari prinsip negara hukum yang dianut oleh Negara Republik Indonesia
sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan juga melanggar prinsip
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sebagaimana
diatur dalam Pasal 28D ayat (1) serta melanggar hak privasi yang dijamin dalam
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.133
132
Lihat pada Bagian kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon, Angka 10 Huruf e dan f, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.
133
Setya Novanto juga berpendapat bahwa pemanggilan Kejaksaan Agung RI
terhadap dirinya dilakukan karena norma dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan
Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Nomor 20 Tahun 2001 tidak
mengatur secara tegas kriteria informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
dan/atau hasil cetaknya yang dapat dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum
acara yang berlaku di Indonesia, sehingga menimbulkan tafsir yang seolah-olah
seluruh informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya
dapat dijadikan alat bukti walaupun diperoleh secara tidak sah. Dan bila dibiarkan
atau tidak diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan memberikan
satu-satunya tafsir, maka dalam jangka panjang akan sangat berpotensi melahirkan
ketakutan dalam masyarakat untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu karena
adanya kekhawatiran akan direkam dan/atau disadap oleh pihak yang tidak
berwenang sehinggap pada akhirnya Negara dapat dianggap gagal melindungi hak
konstitusional warga negaranya sebagaimana diatur dalam pasal 28G ayat (1)
UUD 1945134
2. Petitum yang Dimohonkan oleh Pihak Pemohon dalam Perkara konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016.
yang menyatakan : “setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa nyaman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Berdasarkan hal-hal yang telah diungkapkan oleh pemohon pada perkara
konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016, maka pihak Pemohon mengajukan petitum dan
134
Adapun Petitum yang dimohonkan oleh Pemohon berbunyi sebagai berikut:135
1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bertentangan dengan
UUD Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak
Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
3. Menyatakan Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
4. Menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bertentangan dengan
UUD Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak
Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
5. Menyatakan Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 5 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil
135
cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
6. Menyatakan Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah bertentangan dengan
UUD Republik Indonesia Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Tidak
Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
7. Menyatakan Pasal 44 huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 44
huruf b UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
8. Menyatakan Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah bertentangan dengan UUD Republik Indonesia
Tahun 1945, sepanjang frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tidak Dimaknai sebagai “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
9. Menyatakan Pasal 26A UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
frasa “informasi elektronik dan/atau hasil cetaknya” dalam Pasal 26A
UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Tidak
dan/atau hasil cetaknya yang diperoleh menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan/atau institusi penegak hukum lainnya.”;
10. Memerintahkan pemuatan putusan dalam perkara ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagai mana mestinya
Atau
Apabila Mahkamah berpendapat lain mohon Putusan seadil-adilnya.
3. Keterangan Pemerintah atas Materi Pokok Permohonan Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016
Dalam perkara ini, mahkamah Konstitusi meminta keterangan dari
Pemerintah.
