• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PEMBUKTIAN, ALAT BUKTI ELEKTRONIK, DAN

B. Alat Bukti Elektronik

2. Macam-Macam Alat Bukti Elektronik

a. bukti digital/alat-alat digital pada umumnya b. e-mail,

c. surat dengan mesin faksimile,

d. tanda tangan elektronik, dan lain sebagainya.60

3. Kekuatan Alat Bukti Elektronik Menurut Hukum di Indonesia

1) Menurut Undang-undang Hukum Pidana

58

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 butir 3.

59

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 butir 1.

60

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 butir 1.

Alat bukti e-mail atau alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana adalah sebagai alat bukti petunjuk (Pasal 184 KUHAP), karena alat bukti elektronik tidak bisa berdiri sendiri tanpa didukung alat bukti lain, serta berkaitan juga dengan kekuatan alat bukti tersebut.61

Alat bukti elektronik dalam pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP merupakan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.62

Alat bukti elektronik dalam ranah hukum pidana merupakan alat bukti yang dapat dikatakan cukup berperan dalam proses penegakan hukum. Sebagaimana dikutip oleh Soejono Soekanto penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain:

a. Faktor hukumnya sendiri; b. Faktor penegak hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d. Faktor masyarakat;

61

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 184. 62

Lihat Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 177.

e. Faktor budaya.63

Dengan adanya alat bukti elektronik dalam hukum pidana sangat berperan dalam membantu hakim mengkualifikasikan alat bukti, karena dahulu hakim kesulitan apabila harus menafsirkan beberapa barang bukti yang akan dikualifikasikan sebagai alat bukti.

2) Menurut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) memberikan dasar hukum mengenai kekuatan alat bukti elekronik dan syarat formil dan materil alat bukti elektronik agar dapat diterima di persidangan.

Dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE diatur mengenai pembuktian elektronik, yang menerangkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE.

Yang dimaksud dengan Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, elektronik dan interchange (EDI), surat elektronik (elektronik mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.(Pasal 1 butir 1 UU ITE).64

Sedangkan yang dimaksud dengan Dokumen Elektronik adalah

setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, 63

Soejono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h. 8.

64

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 butir 1.

atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kose akses, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

(Pasal 1 butir 4 UU ITE).65

Pada prinsipnya Informasi Elektronik dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan dengan Dokumen Elektronik. Informasi Elektronik ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk, sedangkan Dokumen Elektronik ialah wadah atau bungkus dari Informasi Elektronik. Sebagai contoh apabila kita berbicara mengenai file musik dalam bentuk mp3 maka semua informasi atau musik yang keluar dari file tersebut ialah Informasi Elektronik, sedangkan Dokumen Elektronik dari file tersebut ialah mp3.

Agar Informasi dan Dokumen Elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah UU ITE mengatur bahwa adanya sarat formil dan sarat materil yang harus dipenuhi, yaitu:

a. Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa Informasi atau Dokumen Elektronik bukanlah Dokumen atau Surat yang menurut perundang- undangan harus dalam bentuk tertulis

b. Syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15,dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya Informasi dan Dokumen Elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaannya. Untuk

65

Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 1 butir 4.

menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud, dalam banyak hal dibutuhkan Digital Forensik.66

Dengan demikian, email, file rekaman atas catting, dan berbagai Dokumen Elektronik lainnya dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah. Dalam beberapa putusan pengadilan, terdapat putusan-putusan yang membahas mengenai kedudukan dan pengakuan atas alat bukti Elektronik yang di sajikan di dalam persidangan.

Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Akan tetapi, ketentuan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang yang harus dibuat dalam bentuk tertulis, akan tetapi tidak terbatas pada surat berharga, dan surat yang digunakan dalam proses penegakan hukum perdata, pidana dan administrasi Negara, serta dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Jika suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, maka informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.

66

C. Kajian Teoritis Perzinaan 1. Pengertian Zina

Zina menurut bahasa dan istilah syara’ mempunyai pengertian yang

sama, yaitu persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dan perempuan pada kemaluan depannya tanpa didasari dengan tali kepemilikan dan syubhat kepemilikan.67

Ulama Hanafiyah mengatakan bahwa zina adalah koitus yang haram pada kemaluan depan perempuan yang masih hidup dan menggairahkan dalam kondisi atas kemauan sendiri (tidak dipaksa) dan kehendak bebasnya di daarul’adl (kawasan negara Islam yang dikuasai oleh pemerintah atau pemimpin yang sah) oleh orang yang berkewajiban menjalankan hukum-hukum Islam, tidak mempunyai hakikat kepemilikan, tidak mempunyai hakikat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat kepemilikan, tidak mempunyai unsur syubhat tali pernikahan, tidak mempunyai unsur syubhat berupa kondisi samar dan kabur pada tempat kondisi samar dan kabur pada kepemilikan maupun tali pernikahan sekaligus.68

Jadi zina ialah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan yang sah menurut agama. Islam memandang perzinaan sebagai dosa besar yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan keluarga dan masyarakat. Berzina dapat diibaratkan seperti memakai barang yang bukan menjadi hak miliknya.

