• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Zina Pada Perkara Perceraian (Analisis Putusan PATigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Pembuktian Zina Pada Perkara Perceraian (Analisis Putusan PATigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

PTA

Diajukan Kepada F

Syara

PROGR

( A H

FAKU

U

TA

Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)

Skripsi

da Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

arat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

CHAIDAR ALIF NIM. 1111044100057

OGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

H W A L S Y A K H S I Y Y A H )

AKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1437 H/2015 M

)

nuhi Salah Satu

y)

GA

H )

(2)
(3)
(4)
(5)

v

Pembuktian Zina Pada Perkara Perceraian (Analisis Putusan Pengadilan Agama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Pengadilan Tinggi Agama Banten No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten).” Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2015, xii halaman + 85 halaman + 67 halaman lampiran.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan hakim terhadap kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan Pengadilan Tinggi Agama Banten No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten dan alasan serta pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber penelitian terdiri dari data primer dan sekunder. Lokasi penelitian adalah di Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten.

Pembuktian dengan alat bukti elektronik dalam perkara perceraian menurut pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten dapat diakui sebagai alat bukti yang sah, akan tetapi dalam perkara pembuktian zina alat bukti elektronik tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena untuk membuktikan zina sesuai dengan al-Qur’an surah an-Nur ayat 4 harus dengan 4 (empat) orang saksi yang melihat secara langsung.

Dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara perceraian karena alasan zina dengan menunjukan alat bukti elektronik khususnya dalam putusan No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PA. Banten, majelis hakim menolak gugatan tersebut karena alat bukti elektonik berupa foto mesum yang ditunjukan oleh penggugat tidak menggambarkan adanya perbuatan zina. Alat bukti elektronik dalam hukum perdata belum ditetapkan menjadi alat bukti yang menguatkan. Alasan dan pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan perkara perceraian tersebut didasarkan kepada surah an-Nur ayat 4 tentang pembuktian perzinaan harus dengan 4 (empat) orang saksi, sedangkan saksi dalam persidangan perkara ini hanya 2 orang, selain itu gugatan tersebut sudah pernah diputus oleh pengadilan dan telah berkekuatan hukum tetap, hal ini mengikat asas Neb Is In Idem.

Kata Kunci : Alat Bukti Elektronik, Perkara Perceraian, Pembuktian Perzinaan, Hukum Acara Perdata,

Pengadilan Agama Tigaraksa, Pengadilan Tinggi Agama Banten.

(6)

v i

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang

senantiasa memberi rahmat, taufik, hidayah dan ‘inayahnya. Sehingga penulis

dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perceraian Permbuktian Zina (Analisis Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten), dalam rangka memenuhi persyaratan mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat dan salam senantiasa penulis

sanjungkan kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya,

sahabat-sahabatnya, dan para pengikutnya yang telah membawa Islam dan

mengembangkannya hingga sekarang ini.

Selama proses dan perjalanan untuk menyelesaikan skripsi ini tidaklah

mudah. Banyak hambatan dan rintangan yang penulis temui dan alami. Penulis

menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih payah penulis

secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari usaha dan

bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis sampaikan banyak

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum beserta

(7)

v ii

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Afwan Faizin, M.A., Dosen Pembimbing Skripsi dan Dosen Pembimbing

Akademik yang tak pernah lelah membimbing dan meluangkan waktunya

untuk memberikan arahan dan saran-saran, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen, Staf dan Karyawan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan pemberitahuan, pemahaman dan

pelayanan selama melaksanakan studi.

5. Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag., dan Drs. H. Humaedi Husen, S.H., M.H., selaku

hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan hakim Pengadilan Tinggi Agama

Banten yang telah membantu dan memberikan izin kepada penulis untuk

melaksanakan observasi dan wawancara selama penulis mengadakan

penelitian.

6. Teristimewa untuk kedua orangtua tercinta ayahanda Dadang Yusuf, yang

telah ikhlas memotivasi dengan moril maupun materil dan selalu menjadi

inspirasi penulis dalam penulisan sekripsi ini. Demikian pula, Ibunda tercinta

Yusmachilda, yang dengan ikhlas mencurahkan kasih sayang untuk penulis,

yang tiada henti-hentinya mendoakan agar penulis menjadi laki-laki yang

tegar dalam menghadapi cobaan hidup dan menjadi kebanggaan keluarga.

(8)

v iii

Riki Ubaidillah yang dengan ikhlas mendo’akan, memberikan semangat dan

dukungan kepada penulis. Serta keponakan-keponakanku: Bilqis Syahla

Raudatul, Raihana Albi, Muhammad Fahri, yang selalu memberikan hiburan

kepada penulis ketika sedang menghadapi kendala.

8. Teruntuk Ai Siti Wasilah, S.Sy yang selalu memberikan semangat dan

motivasi, serta mendengarkan keluh kesah penulis. Untuk sahabat-sahabatku:

Abdul Rohman, Syamsul Bahri, M. Shandika Rizkiandy, Edi Sudrajat dan, H.

Ahmad Firdaus yang telah membantu penulis dalam penulisan skripsi dan

tiada hentinya memberikan semangat, motivasi dan dukungan kepada penulis

dikala penulis sedang terpuruk dalam penyusunan skripsi.

9. Kawan-kawan seperjuangan Keluarga Besar Peradilan Agama kelas A dan B,

Administrasi Keperdataan Islam Angkatan 2011, dan seluruh kader PMII

cabang Ciputat khususnya PMII Komfaksyahum yang telah memberikan

warna serta pengalaman dalam menjalani perkuliahan selama ini. Serta semua

pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan

terimakasih atas dukungan dan bantuannya.

Akhirnya tiada kata yang paling berharga kecuali ucapan Alhamdulillah

atas Rahmat dan Karunia serta Ridha-Nya dan ucapan terimakasih penulis kepada

semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis hanya mampu

berdo’a semoga Allah menerima sebagian amal kebaikan dan membalasnya

(9)

ix

mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi sempurnanya skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis

khususnya dan para pembaca umumnya. Aamiin.

Jakarta, 07 Oktober 2015 M 23 Dzulhijjah 1436 H

(10)

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK . ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Riview Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II PEMBUKTIAN, ALAT BUKTI ELEKTRONIK, DAN PERZINAAN A. Pembuktian ... 16

1. Pengertian Pembuktian ... 16

2. Asas-Asas Terkait Pembuktian ... 18

3. Pengertian Alat Bukti... 22

4. Macam-Macam Alat Bukti ... 23

a. Alat Bukti Dalam Hukum Perdata ... 23

b. Alat Bukti Dalam Hukum Pidana ... 36

B. Alat Bukti Elektronik ... 42

1. Pengertian Alat Bukti Elektronik ... 42

(11)

i

1. Pengertian Zina ... 48 2. Pembuktian Zina ... 50

BAB III GAMBARAN UMUM PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA DAN PENGADILAN TINGGI AGAMA BANTEN

A. Gambaran Umum Pengadilan Agama Tigaraksa... 54 B. Gambaran Umum Pengadilan Tinggi Agama Banten... 58

BAB IV PANDANGAN HAKIM TENTANG KEKUATAN ALAT

BUKTI ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA PERCERAIAN

A. Pandangan Hakim PA Tigaraksa dan PTA Banten Mengenai Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Perkara Perceraian dan Pembuktian Zina ... 66 B. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam

Memutuskan Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten ... 73 1. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam

Memutuskan Perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs... 73 2. Alasan dan Dasar Pertimbangan Majelis Hakim dalam

Memutuskan Perkara No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten... 75

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 79 B. Saran ... 80

DAFTAR PUSTAKA ... 82

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Surat Mohon Kesediaan Menjadi Dosen Pembimbing Skripsi

Surat Permohonan Data/Wawancara

(12)

ii

Transkip Wawancara dengan Hakim PTA Banten

Salinan Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs

Salinan Putusan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten

(13)

1 A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan sudah diatur oleh

agama dari awal mula manusia di ciptakan sampai sekarang, untuk memenuhi

nafsu birahi sebagai manusia serta menjaga ras manusia agar tidak musnah.