Terhadap dalil pemohon yang menganggap hak konstitusionalitasnya
dilanggar dengan keberlakukan pasal-pasal tersebut, maka pemerintah
berpendapat bahwa hal tersebut tidak benar. Alasannya adalah karena pasal
tersebut dimaksudkan untuk mengakomodir perbuatan hukum baru yang
memanfaatkan teknologi informasi dalam unsur perbuatannya, oleh karena itu
pasal-pasal tersebut bertujuan memberikan pengesahan terhadap alat bukti
elektronik sekaligus memperluas alat bukti yang ada dalam ketentuan Pasal 184
ayat (1) KUHAP.136
Terhadap dalil pemohon yang pada intinya menganggap bahwa perekaman
yang dilakukan secara tidak sah (illegal) atau tanpa persetujuan orang yang
berbicara dalam rekaman, padahal pembicaraan tersebut dilakukan dalam ruangan
136
tertutup, maka pemerintah berpendapat, bahwa perekaman yang didalilkan
pemohon pada hakikatnya merupakan kegiatan pendokumentasian dengan objek
suatu proses, fakta, keadaan, dan/atau kegiatan, yang hasilnya menjadi
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Pemerintah menyatakan
bahwa hal perekaman tersebut bukan merupakan tindakan merekam yang
merupakan salah satu kegiatan dalam intersepsi atau penyadapan. Alasannya
adalah karena objek yang direkam dalam intersepsi atau penyadapan adalah
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik.137
Terhadap dalil pemohon yang meminta agar Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk memberikan penafsiran bersyarat pada ketentuan Pasal 5 ayat (2)
dan (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE, pemerintah memberikan pendapat, bahwa
apabila penafsiran bersyarat tersebut diberlakukan pada undang-undang yang
memuat norma tentang informasi dan dokumen elektronik dan hasil cetaknya
sebagai alat bukti yang sah, maka justru akan mempersempit keberlakuan
norma tersebut serta dapat melemahkan penegakan hukum dalam melindungi kepentingan hukum. Pemerintah memberikan contoh, bahwa
apabila penafsiran bersyarat itu dilakukan maka informasi dan dokumen Berdasarkan
tanggapan pemerintah tersebut, maka dapat diketahui bahwa pemerintah
menyatakan bahwa perekaman yang dilakukan Ma’roef Syamsudin bukan
merupakan perekaman yang dimaksud dalam tindakan intersepsi atau penyadapan,
karena objek yang direkam berbeda.
137
elektronik yang diperoleh dari perekaman seperti rekaman CCTV yang ada di
pusat perbelanjaan, hotel, bandara dan bukti transaksi keuangan melalui ATM
tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena tidak diperoleh berdasarkan
permintaan aparat penegak hukum (APH). Selain itu, pemerintah juga
berpendapat bahwa permohonan konstitusi bersyarat yang dimohonkan pemohon,
tidak sejalan dengan maksud pengaturan Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal 44
huruf b UU ITE. Pasal-pasal tersebut, dibuat dalam rangka untuk menjangkau tren
perbuatan hukum baru yang menggunakan sistem elektronik baik dalam posisi
on-line atau off-on-line yang selama ini belum dapat terjangkau secara maksimal dengan
menggunakan bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP. 138
4. Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap Pokok Perkara dalam Perkara Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi juga meminta keterangan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dalam perkara konstitusi ini. Pada intinya, keterangan
keterangan yang diberikan DPR adalah sebagai berikut.
Terhadap kedudukan hukum atau legal standing Setya Novanto sebagai
Pemohon, DPR menyerahkan pertimbangan kepada Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk menilai apakah Setya Novanto memiliki legal standing untuk
mengajukan permohonan pengujian tersebut.139
138
Lihat pada Bagian keterangan Pemerintah Atas Materi Pokok yang Dimohonkan untuk Diuji, Angka 3 Huruf b, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.
139
Lihat pada Paragraf [2.4], Angka 1 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.
Terhadap dalil-dalil yang lain
yang diungkapkan dalam pokok perkara, DPR tidak menyatakan sikap sepakat
agar Mahkamah memberikan tafsir conditionally unconstitutional, DPR RI
berpandangan bahwa hal tersebut merupakan pembentukan norma yang
merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang. 140
B. Pertimbangan Hakim Mengenai Pokok Permohonan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
1. Pertimbangan Hakim Mengenai Pokok Permohonan Pemohon dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016
Setelah melakukan pemeriksaan, termasuk mendengar keterangan yang
diajukan Presiden, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat, bahwa
pada dasarnya tindakan penyadapan (interception) termasuk di dalamnya
perekaman adalah perbuatan melawan hukum karena penyadapan merupakan
sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain sehingga melanggar hak asasi
manusia. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 5/PUU-VII/2010, tanggal
24 Februari dalam paragraf [3.21] menyatakan bahwa penyadapan memang
merupakan bentuk pelanggaran terhadap rights of privacy yang bertentangan
dengan UUD 1945. Rights of privacy merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang dapat dibatasi, namun pembatasan atas rights of privacy ini hanya dapat
dilakukan dengan Undang-Undang, sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2)
UUD 1945.141 Privasi sendiri merupakan cara penting untuk melindungi diri dan
masyarakat dari penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang,142
140
Lihat pada Paragraf [2.4] Huruf B Angka 8, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.