67

Wahbah Az-Zuhaili,Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 7,(Jakarta: Darulfikir, 2011), cet. ke-2, h. 303.

68

Perbuatan zina sangat dicela oleh agama dan dilaknat oleh Allah. Pelaku perzinaan dikenakan sanksi hukuman berat berupa rajam. Mengenai larangan berzina Allah swt berfirman dalam QS Al-Isra’ (17): 32

         (32)

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, itu (zina) sungguh suatu perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk...”

Berdasarkan ayat diatas, setiap umat Islam dilarang mendekati perbuatan zina, karena perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang sangat buruk, mengundang kejahatan, serta mengancam keutuhan masyarakat disamping sebagai perbuatan yang sangat nista.

Al-Qur’an dan hadits secara tegas menjelaskan hukum bagi pelaku zina baik yang belum menikah(ghairu muhshan)yakni didera seratus kali, hal ini berdasarkan firman Allah swt QS. An-Nuur (24): 2

                            (2)

Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah be;as kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang

yang beriman.”

Sedangkan hukuman bagi pelaku zina yang berstatusmuhshan (sudah menikah) dikenakan sanksi rajam. Dasar penetapan hukum rajam tersebut ialah hadits Nabi Muhammad saw:

Artinya: “ambillah (hukum itu) dariku, ambillah (hukum itu dariku. Sungguh

Allah swt telah menentukan jalan bagi mereka (perempuan) yaitu perempuan lajang (yang berzina dengan laki-laki lajang sama-sama didera seratus kali dan diasingkan setahun), sedangkan perempuan yang sudah menikah (yang berzina dengan laki-laki yang sudah menikah harus didera sebanyak seratus kali dan dirajam).(HR. Muslim)69

2. Pembuktian Zina

Para ulama telah bersepakat bahwa tindak pidana perzinaan dapat ditetapkan berdasarkan pengakuan dari pelaku atau berdasarkan kesaksian. Berbagai tindak pidana dengan ancaman hukumanhaddseperti zina, mencuri, membegal, dan mengkonsumsi minuman keras tidak dapat ditetapkan dan dibuktikan dengan berdasarkan pengetahuan hakim atas kejadian perbuatan itu baik pada saat proses pengadilan maupun sebelumnya. Karena hukuman hadd

dihindari karena adanya syubhat dan disunnahkan untuk menutup-nutupinnya.70

Seseorang dapat dikatakan telah melakukan perbuatan zina harus dibuktikan dengan kesaksian(bayyinah) yang mencakup syarat-syarat sebagai berikut:

a. Saksinya berjumlah empat orang saksi laki-laki dalam kasus zina berdasarkan ayat al-Qur’an.

QS. An-Nisaa (4): 15            69

LihatJaami’ Al-Ushuul juz 4,h. 264. 70

            (15)

Artinya: “Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang

menyaksikannya).” QS. An-Nuur (24): 4                     (4)

Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik

(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi.” Abu Hurairah r.a menerangkan:

:

:

: :

:

:

:

:

.

:

:

.

)

(

71

Artinya: “Dari Abu Hurairah ra ia berkata, ada seorang laki-laki datang menemui Rasululah saw yang tengah berada didalam masjid. Dia menyampaikan: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina. Namun Rasulullah memalingkan muka, sehingga dia mengulangi pernyataannya hingga empat kali. Dikala dia telah mengikrarkan pengakuannya sampai empat kali. Nabi memanggilnya dan berkata: Apa engkau gila? dia menjawab: tidak. Nabi bertanya: apakah engkau telah muhsan? Dia menjawab: benar. Maka Nabi pun bersabda: bawalah orang ini dan rajamkan. Ibnu Syihab berkata: telah diberitahukan kepadaku oleh seseorang bahwa Jabir ibn Abdullah berkata: Aku termasuk orang yang

71

KitabAl-Muntaqa Syarh Al-Muwwata’ Malik, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 1999), h. 707.

merajamnya, dan kami merajamnya di Mushalla (tempat berlangsungnya

shalat ‘Ied). Tatkala dia merasakan sakitnya lemparan batu, si terhukum

melarikan diri, kami dapat menangkapnya kembali di Harrah, dan kami melanjutkan hukuman rajam.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Ibnu Abbas r.a menerangkan:

:

:

:

:

.