Pernikahan merupakan penggabungan antara dua keluarga besar untuk saling

terikat diantara kedua belah pihak yang menjadikan sebuah persaudaraan

diantaranya.

Dalam pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

disebutkan bahwa, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketentuan keTuhanan Yang Maha Esa.1

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di jelaskan bahwasanya:

“Perkawinan adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mustaqan

ghalizanuntuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.2

Dari pengertian perkawinan jelas bahwa tujuan perkawinan adalah untuk

membangun keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah,3 dan setiap orang

yang menikah pasti mengharapkan tercapainya tujuan tersebut, namun banyak

1

Lihat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

2

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2010), cet. ke-4, h. 114.

3

(14)

juga di antara mereka yang tidak dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga

sehingga harus berakhir dengan penceraian.

Penceraian merupakan solusi terakhir yang dapat di tempuh oleh suami

istri dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian secara

maksimal. Perceraian dapat di lakukan atas kehendak suami atau permintaan istri,

penceraian yang di lakukan oleh pihak istri di sebut cerai gugat.4

Untuk melakukan penceraian harus ada cukup alasan, adapun

alasan-alasan yang dapat digunakan sebagai dasar untuk penceraian sebagaimana di

sebutkan dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yaitu:

1. Salah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya

yang sukar disembuhkan (pemboros,pemakai obat-obat terlarang).

2. Salah satu pihak meningglkan yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut

tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena lain diluar

kemauannya (pergi tanpa kabar berita).

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman

yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan terhadap pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan

tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

4

(15)

6. Antara suami dan istri terus menerus ternjadi perselisihan dan pertengkaran

dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah tangga.5

Melihat alasan pada ayat (1) tersebut bahwasannya apabila diketahui salah

satu diantara suami dan istri telah melakukan perbuatan zina, mabuk, penjudi,

maka tidak memungkinkan akan ada dampak masalah baru seperti apa yang

tertulis didalam poin ke (6) antara suami dan istri terus menerus tenjadi

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan rukun lagi dalam rumah

tangganya jalan akhir yang dapat di tempuh adalah dengan mengajukan

permohonan perceraian ke Pengadilan Agama. Dalam perkara perceraian, pada

umumnya pengadilan menggunakan asas in flagranti delicto artinya tertangkap

basah atau ketahuan seketika. Perbuatan zina tidak dapat didasarkan dari hasil

suatu konklusi, apalagi berupa dugaan sementara yang ditarik dari suatu

peristiwa.6

Dalam hal mengajukan cerai gugat atau cerai talak maka akan ada proses

yang harus dilalui oleh para pihak, salah satunya yaitu pembuktian. Pembuktian

adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang

memeriksa perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa

yang dikemukakan.7Menurut Subekti, pembuktian adalah suatu proses bagaimana

5

Abdul Manan,Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), cet ke-2, h. 17.

6

Subekti dan R. Tjitrosoedibio,Kamus Hukum,(Jakarta: Pradya Paramita, 1979), h. 63.

7

(16)

alat-alat bukti digunakan, diajukan, maupun dipertahankan sesuatu hukum acara

tertentu.8

Adapun alat bukti dalam perkara perdata antara lain: 1) alat bukti surat, 2)

alat bukti saksi, 3) alat bukti persangkaan, 4) alat bukti pengakuan, 5) alat bukti

sumpah9, 6) pemeriksaan ditempat10, 7) saksi ahli11, 8) pembukuan12, dan

pengetahuan hakim.13

Seiring dengan perkembangan zaman yang semakin modern dan canggih,

di Indonesia dokumen elektronik sudah banyak digunakan, meskipun secara

yuridis formal, hukum pembuktian di Indonesia belum mengakomodasi dokumen

elektronik sebagai alat bukti.14 Dengan semakin meningkatnya aktivitas

elektronik, alat bukti yang dapat digunakan secara hukum juga harus meliputi

informasi atau dokumen elektronik tersebut juga harus dapat dijadikan alat bukti

yang sah secara hukum. Karena itu, dalam praktik dikenal dan berkembang apa

yang dinamakan bukti elektronik.

Pengakuan terhadap informasi elektronik sebagai alat bukti khususnya di

Pengadilan Agama masih dipertanyakan validasinya. Dalam praktik pengadilan di

8

Subekti,Hukum Pembuktian,(Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), h. 7.

9

Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 164),(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), cet. ke-18, h. 141.

10

Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 153),h. 133.

11

Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 154),h. 134.

12

Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 167),h. 149.

13

Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 178 ayat (1)),h. 158.

14

(17)

Indonesia, penggunaan data elektronik sebagai alat bukti yang sah hanya berlaku

bagi pihak-pihak yang terjerat dalam kasus tindak pidana saja, padahal di

beberapa negara, informasi elektronik yang terekam dalam peralatan elektronik

sudah menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara baik pidana

maupun perdata.

Bukti elektronik dalam hal informasi elektronik dan/atau dokumen

elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang

sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Sistem elektronik menurut

Pasal 1 butir 5 Undang-undang Nomor 11 tahun 2008 Tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik adalah serangkaian perangkat dan prosedur elektronik yang

berfungsi mempersiapkan, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,

menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarkan informasi

elektronik.15

Alat bukti merupakan salah satu variable dalam sistem pembuktian,

sehingga perkembangan yang terjadi dalam lalu lintas hukum keperdataan harus

mengenal, mengakui, dan menggunakan alat bukti elektronik dalam pembuktian

didalam perkara keperdataan khususnya permasalahan cerai,waris dan lain

sebagainya.

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis sangat tertarik untuk

membahas dan mengkaji terhadap permasalahan alat bukti elektronik tersebut

dengan membuat skripsi dengan judul “KEKUATAN ALAT BUKTI

ELEKTRONIK DALAM PEMBUKTIAN ZINA PADA PERKARA

15

(18)

PERCERAIAN(Analisis Putusan PA Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan PTA Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian penulis dalam latar belakang masalah, agar dalam

pembahasan skripsi ini tidak melebar dan keluar dari pokok pembahasan,

maka penulis membatasi masalah pada kekuatan alat bukti elektronik dalam

pembuktian zina pada perkara perceraian No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan

No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten.

2. Rumusan Masalah

Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan sebagai

berikut:

a. Bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan

Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai kekuatan alat bukti elektronik

dalam pembuktian zina pada perkara perceraian?

b. Apa alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan

perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.

Banten?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

(19)

a. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai kekuatan alat

bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara perceraian.

b. Untuk mengetahui alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim

Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten dalam

memutuskan perkara No. 1538/Pdt.G/2013/PA. Tgrs dan No.

21/Pdt.G/2014/PTA. Banten.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian yang diharapkan dari penulis adalah

sebagai berikut:

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan

perkembangan ilmu hukum di Indonesia yang menyangkut kekuatan alat

bukti elektronik dalam perkara perceraian.

b. Bagi Masyarakat

Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat

luas mengenai kekuatan alat bukti elektronik dalam perkara perceraian.

c. Bagi Penulis

Untuk menambah ilmu pengetahuan dan pembentukan pola berfikir

(20)

D. Review Studi Terdahulu

Untuk menghindari penelitian dengan obyek yang sama, maka

pembahasan dalam penelitian ini penulis telah melakukan telaah studi terdahulu

pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang

akan diangkat oleh penulis, yaitu:

No Identitas Substansi Perbedaan

1. Indaryati, Kekuatan Alat Bukti Pengakuan

Dalam Perkara

Perceraian Karena Alasan Zina (Studi Atas Putusan PA Sleman

No.39/Pdt.G/1998/PA

.Smn dan

No.209/Pdt.G/1999/P A.Smn), Peradilan Agama, Fakultas

Syari’ah, Institut

Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001.