141
Lihat pada Paragraf [3.8], Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.
142
Sinta Dewi Rosadi, Op.Cit., hal. 3
sehingga
wajar kiranya jika pembatasan terhadap privasi tersebut harus dilakukan dengan
Kegiatan dan kewenangan penyadapan merupakan hal yang sangat sensitif
karena di satu sisi merupakan pembatasan HAM namun di sisi lain memiliki
aspek kepentingan hukum. Oleh karena itu, pengaturan mengenai legalitas
penyadapan harus dibentuk dan diformulasikan secara tepat sesuai dengan UUD
1945.
UU ITE mengatur bahwa setiap orang dilarang melakukan intersepsi atau
penyadapan seperti yang tercantum dalam pasal 31 ayat (1) bahwa merupakan
perbuatan yang dilarang bagi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi dan/atau
dokumen elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu
milik orang lain. Kemudian pada penjelasan pasal tersebut dijelaskan perbuatan
apa saja yang termasuk dalam intersepsi atau penyadapan, yakni kegiatan untuk
mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan/atau mencatat transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi
maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio
frekuensi.143
Penyadapan sebagai perampasan kemerdekaan adalah bagian dari upaya
paksa yang hanya boleh dilakukan berdasarkan Undang-Undang dan harus diatur
hukum acaranya melalui Undang-Undang yang khusus mengatur hukum formil
terhadap penegakan hukum materiil. Oleh karena penyadapan di Indonesia sudah
143
diatur dalam Undang-Undang meskipun tersebar di beberapa Undang-Undang,
Majelis Hakim beranggapan perlu untuk memberi tafsir terhadap frasa “informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan
(2) serta pasal 44 huruf b ITE dan Pasal 26A UU Tipikor.
Pada Pasal 26A UU Tipikor tidak didapati frasa “informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik” di dalam pasal 26A tersebut. Namun jika norma
pasal 26A dapat diartikan sebagi frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik” seperti yang di dalilkan pemohon, maka majelis hakim menyatakan
hal tersebut dapat berlaku secara mutatis mutandis pada Pasal 26A UU Tipikor.144
Majelis Hakim berpendapat bahwa perlu menegaskan kembali
pertimbangan Putusan MK Nomor 006/PUU-I/2003 bertanggal 30 Maret 2004
yang kemudian ditegaskan kembali dalam Putusan Nomor 5/PUU-VII/2010,
bertanggal 24 Februari 2011 tentang penyadapan yang pada intinya menyatakan
bahwa, karena penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan
terhadap hak-hak asasi manusia yang hanya dapat dibatasi melalui
undang-undang, maka undang-undang tersebut harus merumuskan hal yang sangat
penting, antara lain, siapa yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan
dan perekaman ketika telah didapat bukti permulaan yang cukup. Artinya,
penyadapan dan perekaman dilakukan untuk menyempurnakan alat bukti atau
dilakukan dalam rangka mencari bukti permulaan yang cukup. Hal tersebut harus
144
diatur, untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak
asasi.145
Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menimbang, bahwa sampai saat ini
belum ada undang-undang yang secara khusus mengatur tentang intersepsi atau
penyadapan seperti yang diamanatkan diatas. Oleh karena itu, untuk mengisi
kekuranglengkapan hukum tentang intersepsi atau penyadapan tersebut, maka
penafsiran bersyarat yang dimohonkan oleh Setya Novanto terhadap frasa
“informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan
ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor, memiliki
alasan hukum sepanjang frasa tersebut dimaknai sebagai alat bukti yang dilakukan
dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau
institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE. Untuk menegaskan
bahwa intersepsi harus ditegaskan secara sah dalam rangka penegakan hukum,
maka dalam amar putusan ditambahkan kata atau frasa “khususnya” terhadap
frasa yang dimohonkan pengujian agar tidak terjadi penafsiran bahwa putusan
MK ini akan mempersempit makna atau arti yang terdapat dalam Pasal 5 ayat (1)
dan ayat (2) UU ITE.146
Pada paragraf [3.11], Mahkamah Konstitusi menegaskan kembali bahwa
ketika aparat penegak hukum menggunakan alat bukti yang diperoleh dengan cara
yang tidak sah atau unlawful legal evidence maka bukti yang dimaksud
145
Lihat pada Paragraf [3.10], Putusan Mahkamah Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 bertanggal 07 September 2016.