)

(

72

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, ia berkata: tatkala Ma’iz bin Malik datang ke

tempat Nabi saw, Nabi bertanya: apakah barangkali engkau hanya mencium, atau mungkin engkau hanya sekedar bermain mata atau

mungkin sekedar melihat? Ma’iz menjawab: tidak, ya Rasulullah. Lalu

Nabi bertanya: apakah engkau setubuhi dia? Dengan tidak menggunakan kata sindiran ia menjawab: ya. Ketika itulah, lalu dia diperintahkan untuk dirajam.(HR. Ahmad, Bukhari dan Abu Daud)

Dasar hukum diatas menjelaskan bahwa untuk membuktikan seseorang telah melakukan perbuatan zina harus dengan empat orang saksi yang melihat secara langsung, serta pengakuan dari pelaku sebanyak empat kali.

b. Mukallaf (baligh dan berakal); c. Laki-laki;

Kesaksian perempuan tidak diterima sama sekali sebagai bentuk pemuliaan terhadap mereka para kaum perempuan karena perzinaan adalah tindakan keji.

d. Adil; e. Merdeka;

72

f. Islam;

g. Ashaalah(orisinil);

h. Kesamaan obyek kesaksian;

i. Para saksi memberikan kesaksian mereka di satu majelis;

j. Terdakwa adalah orang yang kondisinya memang memungkinkan untuk melakukan persetubuhan;

k. Terdakwa adalah orang yang mampu untuk mengajukan klaim adanya unsur syubhat;

l. Kasusnya tidak kadaluwarsa (taqaadum) tanpa adanya uzur yang tampak; dan

m. Para saksi yang ada masih tetap mempunyai ahliyyah (kelayakan dan kompetensi untuk memberikan kesaksian) sampai dilaksanakannya hukumanhadd.73

Pembuktian perbuatan zina harus diikrarkan sebanyak empat kali, apabila kurang maka tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menjatuhkan hukuman. Apabila kesaksian empat orang saksi yang melihat secara langsung tidak benar adanya, maka keempat orang saksi tersebut mendapatkan hukumanhadd qadzf.

73

54

GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA

DAN PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa

1. Sejarah Singkat Pengadilan Agama Tigaraksa1

Pengadilan Agama Tigaraksa merupakan Pengadilan Agama yang letaknya berada satu wilayah dengan Pengadilan Agama Kota Tangerang, namun berbeda kompetensi wilayah. Pembatasan kompetensi wilayah ini terbentuk sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 2 Tahun 1993 yang memberikan otoritas penuh kepada Kota Tangerang sebagai kota mandiri di samping Kabupaten Tangerang yang beribukota Tigaraksa.

Dasar hukum pembentukan Pengadilan Agama Tigaraksa adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 80 Tahun 1996 tentang Pembentukan Pengadilan Agama Bitung, Palu, Unaaha, Bobonaro, Baucau, Malang, Cibinong, Tigaraksa, dan Pandan. Keprres tersebut menjadi landasan formil berdirinya Pengadilan Agama Tigaraksa yang melengkapi Pengadilan Agama di wilayah hukum Pengadilan Agama Banten.

Untuk menjalankan tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, Pengadilan Agama Tigaraksa sementara harus menyewa rumah pribadi milik masyarakat untuk digunakan sebagai kantor yang

1

beralamat di Jl. Serang KM. 12 Desa Bitung Jaya Kecamatan Cikupa Kabupaten Serang (21 Agustus 1997- akhir Desember 2002). Fase selanjutnya, Pengadilan Agama Tigaraksa mampu memiliki gedung kantor

sendiri di atas tanah ‘hibah’ Pemba Kabupaten Tigaraksa seluas +- 1.000 M2 dengan luas bangunan 600 M2, terletak di Komplek Perkantoran Pemda tersebut. Pada tahun 2010, dengan alasan gedung sudah tidak memadai dan terbatasnya ruang-ruang untuk pelayanan prima serta tidak sesuai dengan aturan prototipe gedung pengadilan kelas IB, maka PTA Banten mengusulkan agar gedung tersebut dapat direlokasi melalui anggaran Mahkamah Agung RI. Atas kerja sama dengan Pemda setempat usulan tersebut secara konkrit telah terealisasi dan tahun 2013 Pengadilan Agama Tigaraksa telah menempati gedung baru yang lebih luas yaitu 1.442 M2 dengan luas tanag seluah 3.000 m2 yang terletak di Komplek Pemda Kabupaten Tangerang Jl. Atik Suardi Tigaraksa-Tangerang.

