PTA
Diajukan Kepada F
Syara
PROGR
( A H
FAKU
U
TA
Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)Skripsi
da Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
arat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
CHAIDAR ALIF NIM. 1111044100057
OGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
H W A L S Y A K H S I Y Y A H )
AKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2015 M
)
nuhi Salah Satu
y)
GA
H )
v
Pembuktian Zina Pada Perkara Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Pengadilan Tinggi Agama Banten No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten).” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015, xii halaman + 85 halaman + 67 halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hakim terhadap kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Pengadilan Tinggi Agama Banten No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten dan alasan serta pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten.
Pembuktian dengan alat bukti elektronik dalam perkara perceraian menurut pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten dapat diakui sebagai alat bukti yang sah, akan tetapi dalam perkara pembuktian zina alat bukti elektronik tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena untuk membuktikan zina sesuai dengan al-Qur’an surah an-Nur ayat 4 harus dengan 4 (empat) orang saksi yang melihat secara langsung.
Dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara perceraian karena alasan zina dengan menunjukan alat bukti elektronik khususnya dalam putusan No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PA. Banten, majelis hakim menolak gugatan tersebut karena alat bukti elektonik berupa foto mesum yang ditunjukan oleh penggugat tidak menggambarkan adanya perbuatan zina. Alat bukti elektronik dalam hukum perdata belum ditetapkan menjadi alat bukti yang menguatkan. Alasan dan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara perceraian tersebut didasarkan kepada surah an-Nur ayat 4 tentang pembuktian perzinaan harus dengan 4 (empat) orang saksi, sedangkan saksi dalam persidangan perkara ini hanya 2 orang, selain itu gugatan tersebut sudah pernah diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, hal ini mengikat asas Neb Is In Idem.
Kata Kunci : Alat Bukti Elektronik, Perkara Perceraian, Pembuktian Perzinaan, Hukum Acara Perdata,
Pengadilan Agama Tigaraksa, Pengadilan Tinggi Agama Banten.
v i
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
senantiasa memberi rahmat, taufik, hidayah dan ‘inayahnya. Sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perceraian Permbuktian Zina (Analisis Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten), dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam senantiasa penulis
sanjungkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya,
sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan
mengembangkannya hingga sekarang ini.
Selama proses dan perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah
mudah. Banyak hambatan dan rintangan yang penulis temui dan alami. Penulis
menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis
secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan
bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak
terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta
v ii
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Afwan Faizin, M.A., Dosen Pembimbing Skripsi dan Dosen Pembimbing
Akademik yang tak pernah lelah membimbing dan meluangkan waktunya
untuk memberikan arahan dan saran-saran, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
4. Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pemberitahuan, pemahaman dan
pelayanan selama melaksanakan studi.
5. Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., dan Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H., selaku
hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan hakim Pengadilan Tinggi Agama
Banten yang telah membantu dan memberikan izin kepada penulis untuk
melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan
penelitian.
6. Teristimewa untuk kedua orangtua tercinta ayahanda Dadang Yusuf, yang
telah ikhlas memotivasi dengan moril maupun materil dan selalu menjadi
inspirasi penulis dalam penulisan sekripsi ini. Demikian pula, Ibunda tercinta
Yusmachilda, yang dengan ikhlas mencurahkan kasih sayang untuk penulis,
yang tiada henti-hentinya mendoakan agar penulis menjadi laki-laki yang
tegar dalam menghadapi cobaan hidup dan menjadi kebanggaan keluarga.
v iii
Riki Ubaidillah yang dengan ikhlas mendo’akan, memberikan semangat dan
dukungan kepada penulis. Serta keponakan-keponakanku: Bilqis Syahla
Raudatul, Raihana Albi, Muhammad Fahri, yang selalu memberikan hiburan
kepada penulis ketika sedang menghadapi kendala.
8. Teruntuk Ai Siti Wasilah, S.Sy yang selalu memberikan semangat dan
motivasi, serta mendengarkan keluh kesah penulis. Untuk sahabat-sahabatku:
Abdul Rohman, Syamsul Bahri, M. Shandika Rizkiandy, Edi Sudrajat dan, H.
Ahmad Firdaus yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi dan
tiada hentinya memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis
dikala penulis sedang terpuruk dalam penyusunan skripsi.
9. Kawan-kawan seperjuangan Keluarga Besar Peradilan Agama kelas A dan B,
Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2011, dan seluruh kader PMII
cabang Ciputat khususnya PMII Komfaksyahum yang telah memberikan
warna serta pengalaman dalam menjalani perkuliahan selama ini. Serta semua
pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan
terimakasih atas dukungan dan bantuannya.
Akhirnya tiada kata yang paling berharga kecuali ucapan Alhamdulillah
atas Rahmat dan Karunia serta Ridha-Nya dan ucapan terimakasih penulis kepada
semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis hanya mampu
berdo’a semoga Allah menerima sebagian amal kebaikan dan membalasnya
ix
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sempurnanya skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya. Aamiin.
Jakarta, 07 Oktober 2015 M 23 Dzulhijjah 1436 H
HALAMAN JUDUL ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK . ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... x
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Riview Studi Terdahulu ... 8
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II PEMBUKTIAN, ALAT BUKTI ELEKTRONIK, DAN PERZINAAN A. Pembuktian ... 16
1. Pengertian Pembuktian ... 16
2. Asas-Asas Terkait Pembuktian ... 18
3. Pengertian Alat Bukti... 22
4. Macam-Macam Alat Bukti ... 23
a. Alat Bukti Dalam Hukum Perdata ... 23
b. Alat Bukti Dalam Hukum Pidana ... 36
B. Alat Bukti Elektronik ... 42
1. Pengertian Alat Bukti Elektronik ... 42
i
1. Pengertian Zina ... 48 2. Pembuktian Zina ... 50
BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA DAN PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN
A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa... 54 B. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten... 58
BAB IV PANDANGAN HAKIM TENTANG KEKUATAN ALAT
BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA PERCERAIAN
A. Pandangan Hakim PA Tigaraksa dan PTA Banten Mengenai Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perceraian dan Pembuktian Zina ... 66 B. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam
Memutuskan Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten ... 73 1. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam
Memutuskan Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs... 73 2. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam
Memutuskan Perkara No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten... 75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 80
DAFTAR PUSTAKA ... 82
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Surat Mohon Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing Skripsi
Surat Permohonan Data/Wawancara
ii
Transkip Wawancara dengan Hakim PTA Banten
Salinan Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs
Salinan Putusan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten
1 A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan sudah diatur oleh
agama dari awal mula manusia di ciptakan sampai sekarang, untuk memenuhi
nafsu birahi sebagai manusia serta menjaga ras manusia agar tidak musnah.