146
dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian
oleh pengadilan. Pertimbangan hakim mengenai pokok permohonan pemohon
selengkapnya dapat dilihat pada paragraf [3.8] sampai dengan paragraf [3.11]
Putusan MK nomor 20/PUU-XIV/2016.
2. Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dilakukan Mahkamah
Konstitusi, maka terhadap permohonan Setya Novanto, Mahkamah dalam amar
putusan pada intinya menyatakan, “mengabulkan permohonan pemohon untuk
sebagian, yaitu menyatakan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa
“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti
dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan,
dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.”147
Berdasarkan amar putusan tersebut dapat dipahami bahwa apabila
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik diperoleh melalui prosedur
147
intersepsi atau penyadapan yang tidak sah, maka alat bukti informasi dan
dokumen elektronik tersebut melanggar konstitusi Republik Indonesia serta tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan kata lain, alat bukti elektronik
tersebut tidak dapat dijadikan alat bukti dan tidak memiliki kekuatan pembuktian.
Perlu diketahui, bahwa dalam terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 20/PUU-XIV/2016 ini terdapat 2 Hakim Konstitusi yang memiliki
pendapat berbeda (dissenting opinions), yang dicantumkan dalam putusan
tersebut. Hakim Konstitusi tersebut ialah:148
1) Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna
Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna berpendapat, bahwa Mahkamah
seharusnya memutus dan menyatakan permohonan yang dimohonkan tidak dapat
diterima. Alasan yang dikemukakan beliau adalah terkait jabatan Setya Novanto
sebagai anggota DPR. Hakim Konstitusi I Gede Palguna mengemukakan, bahwa
dalam Putusan MK nomor 20/PUU-V/2007, Mahkamah menyatakan bahwa
pengertian “perorangan warga Indonesia” tidak sama dengan “perorangan warga
Negara Indonesia dalam kedudukannya sebagai Anggota DPR”. Pertimbangan
lain dalam putusan tersebut adalah bahwa yang memegang kekuasaan membentuk
undang-undang adalah DPR sebagai institusi/lembaga, sehingga sungguh janggal
jika undang-undang yang dibuat oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk
membentuknya, ternyata dipertanyakan konstitusionalitasnya oleh DPR sendiri.
148
Alasan yang kedua adalah bahwa mahkamah hanya menerima kedudukan
hukum anggota DPR dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945
dalam hal-hal yang sangat khusus yaitu bila norma UU yang dimohonkan adalah
menyangkut hak DPR untuk menyatakan pendapat149, berkenaan dengan hak
seseorang untuk menjadi wakil rakyat150, berkenaan dengan berakhirnya masa
jabatan anggota DPR151, dan berkenaan dengan mekanisme pemilihan pimpinan
DPRD kabupaten/kota152
2) Hakim Konstitusi Suhartoyo
. Sementara itu materi norma UU yang dimohonkan
pengujian oleh Setya Novanto tidak termasuk dalam salah satu materi diatas.