Pengadilan Agama Tigaraksa merupakan Pengadilan Agama dengan kapasitas penanganan perkara terbanyak se wilayah Pengadilan Tinggi Agama Banten. Rata-rata perkara yang diterima setiap bulan hampir mencapai 300 perkara lebih.

2. Landasan Yuridis Pembentukan PA Tigaraksa a. Landasan Yuridis

Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 85 Tahun 1996.

b. Daftar Nama Ketua

1) Drs. H. Dimyati, S.H (Periode 1997 s.d 2000) 2) Drs. H. Maftuh Abubakar, S.H, M.H (Periode 2000 s.d 2006) 3) Drs. H. Khaerudin, S.H, M.Hum (Periode 2006 s.d 2011) 4) Drs. H. Jeje Jaenuddin, M.S.I (Periode 2011 s.d 2013) 5) Drs. H. Uyun Kamiluddin, S.H, M.H (Periode 2013 s.d sekarang)2 3. Visi dan Misi Pengadilan Agama Tigaraksa

Visi adalah suatu gambaran yang menantang tentang suatu keadaan masa depan, berisikan cita dan citra yang ingin diwujudkan oleh suatu institusi. Sedangkan misi adalah sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan oleh suatu institusi sesuai visi yang ditetapkan agar tujuan lembaga dapat terlaksana dan berhasil dengan baik.

Pengadilan Agama Tigaraksa sebagai underbow Mahkamah Agung RI memiliki komitmen dan kewajiban yang sama untuk mengusung terwujudnya peradilan yang baik dan benar serta dicintai masyarakat. Atas dasar itu maka Pengadilan Agama Tigaraksa telah menjabarkan visi dan misi tersebut dalam visi dan misi Pengadilan Agama Tigaraksa, yaitu:3 VISI: “Mewujudkan Pengadilan Agama Tigaraksa yang modern dan

dipercaya” MISI:

Mewujudkan pelayanan prima, cepat dan professional dengan biaya ringan

2

Ditjen Badilag MARI 2014,Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa,h. 64. 3

Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output eksternal pada peradilan

Memperbaiki akses pelayanan hukum dan peradilanMengupayakan sistem informasi sesuai program IT

4. Data Wilayah Hukum PA Tigaraksa a. Wilayah Hukum

Wilayah hukum Pengadilan Agama Tigaraksa meliputi Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan, serta mencakup 35 (tiga puluh lima) Kecamatan.

b. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin (Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan) Tahun 2012:

1) Laki-laki : 2.271.457 jiwa 2) Perempuan : 2.184.624 jiwa

c. Jumlah penduduk berdasarkan Agama (Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang Selatan) Tahun 2012:

• Agama Islam : 4.112.533 jiwa

• Agama Kristen Protestan : 137.693 jiwa

• Agama Kristen Katolik : 55.256 jiwa

• Agama Hindu : 41.442 jiwa

• Agama Budha : 107 jiwa

• Agama Khong Hu Chu : 1.337 jiwa4

4

B. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten

1. Sejarah Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten5

Pengadilan Tinggi Agama Banten lahir menyertai terbentuknya provinsi Banten sebagai wilayah yang diberikan otonomi penuh sebagai provinsi baru di Indonesia pada tahun 2000. Terbentuknya PTA Banten merupakan konsekuensi logis yang disebut-sebut sebagai berkah atau dampak positif dari terpisahnya wilayah Banten dengan provinsi yang telah menjadi induknya yaitu provinsi Jawa Barat terlebih karena kehadiran lembaga peradilan agama pada tingkat banding tersebut menjadi harapan besar dan cita-cita dari masyarakat Banten sejak lama.

Pasca provinsi Banten terbentuk, banyak lahir pemikiran baru yang berorientasi pada upaya untuk membuat kokoh dan menyempurnakan eksistensi lembaga pemerintahan Banten antara lain dengan menyusun dan melengkapi infrastruktur, sarana prasarana maupun melalui pembentukan lembaga-lembaga penting sebagai penyangga atau penguat bagi pemerintahan yang ada. Dan salah satu lembaga yang kemudian dibidangi dan lahirnya Pengadilan Tinggi Agama Banten sebagai pengadilan tinggat banding yang mewilayahi pengadilan agama di provinsi Banten, yang telah lahir terlebih dahulu. Enam Pengadilan Agama kabupaten/kota yang semua menginduk kepada Pengadilan Tinggi Agama Bandung beserta pengadilan agama lainnya yang berada di wilayah priangan (Jawa Barat),

5

seiring pemisahan wilayah secara otomatos beralih menjadi bagian dari provinsi Banten.