Pernikahan merupakan penggabungan antara dua keluarga besar untuk saling
terikat diantara kedua belah pihak yang menjadikan sebuah persaudaraan
diantaranya.
Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan keTuhanan Yang Maha Esa.1
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di jelaskan bahwasanya:
“Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mustaqan
ghalizanuntuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2
Dari pengertian perkawinan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,3 dan setiap orang
yang menikah pasti mengharapkan tercapainya tujuan tersebut, namun banyak
1
Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
2
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010), cet. ke-4, h. 114.
3
juga di antara mereka yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga
sehingga harus berakhir dengan penceraian.
Penceraian merupakan solusi terakhir yang dapat di tempuh oleh suami
istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian secara
maksimal. Perceraian dapat di lakukan atas kehendak suami atau permintaan istri,
penceraian yang di lakukan oleh pihak istri di sebut cerai gugat.4
Untuk melakukan penceraian harus ada cukup alasan, adapun
alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penceraian sebagaimana di
sebutkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu:
1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan (pemboros,pemakai obat-obat terlarang).
2. Salah satu pihak meningglkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena lain diluar
kemauannya (pergi tanpa kabar berita).
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan terhadap pihak lain.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan
tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
4
6. Antara suami dan istri terus menerus ternjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah tangga.5
Melihat alasan pada ayat (1) tersebut bahwasannya apabila diketahui salah
satu diantara suami dan istri telah melakukan perbuatan zina, mabuk, penjudi,
maka tidak memungkinkan akan ada dampak masalah baru seperti apa yang
tertulis didalam poin ke (6) antara suami dan istri terus menerus tenjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah
tangganya jalan akhir yang dapat di tempuh adalah dengan mengajukan
permohonan perceraian ke Pengadilan Agama. Dalam perkara perceraian, pada
umumnya pengadilan menggunakan asas in flagranti delicto artinya tertangkap
basah atau ketahuan seketika. Perbuatan zina tidak dapat didasarkan dari hasil
suatu konklusi, apalagi berupa dugaan sementara yang ditarik dari suatu
peristiwa.6
Dalam hal mengajukan cerai gugat atau cerai talak maka akan ada proses
yang harus dilalui oleh para pihak, salah satunya yaitu pembuktian. Pembuktian
adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang
memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa
yang dikemukakan.7Menurut Subekti, pembuktian adalah suatu proses bagaimana
5
Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 17.
6
Subekti dan R. Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,(Jakarta: Pradya Paramita, 1979), h. 63.
7
alat-alat bukti digunakan, diajukan, maupun dipertahankan sesuatu hukum acara
tertentu.8
Adapun alat bukti dalam perkara perdata antara lain: 1) alat bukti surat, 2)
alat bukti saksi, 3) alat bukti persangkaan, 4) alat bukti pengakuan, 5) alat bukti
sumpah9, 6) pemeriksaan ditempat10, 7) saksi ahli11, 8) pembukuan12, dan
pengetahuan hakim.13
Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan canggih,
di Indonesia dokumen elektronik sudah banyak digunakan, meskipun secara
yuridis formal, hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi dokumen
elektronik sebagai alat bukti.14 Dengan semakin meningkatnya aktivitas
elektronik, alat bukti yang dapat digunakan secara hukum juga harus meliputi
informasi atau dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti
yang sah secara hukum. Karena itu, dalam praktik dikenal dan berkembang apa
yang dinamakan bukti elektronik.
Pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti khususnya di
Pengadilan Agama masih dipertanyakan validasinya. Dalam praktik pengadilan di
8
Subekti,Hukum Pembuktian,(Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), h. 7.
9
Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 164),(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), cet. ke-18, h. 141.
10
Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 153),h. 133.
11
Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 154),h. 134.
12
Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 167),h. 149.
13
Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 178 ayat (1)),h. 158.
14
Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah hanya berlaku
bagi pihak-pihak yang terjerat dalam kasus tindak pidana saja, padahal di
beberapa negara, informasi elektronik yang terekam dalam peralatan elektronik
sudah menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara baik pidana
maupun perdata.
Bukti elektronik dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sistem elektronik menurut
Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang
berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,
menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi
elektronik.15
Alat bukti merupakan salah satu variable dalam sistem pembuktian,
sehingga perkembangan yang terjadi dalam lalu lintas hukum keperdataan harus
mengenal, mengakui, dan menggunakan alat bukti elektronik dalam pembuktian
didalam perkara keperdataan khususnya permasalahan cerai,waris dan lain
sebagainya.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis sangat tertarik untuk
membahas dan mengkaji terhadap permasalahan alat bukti elektronik tersebut
dengan membuat skripsi dengan judul “KEKUATAN ALAT BUKTI
ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA
15
PERCERAIAN(Analisis Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah, agar dalam
pembahasan skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan,
maka penulis membatasi masalah pada kekuatan alat bukti elektronik dalam
pembuktian zina pada perkara perceraian No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten.
2. Rumusan Masalah
Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai
berikut:
a. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan
Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai kekuatan alat bukti elektronik
dalam pembuktian zina pada perkara perceraian?
b. Apa alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan
perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.
Banten?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai kekuatan alat
bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara perceraian.
b. Untuk mengetahui alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten dalam
memutuskan perkara No. 1538/Pdt.G/2013/PA. Tgrs dan No.