Skripsi ini membahas bahwa dalam memeriksa dan menyelesaikan perkara perceraian karena alasan zina, khususnya dalam putusan No.39/Pdt.G/1998/PA.

Smn dan

No.209/Pdt.G/1999/PA. Smn. PA Sleman menerima pengakuan sebagai salah satu alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, mengikat, dan menentukan dalam Hukum Acara Islam serta tidak memerlukan bayyinah.

Skripsi ini membahas bahwa pembuktian zina dengan alat bukti elektronik pada putusan No.1538/Pdt.G/2013/PA

.Tgrs dan

No.21/Pdt.G/2013/PTA. Banten tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang menguatkan, karena alat bukti elektronik berupa foto dan SMS tersebut tidak menjelaskan telah terjadi perbuatan zina. Dalam memutuskan gugatan tersebut majelis hakim berdasarkan kepada surah An-Nur ayat 4.

2. Siti Ainun Rachmawati,

Kekuatan Pembuktian Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Sistem Hukum Pembuktian di Indonesia, Program Magister

Kenotariatan,

Fakultas Hukum, Universitas Islam Depok, 2011.

Tesis ini membahas bahwa dalam sistem hukum pembuktian di Indonesia alat bukti elektronik berupa dokumen elektronik yang telah di autentikasi oleh lembaga yang berwenang dapat disamakan sebagai alat bukti autentik dengan nilai pembuktian

(21)

E. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah

penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif

berupa argumentasi tertulis maupun lisan yang berasal dari orang atau pelaku

yang diteliti.16 Sifat dari penelitian ini adalah deksriptif analisis, yaitu suatu

penelitian yang dilakukan untuk menggambarkan dan memberikan analisis

16

Faisal Sanapiah, Format-format Penelitian Sosial, Dasar-dasar, dan Aplikasinya,

(Jakarta: PT. Rajawali Pers, 2003), cet. ke-6, h. 20.

sempurna. 3. Johan Wahyudi,

Dokumen Elektronik Sebagai Alat Bukti Pada Pembuktian di Pengadilan, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya, Jurnal Perspektif Volume XVII No.2 Tahun 2012 Edisi Mei.

Jurnal ini mengangkat bahwa setelah diberlakukannya UU

ITE dokumen

elektronik atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah dan dapat digunakan di muka persidangan, sepanjang informasi yang tercantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya,

dan dapat

dipertanggungjawabkan

, sehingga

menerangkan suatu keadaan. Dokumen elektronik

kedudukannya

disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas.

(22)

terhadap kejadian nyata dilapangan dari suatu objek,17 hal ini dimaksudkan

untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas dan dapat memaparkan

hasil-hasil penelitian yang bersumber dari dokumen tertulis berupa putusan serta

hasil wawancara yang dimaksudkan untuk mengetahui pandangan hakim di

Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai

alat bukti elektronik dalam pembuktian pada perkara perceraian.

Selanjutnya penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif

yaitu pendekatan yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah

atau norma-norma dalam hukum positif.18

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data yang berhubungan

dengan permasalahan dan tujuan penelitian. Sumber data yang penulis gunakan

terbagi dalam tiga bagian, yaitu:

a. Data Primer

Data Primer adalah data yang penulis dapatkan dari petugas atau

sumber utamanya.19 Data tersebut berupa salinan putusan

No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten, serta

wawancara dengan Bapak Fitriyel Hanif, S.Ag., M.Ag selaku hakim

17

Emzir, Metodologi Penelitian Pendidikan: Kuantitatif dan Kualitatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 174.

18

Soejono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta: Raja Grafindo, 2001), h. 26.

19

(23)

Pengadilan Agama Tigaraksa dan Bapak Drs. H. Humaedi Husen, S.H.,

M.H selaku hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten.

b. Data Sekunder

Data sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen resmi.20 Bahan hukum tersebut terdiri dari

buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal hukum, pendapat

para sarjana, komentar-komentar atas putusan pengadilan, kasus-kasus

hukum, yurisprudensi, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan tema

skripsi ini.21

c. Data Tersier

Data tersier adalah data yang dapat memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap data primer dan data sekunder seperti kamus hukum,

ensiklopedia, dan lain-lain.22 Data ini diperoleh dengan cara

mengumpulkan dan menelaah beberapa literatur buku-buku ilmiah, kamus,

ensiklopedia atau internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sebagai tindak lanjut dalam rangka memperoleh data sebagaimana

diharapkan, maka penulis melakukan pengumpulan data dengan dua teknik

penelitian, diantaranya:

20

Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,(Jakarta: PT. Kencana, 2004), h. 141.

21

Soejono Sokanto,Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.

22

(24)

a. Penelitian kepustakaan (library research), dalam hal ini penulis

mengadakan penelitian terhadap beberapa literatur yang ada kaitannya

dengan penulisan skripsi ini, yang berupa putusan Pengadilan Agama

Tigaraksa No,1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan Pengadilan

Tinggi Agama Banten No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten, buku, artikel,

jurnal, skripsi, surat kabar, dan lain sebagainya. Hal yang dilakukan

dalam melaksanakan penelitian kepustakaan ini adalah dengan cara

membaca, mengutip, menganalisa dan merumuskan hal-hal yang

dianggap perlu dalam memenuhi data dalam penelitian ini.

b. Penelitian lapangan (field research),dalam hal ini untuk mendapatkan

data-data dan informasi tentang kekuatan alat bukti elektronik dalam

pembuktian zina pada perkara perceraian, penulis langsung turun

kelapangan pada obyek penelitian yaitu Pengadilan Agama Tigaraksa

dan Pengadilan Tinggi Agama Banten, dengan menggunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

1) Wawancara

Wawancara yakni suatu proses komunikasi interpersonal

berupa tanya jawab lisan diantara dua orang atau lebih dengan cara

bertatap muka langsung antara pewawancara dengan orang yang

diwawancarai.23Dalam penelitian ini, teknik yang digunakan untuk

mengumpulkan data yaitu dengan tanya jawab secara langsung

menggunakan instrument pengumpulan data. Wawancara ini

23

(25)

dimaksudkan untuk memperoleh data atau informasi dari pihak

terkait yaitu hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan hakim

Pengadilan Tinggi Agama Banten.

2) Observasi

Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan

melakukan pengamatan langsung pada salinan putusan Pengadilan

Agama Tigaraksa No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan

Pengadilan Tinggi Agama No.21/Pdt.G/2014/PA.Banten yang

kemudian dianalisis sesuai dengan tujuan penulisan skripsi ini.

4. Analisis Data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan

bahan-bahan lain sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat

diinformasikan kepada orang lain.24 Analisis data dalam penelitian ini

dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan tentang putusan

No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan putusan

No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten, pandangan hakim Pengadilan Agama

Tigaraksa dan hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten mengenai

kekuatan alat bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara

perceraian, serta dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan

perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan

No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten.

24

(26)

5. Teknik Penulisan

Adapun dalam teknik penulisan pada skripsi ini menggunakan

teknik dasar dalam penulisan karya ilmiah yang dalam hal ini berpedoman

kepada buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2012.

F. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini terdiri dari

lima bab, yang perinciannya sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan bagian pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab Keduaalat bukti elektronik dalam perkara perceraian merupakan alat bukti yang sah, selama alat bukti elektronik tersebut dapat dibuktikan

kebenarannya secara ilmiah serta tidak menyalahi aturan yang berlaku di

Pengadilan Agama, akan tetapi alat bukti elektronik tidak dapat dijadikan sebagai

pembuktian zina karena dalam hukum Islam pembuktian zina harus

mendatangkan empat orang saksi yang melihat secara langsung kejadian tesebut.

Dalam bab ini menjelaskan sekilas tentang pengertian pembuktian, asas-asas

terkait pembuktian, pengertian alat bukti, macam-macam alat bukti, pengertian

alat bukti elektronik, macam-macam alat bukti elektronik, kekuatan alat bukti

(27)

Bab ketiga membahas tentang gambaran singkat Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten, yang meliputi profil dan sejarah

Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi Agama Banten.

Bab keempat membahas tentang pandangan hakim tentang kekuatan alat bukti elektronik dalam pembuktian zina pada perkara perceraian, yang meliputi

pandangan dari hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dan Pengadilan Tinggi

Agama Banten, alasan dan dasar pertimbangan majelis hakim dalam memutuskan

perkara No.1538/Pdt.G/2013/PA.Tgrs dan No.21/Pdt.G/2014/PTA.Banten serta

analisis penulis mengenai putusan tersebut.

(28)

16

KAJIAN TEORISTIS PEMBUKTIAN, ALAT BUKTI

ELEKTRONIK, DAN PERZINAAN

A. Kajian Teoritis Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian

Pembuktian dalam kosa kata bahasa Inggris, berasal dari kata “bukti”

yang terbagi menjadi dua kata yaitu evidence dan proof. Kata “evidence”yaitu

informasi yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan

bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara

itu,“proof”adalah suatu kata dengan berbagai arti. Dalam wacana hukum, kata

proof mengacu kepada hasil evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap

evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk mengacu kepada proses

itu sendiri.1

Pembuktian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu

yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, sedangkan pembuktian itu

sendiri adalah prosesnya, artinya guna membuktikan atau usaha menunjukan

benar atau salahnya si terdakwa dalam Pengadilan. Sementara itu,

membuktikan berarti memperlihatkan bukti dan pembuktian diartikan sebagai

proses, perbuatan, atau cara membuktikan.2 Pengertian bukti, membuktikan,

1

Eddy O.S.Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian,(Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama, 2012), h. 2.

2

(29)

dan pembuktian dalam konteks hukum tidak jauh berbeda dengan pengertian

pada umumnya.

Pembuktian adalah perbuatan membuktikan. Membuktikan berarti

memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran,

melaksanakan, menandakan, menyaksikan, dan meyakinkan.3 Pengertian

pembuktian menurut para pakar hukum berbeda-beda, diantaranya:

a. Menurut R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah meyakinkan

hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam

suatu persengketaan.4

b. Menurut Muhammad at Thohir Muhammad Abd al aziz, membuktikan

suatu perkara adalah memberikan keterangan dan dalil hingga dapat

meyakinkan orang lain.5

c. Menurut Subhi Mahmasoni, membuktikan suatu perkara adalah

mengajukan alasan dan mengajukan dalil sampai kepada batas yang

meyakinkan. Artinya, hal yang menjadi ketetapan atau keputusan atas

dasar penelitian dan dalil-dalil itu.6

3

Soedirjo,Jaksa dan Hakim dalam Proses Pidana,(Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1985), h. 47.

4

R. Subekti,Hukum Pembuktian,(Jakarta: Pradnya Paramita, 2008), cet. ke-17, h. 1.

5

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 25.

6

(30)

d. Menurut TM Hasbi Ash-shiddieqy, bahwa pembuktian adalah segala yang

dapat menampakan kebenaran, baik dia merupakan saksi atau yang lain.7

e. Syaiful Bahri, pembuktian merupakan suatu ketentuan yang mengatur

alat-alat bukti yang dibenarkan oleh undang-undang, yang digunakan oleh

hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan didalam

persidangan, dan tidak dibenarkan membuktikan kesalahan terdakwa

dengan tanpa alasan yuridis dan berdasarkan keadilan.8

Dari beberapa definisi perihal bukti, membuktikan dan pembuktian,

dapatlah ditarik kesimpulan bahwa bukti merujuk pada alat-alat bukti

termasuk barang bukti yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.

Sementara itu, pembuktian merujuk pada suatu proses terkait mengumpulkan

bukti, memperlihatkan bukti sampai pada penyampaian bukti tersebut di

sidang Pengadilan.

2. Asas-Asas Terkait Pembuktian

Asas-asas yang dimaksud tidak hanya yang secara langsung terkait

dengan pembuktian, tetapi juga asas-asas yang secara tidak langsung akan

mempengaruhi pembuktian, termasuk pula beberapa prinsip dalam hukum

acara diantaranya sebagai berikut:

7

Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1998), cet. ke-II, h.135.

8

(31)

1. Due Process of Law

Due Process of Lawdiartikan sebagai seperangkat prosedur yang

diisyaratkan oleh hukum sebagai standar beracara yang berlaku universal.

2. Presumption of Innocent

Presumption of Innocentdiartikan sebagai asas praduga tidak

bersalah.

3. Legalitas

Legalitas menurut sejarahnya asas ini merupakan produk aliran

klasik dalam hukum pidana yang bertujuan melindungi kepentingan

individu dari kesewenang-wenangan Negara dan bukan untuk melindungi

masyarakat dan Negara dari kejahatan sebagaimana tujuan hukum pidana

modern.

4. Adversary System

Adversary system diartikan sebagai sistem peradilan di mana

pihak-pihak yang berseberangan mengajukan bukti-bukti yang saling

berlawanan dalam usahanya memenangkan putusan yang menguntungkan

pihaknya.

5. Clear and Convincing Evidence

Clear and convincing evidence diartikan sebagai standar

pembuktian antara standar preponderance of evidence dan beyond a

reasonable doubt. Preponderance of evidence, yakni kecukupan bukti

(32)

reasonable doubtadalah standar pembuktian yang digunakan dalam

Pengadilan pidana.

6. Actori In Cumbit Probation

Actori In Cumbit Probation secara harfiah berarti siapa yang

menggugat dialah yang wajib membuktikan.

7. Actori In Cumbit Onus Probandi

Actori in cumbit onus probandiartinya siapa yang menuntut dialah

yang wajib membuktikan.

8. Secundum Allegat Iudicare

Secundum allegat iudicare dalam hukum acara perdata

menandakan bahwa hakim dalam perkara perdata bersifat pasif.

9. Judex Ne Procedat Ex Officio

Judex Ne Procedat Ex Officioberarti dimana tidak ada penggugat

disana tidak ada hakim.

10. Actus Dei Nemini Facit Injuriam

Actus Dei Nemini Facit Injuriam berarti tidak seorangpun dapat

dipertanggungjawabkan atas kerugian akibat kecelakaan yang tidak dapat

dihindari.

11. Negativa Non Sunt Probanda

Negativa non sunt probanda berarti sebagai membuktikan sesuatu

yang negative sangat sulit.

12. Unus Testis Nullus Testis

(33)

13. Persona Standi Injudicio

Persona standi injudicio berarti orang yang berwenang dan cakap

hukum berperkara di pengadilan.

14. Plaintiff

Plaintiff diartikan sebagai pihak yang mengajukan perkara perdata

karena menderita kerugian.

15. Discovery

Discovery diartikan sebagai prosedur untuk mengungkapkan

informasi diantara pihak-pihak yang berperkara.

16. Directed Verdict

Directed Verdict diartikan putusan dalam persidangan yang

dijatuhkan hakim karena ketidakmampuan salah satu pihak untuk

menyodorkan bukti-bukti yang cukup untuk mendukung posisinya.

17. Unlawful Legal Evidence

Unlawful Legal Evidenceberarti perolehan bukti yang tidak sah.

18. Audi Et Alteram Partem

Audi et alteram partem berarti dalam mengadili hakim harus

mendengar kedua belah pihak.

19. Probatio Plena

Probatio plena berarti alat bukti yang memiliki kekuatan

pembuktian adalah alat bukti tulis atau alat bukti tertulis.9

9

(34)

3. Pengertian Alat Bukti

Alat bukti berasal dari dua kata yaitu: “alat” dan ‘bukti”. “alat” berarti: perkakas, berbagai-bagai alat.10 Sedangkan “bukti” berarti: tanda kebenaran, memberi bukti, menerangkan dengan bukti.11

Alat bukti dapat didefinisikan sebagai segala hal yang dapat digunakan

untuk membuktikan prihal kebenaran suatu peristiwa di Pengadilan. Mengenai

apa saja yang termasuk alat bukti, masing-masing hukum acara suatu

peradilan akan mengaturnya secara rinci. Alat bukti dalam hukum acara

pidana berbeda dengan alat bukti dalam hukum acara perdata. Demikian pula

alat bukti yang berlaku bagi acara persidangan dan perkara-perkara tertentu

seperti hukum acara Mahkamah Konstitusi, hukum acara dalam acara

persidangan kasus korupsi, hukum acara dalam persidangan kasus terorisme,

hukum acara dalam persidangan kasus perceraian, dan masih banyak lagi.12

Pengertian alat bukti menurut para pakar hukum bermacam-macam

diantaranya:

1. Menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya hukum acara perdata

menyatakan bahwa alat bukti adalah suatu hal berupa bentuk dan jenis

yang dapat membantu dalam hal memberi keterangan dan penjelasan

tentang sebuah masalah perkara untuk membantu penilaian hakim di

dalam pengadilan. Jadi para pihak yang berpekara hanya dapat

10

Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia,(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008), cet. ke-1, h. 39.

11

Depdikbud,Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 40.

12

(35)

memuktikan kebenaran dalil gugatan dan dalil bantahan maupun

fakta-fakta yang mereka kemukakan dalam jenis atau bentuk alat bukti tertentu.

Hukum pembuktian yang berlaku di indonessia sampai saat ini masih

berpegang kepada jenis dan alat ukti tertentu saja.13

2. Menurut R. Atang Ranomiharjo, alat bukti adalah alat-alat yang ada

hubungannya dengan satu tindak pidana, dimana alat-alat tersebut dapat

dipergunakan sebagai bahan pembuktian, guna menimbulkan keyakinan

bagi hakim, atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah

dilakukan oleh terdakwa.14

3. Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, alat bukti adalah sesuatu yang di

jadikan dasar oleh hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah atau tidak,

dan kemudian menjadi pertimbangan untuk menjatuhkan putusan.

Sedangkan alat bukti yang berkedudukan sebagai penambah keyakinan

hakim dalam memeriksa perkara.15

4. Macam-macam Alat Bukti

a) Alat Bukti dalam Hukum Perdata

Pembuktian merupakan inti pemeriksaan suatu perkara di

Pengadilan. Perihal bagaimana pembuktian termasuk alat bukti yang

digunakan, semuanya berdasarkan hukum acara persidangan

masing-masing perkara. Demikian pula halnya dalam persidangan perkara perdata,

13

M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), cet-10, h. 554.

14

Printis Darwan,Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan),h. 107.

15

(36)

mengenai apa saja alat bukti yang sah dan bagaimana cara pembuktiannya,

telah diatur dalam hukum acara perdata.

Dalam perkara perdata yang dicari adalah kebenaran formal. Oleh

karena itu, hakim terikat hanya kepada alat bukti yang sah menurut

undang-undang. Dengan demikian, hakim dalam pemeriksaan perkara

perdata bersifat pasif, tergantung dari para pihak yang bersengketa. Akan

tetapi, dalam rangka mencari kebenaran materil atas perkara yang diajukan

oleh para pihak, hakim perdata pun bersifat aktif.

Berdasarkan KUHPerdata, RIB dan RDS disebutkan alat-alat bukti

terdiri dari: bukti tertulis (sebutan dalam KUHPerdata) atau bukti dengan

surat (sebutan dalam RIB dan RDS); bukti dengan saksi;

persangkaan-persangkaan; pengakuan dan sumpah. Sementara itu, alat bukti

ahli/keterangan ahli dasar hukumnya terdapat dalam RIB dan RDS.

Berikut ini adalah ulasan masing-masing alat bukti dalam perkara perdata

di Indonesia:

a. Bukti Tulisan/Bukti dengan Surat

Bukti tulisan atau bukti dengan surat merupakan bukti yang

sangat krusial dalam pemeriksaan perkara perdata di Pengadilan. Bukti

tertulis atau bukti dengan surat sengaja dibuat untuk kepentingan

pembuktian dikemudian hari bilamana terjadi sengketa. Secara garis

besar, bukti tulisan atau bukti dengan surat terdiri atas dua macam,

(37)

Bukti tulisan atau bukti dengan surat sering kita kenal dengan

sebutan akta. Akta ialah surat atau tulisan yang dibuat dengan sengaja

untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani oleh

pembuatnya. Pasal 1869 KUHPerdata menentukan keharusan adanya

tanda tangan dalam surat akta, sehingga karcis kereta api, resi dan lain

sebagainya tidak termasuk akta.16

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa suatu

surat dapat dianggap akta jika memiliki ciri sengaja dibuat dan

ditandatangani untuk dipergunakan oleh orang dan untuk keperluan

siapa surat itu dibuat. Pengaturan mengenai akta diatur dalam

KUHPerdata Pasal 1867 sampai Pasal 1880, Pasal 164 HIR serta Pasal

284 RBg.

Ada dua macam akta, yaitu akta autentik dan akta di bawah

tangan, diantaranya sebagai berikut:17

Pertama, akta autentik atau akta resmi yang berdasarkan Pasal

1868 KUHPerdata/Pasal 165 HIR/Pasal 285 RBg adalah suatu akta

yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang menurut

undang-undang ditugaskan untuk membuat surat-surat akta tersebut di

tempat dimana akta itu dibuat.18 Pejabat umum yang dimaksudkan itu

16

Menurut Sudikno Mertikusumo dikutip oleh H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,(Bandung: PT. Alumni, 2014), cet. ke-2, h. 52.

17

Anshoruddin,Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, h. 70.

18

H.P. Panggabean, Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,

(38)

ialah Notaris, Hakim, Pegawai Pencatatan Sipil (ambtenaar

burgerlijke stand),19 Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat,

Pegawai Pencatat Nikah, Panitera Pengadilan, Jurusita, dan

sebagainya.20

Berdasarkan undang-undang, suatu akta autentik atau akta

resmi mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna (volledig

bewijs). Artinya, jika suatu pihak mengajukan suatu akta autentik,

hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di

dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi, sehingga hakim itu tidak

boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.21

Kedua, adalah akta di bawah tangan, yaitu tiap akta yang tidak

dibuat oleh atau dengan perantaraan seorang pejabat umum, yang

mana akta itu dibuat dan ditandatangani sendiri oleh kedua belah pihak

yang mengadakan perjanjian itu. Jika pihak yang menandatangani

surat perjanjian atau akta itu mengakui atau tidak menyangkal tanda

tangannya, yang berarti ia mengakui atau tidak menyangkal kebenaran

hal yang tertulis dalam surat perjanjian atau akta itu, maka akta di

bawah tangan tersebut memperoleh suatu kekuatan pembuktian yang

sama dengan suatu akta autentik atau akta resmi. Sebaliknya, jika

19

R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet. ke-29, h. 178.

20

Anshoruddin,Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positifh. 71.

21

(39)

tanda tangan itu disangkal, pihak yang mengajukan surat perjanjian

tersebut diwajibkan untuk membuktikan kebenaran penandatanganan

atau isi akta tersebut.22

Selain akta, bukti tulisan juga meliputi semua tulisan sebagai

surat-surat, register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain.

Tulisan-tulisan atau surat-surat tersebut pada dasarnya merupakan

suatu bukti terhadap siapa yang membuatnya. Kekuatan pembuktian

surat-surat atau tulisan tersebut adalah sebagai alat bukti bebas.

Artinya, hakim tidak harus menerima atau mempercayai surat-surat

atau tulisan-tulisan tersebut, kecuali diperkuat oleh alat bukti lainnya.

Dengan demikian, agar surat-surat atau tulisan-tulisan selain akta

mempunyai kekuatan sebagai bukti atau untuk dapat dipercayai dan

diterima oleh hakim sebagai bukti, dibutuhkan corroborating

evidence.23

b. Kesaksian

Alat bukti kesaksian diatur dalam Pasal 139-152, 158-172 HIR

(Pasal 165-179 RBg), dan Pasal 1895/1902-1972 KUHPerdata.

Kesaksian adalah kesaksian yang diberikan kepada hakim

dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan

22

R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata,h. 179.

23

(40)

pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah

satu pihak dalam perkara.24

Seorang saksi dipanggil di muka siang untuk memberi

keterangan yang secara kebetulan melihat, mendengar, atau mengalami

sendiri peristiwa tersebut, namun ada juga saksi yang dihadirkan yang

dengan sengaja diminta untuk menyaksikan suatu peristiwa hukum

pada saat peristiwa itu dilakukan di masa lampau (saksi ahli).

Dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, hakim harus

memperhatikan kesesuaian antara keterangan para saksi, kesesuaian

dengan apa yang dikatakan dari segi lain tentang perkara yang

disengketakan, cara hidup, adat istiadat, dan martabat para saksi dan

segala sesuatu yang sekiranya memengaruhi tentang dapat tidaknya

saksi tersebut dipercaya (Pasal 172 HIR/Pasal 309 RBg, Pasal 1908

KUHPerdata).25

Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi di depan

pengadilan dalam pengertian ada kewajiban hukum untuk memberikan

kesaksian di muka hakim. Pasal 139 HIR, Pasal 165 RBg, Pasal 1909

KUHPerdata, menentukan kewajiban memberikan kesaksian yang

diikuti sanksi jika tidak memenuhinya.26

24

H.P. Panggabean,Hukum Pembuktian Teori Praktik dan Yurisprudensi Indonesia,h. 57.

25

Lihat Pasal 172 HIR, Pasal 309 RBg, Pasal 1908 KUHPerdata.

26

(41)

Pembatasan terhadap asas kewajiban menjadi saksi, ditentukan

sebagai berikut:

1) Golongan yang dianggap tidak mampu menjadi saksi, dibagi

menjadi 2 (dua) jenis:

1. Mereka yang tidak mampu secara mutlak

a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan

yang lurus dari satu pihak (Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal

172 ayat (1) sub RBg, Pasal 1910 KUHPerdata).27

b. Suami atau isteri dari salah satu pihak meski sudah bercerai

(Pasal 145 ayat (1) sub 2 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 3 RBg,

Pasal 1910 alinea 1 KUHPerdata).28

2. Mereka yang tidak mampu secara relatif. Mereka ini boleh

didengar tetapi tidak sebagai saksi.

a. Anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun (Pasal 145

ayat (1) sub 3, jo ayat (4) HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 4, jo

Pasal 173 RBg, Pasal 1912 KUHPerdata).29

b. Orang gila, meski kadang-kadang hidup sehat (Pasal 145

ayat (1) sub 4 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 5 RBg, Pasal

1912 KUHPerdata).30

27

Lihat Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal 172 ayat (1) RBg, Pasal 1910 KUHPerdata.

28

Lihat Pasal 145 ayat (1) sub 2 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 3 RBg, Pasal 1910 alinea 1 KUHPerdata.

29

(42)

3. Keterangan mereka hanya boleh dianggap sebagai penjelasan

belaka; mereka didengar tanpa harus disumpah (Pasal 145 ayat

(4) HIR/Pasal 173 RBg).31

2) Golongan yang atas permintaan mereka sendiri dibebaskan dari

kewajibannya untuk memberi kesaksian. Golongan ini yang

mengundurkan diri menjalankan hak ingkar (verschoningsrecht),

diatur dalam Pasal 146 HIR/Pasal 174 RBg, Pasal 1909 alinea 2

KUHPerdata, terdiri atas:

1. Saudara laki-laki dan perempuan atau ipar laki-laki dan

perempuan dari salah satu pihak;

2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dari saudara

laki-laki dan perempuan dari suami atau istri salah satu pihak;

3. Semua orang yang karena martabat jabatan atau hubungan kerja

yang sah, seperti: dokter, advokat, notaris, polisi, dan lain

sebagainya.32

Keabsahan saksi sebagai alat bukti jika kesaksian tersebut

diberikan di bawah sumpah. Artinya, setiap saksi diwajibkan, menurut

cara agamanya, bersumpah atau berjanji bahwa ia akan menerangkan

hal yang sebenarnya. Selain itu, kesaksian tersebut harus disampaikan

30

Lihat Pasal 145 ayat (1) sub 4 HIR, Pasal 172 ayat (1) sub 5 RBg, Pasal 1912 KUHPerdata.

31

Lihat Pasal 145 ayat (4) HIR/Pasal 173 RBg.

32

(43)

di depan sidang pengadilan yang dinyatakan terbuka untuk umum,

kecuali undang-undang menentukan lain.

c. Persangkaan

Dalam hukum acara perdata, persangkaan atau vermoedens

adalah alat bukti yang bersifat pelengkap atau accessory evidence.

Artinya, alat bukti persangkaan bukanlah alat bukti yang mandiri.

Persangkaan dapat menjadi alat bukti dengan merujuk pada alat bukti

lainnya.33Persangkaan merupakan kesimpulan yang diambil dari suatu

peristiwa yang sudah terang dan nyata, dari peristiwa itu ditarik

kesimpulan bahwa suatu peristiwa lain yang harus dibuktikan juga

telah terjadi.34

Persangkaan menurut Pasal 1915 KUHPerdata, maka

persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang

atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terang nyata ke arah

peristiwa lain yang belum terang kenyataannya. Dengan demikian,

terdapat dua macam persangkaan, antara lain:

1. Persangkaan berdasarkan kenyataan (feitelijkvermoendes

praesumptiones facti)(Pasal 173 HIR). Dalam proses persidangan

hakim juga yang memutuskan berdasarkan kenyataan, seberapa

33

Eddy O.S. Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian, h. 90.

34

(44)

jauh kemungkinannya untuk membuktikan suatu peristiwa tertentu

dengan membuktikan peristiwa lain.35

2. Persangkaan berdasarkan hukum (wettelijke rechtsvermoendes,

praesumptiones juris).Pada persangkaan berdasarkan hukum maka

undang-undanglah yang menetapkan hubungan antara peristiwa

yang diajukan dan harus dibuktikan dengan peristiwa yang tidak

diajukan. Persangkaan berdasarkan hukum dibagi menjadi 2 (dua):

a. Praesumptiones juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan

hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan;

b. Praesumptiones juris et de jureyaitu persangkaan hukum yang

tidak memungkinkan pembuktian lawan.36

d. Pengakuan

Pengakuan(bekertenis/confession)diatur dalam Pasal 174, 175,

176 HIR, Pasal 311, 312, 313 RBg dan Pasal 1927/1928 KUHPerdata.

Pengakuan merupakan keterangan yang membenarkan

peristiwa hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh lawan.

Mengenai pengakuan yang dikemukakan oleh salah satu pihak, ada

yang dilakukan di depan persidangan ataupun diluar sidang

pengadilan.37

35

Mr. R. Tresna,Komentar HIR (Pasal 173),(Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2005), cet. ke-18, h. 141.

36

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1915.

37

Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah di

(45)

Pengakuan yang diberikan di depan sidang pengadilan

merupakan suatu bukti yang sempurna terhadap pihak yang telah

melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang

yang khusus dikuasakan untuk itu. Suatu pengakuan yang dilakukan di

depan persidangan tidak dapat ditarik kembali, kecuali apabila

dibuktikan bahwa pengakuan itu merupakan akibat suatu kekhilafan

menganai hal-hal yang terjadi. Suatu pengakuan tidak dapat ditarik

kembali dengan alasan seolah-olah orang yang melakukannya khilaf

mengenai hukum. Hal ini diatur dalam Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg,

Pasal 1926 KUHPerdata.38

Pengakuan lisan yang dilakukan di luar sidang pengadilan tidak

dapat dipakai sebagai bukti, kecuali jika tidak diizinkan pembuktian

dengan saksi-saksi. Akan tetapi, kekuatan pembuktian suatu

pengakuan lisan di luar persidangan dikembalikan kepada

pertimbangan dan kebijaksanaan hakim. Artinya, penilaian kekuatan

pengakuan sebagai alat bukti sepenuhnya ada pada hakim. Diatur

dalam Pasal 175 HIR, Pasal 312 RBg, Pasal 1927-1928 KUHPerdata.39

e. Sumpah

Menurut Yahya Harahap, sumpah sebagai alat bukti adalah

keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atas nama Tuhan, dengan

38

Lihat Pasal 174 HIR, Pasal 311 RBg, Pasal 1926 KUHPerdata.

39

(46)

tujuan agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau

pernyataan itu takut atas murka Tuhan apabila ia berbohong.40

Pengertian bukti sumpah ditentukan dalam Pasal 155, 156, 157,

158 HIR tentang pemeriksaan perkara dalam persidangan dan Pasal 177

HIR tentang pembuktian.

Secara garis besar sumpah dibagi menjadi dua, yaitu sumpah

promisoirdan sumpah confirmatoir. Sumpahpromisoiradalah sumpah

yang diucapkan oleh seseorang ketika akan menduduki suatu jabatan

atau ketika akan bersaksi di pengadilan. Sementara itu, sumpah

confirmatoiradalah sumpah sebagai alat bukti.41

Sumpah confirmatoir dibagi menjadi tiga, diantaranya adalah

sebagai berikut:

1. Sumpah supletoir (sumpah tambahan), yaitu sumpah yang

diperintahkan oleh hakim secara ex officio. Sumpah ini tidak

diwajibkan oleh undang-undang dan pelaksanaannya diserahkan

kepada pertimbangan hakim. Sumpah supletoir hanya dapat

dilakukan jika alat bukti yang ada belum dapat meyakinkan hakim.

Artinya, sumpah supletoir hanya boleh dilakukan jika sudah ada

pembuktian permulaan terlebih dahulu.

2. Sumpah aestimatoir (sumpah penaksir),yaitu sumpah yang

dibebankan atau diperintahkan oleh hakim kepada penggugat untuk

40

M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 745.

41

(47)

menentukan besarnya ganti rugi. Dengan demikian, sudah terbukti

bahwa ada kerugian dari pihak penggugat dan sudah ada penaksiran

ganti kerugian, tetapi kurang meyakinkan hakim. Hakim tidak wajib

membebani penggugat untuk melakukan sumpah aestimatoir.

Kekuatan pembuktian sumpahaestimatoiradalah sempurna, namun

masih memungkinkan adanya bukti lawan.

3. Sumpah decisoir (sumpah pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan

atas permintaan satu pihak kepada pihak lain. Sumpah decisoir

tersebut akan menentukan menang atau kalahnya penggugat atau

tergugat. Sumpahdecisoir hanya dapat dilakukan jika tidak ada alat

bukti apa pun dan tidak dimungkinkan bukti lawan. Pasal 1936

KUHPerdata melarang mengajukan bukti lawan/tegen bewijs

terhadapnya karena undang-undang telah melekatkan sumpah

decisoir tersebut nilai pembuktian sempurna mengikat dan

menentukan.42

f. Pendapat Ahli

Pengertian ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan

khusus dibidang khusus, dengan perincian:

1. Memiliki pengetahuan khusus atau spesialis dibidang ilmu

pengetahuan tertentu sehingga orang itu benar-benar kompeten

dibidang tersebut.

42

(48)

2. Spesialisasi itu bisa dalam bentuk skill karena hasil latihan

(treaning) atau hasil pengalaman.

3. Hasil keterangan saksi tersebut dapat membantu menemukan fakta

melebihi kemampuan pengetahuan umum orang biasa (ordinary

people).43

Dalam Pasal 154 ayat (1) HIR, Pasal 215 Rv pengangkatan

saksi ahli dilakukan oleh hakim secara ex officio atau atas permintaan

salah satu pihak.

b) Alat Bukti dalam Hukum Pidana

Dalam perkara pidana, pembuktian selalu penting dan krusial.

Terkadang dalam menangani suatu kasus, saksi-saksi, para korban dan

pelaku diam, dalam pengertian tidak mau memberikan keterangan

sehingga membuat pembuktian menjadi hal yang penting. Pembuktian

memberikan landasan dan argument yang kuat kepada penuntut umum

untuk mengajukan tuntutan.44

Pembuktian dipandang sebagai sesuatu yang tidak memihak,

obyektif, dan memberikan informasi kepada hakim untuk mengambil

kesimpulan suatu kasus yang sedang disidangkan. Terlebih dalam perkara

pidana, pembuktian sangatlah esensial karena yang dicari dalam perkara

pidana adalah kebenaran materiil.

43

M. Yahya Harahap,Hukum Acara Perdata,h. 790.

44

(49)

Sistem hukum acara pidana melalui ketentuan Pasal 184 ayat (1)

KUHAP telah menentutan secara limitatif alat-alat bukti yang sah menurut

undang-undang, artinya diperlukan alat-alat bukti tersebut tidak

dibenarkan pembuktian atas kesalahan terdakwa.45 Jenis-jenis alat bukti

dalam Pasal 184 KUHAP diperinci sebagai berikut:

1. Keterangan Saksi

Definisi saksi dan keterangan saksi secara tegas diatur dalam

KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 angka 26 KUHAP dinyatakan:

“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami

sendiri”.46

Sementara itu, Pasal 1 angka 27 KUHAP menyatakan: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalamperkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.”47

Alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti paling utama

dalam perkara pidana, harus hampir semua pembuktian perkara pidana

selalu bersandar kepada pemeriksaan keterangan saksi.

Kriteria kekuatan alat bukti berupa keterangan saksi terbagi ke

dalam 5 (lima) macam, diantaranya:

a. Keterangan saksi harus diikuti sumpah atau janji;

b. Keterangan saksi itu memiliki nilai sebagai bukti;

45

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 184 ayat (1).

46

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 26.

47

(50)

c. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan;

d. Keterangan saksi satu tidak dianggap cukup; dan

e. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri.48

2. Keterangan Ahli

Definisi keterangan ahli dalam KUHAP adalah “keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang

hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna

kepentingan pemeriksaan.”49 Keterangan ahli dinyatakan sah sebagai alat bukti jika dinyatakan di depan persidangan dan di bawah sumpah.

Menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP keterangan ahli adalah

hal yang seorang ahli nyatakan di bidang pengabdiannya. Keahlian

dari seseorang yang memberikan keterangan ahli tidak hanya

berdasarkan pengetahuan yang ia miliki melalui pendidikan formal,

namun keahlian itu juga dapat diperoleh berdasarkan pengalamannya.

KUHAP membedakan antara keterangan seorang ahli di

persidangan dan keterangan ahli secara tertulis yang disampaikan di

depan sidang pengadilan. Jika seorang ahli memberikan keterangan

secara langsung di depan sidang pengadilan dan di bawah sumpah,

keterangan tersebut adalah alat bukti yang sah. Sementara itu, jika

seorang ahli di bawah sumpah telah memberikan keterangan tertulis di

48

M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua,(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), cet. ke-II, h. 286.

49

(51)

luar persidangan dan keterangan tersebut dibacakan di depan sidang

pengadilan, keterangan ahli tersebut merupakan alat bukti surat dan

alat bukti keterangan ahli.50

Keterangan ahli biasanya bersifat umum berupa pendapat atas

pokok perkara pidana yang sedang disidangkan atau yang berkaitan

dengan pokok perkara tersebut. Ahli tidak diperkenankan memberikan

penilaian terhadap kasus konkret yang sedang disidangkan. Oleh

karena itu, pernyataan terhadap ahli biasanya bersifat hipotesis atau

pernyataan yang bersifat umum. Ahli pun tidak dibolehkan

memberikan penilaian terhadap salah atau tidaknya terdakwa

berdasarkan fakta persidangan yang dinyatakan kepadanya.51

3. Surat

Seperti alat bukti keterangan saksi dan keterangan ahli, alat

bukti surat pun, hanya diatur satu pasal saja, yakni pada pasal 187.

Menurut ketentuan itu surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang

sah menurut undang-undang ialah:

• Surat yang dibuat atas sumpah jabatan;

• Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.52

Secara garis besar, jenis-jenis alat bukti surat ditentukan dalam

Pasal 187 KUHAP, sebagai berikut:

50

Eddy O.S. Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian,h. 115.

51

M. Yahya Harahap,Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Edisi Kedua,h. 295.

52

(52)

1. Surat biasa, yaitu surat yang sejak semula diperuntukkan untuk

membuktikan sesuatu.

2. Surat di bawah tangan, yakni yang dibuatkan untuk pembuktian.

3. Surat autentik, yakni bukti acara dan surat-surat yang lain dalam

bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum (oleh penyidik,

notaris, hakim) yang dapat diperinci menjadi 2 kelompok:

a. Acta ambteljk,yakni akta autentik yang dibuat sesuai kehendak

pejabat umum tersebut.

b. Acta partij, yakni akta autentik yang para pihak dihadapan

pejabat umum.53

Dalam hukum acara pidana yang diatur dalam Pasal 183

KUHAP bahwa surat terdakwa harus berdasarkan kesalahannya

terbukti dengan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan

hakim memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa.

4. Petunjuk

Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk didefinisikan

sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,

baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana

itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan

siapa pelakunya. Petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari

keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa.54

53

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 187.

54

(53)

Penilaian atas kekuatan pembuktian suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana

setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan

kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Dalam konteks pembuktian, petunjuk adalah circumstantial

evidenceatau bukti tidak langsung yang bersifat sebagai pelengkap atau

accessories evidence. Artinya, petunjuk bukanlah alat bukti mandiri,

namun merupakan alat bukti sekunder yang diperoleh dari alat bukti

primer, dalam hal ini adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan

terdakwa.55

5. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa dalam konteks hukum pembuktian secara

umum dapatlah disamakan dengan bukti pengakuan atau confessions

evidence.56 KUHAP memberikan definisi keterangan terdakwa sebagai

apa yang terdakwa nyatakan di depan sidang tentang perbuatan yang ia

lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

Keterangan terdakwa yang dinyatakan mengandung nilai

pembuktian yang sah adalah sebagai berikut:

1. Keterangan harus dinyatakan di depan sidang pengadilan;

2. Isi keterangannya mengenai perbuatan yang dilakukan terdakwa,

segala hal yang diketahuinya, dan kejadian yang dialaminya sendiri;

55

Eddy O.S. Hiariej,Teori dan Hukum Pembuktian,h. 110.

56

(54)

3. Keterangan tersebut hanya dapat digunakan terhadap dirinya

sendiri;

4. Keterangan tersebut tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia

bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,

melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.57

B. Alat Bukti Elektronik

1. Pengertian Alat Bukti Elektronik

Pengakuan data elektronik sebagai alat bukti di Pengadilan nampaknya

masih dipertanyakan validitasnya. Dalam praktek Pengadilan di Indonesia,

penggunaan data eletronik sebagai alat bukti yang sah memang belum bisa di

legalkan. Padahal dibeberapa negara, data elektronik dalam bentuk e-mail

sudah menjadi pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara

(perdata maupun pidana).

Dengan perkembangan teknologi Informasi yang pesat memungkinkan

bahwa segala tindak tanduk masyarakat yang berkenaan atau berhubungan

langsung dengan kegiatan hukum sering sekali terjadi. Dimana

perusahaan-perusahaan yang menawarkan jasanya melalui media online sering sekali

mengadakan perjanjian via internet dengan clientnya atau dengan

konsumennya. Perjanjian ini biasanya perjanjian jual beli atau sebagainya,

mana kala terjadi suatu sengketa terhadap perjanjian ini, bagaimana usaha

konsumen untuk menuntutnya di Pengadilan jika pengakuan data elektronik

belum dapat diterima sebagai alat bukti yang sah didalam pengadilan di

57

(55)

Indonesia. Oleh karena itu diberlakukanlah Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada tanggal 21 April 2008.

Pengertian teknologi informasi menurut Pasal 1 butir 3

Undang-undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan,

memproses, mengumumkan, menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi.58

Sedangkan, pengertian informasi elektronik Pasal 1 butir 1 adalah satu

atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan,

suara, gambar, peta, rancangan, foto,electronic data interchang

Gambar

Gambar 1. Gedung Pengadilan Agama Tigaraksa
Gambar 4. Gedung Pengadilan Tinggi Agama Banten

Referensi

Dokumen terkait

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Nielsen pada bulan juni 2011 terhadap konsumen Indonesia, menyatakan bahwa konsumen menjadi lebih impulsif dengan indikasi, sebagai berikut:

sangat ketat, perusahaan harus mampu memberikan harga dan kualitas produk yang berkualitas terhadap pembelinya karena perusahaan dikatakan berhasil mencapai

Sajian khas dari telur yang diaduk den- gan bumbu masakan, didadarkan dengan cara khusus menghasil- kan dadar telur menyerupai renmda ( hiasan pakaian yang disebut rendo ), wah

Observasi harian dekubitus dilakukan setiap hari mengunakan lembar observasi selama 3 hari untuk melihat resiko dekubitus dan pengambilan data post setelah 3 hari yang

Berdasarkan pembahasan dan Analisis yang telah dilakukan serta hasil kegiatan pengajaran yang dilakukan selama dua siklus dapat disimpulkan bahwa melalui bermain

Selain adanya masalah hutang perusahaan yang tinggi sehingga kesulitan membayar kewajibannya termasuk pembayaran dividen, masalah lain adalah adanya penjualan yang menurun

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf, yaituلا. Namun, dalam transliterasi inikata sandang itu dibedakan atas kata sandang yang diikuti oleh huruf