Gagasan pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten secara sistematis diwujudkan melalui berbagai upaya yang dimotori oleh Pengadilan Tinggi Agama Bandung. Menyusun dan membentuk panitia, melakukan konsultasi, koordinasi dengan pemerintahan provinsi Banten dan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh serta mengusulkan perangkat perundang-undangan merupakan serangkaian upaya konkrit yang dilakukan agar Pengadilan Tinggi Agama Banten segera terbentuk. Dengan melibatkan berbagai tokoh dan kalangan seperti akademisi, ulama, kesepuhan maupun tokoh masyarakat lainnya di samping tokoh peradilan sendiri, diharapkan tujuan muliah segera tercapai. Dan Surat Keputusan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Bandung tertanggal 17 Februari 2004 Nomor: PTA.i/K/OT.00/478/2004 dan Surat Keputusan tertanggal 30 November 2005 Nomor: PTA.i/K/OT.00/1946/2005 tentang susunan panitia pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten menjadi landasan formil dari serangkaian upaya yang dilakukan tersebut di atas.

Tidak hanya tokoh peradilan yang harus proaktif berusaha keras untuk segera menghadirkan lembaga peradilan agama pada tingkat banding di provinsi Banten, secara formal Gubernur Banten sebagai kepala pemerintahan memberi dukungan ekstra kepada tim pembentukan PTA Banten antara lain dengan menyediakan lahan yang diperuntukkan bagi

gedung kantor seluas 6.000 M2 yang terletak di Blok Kemang Kelurahan Penancangan Kecamatan Cipocok Jaya Kota Serang.

Langkah-langkah semua pihak untuk menyegerakan lahirnya lembaga peradilan agama tingkat banding mulai memenuhi titik terang saat RUU pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten masuk ke dalam 284 RUU yang akan dibahas DPR RI dan menjadi program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005-2009. RUU ini kemudian menjadi cikal bakal UU Pembentukan PTA Banten disahkan secara resmi bersamaan dengan UU yang sama tentang pembentukan PTA lain seperti Bangka Belitung, Maluku Utara dan Gorontalo.

Tanggal 19 Oktober 2005 merupakan momen penting dari segala upaya yang telah dilakukan kareena akhirnya keinginan untuk mewujudkan peradilan agama tingkat banding di wilayah provinsi Banten terwujud. Presiden Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pembentukan Pengadilan Tinggi Agama Banten dinyatakan efektif dengan segala akibat hukumnya pada tanggal 03 April 2006. Atas kesepakatan seluruh instansi yang terkait antara lain PTA Bandung, Dirjen Badilag MARI dan pemerintahan procinsi serta intansi-intansi lainnya melalui konsultasi dan koordinasi yang dilakukan secara intens pasca terbitnya UU Nomor 4 Tahun 2005, ditetapkan tanggal 05 April sebagai tonggak awal PTA Banten berada di wilayah Banten secara resmi. Penandatanganan prasasti oleh Ketua Mahkamah Agung RI, Prof. DR. Bagir Manan., S.H., M.CL dan pengguntingan pita pada gedung

sementara, merupakan lanjutan seremonial bagi lahirnya lembaga baru tersebut.

Yang tidak kalah enting dari histori pembentukan PTA Banten hingga mencapai tujuan sebagaimana tersebut di atas adalah momen pelantikan Bapak Drs. H. Suryadi, S.H., M.Hum yang didaulat mengemban amanah berat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Agama Banten pertama seteah Undang-undang Pembentukan PTA Banten diterbitkan yaitu pada tanggal 04 April 2006.pada fase selanjutnya, sebagai syarat kelengkapan sebuah lembaga baru agar dapat menjalankan tugasnya secara optimal, pada tanggal 12 April 2006 Ketua PTA Banten terpilih melantik para pejabat struktural mulai Panitra/Sekertaris (Drs. Agus Zainal Mutaqien) Wakil Panitra (Rifqi, SH., M.Hum), Wakil Sekertaris (Hulaesi, SH., MH). Panitra Muda Banding (R. Jaya Rahmat., SH.,M.Hum), Panitra Muda Hukum (Drs.Baehaki), Kasubbag Umum (Mirza., SH.), Kasubbag Kepegawaian (Djulia Herjanara., S.Ag., SH.)., dan Kasubbag Keuangan (Ratna Sari Fitriani.,SH., MH).bertitik tolak pelantikan para pejabat tersebut maka secara de fakto PTA Banten mulai

Dokumen terkait