21/Pdt.G/2014/PTA. Banten.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penulis adalah
sebagai berikut:
a. Bagi Ilmu Pengetahuan
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu hukum di Indonesia yang menyangkut kekuatan alat
bukti elektronik dalam perkara perceraian.
b. Bagi Masyarakat
Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat
luas mengenai kekuatan alat bukti elektronik dalam perkara perceraian.
c. Bagi Penulis
Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir
D. Review Studi Terdahulu
Untuk menghindari penelitian dengan obyek yang sama, maka
pembahasan dalam penelitian ini penulis telah melakukan telaah studi terdahulu
pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang
akan diangkat oleh penulis, yaitu:
No Identitas Substansi Perbedaan
1. Indaryati, Kekuatan Alat Bukti Pengakuan
Dalam Perkara
Perceraian Karena Alasan Zina (Studi Atas Putusan PA Sleman
No.39/Pdt.G/1998/PA
.Smn dan
No.209/Pdt.G/1999/P A.Smn), Peradilan Agama, Fakultas
Syari’ah, Institut
Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.
Skripsi ini membahas bahwa dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara perceraian karena alasan zina, khususnya dalam putusan No.39/Pdt.G/1998/PA.
Smn dan
No.209/Pdt.G/1999/PA. Smn. PA Sleman menerima pengakuan sebagai salah satu alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan dalam Hukum Acara Islam serta tidak memerlukan bayyinah.
Skripsi ini membahas bahwa pembuktian zina dengan alat bukti elektronik pada putusan No.1538/Pdt.G/2013/PA
.Tgrs dan
No.21/Pdt.G/2013/PTA. Banten tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang menguatkan, karena alat bukti elektronik berupa foto dan SMS tersebut tidak menjelaskan telah terjadi perbuatan zina. Dalam memutuskan gugatan tersebut majelis hakim berdasarkan kepada surah An-Nur ayat 4.
2. Siti Ainun Rachmawati,
Kekuatan Pembuktian Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Sistem Hukum Pembuktian di Indonesia, Program Magister
Kenotariatan,
Fakultas Hukum, Universitas Islam Depok, 2011.
Tesis ini membahas bahwa dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia alat bukti elektronik berupa dokumen elektronik yang telah di autentikasi oleh lembaga yang berwenang dapat disamakan sebagai alat bukti autentik dengan nilai pembuktian
E. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah
penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa argumentasi tertulis maupun lisan yang berasal dari orang atau pelaku
yang diteliti.16 Sifat dari penelitian ini adalah deksriptif analisis, yaitu suatu
penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan dan memberikan analisis
16
Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar, dan Aplikasinya,
(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), cet. ke-6, h. 20.
sempurna. 3. Johan Wahyudi,
Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian di Pengadilan, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya, Jurnal Perspektif Volume XVII No.2 Tahun 2012 Edisi Mei.
Jurnal ini mengangkat bahwa setelah diberlakukannya UU
ITE dokumen
elektronik atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan dapat digunakan di muka persidangan, sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya,
dan dapat
dipertanggungjawabkan
, sehingga
menerangkan suatu keadaan. Dokumen elektronik
kedudukannya
disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.
terhadap kejadian nyata dilapangan dari suatu objek,17 hal ini dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memaparkan
hasil-hasil penelitian yang bersumber dari dokumen tertulis berupa putusan serta
hasil wawancara yang dimaksudkan untuk mengetahui pandangan hakim di
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai
alat bukti elektronik dalam pembuktian pada perkara perceraian.
Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif
yaitu pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah
atau norma-norma dalam hukum positif.18
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan data yang berhubungan
dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sumber data yang penulis gunakan
terbagi dalam tiga bagian, yaitu:
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang penulis dapatkan dari petugas atau
sumber utamanya.19 Data tersebut berupa salinan putusan
No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten, serta
wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag selaku hakim
17
Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 174.
18
Soejono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h. 26.
19
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Bapak Drs. H. Humaedi Husen, S.H.,
M.H selaku hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten.
b. Data Sekunder
Data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen resmi.20 Bahan hukum tersebut terdiri dari
buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, komentar-komentar atas putusan pengadilan, kasus-kasus
hukum, yurisprudensi, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tema
skripsi ini.21
c. Data Tersier
Data tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus hukum,
ensiklopedia, dan lain-lain.22 Data ini diperoleh dengan cara
mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur buku-buku ilmiah, kamus,
ensiklopedia atau internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Sebagai tindak lanjut dalam rangka memperoleh data sebagaimana
diharapkan, maka penulis melakukan pengumpulan data dengan dua teknik
penelitian, diantaranya:
20
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,(Jakarta: PT. Kencana, 2004), h. 141.
21
Soejono Sokanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.
22
a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini penulis
mengadakan penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya
dengan penulisan skripsi ini, yang berupa putusan Pengadilan Agama
Tigaraksa No,1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan Pengadilan
Tinggi Agama Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten, buku, artikel,
jurnal, skripsi, surat kabar, dan lain sebagainya. Hal yang dilakukan
dalam melaksanakan penelitian kepustakaan ini adalah dengan cara
membaca, mengutip, menganalisa dan merumuskan hal-hal yang
dianggap perlu dalam memenuhi data dalam penelitian ini.
b. Penelitian lapangan (field research),dalam hal ini untuk mendapatkan
data-data dan informasi tentang kekuatan alat bukti elektronik dalam
pembuktian zina pada perkara perceraian, penulis langsung turun
kelapangan pada obyek penelitian yaitu Pengadilan Agama Tigaraksa
dan Pengadilan Tinggi Agama Banten, dengan menggunakan teknik
pengumpulan data sebagai berikut:
1) Wawancara
Wawancara yakni suatu proses komunikasi interpersonal
berupa tanya jawab lisan diantara dua orang atau lebih dengan cara
bertatap muka langsung antara pewawancara dengan orang yang
diwawancarai.23Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk
mengumpulkan data yaitu dengan tanya jawab secara langsung
menggunakan instrument pengumpulan data. Wawancara ini
23
dimaksudkan untuk memperoleh data atau informasi dari pihak
terkait yaitu hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan hakim
Pengadilan Tinggi Agama Banten.
2) Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan
melakukan pengamatan langsung pada salinan putusan Pengadilan
Agama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan
Pengadilan Tinggi Agama No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten yang
kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini.
4. Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan
bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain.24 Analisis data dalam penelitian ini
dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan tentang putusan
No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten, pandangan hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa dan hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai
kekuatan alat bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara
perceraian, serta dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan
perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan
No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten.