Hakim Konstitusi Suhartoyo menyatakan seharusnya Mahkamah
menyatakan permohonan Setya Novanto ditolak. Alasan beliau adalah karena apa
yang dipermasalahkan oleh Setya Novanto sudah dipenuhi oleh UU ITE,
khususnya pasal 31 ayat (3) UU ITE tersebut sehingga tidak ada pertentangan
norma antara Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU
Tipikor dengan UUD 1945. Dengan kata lain, pasal-pasal yang dimohonkan
pengujian tersebut telah bersifat konstitusional sehingga tidak perlu dilakukan
pengujian terhadap UUD 1945.
Pendapat Penulis Mengenai Putusan MK No. 20/PUU-XIV/2016
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini tanggal 07 September 2016,
menimbulkan berbagai pendapat dan tanggapan. Penulis menemukan beberapa
149
Dapat dilihat pada Putusan MK No. 23-26/PUU-VIII/2010, bertanggal 12 Januari 2011.
150
Dapat dilihat pada Putusan MK No. 38/PUU-VIII/2010, bertanggal 11 Maret 2011.
151
Dapat dilihat pada Putusan MK No. 39/PUU-XI/2013, bertanggal 31 Juli 2013.
152
pendapat di media massa, seperti yang telah penulis kemukakan pada bagian
tinjauan pustaka. Mereka beranggapan bahwa keluarnya putusan ini memiliki
dampak yang cukup besar tehadap legalitas atau keabsahan informasi atau
dokumen elektronik yang sah sebagai alat bukti. Mereka berpendapat bahwa, alat
bukti elektronik dinyatakan sebagai alat bukti yang sah, jika dilakukan dalam
rangka penegakan hukum atau atas permintaan aparat penegak hukum yang
berwenang. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, maka anggapan atau
pendapat ini adalah pendapat yang keliru. Mahkamah Konstitusi memberikan
tafsiran ini adalah dalam konteks intersepsi atau penyadapan. Intersepsi atau
penyadapan inilah yang memerlukan izin dari penegak hukum yang berwenang.
Jadi, dalam konteks tersebut, maka alat bukti elektronik sah digunakan sebagai
alat bukti bila bukan merupakan hasil intersepsi penyadapan, kecuali intersepsi
atau penyadapan dilakukan seizin penegak hukum yang berwenang.
Berdasarkan pertimbangan hakim dalam putusan tersebut, penulis sepakat
bahwa pemberian batasan penafsiran terhadap Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 44
huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor harus dilakukan. Alasannya adalah
karena penafsiran tersebut diperlukan mengingat bahwa Negara Republik
Indonesia belum undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai tata cara
atau prosedur intersepsi atau penyadapan. Adapun beberapa undang-undang yang
memuat pengaturan tentang intersepsi atau penyadapan hanya mengatur sebagian
kecil saja, dan berlaku untuk hal yang secara khusus diatur dalam masing-masing
undang-undang tersebut. Banyaknya pengaturan tentang intersepsi atau
penyadapan. Hal tersebut dapat menyebabkan tidak adanya suatu kepastian
hukum mengenai pelaksanaan intersepsi atau penyadapan.
C. Kedudukan Rekaman CCTV Sebagai Alat Bukti dalam Tindak Pidana Korupsi Setelah Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016
Pada sub bab ini akan dibahas mengenai pengaruh putusan Mahkamah
Konstitusi No. 20/PUU-XIV/2016 terhadap alat bukti elektronik dalam tindak
pidana korupsi yang berbentuk rekaman CCTV.
Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini banyak menimbulkan
berbagai pendapat. Ada yang menyatakan rekaman CCTV tidak dapat dijadikan
alat bukti bila tanpa izin penegak hukum. Pada dasarnya amar putusan yang
dinyatakan oleh Hakim Konstitusi pada putusan tersebut tidak mengubah atau
mempersempit makna sebenarnya dari frasa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik seperti dinyatakan dalam paragraf [3.10] putusan tersebut.
Putusan tersebut menambahkan tafsiran bahwa sebuah informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik da