• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

F. Penghapusan dan Pembatalan Merek

2. Macam-Macam Istishhâb

a. Istishhâb Al-Barâ’ah Al-Ashliyyah

Arti lughawi al-barâ’ah adalah “bersih”, dalam hal ini pengertiannya adalah bersih atau bebas dari beban hukum. Dihubungkan dengan kata al-ashliyyah yang secara lughawi artinya “menurut asalnya”, dalam hal ini maksudnya adalah pada prinsip atau pada dasarnya, sebelum ada hal-hal yang menetapkan hukumnya. Hal ini berarti pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada dalil atau petunjuk yang menetapkan berlakunya beban hukum atas orang tersebut. Umpanya seseorang bebas dari kewajiban puasa Syawal, karena memang tidak ada dalil yang mewajibkannya. Demikian pula pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti meyakinkan bahwa ia bersalah. Prinsip inilah yang populer dengan apa yang disebut praduga tak bersalah. Istishhâb al-barâ’ah al-ashliyyah ini mengandung prinsip tersebut sampai ada dalil yang menetapkannya.57

Para ulama dapat menerima penggunaan istishhâb barâ’ah al-ashliyyah atau yang disebut juga dengan istishhâb al-adam al-ashli sebagai dalil dalam berijtihad. Ibnu Subki menyebutnya sebagai hujah secara pasti tanpa terdapat perbedaan pendapat. Abu Ya’la (dari mazhab Hanbali) dalam bukunya al-Uddah menganggapnya sebagai dalil yang sahih secara ijmȃ ahlul al-‘ilmi, dan istishhâb pantas dijadikan hujah.58

57 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h.394-395. 58 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2, h. 399.

b. Istishhâb Hukum Akal

Istishhâb hukum akal (dalam arti hukum yang ditetapkan oleh akal sebelum datangnya wahyu) dapat digunakan sebagai dalil atau petunjuk sampai datang dalil syara’ yang menyatakan hukumnya. Cara seperti ini berlaku di kalangan ulama Mu’tazilah, karena menurut mereka akal dapat menetapkan apa yang baik dan yang buruk berdasarkan kemampuan akal yang juga dapat menetapkan beban hukum. Apa yang dinyatakan baik oleh akal harus dilakukan dan apa yang dinyatakan buruk oleh akal harus dijauhi, meskipun belum ada syara’ yang mengaturnya.

Ulama Ahlus Sunnah tidak dapat menerima cara penetapan hukum oleh akal tersebut. Alasannya karena satu-satunya yang berhak menetapkan beban hukum itu hanya Allah melalui wahyu-Nya. Bila akal dianggap tidak berwenang menetapkan hukum, maka istishhâb hukum akal itu tidak berlaku.59

c. Istishhâb Dalil Umum atau Nash

Dalil yang menetapkan hukum umum, dapat dilaksanakan secara praktis setelah ada dalil lain yang menjelaskannya. Dalil lain yang menjelaskannya itu disebut mukhassis. Sedangkan bentuk penjelasannya bisa dalam bentuk penjelasan arti kata, penjelasa dalam bentuk perluasan pengertian, dan bisa juga penjelasan dalam bentuk nash atau lahir yang memberi kemungkinan untuk di-nasakh. Meng- istishhâb-kan dalil umum berarti hukum umum itu diamalkan menurut apa adanya sebelum

menemukan dalil yang men-takhsis-nya. Begitu pula istishhâb nash berarti nash itu diamalkan menurut apa adanya sebelum menemukan dalil yang me-nasakh-nya.

Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan istishhâb dengan cara tersebut. Mereka juga berbeda pendapat dalam hal boleh atau tidaknya mengamalkan hukum umum sebelum ada mukhassis-nya.

Di kalangan ulama Hanafiyah terdapat dua pendapat dalam hal mengamalkan umum ini. Demikian pula ulama Syafi’iyah terpecah dalam dua pendapat. Hal yang sama berlaku di kalangan ulama Hanbali. Dari perbedaan pendapat itu, dapat disimpulkan pada tiga kelompok yang berbeda:60

1) Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak dapat beramal dengan dalil umum secara langsung, tetapi harus mencari dan mendapatkan dahulu dalil yang akan men-takhsis-kanyya. Dalam hal ini, golongan ini tidak mengamalkan istishhâb dalil umum tersebut. 2) Pendapat kedua justru mengharuskan mengamalkan dalil umum

sebelum menemukan dalil lain yang men-takhsis-nya; agar hukum yang umum tidak sampai terbengkalai karena hanya dibayangi oleh kemungkinan adanya takhsis. Dengan demikian, menurut golongan ini istishhâb umum dapat dijadikan hujah.

3) Pendapat ketiga yang merupakan jalan tengah dikemukakan kalangan ulama “muta’akhirin” yang berpendapat bahwa bila

bertemu lafaz umum dan belum masuk waktu pelaksanaan hukum menurut petunjuk umum itu, maka wajib mengi’tikadkan keumumannya, baru beramal sesuai dengan petunjuk dalil itu. Dalam pandangan ini istishhâb dalil umum dapat dijadikan hujjah (pegangan).

d. Istishhâb Al-Hal (Istishhâb atas adanya petunjuk syara’; istishhâb hukum dan istishhâb sifat)

Istishhâb al-hal merupakan pandangan sebagian ulama yang menggabungkan ketiga bentuk istishhâb menurut pandangan Ibnu Qayyim (istishhâb syara’, hukum dan sifat). Para ulama berbeda pendapat mengenai penggunaan istishhâb al-hal ini dalam berijtihad, dimana secara garis besar ada dua pendapat, yaitu:61

1) Pendapat jumhur yang pada dasarnya menjadikan istishhâb al-hal itu sebagai salah satu metode dalam ijtihad dan menjadikannya sebagai hujah;

2) Pendapat ulama Hanafiyah yang pada dasarnya tidak menjadikan istishhâb al-hal sebagai hujah dalam berijtihad.

Jumhur ulama berpendapat bahwa istishhâb al-hal dapat menjadi hujah dan dapat dijadikan sebagai metode ijtihad, baik untuk menetapkan ketentuan hukum yang telah ada, atau untuk menetapkan hukum yang belum ada sebelumnya. Hal ini populer dengan sebutan:

ِتاَبْ ثلإل لا ِعْفَّدلِل ٌحِلاَص

“Patut untuk mempertahankan yang ada dan untuk menetapkan yang belum ada.”

Kalangan ulama Hanafiyah pada dasarnya menolak menempatkan istishhâb al-hal itu atau istishhâb al-sifah sebagai salah satu metode dalam ijtihad dan mnolak kehujahannya. Meskipun ada ulama mutaakhir dari kalangan ulama Hanafiyah ini yang menerimanya, namun terbatas dalam mengukuhkan hal yang telah ada hukumnya. Dengan demikian, menurut mereka, istishhâb al-hal hanya dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hal yang ada hukumnya dan tidak dapat dijadikan pegangan untuk menetapkan hal baru yang sebelumnya tidak ada hukumnya. Hal ini populer dengan ungkapan:

ِتاَبْ ثلإل لا ِعْفَّدلِل ٌحِلاَص

“Patut untuk mempertahankan yang ada dan untuk menetapkan yang belum ada.”

Alasan yang mereka ajukan ialah bahwa untuk menetapkan apa yang ditetapkan pada masa lalu memerlukan dalil yang menetapkannya. Begitu pula untuk memberlakukannya di masa berikutnya, diperlukan adanya dalil.62

e. Istishhâb Hukum Ijmȃ’

Istishhâb hukum ijmȃ’, pengertiannya adalah mengukuhkan hukum yang ditetapkan oleh ijma tentang masalah yang diperdebatkan. Bentuknya adalah: ulama sepakat tentang hukum suatu kasus, kemudian ada perubahan mengenai sifat yang melatarbelakangi adanya kesepakatan ulama itu. Dalam hal ini apakah hukum yang telah ditetapkan berdasarkan ijma tersebut masih dapat digunakan (berlaku) atau tidak?

Umpanya ulama telah sepakat (ber-ijma) tentang sahnya shalat orang yang bertayammum karena tidak ada air. Apakah shalatnya batal atau tidak? Dalam hal ini terjadi beda pendapat, karena ketiadaan air yang menjadi sebab bolehnya bertayammum itu sudah tidak ada. Ulama yang berpegang kepada istishhâb mengatakan bahwa shalatnya tetap sah sampai ada dalil yang mengatakan bahwa melihat air itu membatalkan shalat.63

Dokumen terkait