24
5. Teknik Penulisan
Adapun dalam teknik penulisan pada skripsi ini menggunakan
teknik dasar dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman
kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari
lima bab, yang perinciannya sebagai berikut:
Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab Keduaalat bukti elektronik dalam perkara perceraian merupakan alat bukti yang sah, selama alat bukti elektronik tersebut dapat dibuktikan
kebenarannya secara ilmiah serta tidak menyalahi aturan yang berlaku di
Pengadilan Agama, akan tetapi alat bukti elektronik tidak dapat dijadikan sebagai
pembuktian zina karena dalam hukum Islam pembuktian zina harus
mendatangkan empat orang saksi yang melihat secara langsung kejadian tesebut.
Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang pengertian pembuktian, asas-asas
terkait pembuktian, pengertian alat bukti, macam-macam alat bukti, pengertian
alat bukti elektronik, macam-macam alat bukti elektronik, kekuatan alat bukti
Bab ketiga membahas tentang gambaran singkat Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten, yang meliputi profil dan sejarah
Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten.
Bab keempat membahas tentang pandangan hakim tentang kekuatan alat bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara perceraian, yang meliputi
pandangan dari hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi
Agama Banten, alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan
perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten serta
analisis penulis mengenai putusan tersebut.
16
KAJIAN TEORISTIS PEMBUKTIAN, ALAT BUKTI
ELEKTRONIK, DAN PERZINAAN
A. Kajian Teoritis Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian
Pembuktian dalam kosa kata bahasa Inggris, berasal dari kata “bukti”
yang terbagi menjadi dua kata yaitu evidence dan proof. Kata “evidence”yaitu
informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan
bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara
itu,“proof”adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata
proof mengacu kepada hasil evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap
evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses
itu sendiri.1
Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu
yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedangkan pembuktian itu
sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha menunjukan
benar atau salahnya si terdakwa dalam Pengadilan. Sementara itu,
membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai
proses, perbuatan, atau cara membuktikan.2 Pengertian bukti, membuktikan,
1
Eddy O.S.Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian,(Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2012), h. 2.
2
dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian
pada umumnya.
Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti
memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,
melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.3 Pengertian
pembuktian menurut para pakar hukum berbeda-beda, diantaranya:
a. Menurut R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan
hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam
suatu persengketaan.4
b. Menurut Muhammad at Thohir Muhammad Abd al aziz, membuktikan
suatu perkara adalah memberikan keterangan dan dalil hingga dapat
meyakinkan orang lain.5
c. Menurut Subhi Mahmasoni, membuktikan suatu perkara adalah
mengajukan alasan dan mengajukan dalil sampai kepada batas yang
meyakinkan. Artinya, hal yang menjadi ketetapan atau keputusan atas
dasar penelitian dan dalil-dalil itu.6
3
Soedirjo,Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana,(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1985), h. 47.
4
R. Subekti,Hukum Pembuktian,(Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), cet. ke-17, h. 1.
5
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 25.
6
d. Menurut TM Hasbi Ash-shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang
dapat menampakan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain.7
e. Syaiful Bahri, pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur
alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang digunakan oleh
hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan didalam
persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa
dengan tanpa alasan yuridis dan berdasarkan keadilan.8
Dari beberapa definisi perihal bukti, membuktikan dan pembuktian,
dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bukti merujuk pada alat-alat bukti
termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.
Sementara itu, pembuktian merujuk pada suatu proses terkait mengumpulkan
bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut di
sidang Pengadilan.
2. Asas-Asas Terkait Pembuktian
Asas-asas yang dimaksud tidak hanya yang secara langsung terkait
dengan pembuktian, tetapi juga asas-asas yang secara tidak langsung akan
mempengaruhi pembuktian, termasuk pula beberapa prinsip dalam hukum
acara diantaranya sebagai berikut:
7
Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), cet. ke-II, h.135.
8
1. Due Process of Law
Due Process of Lawdiartikan sebagai seperangkat prosedur yang
diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku universal.
2. Presumption of Innocent
Presumption of Innocentdiartikan sebagai asas praduga tidak
bersalah.
3. Legalitas
Legalitas menurut sejarahnya asas ini merupakan produk aliran
klasik dalam hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan
individu dari kesewenang-wenangan Negara dan bukan untuk melindungi
masyarakat dan Negara dari kejahatan sebagaimana tujuan hukum pidana
modern.
4. Adversary System
Adversary system diartikan sebagai sistem peradilan di mana
pihak-pihak yang berseberangan mengajukan bukti-bukti yang saling
berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang menguntungkan
pihaknya.
5. Clear and Convincing Evidence
Clear and convincing evidence diartikan sebagai standar
pembuktian antara standar preponderance of evidence dan beyond a
reasonable doubt. Preponderance of evidence, yakni kecukupan bukti
reasonable doubtadalah standar pembuktian yang digunakan dalam
Pengadilan pidana.
6. Actori In Cumbit Probation
Actori In Cumbit Probation secara harfiah berarti siapa yang
menggugat dialah yang wajib membuktikan.
7. Actori In Cumbit Onus Probandi
Actori in cumbit onus probandiartinya siapa yang menuntut dialah
yang wajib membuktikan.
8. Secundum Allegat Iudicare
Secundum allegat iudicare dalam hukum acara perdata
menandakan bahwa hakim dalam perkara perdata bersifat pasif.
9. Judex Ne Procedat Ex Officio
Judex Ne Procedat Ex Officioberarti dimana tidak ada penggugat
disana tidak ada hakim.
10. Actus Dei Nemini Facit Injuriam
Actus Dei Nemini Facit Injuriam berarti tidak seorangpun dapat
dipertanggungjawabkan atas kerugian akibat kecelakaan yang tidak dapat
dihindari.
11. Negativa Non Sunt Probanda
Negativa non sunt probanda berarti sebagai membuktikan sesuatu
yang negative sangat sulit.
12. Unus Testis Nullus Testis
13. Persona Standi Injudicio
Persona standi injudicio berarti orang yang berwenang dan cakap
hukum berperkara di pengadilan.
14. Plaintiff
Plaintiff diartikan sebagai pihak yang mengajukan perkara perdata
karena menderita kerugian.
15. Discovery
Discovery diartikan sebagai prosedur untuk mengungkapkan
informasi diantara pihak-pihak yang berperkara.
16. Directed Verdict
Directed Verdict diartikan putusan dalam persidangan yang
dijatuhkan hakim karena ketidakmampuan salah satu pihak untuk
menyodorkan bukti-bukti yang cukup untuk mendukung posisinya.
17. Unlawful Legal Evidence
Unlawful Legal Evidenceberarti perolehan bukti yang tidak sah.
18. Audi Et Alteram Partem
Audi et alteram partem berarti dalam mengadili hakim harus
mendengar kedua belah pihak.
19. Probatio Plena
Probatio plena berarti alat bukti yang memiliki kekuatan
pembuktian adalah alat bukti tulis atau alat bukti tertulis.9
9
3. Pengertian Alat Bukti
Alat bukti berasal dari dua kata yaitu: “alat” dan ‘bukti”. “alat” berarti: perkakas, berbagai-bagai alat.10 Sedangkan “bukti” berarti: tanda kebenaran, memberi bukti, menerangkan dengan bukti.11
Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan
untuk membuktikan prihal kebenaran suatu peristiwa di Pengadilan. Mengenai
apa saja yang termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara suatu
peradilan akan mengaturnya secara rinci. Alat bukti dalam hukum acara
pidana berbeda dengan alat bukti dalam hukum acara perdata. Demikian pula
alat bukti yang berlaku bagi acara persidangan dan perkara-perkara tertentu
seperti hukum acara Mahkamah Konstitusi, hukum acara dalam acara
persidangan kasus korupsi, hukum acara dalam persidangan kasus terorisme,
hukum acara dalam persidangan kasus perceraian, dan masih banyak lagi.12
Pengertian alat bukti menurut para pakar hukum bermacam-macam
diantaranya:
1. Menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya hukum acara perdata
menyatakan bahwa alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis
yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan
tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di
dalam pengadilan. Jadi para pihak yang berpekara hanya dapat
10
Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. ke-1, h. 39.
11
Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 40.
12
memuktikan kebenaran dalil gugatan dan dalil bantahan maupun
fakta-fakta yang mereka kemukakan dalam jenis atau bentuk alat bukti tertentu.
Hukum pembuktian yang berlaku di indonessia sampai saat ini masih
berpegang kepada jenis dan alat ukti tertentu saja.13
2. Menurut R. Atang Ranomiharjo, alat bukti adalah alat-alat yang ada
hubungannya dengan satu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat
dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan
bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah
dilakukan oleh terdakwa.14
3. Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, alat bukti adalah sesuatu yang di
jadikan dasar oleh hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak,
dan kemudian menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan putusan.
Sedangkan alat bukti yang berkedudukan sebagai penambah keyakinan
hakim dalam memeriksa perkara.15
4. Macam-macam Alat Bukti
a) Alat Bukti dalam Hukum Perdata
Pembuktian merupakan inti pemeriksaan suatu perkara di
Pengadilan. Perihal bagaimana pembuktian termasuk alat bukti yang
digunakan, semuanya berdasarkan hukum acara persidangan
masing-masing perkara. Demikian pula halnya dalam persidangan perkara perdata,
13
M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet-10, h. 554.
14
Printis Darwan,Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan),h. 107.
15
mengenai apa saja alat bukti yang sah dan bagaimana cara pembuktiannya,
telah diatur dalam hukum acara perdata.
Dalam perkara perdata yang dicari adalah kebenaran formal. Oleh
karena itu, hakim terikat hanya kepada alat bukti yang sah menurut
undang-undang. Dengan demikian, hakim dalam pemeriksaan perkara
perdata bersifat pasif, tergantung dari para pihak yang bersengketa. Akan
tetapi, dalam rangka mencari kebenaran materil atas perkara yang diajukan
oleh para pihak, hakim perdata pun bersifat aktif.
Berdasarkan KUHPerdata, RIB dan RDS disebutkan alat-alat bukti
terdiri dari: bukti tertulis (sebutan dalam KUHPerdata) atau bukti dengan
surat (sebutan dalam RIB dan RDS); bukti dengan saksi;
persangkaan-persangkaan; pengakuan dan sumpah. Sementara itu, alat bukti
ahli/keterangan ahli dasar hukumnya terdapat dalam RIB dan RDS.
Berikut ini adalah ulasan masing-masing alat bukti dalam perkara perdata
di Indonesia:
a. Bukti Tulisan/Bukti dengan Surat
Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang
sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Bukti
tertulis atau bukti dengan surat sengaja dibuat untuk kepentingan
pembuktian dikemudian hari bilamana terjadi sengketa. Secara garis
besar, bukti tulisan atau bukti dengan surat terdiri atas dua macam,
Bukti tulisan atau bukti dengan surat sering kita kenal dengan
sebutan akta. Akta ialah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja
untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh
pembuatnya. Pasal 1869 KUHPerdata menentukan keharusan adanya
tanda tangan dalam surat akta, sehingga karcis kereta api, resi dan lain
sebagainya tidak termasuk akta.16
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa suatu
surat dapat dianggap akta jika memiliki ciri sengaja dibuat dan
ditandatangani untuk dipergunakan oleh orang dan untuk keperluan
siapa surat itu dibuat. Pengaturan mengenai akta diatur dalam
KUHPerdata Pasal 1867 sampai Pasal 1880, Pasal 164 HIR serta Pasal
284 RBg.
Ada dua macam akta, yaitu akta autentik dan akta di bawah
tangan, diantaranya sebagai berikut:17
Pertama, akta autentik atau akta resmi yang berdasarkan Pasal
1868 KUHPerdata/Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg adalah suatu akta
yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut
undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut di
tempat dimana akta itu dibuat.18 Pejabat umum yang dimaksudkan itu
16
Menurut Sudikno Mertikusumo dikutip oleh H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,(Bandung: PT. Alumni, 2014), cet. ke-2, h. 52.
17
Anshoruddin,Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, h. 70.
18
H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,
ialah Notaris, Hakim, Pegawai Pencatatan Sipil (ambtenaar
burgerlijke stand),19 Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat,
Pegawai Pencatat Nikah, Panitera Pengadilan, Jurusita, dan
sebagainya.20
Berdasarkan undang-undang, suatu akta autentik atau akta
resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig
bewijs). Artinya, jika suatu pihak mengajukan suatu akta autentik,
hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di
dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim itu tidak
boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.21
Kedua, adalah akta di bawah tangan, yaitu tiap akta yang tidak
dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum, yang
mana akta itu dibuat dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak
yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani
surat perjanjian atau akta itu mengakui atau tidak menyangkal tanda
tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran
hal yang tertulis dalam surat perjanjian atau akta itu, maka akta di
bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang
sama dengan suatu akta autentik atau akta resmi. Sebaliknya, jika
19
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. ke-29, h. 178.
20
Anshoruddin,Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positifh. 71.
21
tanda tangan itu disangkal, pihak yang mengajukan surat perjanjian
tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan
atau isi akta tersebut.22
Selain akta, bukti tulisan juga meliputi semua tulisan sebagai
surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain.
Tulisan-tulisan atau surat-surat tersebut pada dasarnya merupakan
suatu bukti terhadap siapa yang membuatnya. Kekuatan pembuktian
surat-surat atau tulisan tersebut adalah sebagai alat bukti bebas.
Artinya, hakim tidak harus menerima atau mempercayai surat-surat
atau tulisan-tulisan tersebut, kecuali diperkuat oleh alat bukti lainnya.
Dengan demikian, agar surat-surat atau tulisan-tulisan selain akta
mempunyai kekuatan sebagai bukti atau untuk dapat dipercayai dan
diterima oleh hakim sebagai bukti, dibutuhkan corroborating
evidence.23
b. Kesaksian
Alat bukti kesaksian diatur dalam Pasal 139-152, 158-172 HIR
(Pasal 165-179 RBg), dan Pasal 1895/1902-1972 KUHPerdata.
Kesaksian adalah kesaksian yang diberikan kepada hakim
dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan
22
R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,h. 179.
23
pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah
satu pihak dalam perkara.24
Seorang saksi dipanggil di muka siang untuk memberi
keterangan yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami
sendiri peristiwa tersebut, namun ada juga saksi yang dihadirkan yang
dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu peristiwa hukum
pada saat peristiwa itu dilakukan di masa lampau (saksi ahli).
Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, hakim harus
memperhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi, kesesuaian
dengan apa yang dikatakan dari segi lain tentang perkara yang
disengketakan, cara hidup, adat istiadat, dan martabat para saksi dan
segala sesuatu yang sekiranya memengaruhi tentang dapat tidaknya
saksi tersebut dipercaya (Pasal 172 HIR/Pasal 309 RBg, Pasal 1908
KUHPerdata).25
Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi di depan
pengadilan dalam pengertian ada kewajiban hukum untuk memberikan
kesaksian di muka hakim. Pasal 139 HIR, Pasal 165 RBg, Pasal 1909
KUHPerdata, menentukan kewajiban memberikan kesaksian yang
diikuti sanksi jika tidak memenuhinya.26
24
H.P. Panggabean,Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,h. 57.
25
Lihat Pasal 172 HIR, Pasal 309 RBg, Pasal 1908 KUHPerdata.
26
Pembatasan terhadap asas kewajiban menjadi saksi, ditentukan
sebagai berikut:
1) Golongan yang dianggap tidak mampu menjadi saksi, dibagi
menjadi 2 (dua) jenis:
1. Mereka yang tidak mampu secara mutlak
a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan
yang lurus dari satu pihak (Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal
172 ayat (1) sub RBg, Pasal 1910 KUHPerdata).27
b. Suami atau isteri dari salah satu pihak meski sudah bercerai
(Pasal 145 ayat (1) sub 2 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 3 RBg,
Pasal 1910 alinea 1 KUHPerdata).28
2. Mereka yang tidak mampu secara relatif. Mereka ini boleh
didengar tetapi tidak sebagai saksi.
a. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun (Pasal 145
ayat (1) sub 3, jo ayat (4) HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 4, jo
Pasal 173 RBg, Pasal 1912 KUHPerdata).29
b. Orang gila, meski kadang-kadang hidup sehat (Pasal 145
ayat (1) sub 4 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 5 RBg, Pasal
1912 KUHPerdata).30
27
Lihat Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal 172 ayat (1) RBg, Pasal 1910 KUHPerdata.
28
Lihat Pasal 145 ayat (1) sub 2 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 3 RBg, Pasal 1910 alinea 1 KUHPerdata.
29
3. Keterangan mereka hanya boleh dianggap sebagai penjelasan
belaka; mereka didengar tanpa harus disumpah (Pasal 145 ayat
(4) HIR/Pasal 173 RBg).31
2) Golongan yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari
kewajibannya untuk memberi kesaksian. Golongan ini yang
mengundurkan diri menjalankan hak ingkar (verschoningsrecht),
diatur dalam Pasal 146 HIR/Pasal 174 RBg, Pasal 1909 alinea 2
KUHPerdata, terdiri atas:
1. Saudara laki-laki dan perempuan atau ipar laki-laki dan
perempuan dari salah satu pihak;
2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara
laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;
3. Semua orang yang karena martabat jabatan atau hubungan kerja
yang sah, seperti: dokter, advokat, notaris, polisi, dan lain
sebagainya.32
Keabsahan saksi sebagai alat bukti jika kesaksian tersebut
diberikan di bawah sumpah. Artinya, setiap saksi diwajibkan, menurut
cara agamanya, bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan
hal yang sebenarnya. Selain itu, kesaksian tersebut harus disampaikan
30
Lihat Pasal 145 ayat (1) sub 4 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 5 RBg, Pasal 1912 KUHPerdata.
31
Lihat Pasal 145 ayat (4) HIR/Pasal 173 RBg.
32
di depan sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum,
kecuali undang-undang menentukan lain.
c. Persangkaan
Dalam hukum acara perdata, persangkaan atau vermoedens
adalah alat bukti yang bersifat pelengkap atau accessory evidence.
Artinya, alat bukti persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri.
Persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti
lainnya.33Persangkaan merupakan kesimpulan yang diambil dari suatu
peristiwa yang sudah terang dan nyata, dari peristiwa itu ditarik
kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga
telah terjadi.34
Persangkaan menurut Pasal 1915 KUHPerdata, maka
persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang
atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah
peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Dengan demikian,
terdapat dua macam persangkaan, antara lain:
1. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijkvermoendes
praesumptiones facti)(Pasal 173 HIR). Dalam proses persidangan
hakim juga yang memutuskan berdasarkan kenyataan, seberapa
33
Eddy O.S. Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian, h. 90.
34
jauh kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu
dengan membuktikan peristiwa lain.35
2. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke rechtsvermoendes,
praesumptiones juris).Pada persangkaan berdasarkan hukum maka
undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa
yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak
diajukan. Persangkaan berdasarkan hukum dibagi menjadi 2 (dua):
a. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan
hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan;
b. Praesumptiones juris et de jureyaitu persangkaan hukum yang
tidak memungkinkan pembuktian lawan.36
d. Pengakuan
Pengakuan(bekertenis/confession)diatur dalam Pasal 174, 175,
176 HIR, Pasal 311, 312, 313 RBg dan Pasal 1927/1928 KUHPerdata.
Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan
peristiwa hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan.
Mengenai pengakuan yang dikemukakan oleh salah satu pihak, ada
yang dilakukan di depan persidangan ataupun diluar sidang
pengadilan.37
35
Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 173),(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), cet. ke-18, h. 141.
36
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1915.
37
Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di
Pengakuan yang diberikan di depan sidang pengadilan
merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap pihak yang telah
melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang
yang khusus dikuasakan untuk itu. Suatu pengakuan yang dilakukan di
depan persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali apabila
dibuktikan bahwa pengakuan itu merupakan akibat suatu kekhilafan
menganai hal-hal yang terjadi. Suatu pengakuan tidak dapat ditarik
kembali dengan alasan seolah-olah orang yang melakukannya khilaf
mengenai hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg,
Pasal 1926 KUHPerdata.38
Pengakuan lisan yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak
dapat dipakai sebagai bukti, kecuali jika tidak diizinkan pembuktian
dengan saksi-saksi. Akan tetapi, kekuatan pembuktian suatu
pengakuan lisan di luar persidangan dikembalikan kepada
pertimbangan dan kebijaksanaan hakim. Artinya, penilaian kekuatan
pengakuan sebagai alat bukti sepenuhnya ada pada hakim. Diatur
dalam Pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg, Pasal 1927-1928 KUHPerdata.39
e. Sumpah
Menurut Yahya Harahap, sumpah sebagai alat bukti adalah
keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan
38
Lihat Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg, Pasal 1926 KUHPerdata.
39
tujuan agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau
pernyataan itu takut atas murka Tuhan apabila ia berbohong.40
Pengertian bukti sumpah ditentukan dalam Pasal 155, 156, 157,
158 HIR tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan dan Pasal 177
HIR tentang pembuktian.
Secara garis besar sumpah dibagi menjadi dua, yaitu sumpah
promisoirdan sumpah confirmatoir. Sumpahpromisoiradalah sumpah
yang diucapkan oleh seseorang ketika akan menduduki suatu jabatan
atau ketika akan bersaksi di pengadilan. Sementara itu, sumpah
confirmatoiradalah sumpah sebagai alat bukti.41
Sumpah confirmatoir dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah
sebagai berikut:
1. Sumpah supletoir (sumpah tambahan), yaitu sumpah yang
diperintahkan oleh hakim secara ex officio. Sumpah ini tidak
diwajibkan oleh undang-undang dan pelaksanaannya diserahkan
kepada pertimbangan hakim. Sumpah supletoir hanya dapat
dilakukan jika alat bukti yang ada belum dapat meyakinkan hakim.
Artinya, sumpah supletoir hanya boleh dilakukan jika sudah ada
pembuktian permulaan terlebih dahulu.
2. Sumpah aestimatoir (sumpah penaksir),yaitu sumpah yang
dibebankan atau diperintahkan oleh hakim kepada penggugat untuk
40
M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 745.
41
menentukan besarnya ganti rugi. Dengan demikian, sudah terbukti
bahwa ada kerugian dari pihak penggugat dan sudah ada penaksiran
ganti kerugian, tetapi kurang meyakinkan hakim. Hakim tidak wajib
membebani penggugat untuk melakukan sumpah aestimatoir.
Kekuatan pembuktian sumpahaestimatoiradalah sempurna, namun
masih memungkinkan adanya bukti lawan.
3. Sumpah decisoir (sumpah pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan
atas permintaan satu pihak kepada pihak lain. Sumpah decisoir
tersebut akan menentukan menang atau kalahnya penggugat atau
tergugat. Sumpahdecisoir hanya dapat dilakukan jika tidak ada alat
bukti apa pun dan tidak dimungkinkan bukti lawan. Pasal 1936
KUHPerdata melarang mengajukan bukti lawan/tegen bewijs
terhadapnya karena undang-undang telah melekatkan sumpah
decisoir tersebut nilai pembuktian sempurna mengikat dan
menentukan.42
f. Pendapat Ahli
Pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan
khusus dibidang khusus, dengan perincian:
1. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis dibidang ilmu
pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten
dibidang tersebut.
42
2. Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan
(treaning) atau hasil pengalaman.
3. Hasil keterangan saksi tersebut dapat membantu menemukan fakta
melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa (ordinary
people).43
Dalam Pasal 154 ayat (1) HIR, Pasal 215 Rv pengangkatan
saksi ahli dilakukan oleh hakim secara ex officio atau atas permintaan
salah satu pihak.
b) Alat Bukti dalam Hukum Pidana
Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial.
Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan
pelaku diam, dalam pengertian tidak mau memberikan keterangan
sehingga membuat pembuktian menjadi hal yang penting. Pembuktian
memberikan landasan dan argument yang kuat kepada penuntut umum
untuk mengajukan tuntutan.44
Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak,
obyektif, dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil
kesimpulan suatu kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara
pidana, pembuktian sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara
pidana adalah kebenaran materiil.
43
M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata,h. 790.
44
Sistem hukum acara pidana melalui ketentuan Pasal 184 ayat (1)
KUHAP telah menentutan secara limitatif alat-alat bukti yang sah menurut
undang-undang, artinya diperlukan alat-alat bukti tersebut tidak
dibenarkan pembuktian atas kesalahan terdakwa.45 Jenis-jenis alat bukti
dalam Pasal 184 KUHAP diperinci sebagai berikut:
1. Keterangan Saksi
Definisi saksi dan keterangan saksi secara tegas diatur dalam
KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP dinyatakan:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami
sendiri”.46
Sementara itu, Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalamperkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”47
Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti paling utama
dalam perkara pidana, harus hampir semua pembuktian perkara pidana
selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.
Kriteria kekuatan alat bukti berupa keterangan saksi terbagi ke
dalam 5 (lima) macam, diantaranya:
a. Keterangan saksi harus diikuti sumpah atau janji;
b. Keterangan saksi itu memiliki nilai sebagai bukti;
45
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 ayat (1).
46
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 26.
47
c. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan;
d. Keterangan saksi satu tidak dianggap cukup; dan
e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.48
2. Keterangan Ahli
Definisi keterangan ahli dalam KUHAP adalah “keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang
hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.”49 Keterangan ahli dinyatakan sah sebagai alat bukti jika dinyatakan di depan persidangan dan di bawah sumpah.
Menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP keterangan ahli adalah
hal yang seorang ahli nyatakan di bidang pengabdiannya. Keahlian
dari seseorang yang memberikan keterangan ahli tidak hanya
berdasarkan pengetahuan yang ia miliki melalui pendidikan formal,
namun keahlian itu juga dapat diperoleh berdasarkan pengalamannya.
KUHAP membedakan antara keterangan seorang ahli di
persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan di
depan sidang pengadilan. Jika seorang ahli memberikan keterangan
secara langsung di depan sidang pengadilan dan di bawah sumpah,
keterangan tersebut adalah alat bukti yang sah. Sementara itu, jika
seorang ahli di bawah sumpah telah memberikan keterangan tertulis di
48
M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. ke-II, h. 286.
49
luar persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan sidang
pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan alat bukti surat dan
alat bukti keterangan ahli.50
Keterangan ahli biasanya bersifat umum berupa pendapat atas
pokok perkara pidana yang sedang disidangkan atau yang berkaitan
dengan pokok perkara tersebut. Ahli tidak diperkenankan memberikan
penilaian terhadap kasus konkret yang sedang disidangkan. Oleh
karena itu, pernyataan terhadap ahli biasanya bersifat hipotesis atau
pernyataan yang bersifat umum. Ahli pun tidak dibolehkan
memberikan penilaian terhadap salah atau tidaknya terdakwa
berdasarkan fakta persidangan yang dinyatakan kepadanya.51
3. Surat
Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat
bukti surat pun, hanya diatur satu pasal saja, yakni pada pasal 187.
Menurut ketentuan itu surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang
sah menurut undang-undang ialah:
• Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;
• Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.52
Secara garis besar, jenis-jenis alat bukti surat ditentukan dalam
Pasal 187 KUHAP, sebagai berikut:
50
Eddy O.S. Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian,h. 115.
51
M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua,h. 295.
52
1. Surat biasa, yaitu surat yang sejak semula diperuntukkan untuk
membuktikan sesuatu.
2. Surat di bawah tangan, yakni yang dibuatkan untuk pembuktian.
3. Surat autentik, yakni bukti acara dan surat-surat yang lain dalam
bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum (oleh penyidik,
notaris, hakim) yang dapat diperinci menjadi 2 kelompok:
a. Acta ambteljk,yakni akta autentik yang dibuat sesuai kehendak
pejabat umum tersebut.
b. Acta partij, yakni akta autentik yang para pihak dihadapan
pejabat umum.53
Dalam hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP bahwa surat terdakwa harus berdasarkan kesalahannya
terbukti dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan
hakim memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa.
4. Petunjuk
Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan
sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana
itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan
siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.54
53
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 187.
54
Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Dalam konteks pembuktian, petunjuk adalah circumstantial
evidenceatau bukti tidak langsung yang bersifat sebagai pelengkap atau
accessories evidence. Artinya, petunjuk bukanlah alat bukti mandiri,
namun merupakan alat bukti sekunder yang diperoleh dari alat bukti
primer, dalam hal ini adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa.55
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa dalam konteks hukum pembuktian secara
umum dapatlah disamakan dengan bukti pengakuan atau confessions
evidence.56 KUHAP memberikan definisi keterangan terdakwa sebagai
apa yang terdakwa nyatakan di depan sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.
Keterangan terdakwa yang dinyatakan mengandung nilai
pembuktian yang sah adalah sebagai berikut:
1. Keterangan harus dinyatakan di depan sidang pengadilan;
2. Isi keterangannya mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa,
segala hal yang diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri;
55
Eddy O.S. Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian,h. 110.
56
3. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya
sendiri;
4. Keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.57
B. Alat Bukti Elektronik
1. Pengertian Alat Bukti Elektronik
Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di Pengadilan nampaknya
masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek Pengadilan di Indonesia,
penggunaan data eletronik sebagai alat bukti yang sah memang belum bisa di
legalkan. Padahal dibeberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail
sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara
(perdata maupun pidana).
Dengan perkembangan teknologi Informasi yang pesat memungkinkan
bahwa segala tindak tanduk masyarakat yang berkenaan atau berhubungan
langsung dengan kegiatan hukum sering sekali terjadi. Dimana
perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasanya melalui media online sering sekali
mengadakan perjanjian via internet dengan clientnya atau dengan
konsumennya. Perjanjian ini biasanya perjanjian jual beli atau sebagainya,
mana kala terjadi suatu sengketa terhadap perjanjian ini, bagaimana usaha
konsumen untuk menuntutnya di Pengadilan jika pengakuan data elektronik
belum dapat diterima sebagai alat bukti yang sah didalam pengadilan di
57
Indonesia. Oleh karena itu diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 21 April 2008.
Pengertian teknologi informasi menurut Pasal 1 butir 3
Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,
memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.58
Sedangkan, pengertian informasi elektronik Pasal 1 butir 1 adalah satu
atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,
suara, gambar, peta, rancangan, foto,electronic data interchang